Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan
pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi
“pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkan
cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi “Upeti“ pada
Pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya
yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran
akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik
hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara
pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola
desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali Undang-Undang Dasar 1945
yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada
desentralisasi dan demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun
posisi tawar bagi pemerintahan desa telah punah.
Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia
terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam
perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari
program pemerintah pusat (setiap departemen) yang bersipat sektoral.
Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah,
hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar
yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak
tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana
terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin
berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di
ddesa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak
di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di
kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota.
Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian
besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh
pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi
sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian
besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak
ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan
merantau ke kota.
Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material
aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku
yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui
strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi.
Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar
besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan
masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat,
menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan
menjadi rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai
akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam
mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam
kebijakan pembangunan berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi
masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber
daya alam dan lingkungan hidup.
Permasalahan
1. Sampai saat ini belum ada konsep/model pembangunan desa yang dapat menjadi
solusi secara optimal dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa.
2. Pembangunan desa yang dilaksanakan bersifat
sektoral, yang hanya akan memberikan solusi secara parsial juga dan dengan
waktu yang bersifat temporer, sehingga tidak ada jaminan kelangsungan program
tersebut.
3. Sumberdaya manusia di desa, baik aparat maupun
masyarakatnya memberikan kontribusi besar terhadap melambatnya berbagai upaya
pelaksanaan pembangunan desa itu sendiri.
4. Keterbatasan sumber pendanaan, baik dari desa
maupun dari Kabupaten, Provinsi dan Nasional, merupakan faktor utama lain yang
menyebabkan lambatnya proses pembangunan desa. Disisi lain Anggaran yang
disediakan/dialokasikan ke desa, baik dari Kbupaten, Provinsi maupun dari
Nasional, cenderung bersifat project, bahkan charity, bersifat sesaat dan
berdampak pada golongan tertentu saja di desa.
5. Perencanaan yang disusun, walaupun telah melalui
suatu proses yang panjang, yaitu dari Musrenbang, Musrenbangda, (Kabupaten dan
Provinsi) serta Musrenbangnas, tetap tidak menujukan suatu streamline yang
jelas serta tidak menujukan keterpaduan program (commited programme). Bahkan
pada kebanyakan kasus perencanaan, usulan dari desa sejak di awal diskusi pada
Musrenbangcam telah terelementasi.
6. Sudut pandang dari semua pihak terhadap upaya
pembangunan desa masih seperti dulu, yaitu menempatkan desa sebagai suatu objek
dengan klasifikasi rendah, sehingga tidak menjadi prioritas dan bersifat
seperlunya saja, sehingga dengan memformulasikan suatu program yang bersifat
charity, dianggap telah memberikan sesuatu manfaat yang sangat besar.
7. Belum terlihat adanya suatu pemahaman yang
menunjukan bahwa desa sebagai sumber utama pembangunan Nasional, sehingga desa
patut menjadi sasaran utama pembangunan dan harus ditempatkan sebagai partner utama
dalam sistem pembangunan Nasional.
8. Persoalan ketidak jelasan kewenangan yang ada di
Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan terdapatnya berbagai
kesulitan dalam menyusun dan mengimplementasi kebijakan Pemerintah Provinsi
terhadap upaya Pembangunan desa.
Analisis
Terkait dengan pembangunan desa (rural
development), secara tradisional Mosher (1969:91) menyebutkan bahwa
pembangunan desa mempunyai tujuan untuk pertumbuhan sektor pertanian, dan
integrasi Nasional, yaitu membawa seluruh penduduk suatu negara ke dalam pola
utama kehidupan yang sesuai, serta menciptakan keadilan ekonomi berupa
bagaimana pendapatan itu didistribusikan kepada seluruh penduduk, Menurut
Fellman & Getis (2003:357), pembangunan desa diarahkan kepada bagaimana
mengubah sumber daya alam dan sumber daya manusia suatu wilayah atau Negara,
sehingga berguna dalam produksi barang dan melaksanakan pertumbuhan ekonomi,
modernisasi dan perbaikan dalam tingkat produksi barang ( materi) dan konsumsi.
Dengan demikian, pembangunan desa diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi
berbagai hambatan dalam kehidupan sosial ekonomi, seperti kurang pengetahuan
dan keterampilan, kurang kesempatan kerja, dan sebagainya. Akibat berbagai
hambatan tersebut, penduduk wilayah pedesaan umumnya miskin (Jayadinata &
Pramandika, 2006: 1), Sasaran dari program pembangunan pedesaan adalah
meningkatkan kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat desa, sehingga
mereka memperoleh tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual
Berdasar uraian di atas, pembangunan desa secara
konkret harus memperhatikan berbagai faktor, diantaranya adalah terkait dengan
pembangunan ekonomi, pembanguna atau pelayanan pendidikan, pengembangan
kapasitas pemerintahan dan penyediaan bernagai infrastruktur desa. semua faktor
tersebut diperlukan guna mengimplementasikan dan mengintegrasikan pembangunan
desa ke dalam suatu rencana yang terstruktur dalam desain tata ruang.
Disisi lain, baik dalam Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang),
musyawarah perenacanaan pembangunan daerah (Musrenbangda), dan musyawarah
perencanaan pembanguan kecamatan ( Musrenbangcam), dimana ajang tersebut
sebagai ajang perencanaan pembangunan daerah, selama ini dirasakan tidak
optimal dan hanya bersifat formalitas semata, karena terjadi tarik menarik
kepentingan antara elite di daerah, Dengan demikian, ajang
musrenbang/musrenbangda/musrenbangcam pun tidak maksimal untuk menyerap
aspirasi masyarakat dalam pembangunan karena masing masing level (elite
birokrasi) bertahan dengan pendirian atau keputusan keputusan yang telah dibuat
sebelumnya dalam hal penentuan program pembangunan daerah. Di samping itu,
hasil musrenbang dalam kenyataannya tidak pernah diaplikasikan dan
diimplementasikan dilapangan secara utuh.
Otonomi daerah yang berada di Kabupaten/Kota juga
menyebabkan peran pemerintah Provinsi menjadi tidak maksimal dalam upaya
pengentasan kemiskinan di Jawa Barat, Dalam hierarki perundang undangan, peran
pemerintah Provinsi hanya sebatas memberikan saran dan konsultasi kepada
pemerintah Kabupaten/Kota. Hal tersebut menyebabkan ketiadaan akses yang lebih
bagi pemerintah Provinsi untuk dapat mengimplementasikan program program
pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di desa.
Minimnya peran pemerintah Provinsi terkait dengan
pembangunan desa, kondisi tersebut kemudian diperparah dengan banyaknya
kebijakan pemerintah pusat dalam pembangunan desa yang selalu bersifat top
down, dimana pemerintah pusat selalu memaksakan program programnya dalam
pembangunan desa bagi daerah. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan desa juga
bersifat parsial atau sektoral, sehingga keterkaitan dan keterpaduan antar
program tidak terjadi. Dengan kata lain, antar departemen terkait tidak ada
sinergitas fungsi dan program terkait dengan kemiskinan di desa, selain itu,
kebijakan pemerintah dalam pembangunan desa selam ini tidak akomodatif terhadap
ke khasan daerah dan cenderung diseragamkan, kebijakan tidak fokus pada
pengentasan atau penanggulangan kemiskinan, dimana kegiatan apa yang akan
dilakukan tidak berdasarkan pada grand design pembangunan desa (misalnya 5
tahunan)
Kebijakan pemerintah terkait pembangunan desa selama ini dinilai tidak
berdasarkan pada potensi desa yang ada, tidak berdasarkan pada desain tata
ruang (yang telah dibuat), hasil musrenbang tidak implementatif, tidak ada
perencanaan yang komprehensif terhadap pembangunan desa, mekanisme perencanaan
dan pembiayaan desa tidak optimal, peran Stakeholders terutama pemerintah desa
tidak optimal, Hal tersebut telah menyebabkan pembangunan desa hanya
menggantungkan (depen on) pada bantuan atau program dari pemerintah pusat,
Provinsi Kabupaten dan Kota. selain itu, kebijakan pemerintah terkait
pembangunan desa selama ini juga dinilai tidak memperhatikan kondisi faktual
infrastruktur yang ada di desa, ketersediaan prasarana ekonomi dan aktivitas
ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja sehingga
diversifikasi usaha di desa sangat terbatas, lebih lanjut, desa menjadi tidak
mandiri dan hanya menggantungkan usaha atau pencaharian nafkah kepada sektor
pertanian semata. Akibat program program pemerintah yang tidak berdasarkan pada
potensi dan kekhasan daerah tersebut telah menyebabkan banyak potensi yang
berada di desa menjadi tidak berkembang.
Secara umum, berdasarkan peraturan perundang
undangan, sebenarnya desa dapat membangun daerahnya berdasarkan prakarsa
sendiri secara bottom up. Dimana desa terdiri dari kepala desa dan perangkatnya
serta badan permusyawaratan desa (BPD) sebagai legislatif Desa, Di sisi lain,
sumber pembiayaan bagi pembangunan desa yang dapat diambil berdasar perundang
undangan yaitu dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota,
dari penghasilan desa yang syah (BUMdes), serta kerjasama dengan pihak ketiga.
Dengan mekanisme seperti ini, maka perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan di desa seharusnya bersifat bottom up. Akan tetapi
selama ini, baik perencanaan maupun implementasi pembangunan desa selalu
bersifat top down, dimana desa hanya menerima program program pembangunan desa
dari pemerintah. Berdasarkan mekanisme perundang undangan yang ada, seharusnya
desa memiliki grand design pembangunan sendiri (inisiatif desa), jika desa
memiliki grand design dalam pembangunan desanya, maka desa dimungkinkan hanya
akan mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota.
sedangkan inisiatif untuk melakukan dan melaksanakan pembangunan (Program
program) datang dari inisiatif desa sendiri.
Lebih lanjut, dalam pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh desa kepada
pemerintah, terdapat klasifikasi program pembangunan desa, misalnya untuk
pembangunan infrastruktur fisik, pembangunan ekonomi dan kemasyarakatan,
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dengan demikian, desa dimungkinkan untuk
mengajukan pembiayaan ke pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, misalnya
untuk membangun sekolah, pasar desa, listrik, air, dan sebagainya, Disisi lain,
desa dimungkinkan juga untuk dapat melakukan riset potensi desa dan bekerjasama
dengan pihak ketiga, misalnya terkait dengan kondisi tanah atau lahan yang tandus
dan tidak bisa dikembangkan. Hingga, semua pengajuan program pembangunan desa
muncul dari inisiatif desa berdasarkan pada kondisi eksisting dan tata ruang
desa, Berdasarkan perundang hal tersebut dapat dilakukan oleh desa, namun
sejauh ini berbagai program pembangunan desa selalu ditentukan oleh pemerintah
(top down) dan desa hanya melaksanakannya saja, Maka permasalahan yang kemudian
timbul adalah, apakah perangkat desanya tidak mengerti ataukah pemerintah yang
tidak pernah mengerti akan esensi pembangunan desa, sehingga memaksakan
programnya sendiri.
Dengan demikian, pemerintah (baik pusat, provinsi,
kabupaten/ kota) seharusnya hanya mendorong dan meningkatkan kapasitas sumber
daya manusia di desa untuk mampu merencanakan pembangunan desanya, sehingga pemerintah
pusat hanya melakukan pembiayaan berbagai program pembangunan yang di ajukan
oleh desa, Selama ini permasalahan tersebut selalu terjadi karena desa sendiri
tidak memiliki konsep dalam merancang pembangunan desa dan pemerintah juga
tidak memahami akan eksistensi pembangunan desa berdasarkan keunikan dan
kekhasan desa dengan memaksakan berbagai programnya.
Secara umum kondisi tersebut dapat dikatakan telah
mencapai tahap kejenuhan, Untuk mengatasi persoalan kemiskinan, upaya yang
perlu dilakukan tidak lagi semata mata mengandalkan pada kebijakan ekonomi
makro, tetapi juga diimbangi dengan kebijakan mikro berupa terobosan yang
secara langsung memberikan pengaruh pada peningkatan produktivitas golongan
miskin tersebut, utamanya dengan peningkatan pembangunan desa yang terintegrasi
(Tjiptoherijanto, 1997: 57).
Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi,
kita harus merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan
memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi
prasarana dan sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya
secara lebih terpadu, Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya
sebagai wilayah pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya
pembangunan wilayah kota atau daerah pedesaan secara menyatu.
Strategi
Mencermati uraian terdahulu, walaupun belum melalui suatu penelitian yang resmi,
hanya berbekal pengalaman (experient base)
dan pendekatan literatur, dapat dirumuskan suatu strategi upaya pembangunan
desa dalam rangka pengentasan kemiskinan, Sebagai berikut :
1.
Penyusunan tata
ruang desa menjadi prasyarat utama dalam memulai suatu upaya pembangunan
desa. Dalam proses penyusunan tata ruang desa telah dirumuskan berbagai potensi
yang ada, keunikan, kultur yang melandasi dan harapan harapan yang ingin
dicapai, sehingga wujud desa nantinya menjadi khas, seperti desa wisata, desa
tambang, desa kebun, desa peternakan, desa nelayan, desa agribisnis, desa
industri, desa tradisional dan lain sebagainya. Dalam tata ruang tersebut,
harus tersusun rencana infrastruktur, site plan untuk office, pemukiman,
comercial area, lahan usaha/budidaya berbasis sentra(satu hamparan), kemampuan
daya dukung lingkungan (berdasarkan estimasi jumlah penduduk maksimal), lokasi
pendidikan, sarana pelayanan kesehatan, pasar, terminal dan ruang publik (alun
alun, taman) dan sebagainya sesuai kebutuhan dan kesepakatan masyarakat.
2.
Penetapan
aktivitas dan komoditi yang akan dijadikan basis pengembangan ekonomi desa, didasarkan
analisis terhadap potensi yang ada, kemampuan masyarakat pada umumnya, potensi
pasar, minat dan kultur masyarakat.
3.
Pembentukan
lembaga lembaga masyarakat yang akan berperan sebagai stakeholders, dan akan
memberikan berbagai masukan dalam proses pembangunan desa.
4.
Perumusan
perencanaan pembangunan untuk satu masa jabatan Kepala Desa, serta program
pembangunan setiap tahunnya. Perumusan harus melibatkan harus melibatkan
seluruh komponen di desa, didasarkan kepada tata ruang yang telah disusun serta
didasarkan kepada kewajaran dan ketersediaan anggaran.
5.
Pemerintah
pusat, Provinsi, Kabupaten / Kota dapat memberikan asistensi, masukan sesuai
dengan kebijakan, misi dan visi terhadap dokumen perencanaan yang disusun,
serta memberikan dukungan berupa pengalokasiandana dalam bentuk tugas
pembantuan atau bantuan yang diarahkan (specific
grand), Dengan demikian tidak ada lagi program charity, baik dari Kabupaten
/ Kota, Provinsi maupun dari pusat. Seluruh aktivitas pembangunan di desa sudah
terintegrasi programnya (commited program
) dan sudah terintegrasi juga alokasi anggarannya (commited budget).
6.
Untuk
pembangunan pendidikan, terutama dalam menuntaskan program wajardikdas sembilan
tahun, di desa perlu di bangun sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama dalam
satu lokasi, ini dilakukan untuk mengefisiesikan biaya pembangunan dan
pemeliharaan sekolah, juga untuk meringankan beban orang tua murid yang besar,
yaitu komponen transport.
7.
Untuk
meningkatkan akses pelayanan kesehatan di desa perlu dibangun Puskesmas
Pembantu atau sejenis, dan untuk desa yang sangat terpencil dapat didukung
dengan Unit Pelayanan Kesehatan Keliling.
8.
Untuk
pembangunan perekonomian di desa, dilakukan penetapan kegiatan dan komoditas
terpilih, sinkronisasi dengan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten / Kota,
penguatan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), penyiapan masyarakat dan lokasi
sentra Manajemen sentra, Penetapan berbagai kerjasama dengan pihak ketiga,
penyiapan sarana perekonomian (seperti terminal, pasar, koperasi, atau
sejenis), penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, serta pembentukan lembaga
fasilitator, baik dari masyarakat Desa itu sendiri atau dari luar dan dari
Perguruan Tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN).
9.
Untuk
meningkatkan SDM aparat desa dilakukan dengan meningkatkan program dan kegiatan
yang telah berjalan melalui program pusat, provinsi dan kabupaten / kota,
efektivitas program lomba desa dan peningkatan program Non Governtment (NGO).
Kesimpulan
1. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi oleh cara pandang level
pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten / kota.
2. Pembangunan Desa pada hakekatnya merupakan
pengakuan dan penghargaan dari semua pihak terhadap pemerintahan dan masyarakat
desa dalam upayanya mencapai harapan dengan potensi, dan kekhasannya sendiri
sehingga desa seyogyanya menjadi prioritas utama pembangunan dari semua level
pemerintahan.
3. Keberhasilan pembangunan desa akan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan pembangunan secara nasional,
provinsional dan kabupaten / kota.
4. Persoalan kemiskinan, baik diperkotaan maupun di
pedesaan akan tereliminasi secara signifikan, apabila tercapai pembangunan di
desa desa.
5. Konsep Desa Mandiri, Dinamis dan Sejahtera,
merupakan konsep integrasi perencanaan dan implementasi, dikenal dengan
commited programme dan commited budget, merupakan konsep yang dilakukan secara
gradual, terarah dan pasti, serta melibatkan semua pemangku kepentingan yang
akan beraktivitas di desa.
6. Keberhasilan konsep ini sangat tergantung kepada
political will para pengambilan kebijakan dan peran serta seluruh pemangku
kepentingan.