Di sisi lain, penemuan
hukum-hukum alam menjadi dasar bagi sains untuk menyingkirkan Tuhan dan
intervensi-Nya atas alam semesta. Sampai di sini, sains seakan-akan telah
menang atas agama. Akan tetapi, muncul pertanyaan apakah klaim sains bahwa alam
semesta bekerja menurut hukumnya sendiri tidak menuai problem? Atau apakah
masih relevan berbicara mengenai Tuhan ketika alam semesta sudah bekerja
menurut hukumnya sendiri? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tersebut dan
terdiri atas: (1) Pemikiran beberapa tokoh penggagas revolusi sains dalam
kosmologi dan implikasinya bagi teologi pada bagian akhir masing-masing
pembahasan; (2) rangkuman implikasi revolusi sains; dan (3) jalan keluar atas
perdebatan sains-agama.
Revolusi Sains
Revolusi yang dimulai
oleh Copernicus baru kemudian berkembang menjadi sebuah revolusi yang mumpuni
dalam sains setelah dilengkapi oleh “hukum-hukum gerak planet Johannes Kepler
(1571-1630), tafsiran matematis Galileo Galileo (1564-1642), dan konsepsi
mekanistik Isaac Newton (1642-1727). Dalam tataran yang lebih luas revolusi ini
berlangsung melalui pemikiran metodologis dan epistemologis Rene Descartes
(1596-1650)” serta empirisme Francis Bacon (1561-1626). Gagasan-gagasan yang
dilahirkan oleh tokoh-tokoh ini pada dasarnya berusaha untuk menemukan
hukum-hukum mekanika yang mengatur keseluruhan alam semesta. Dengan demikian,
arahnya adalah memulai sebuah revolusi sains dengan cara meruntuhkan konsep
Aristoteles yang membagi semesta atas alam duniawi yang fana dan alam surgawi
tempat hukum-hukum alam tidak bekerja.[1] Pembahasan berikut akan
memperlihatkan pemikiran tokoh-tokoh di atas serta implikasinya terhadap
teologi.
Nicolaus Copernicus
Nicolaus Copernicus
lahir di Torun, di wilayah utara daerah yang sekarang disebut Polandia pada
tahun 1473. Pendidikan dasar ditempuhnya di Universitas Jagiellonian di Cracow,
kemudian dilanjutkannya di Bologna dan Padua Italia. Pada mulanya, bidang studi
utamanya adalah hukum kanon. Namun, dia juga tertarik kemudian untuk
mempelajari kedokteran dan astronomi. Ia mulai mendalami astronomi secara
serius pada tahun 1503, sembari kembali ke Polandia dan tinggal secara tetap di
Frombork (atau Frauenburg), sebuah kota kecil di Varmia. Hasil utama dari
studinya ini adalah klaimnya mengenai alam semesta yang berpusat pada matahari.
Tidak ada catatan mengenai kapan Copernicus sampai kepada ide ini, tetapi pada
tahun 1512 ia menulis sketsa singkat mengenai sistem astronomi baru, yang
dikenal sebagai Commentariolus, dan salinan tulisan tangannya disebarkan
di antara sebagian kecil ilmuwan. Selain itu, dalam buku Narratio prima tahun
1540 karya satu-satunya murid Copernicus, yakni Georg Rheticus, kita menemukan
catatan tentang sistem Copernican ini.[2]
Karya besar
Copernicus, De Revolutionibus diterbitkan tepat pada tahun 1543,
tahun kematiannya, setelah lama mengalami penundaan. Penundaan ini
barangkali berkaitan dengan ketakutan akan reaksi Gereja Katolik terhadap karya
itu nantinya. Dalam kenyataannya, pada tahun 1536 Kardinal Nicolaus von
Schönberg mendesak Copernicus untuk menerbitkan karyanya, tetapi tidak berhasil. Copernicus
menyadari bahwa karyanya ini akan menjadi kontroversial secara teologis. Namun,
dalam pengantar untuk karya itu yang didedikasikan untuk Paus Paulus III, ia
menolak anggapan demikian. Menurutnya, hanya orang-orang yang mengabaikan matematika
yang menganggap karya itu sebagai sesat dan mengubah bagian di dalamnya agar
sesuai dengan tujuan mereka. Memang, De Revolutionibus
sepenuhnya bersifat matematis.[3]
Dalam Commentariolus,
Copernicus menguraikan konsep alternatif atas kosmologi tradisional dalam tujuh
postulat utama. Menurutnya, pusat alam semesta bukanlah bumi, melainkan
matahari.[4] Segala pergerakan yang muncul di
cakrawala tidak muncul darinya, tetapi karena bumi itu sendiri bergerak. Selain
berputar pada porosnya, bumi juga berputar mengelilingi matahari sebagaimana
planet-planet lain. Copernicus lebih lanjut menunjukkan bahwa alam semesta
memiliki dimensi yang sangat besar.[5] Klaim ini pada awalnya diterima
dengan skeptis karena menghancurkan pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa
surga tidak pernah berubah.[6]
Ada polemik mengenai
sebuah gagasan yang tertuang di dalam pengantar De Revolutionibus, yakni
bahwa apakah itu merupakan pernyataan Copernicus sendiri atau tidak. Copernicus
menyatakan bahwa teori heliosentris hanyalah model komputasi dan bukan
model yang diklaim benar dalam arti fisik. Akan tetapi, kalimat ini sebenarnya
tidak ditulis oleh Copernicus, melainkan oleh Andreas Osiander, seorang teolog
Lutheran yang pada waktu itu dipercayakan sebagai pengawas ketika De
Revolutionibus dicetak. Copernicus sendiri tentu saja tidak sependapat
dengan Osiander dan kalimat di dalam kata pengantar itu ditulis oleh Osiander,
sebagaimana diungkapkan oleh Kepler pada tahun 1609 yang menyatakan bahwa
tidaklah masuk akal Copernicus menganut posisi instrumentalis sebagaimana
diuraikan di dalam pengantar itu.[7]
Copernicus ingin
mengubah konsep Ptolomeus dan mengembangkan teori astronomis yang bertentangan
dengan tradisi dan akal sehat. Menurut sistem semesta Ptolemaik,
lingkaran tambahan harus ditambahkan kepada lingkaran tambahan lain agar cocok
untuk pengamatan. Keberatan utamanya adalah bahwa pusat-pusat siklusnya tidak
bergerak dengan kecepatan yang seragam pada penangguhan,[8] tetapi berhubungan dengan persamaan
yang khayali. Di bagian pembuka dari Commentariolus, Copernicus
menganggap konsep Ptolomeus sebagai pengkhianatan terhadap doktrin fundamental
bahwa gerak melingkar yang seragam adalah satu-satunya bentuk yang
diperbolehkan bagi pergerakan di langit. Ia menyatakan bahwa bumi dan
planet-planet lainnya berputar mengelilingi matahari dengan kecepatan yang
seragam.[9]
Implikasi dari Revolusi
Copernicus dengan demikian adalah menggeser manusia dari “pusat kegiatan alam
semesta mistis melalui peralihan dari kosmogoni ke kosmologi.”[10] Artinya, alam tidak lagi dikaji
dari sudut subjektivitas manusia, melainkan secara objektif. Selain itu, model
tata surya Copernicus menempatkan matahari di pusat alam semesta dan menggeser
klaim yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Matahari sendiri
tidak bergerak, sehingga model pergerakannya berlawanan dengan klaim Ptolemaik
(sebagaimana dianut Gereja Katolik) yang mengatakan bahwa bumi itu statis.
Galileo
Langkah selanjutnya
terjadi ketika Galileo Galilei menggunakan teleskop untuk menunjukkan bahwa
bahkan matahari tidak istimewa. Ia yang pada waktu masih muda mendukung
kosmologi tradisional pada akhirnya mendukung gambaran dunia Copernicus sampai
akhir hidupnya. Ia berhasil membuat sebuah penemuan sensasional dan mengubah
seluruh gambaran alam semesta dengan tabung optik baru pada tahun 1610,
sebagaimana dilaporkan di Sidereus nuncius. Ketika dia mengarahkan
teleskop primitifnya menuju Bima Sakti, dia langsung memecahkan teka-teki yang
menyelimuti astronom dan filsuf alam selama kurang lebih dua ribu tahun.
Menurutnya, Bima Sakti hanyalah kumpulan bintang yang tak terhitung banyaknya
yang dikelompokkan bersama dalam suatu kelompok. Penemuan ini menjadi sebuah
kegembiraan besar dan berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh kaum
terpelajar Eropa.[11]
Galileo juga menemukan
bintik-bintik di Matahari dan menyimpulkan bahwa Matahari berputar dengan
jangka waktu sekitar 28 hari.[12] Ketika Galileo mengarahkan
teleskopnya, ia melihat bahwa banyak bintang yang tak dapat dilihat oleh mata
telanjang. Lalu ia melakukan pengamatan yang sama terhadap planet dengan cara
memperbesarnya dan menemukan bahwa mereka terlihat seperti cakram. Hasil
pengamatan ini membawanya pada kesimpulan bahwa bintang-bintang harus berada
pada jarak yang sangat jauh dari bumi, seperti yang diklaim oleh Copernicus.
Argumen lain yang mendukung dengan kuat gagasan Copernicanisme dan dengan
demikian menentang sistem Ptolomeus adalah penemuan Galileo yang memperlihatkan
Venus menunjukkan fase. Satu-satunya cara untuk menjelaskan fase-fase Venus
yang diamati adalah dengan mengasumsikan bahwa planet bergerak dalam orbit
mengelilingi matahari. Hal ini sangat bertentangan dengan sistem Ptolemaik.[13] Di sisi lain, penemuan ini tidak
hanya menimbulkan keraguan pada heliosentrisme, melainkan juga sangat
meningkatkan ukuran alam semesta.[14]
Galileo sangat gigih
dalam menemukan konsepsi baru mengenai apa yang merupakan filsafat alam dan
bagaimana itu dikejar. Pada tahun 1611, ketika ia meninggalkan Padua
untuk kembali ke Florence dan menghadiri pengadilan Medici, ia meminta
gelar Filsuf serta Ahli Matametika. Permintaan ini berkaitan
dengan tujuan skala besar Galileo, yakni untuk menggantikan rangkaian
konsep analitis tradisional yang terkait dengan tradisi filsafat alam
Aristotelian. Sebagai gantinya ia menawarkan seperangkat konsep mekanis yang
kemudian dipakai untuk mengembangkan “ilmu baru” dan dengan demikian menjadi
ciri khas filsafat baru. Ia ingin menghapus kategori fisik Aristotelian dengan
klaim satu langit (eter atau elemen kelima) dan empat elemen terestrial (api,
udara, air, dan bumi) dan sifat arah diferensial mereka (melingkar, naik, dan
turun) dengan hanya menyisakan satu elemen, materi korporeal, serta cara yang
berbeda untuk mendeskripsikan ciri dan gerakan materi dalam hal kesetimbangan
hubungan proporsional matematis. Dengan melakukan itu, Galileo mengubah cara
berpikir mengenai materi dan geraknya, dan dengan demikian
mengantarkan pada tradisi mekanis yang menjadi ciri banyak sains modern.[15]
Johannes Kepler
Johannes Kepler
(1571-1630) dikenang dalam sejarah sains terutama karena tiga hukum gerak
planetnya. Kepler tampaknya tidak bisa mempertahankan sistem kosmologis
Copernicus tanpa mereformasinya secara radikal. Dengan demikian, bisa dikatakan
bahwa ia melangkah lebih jauh dari Copernicus sendiri. Hukum pertama Kepler
menyatakan bahwa orbit sebuah planet adalah elips yang mana matahari berada di
salah satu fokusnya. Sementara itu, hukum keduanya berbunyi vektor
jari-jari dari matahari ke planet (katakanlah planet P) menyapu luas yang sama
dalam waktu yang sama. Dengan kata lain, “luas daerah yang disapu pada
selang waktu yang sama akan selalu sama. Oleh karena itu, planet P lebih
cepat pada perihelion[16], tempat ia lebih dekat ke matahari, dan
lebih lambat di aphelion[17], tempat ia lebih jauh dari matahari”.[18]
Konsekuensi kosmologis
dari kedua hukum ini adalah sebagai berikut. Hukum pertama menghapus
aksioma lama dari orbit melingkar planet-planet dan memulai pendekatan yang
lebih empiris terhadap kosmologi. Orbit melingkar planet-planet pada waktu itu
masih dianut tidak hanya oleh astronom dan kosmolog sebelum Copernicus, tetapi
juga oleh Copernicus sendiri, Tycho, dan Galileo. Hukum kedua
menggantikan aksioma lain dari astronomi tradisional, yang menyatakan bahwa
gerakan planet-planet memiliki kecepatan yang seragam. Sebaliknya, Kepler
menegaskan realitas perubahan kecepatan gerakan planet dan memberikan
penjelasan fisik untuk perubahan tersebut.[19]
Hukum ketiga Kepler
sering juga disebut “hukum harmonik”, sebagaimana ditemukan pertama kali di
dalam karyanya Harmonice mundi (1619). Hukum ini seringkali ditulis
dalam notasi: (T1/T2)2= (a1/a2)3, yang mana T1 dan T2 mewakili
waktu periodik dan a 1 dan a 2 mewakili panjang
sumbu semi-mayornya. Lebih lanjut, hukum ini sering dirumuskan dengan
notasi: a 3 / T 2 = K, dengan K yang
menyatakan bahwa hubungan antara pangkat tiga jarak dan kuadrat waktu adalah
suatu konstanta. Konsekuensi dari hukum ketiga ini adalah bahwa waktu yang
dibutuhkan planet untuk mengelilingi matahari akan meningkat secara signifikan
jika semakin jauh atau semakin panjang radius orbitnya. Bagi perkembangan
kosmologi, hukum ketiga ini sangat penting untuk memenuhi pencarian Kepler akan
sebuah representasi yang sistematis dan mempertahankan konsep Copernican,
sehingga planet tidak sepenuhnya independen satu sama lain, tetapi terintegrasi
dalam sistem dunia yang harmonis.[20]
Bacon dan Descartes
Tokoh-tokoh lain
seperti Francis Bacon dan Descartes juga turut mengambil peran di dalam
membentuk panduan pemahaman mengenai hukum-hukum mekanika yang bekerja di
seluruh alam semesta. Bacon, misalnya, menekankan bahwa manusia akan mampu
menjelaskan semua proses di alam jika ia dapat memperoleh pemahaman penuh atas
struktur tersembunyi dan cara kerja rahasia dari materi. Gagasannya, yang
menjelaskan bahwa struktur di alam bekerja menurut metode kerjanya sendiri,
memusatkan perhatian pada pertanyaan tentang bagaimana alam dihasilkan, yakni
melalui interaksi materi dan gerak.[21] Untuk itulah Bacon dianggap
sebagai tokoh empirisme yang mengajarkan bahwa untuk dapat mempelajari cara
kerja alam dan kemudian menguasainya, ilmu alam atau sains harus berasaskan
observasi ilmiah.
Selain Bacon, Descartes
juga berperan penting dalam revolusi sains dengan sumbangan pentingnya berupa
“metode” dalam filsafat. Descartes mengembangkan teori ambisius yang konon
didasarkan pada materi dan gerak untuk menjelaskan semua fenomena alam,
termasuk yang ada di langit.[22] Kalimatnya yang terkenal adalah
“kesangsian adalah asal pengetahuan (Doubt is the origin of wisdom). Ia
terkenal dengan method of doubt atau metode penyangsian yang mengajarkan
bahwa segala sesuatu harus diuji. Caranya adalah: (1) jangan mempercayai
apa pun sampai terbukti kebenarannya; (2) analisis setiap masalah dengan
memilah semua bagiannya; (3) identifikasi semua kemungkinan dari satu masalah;
dan (4) temukan solusi langkah demi langkah, paling mudah terlebih dahulu,
kemudian beranjak ke yang lebih sulit dan paling sulit.[23]
Menurut saya, meskipun
etika Cartesian tetap mengakui keberadaan Tuhan, akan tetapi penekanannya pada
bagaimana segala sesuatu harus dibuktikan kebenarannya, mempunyai implikasi
besar pada perkembangan kosmologi, yakni bahwa ilmuwan atau astronom dapat
menjadi tuan atas alam. Hal yang sama juga berlaku pada empirisme Bacon, yakni
bahwa ketika kita menemukan cara untuk menguasai alam, kita tidak lagi
memerlukan konsep-konsep teologis (maupun ekologis) ketika berhadapan dengan
alam. Dengan pengetahuannya, manusia menjadi tuan atas alam.
Newton
Pandangan kita mengenai
alam semesta akan bergeser secara signifikan dengan ditemukannya hukum
gravitasi universal Isaac Newton. Dengan ditemukannya hukum gravitasi, segala
fenomena fisik dapat dimengerti sebagai gerak partikel benda akibat kekuatan
tarik-menarik. Dia menghubungkan fenomena astronomis dengan segala sesuatu yang
terjadi di Bumi. Melalui publikasi karyanya yang berjudul Principia pada
tahun 1687, lahirlah pandangan mekanistik mengenai alam semesta yang dianggap
sebagai semesta yang dikendalikan.
Lebih jauh, Newton
melarang manusia untuk menganggap bahwa gravitasi universal yang ia kemukakan
berusaha untuk menandakan kinerja jam tangan, sebab menurutnya alam terus
diintervensi dan dikendalikan. Ia menjelaskan, bahwa seluruh gerakan alam
semesta pasti menunjukkan kecenderungan untuk tunduk pada dominasi ‘Yang
Tunggal’, sebagai Tuhan monoteis yang monarkis.[24]
Rangkuman Singkat: Implikasi Revolusi Sains atas
Teologi
Dalam pembahasan di
atas kita telah melihat konsep pengetahuan baru beberapa tokoh dalam revolusi
sains, terutama dalam bidang kosmologi, beserta implikasi teologisnya. Kiranya
dapat disimpulkan secara umum bahwa implikasi dari revolusi sains abad ketujuh
belas itu. Pertama, revolusi sains dalam kaitannya dengan konsep kosmologi
alam semesta dipahami hanya tersusun atas satu unsur (universe), bersifat
deterministik, mekanis, dan juga matematis. Kedua, dalam kaitannya
dengan teologi, revolusi sains membuat sebagian dari pembicaraan mengenai
kosmos lepas dari konsep-konsep bernada teologis seperti paham penciptaan,
Tuhan atau entitas tertinggi lainnya, yang dalam kosmologi tradisional menjadi
begitu sentral.
Bagi sains,
konsep-konsep dalam teologi dan filsafat itu bisa diabaikan dan tidak rasional
karena tidak bisa diuji kebenarannya secara ilmiah. Akibatnya, bagi sebagian
filsuf, alam semesta atau realitas hanya dibatasi pada apa yang dapat diamati
secara objektif, yang bersifat pasti dan bisa diukur. Di sisi lain, realitas
meta-indrawi, pengalaman spiritualitas keagamaan, pengalaman akan keindahan,
dan imajinasi dianggap irasional dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Penutup: Sebuah Dialog
Bagian ini berisi
tanggapan sekaligus jalan keluar atas keseluruhan pembahasan ini. Pertama, meskipun
sains telah terbukti berkontribusi positif terhadap perkembangan dunia modern
dan dalam hal ini pemahaman kita mengenai alam semesta, sains tidak boleh jatuh
ke dalam fanatisme atau antusiasme berlebihan, yang menganggap kebenaran
satu-satunya mengenai realitas adalah kebenaran saintifik. Kebenaran di luar
sains atau yang tak dapat dibuktikan oleh sains kemudian dianggap irasional dan
pantas untuk diabaikan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada realitas-realitas
atau bidang kajian yang tidak tersentuh oleh metodologi sains dan dapat
diserahkan kepada teologi maupun filsafat. Akibat fanatisme ini, sains justru
menutup diri terhadap adanya realitas meta-indrawi, seperti spiritualitas
keagamaan, imajinasi, seni dan sebagainya.
Kedua, sains dan
teologi harus berdialog agar persoalan-persoalan yang berada di luar
batas-batas metodologi saintifik dapat terpecahkan.[25] Masalah-masalah ini berkaitan
dengan apa yang tidak terjangkau oleh penelitian saintifik. Dalam bidang
teologi, misalnya, persoalan mengenai keberadaan Tuhan di balik alam semesta
dianggap melampaui apa yang dapat diteliti oleh sains. Untuk menjawab
permasalahan ini, sains harus menggunakan prinsip teologis agar tidak
jatuh pada kesimpulan bahwa Tuhan dan realitas meta-empiris lain tidak rasional
karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sebaliknya, filsafat dan teologi
memberi makna baru terhadap penemuan-penemuan yang dihasilkan oleh sains.
Dengan demikian, apa yang berada di luar jangkauan metodologi masing-masing
dapat terpecahkan .
Ketiga, teologi
(dan filsafat) akhirnya harus menggunakan prinsip saintifik untuk
memperkaya persoalan makna, tradisi, iman, dan spiritualnya. Saat ini sains
memberikan teologi suatu kerangka berpikir yang lebih luas berkaitan dengan
tema “apa artinya menjadi manusia di dunia yang diciptakan”.[26] Dalam hal ini, teologi dan filsafat
dapat memakai objektivitas sains yang menyangkut data-data ilmiah, ketajaman
analisis, dan kedalamannya dalam menggali kebenaran untuk memperkaya
pemahamannya mengenai segi-segi rohani dan praktis manusia.
Keempat, sebagaimana
menurut Newman dalam esainya yang berjudul The Development of Christian
Doctrine (1854), doktrin Kristiani harus memiliki kriteria anticipation
of its future dalam kaitannya dengan perkembangan sains. Artinya, doktrin
Kristiani harus mampu menyesuaikan dirinya dengan pemahaman baru dalam sains di
waktu mendatang. Konsep penciptaan, misalnya, dapat disintesiskan dengan paham
evolusi dengan cara menafsirkan secara benar beberapa bagian dalam Kitab
Kejadian.[27] Dalam kaitannya dengan kosmologi,
terhadap pencapaian apa pun yang baru di waktu yang akan datang, teologi harus
mampu melakukan sintesis dengan sains agar dapat memperoleh pemahaman baru
mengenai Tuhan.
Catatan akhir:
[1] Bdk. Karlina Leksono Supelli, Kosmologi empiris konstruktif suatu telaah
filsafat ilmu terhadap asas antropik kosmologis (Abstraksi Disertasi),
dalam http://lib.ui.ac.id/abstrakpdf.jspdetail?id=83552&lokasi=lokal (diakses
pada Senin, 21 Desember 2020, pukul 21.35 WIB)
[2] Helge. Kragh, Conceptions of Cosmos: From Myths to the Accelerating Universe:
A History of Cosmology (Oxford: Oxford University Press, 2007), 47.
[3] Ibid, 47-48.
[4] Gambaran heliosentris sebelumnya telah
diajukan oleh Artistarchus dan Nicholas de Cusa, yang pada 1444 menyatakan
bahwa semesta tidak memiliki pusat dan terlihat sama di mana-mana. Kemudian
pada tahun 1572 Tycho Brahe melihat supernova masuk tatanan
Cassiopeia. Supernova itu menjadi cerah tiba-tiba dan kemudian meredup
satu tahun. Namun, fakta bahwa posisinya yang jelas tidak berubah saat Bumi
bergerak mengelilingi Matahari menyiratkan bahwa Bumi jauh melampaui Bulan.
Lih. Bernard Carr, ed., Multiverse or Universe? (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007), 7-8.
[5] Helge Kragh, Op.cit., 48.
[6] Bernard Carr, ed., Op.Cit., 8.
[7] Helge Kragh, Op.cit., 48-49.
[8] Dalam sistem astronomi Ptolomeus orbit
melingkar besar diikuti oleh pusat lingkaran tambahan kecil di mana sebuah
planet diperkirakan bergerak.
[9] Ibid., 49.
[10] Karlina Leksono Supelli, Op.cit.
[11] Helge Kragh, Op.cit., 60-61.
[12] Sebelumnya orang Inggris bernama Thomas
Harriot telah mempelajari Matahari dengan teleskop dan mengamati bintik
matahari sedikit lebih awal, tetapi tanpa menerbitkan pengamatannya, dan
pengamatan mata telanjang Cina dibuat jauh lebih awal. Lih.Ibid., 62.
[13] Ibid., 62.
[14] Bernard Carr, ed., Op.cit., 8.
[15] Peter Machamer, “Galileo Galilei”, dalam https://plato.stanford.edu/entries/galileo/,
(diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 03.27 WIB).
[16] Titik di orbit planet, asteroid, atau komet
yang terdekat dari matahari.
[17] Titik di orbit planet, asteroid, atau komet
yang terjauh dari matahari.
[18] Daniel A. Di Liscia, “Johannes Kepler” dalam https://plato.stanford.edu/entries/kepler/#CopRefThrPlaLaw,
(diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 01. 52 WIB).
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Jurgen Klein & Guido Giglioni, “Francis
Bacon”, dalam https://plato.stanford.edu/entries/francis-bacon/, (diakses
pada Ka mis, 24 Desemeber 2020, pukul 00.16 WIB).
[22] Helge Kragh, Op.cit., 67.
[23] Fahrudin Faiz, “Ngaji Filsafat 222: Rene
Descartes-Skeptisisme”, YouTube, diupload oleh MJS Channel, 20 Maret
2019, https://youtu.be/qgyQ5O0X4W8,
(diakses pada 24 Desember 2020, pukul 00.33, WIB).
[24] Helge Kragh, Op.cit., 71.
[25] Bdk. Joan Damaiko Udu, “Teologi Big Bang dan Paham Penciptaan dalam Kristianitas”,
dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX No. 1 2017, 48.
[26] Karlina Supelli, dkk, Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas
Pengetahuan, Menentang Fanatisme, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), 184.
[27] Agnes Patricya Sidabutar, dkk., “Sains dalam Karya-karya Teologi: Dari Dialog
Menuju Integrasi Intelektual”, dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX
No. 1 2017, 58-59, mengutip Giuseppe Tanzella-Nitti, “Natural Sciences in the
Work of Theologians”, http://www.inters.org.
Daftar Pustaka
Carr, Bernard
(ed.). Multiverse or Universe? (Cambridge:
Cambridge University Press), 2007.
Faiz, Fahrudin. “Ngaji Filsafat 222: Rene
Descartes-Skeptisisme”. YouTube. Diupload oleh MJS Channel, 20
Maret 2019, https://youtu.be/qgyQ5O0X4W8,
(diakses pada 24 Desember 2020, pukul 00.33, WIB).
Klein, Jurgen &
Guido Giglioni. “Francis Bacon”.
(Pertama kali dipublikasikan pada Minggu, 29 Desember 2003; revisi
penting pada Jumat, 7 Desember 2012). Dalam https://plato.stanford.edu/entries/francis-bacon/,
(diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 00.16 WIB).
Kragh, Helge. Conceptions of Cosmos: From Myths to the
Accelerating Universe: A History of Cosmology. (Oxford: Oxford University
Press), 2007.
Liscia, Daniel A. Di. “Johannes
Kepler”, (Pertama kali dipublikasikan pada Senin, 2 Mei 2011; revisi penting
pada Selasa, 21 Mei 205). Dalam https://plato.stanford.edu/entries/kepler/#CopRefThrPlaLaw,
(diakses pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 01. 52 WIB).
Machamer, Peter. “Galileo Galilei”. (Pertama kali
dipublikasikan pada Jumat, 4 Maret 2005; revisi penting pada Rabu, 10 Mei
2017). Dalam https://plato.stanford.edu/entries/galileo/ (diakses
pada Kamis, 24 Desemeber 2020, pukul 03.27 WIB).
Sidabutar, Agnes
Patricya dkk. “Sains dalam Karya-karya
Teologi: Dari Dialog Menuju Integrasi
Intelektual”. Dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX No. 1 2017:
61-62.
Supelli, Karlina,
dkk. Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang
Fanatisme. (Jakarta: Mizan Publika), 2011.
Supelli, Karlina. Kosmologi empiris konstruktif suatu telaah
filsafat ilmu terhadap asas antropik kosmologis (Abstraksi Disertasi). Dalam http://lib.ui.ac.id/abstrakpdf.jspdetail?id=83552&lokasi=lokal (diakses
pada Senin, 21 Desember 2020, pukul 21.35 WIB)
Udu, Joan Damaiko. “Teologi Big Bang dan Paham Penciptaan dalam
Kristianitas”. Dalam Jurna Driyarkara Tahun XXXIX No. 1 2017:
39-50.