Emas di Atas Derita: Meraup Rejeki dari Pertambangan di Tengah Hutan Korowai Papua

Emas di Atas Derita: Meraup Rejeki dari Pertambangan di Tengah Hutan Korowai Papua

Tampak pipa-pipa dan galian dari aktivitas tambang emas di hutan Korowai. Foto: dukumen warga dari Facebook


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk Numbei)Ratusan orang silih berganti mendulang emas tanpa izin sejak 2017 di sepanjang Sungai Deiram Hitam, kawasan hutan di bagian selatan Papua.

Keuntungan haram ratusan juta rupiah disinyalir telah diangkut keluar dari pedalaman Papua itu, rumah bagi masyarakat suku Korowai yang hidup dalam kemiskinan.

Para pendulang diduga menggunakan air raksa beracun atau merkuri untuk membersihkan emas. Akibatnya, menurut warga lokal, air Sungai Deiram yang dulu bening kini berubah kecoklatan.

Pemprov Papua berjanji menghentikan penambangan emas ilegal itu. Namun hingga akhir pekan lalu belum satu pun penegak hukum datang ke lokasi tambang yang hanya bisa diakses helikopter atau perjalanan kaki selama satu hari dari kampung terdekat, Danowage, di Distrik Yaniruma.

Foto: Hasil Emas dari Penambangan Ilegal di Papua (BBC Indonesia/Ones)


"Kami baru lihat dari atas. Nanti akan ada tim yang akan mendalami," kata juru bicara Polda Papua, Kombes Ahmad Mustafa Kamal.

Ahmad mengatakan hal itu untuk menerangkan hasil peninjauan unsur pimpinan daerah Papua ke wilayah udara Korowai, sehari sebelumnya, antara lain pejabat Gubernur Papua Soedarmo, Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar, dan Pangdam Cendrawasih Mayjen George Supit.

 Kunjungan tersebut dilakukan setelah Trevor Johnson, pendeta asal Amerika Serikat yang belasan tahun bekerja sosial di Korowai, menulis surat terbuka soal dampak penambangan emas tak berizin tersebut bagi warga lokal.

Soedarmo menyebut pemerintah akan melarang akses helikopter dari seluruh bandara menuju lokasi tambang. Artinya, akses penambang ditutup dan aktivitas jual-beli emas dari kawasan itu berhenti.

Bagaimanapun, pemerintah provinsi dituntut tak sekedar berwacana.

"Janji itu harus segera direalisasikan," kata Ones, penginjil dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sejak 2008 melayani ibadah dan memfasilitasi kesehatan warga Korowai.

Emas di atas derita

Lokasi tambang ilegal Korowai terletak di antara lima kabupaten: Boven Digoel, Asmat, Mappi, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang.

Ones, penginjil yang atas pertimbangan keamanan meminta nama aslinya disembunyikan, adalah satu dari sedikit saksi mata yang berhasil mencapai lokasi tambang ilegal itu.

Tak seperti pendulang yang menyewa helikopter untuk sampai ke penambangan, pertengahan Juli lalu Ones berjalan kaki selama satu hari dari Danowage, menembus hutan hujan tropis Papua.

"Saya jalan satu hari penuh, tidur di jalan, lalu lanjut jalan kaki empat jam sebelum sampai lokasi," tuturnya.

Perjalanan yang ditempuh Ones menggambarkan kesukaran akses menuju tambang ilegal itu, sekaligus keterasingan Suku Korowai. Tidak ada jalur bagi kendaraan darat menuju wilayah tersebut.

Aplikasi Google Map yang berbasis sistem pemosisi global (GPS) misalnya, tidak mampu mengukur jarak Yaniruma dari kota terbesar di Papua, Jayapura.

Penambang emas menyewa helikopter untuk mengangkut logistik. Menurut kesaksian beberapa orang, terdapat beberapa landasan helikopter di kawasan itu.


Akses udara ke lokasi tambang yang tak terdaftar di Dinas Pertambangan Papua itu berawal dari Bandara Oksibil di Pegunungan Bintang, Bandara Nop Goliat di Yahukimo, dan Bandara Tanah Merah di Boven Digoel.

Dari sana, perjalanan udara ditempuh dengan helikopter berharga sewa minimal belasan juta rupiah, lalu turun ke landasan yang dibangun penambang ilegal.

Pesawat perintis yang terbang dari sejumlah bandara besar di Papua juga bisa mendarat di landasan Kampung Danowage yang dibangun Ones, Trevor Johnson, dan sejumlah misionaris lainnya. Namun para pendulang tak menggunakan akses ini.

Dari Danowage, selain jalan kaki, akses menuju lokasi tambang dapat ditempuh dengan ketingting alias perahu kayu bermesin, selama delapan jam. Setelah menyusuri Sungai Deiram, perjalanan kembali dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Lokasi tambang emas ilegal berada di tengah hutan, tanpa akses jalan kendaraan.


"Di lokasi saya melihat pendulang memiliki alkon. Saya melihat banyak emas," kata Ones.

Alkon yang disebutnya adalah mesin penyedot pasir dan kerikil berbahan bakar bensin. Penyaringan emas dalam mesin itu memerlukan merkuri, zat beracun yang telah dilarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Merujuk tragedi Minamata di Jepang tahun 1958, penggunaan merkuri pada aktivitas penambangan dapat memicu kelainan fungsi saraf pada tubuh manusia. Tahun 2013, Indonesia meneken Konvensi Minamata yang digagas Badan Lingkungan PBB (UNEP) sebagai komitmen mengelola penggunaan merkuri.

Sejumlah tenda berbahan terpal berwarna biru dan beberapa rumah panggung didirikan para pendulang sebagai tempat tinggal sementara.

Ones dan dua rekannya menyaksikan kedatangan satu helikopter ke lokasi tambang. Ia berkata, heli itu membawa logistik seperti bensin hingga bahan makanan.

Para penambang disebutnya menukarkan emas dengan sejumlah uang ke orang-orang yang datang menumpang heli.

Menurut Trevor Johnson, setidaknya terdapat 15 juragan rutin membeli emas langsung ke tambang ilegal itu. "Mereka masing-masing memiliki helipad," ujarnya.

Sebagian besar penambang ilegal di Korowai berasal dari luar Papua, meski terdapat juga beberapa warga lokal yang turut bekerja di lokasi itu.

Namun pendulangan emas itu sama sekali tidak berdampak pada perbaikan taraf hidup Suku Korowai.

Di sepanjang hutan menuju lokasi emas, masyarakat adat tinggal di rumah panggung berbahan bambu dan kayu.

Sumber pangan mereka adalah ikan dan udang dari Sungai Deiram serta sagu dan umbi-umbian dari ladang. Tidak ada pasar atau aktivitas jual-beli di sana.

Satu-satunya sekolah yang berdiri di hutan itu dikelola Trevor dan misionaris gereja, di Kampung Danowage.

Sejak pertengahan dekade 2000-an mereka juga berinisiatif mengambil alih tugas pemerintah memberi layanan kesehatan bagi warga Korowai.

"Ada satu puskesmas tapi jauh dari Danowage, kalau jalan kaki harus satu sampai dua hari."

"Seluruh orang Korowai tidak bisa pergi ke sana, jadi banyak warga sakit dan meninggal karena tidak ada layanan kesehatan," papar Ones.

Ironisnya, menurut Trevor, walau helikopter berlalu-lalang ke lokasi tambang untuk mengangkut emas ilegal, warga Korowai yang meregang nyawa tidak pernah mendapatkan transportasi gawat darurat menuju rumah sakit.

"Banyak warga sakit yang diselamatkan penerbangan perintis Mission Aviation Fellowship. Ada juga pasien yang tinggal di rumah kami di Danowage selama beberapa hari untuk menunggu penerbangan ke luar."

"Namun terkadang kami menyaksikan beberapa umat menghembuskan nafas terakhir di rumah karena kurangnya transportasi ke rumah sakit di pesisir," tutur Trevor.

Dalam data Badan Pusat Statistik Boven Digoel, sepanjang 2016 hanya terdapat 28 dokter umum, empat dokter spesialis, dan dua dokter gigi yang melayani 64 ribu penduduk kabupaten itu, termasuk lebih dari 1.000 warga Korowai.

Usia harapan hidup di kabupaten itu pun hanya 58 tahun atau satu perenam harapan hidup masyarakat Indonesia pada umumnya.

Tambang rakyat

Dalam peta potensi logam yang diterbitkan Dinas Pertambangan dan Energi Papua, wilayah selatan provinsi itu mengandung sumber daya emas, antara lain Boven Digoel, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang.

Namun kekayaan emas di kabupaten lainnya juga telah didulang, baik yang berizin maupun secara ilegal.

Di Nabire, penambangan tidak sah bahkan melibatkan warga dan modal asing.

Pada Juni 2018, kantor Imigrasi Tembagapura menemukan puluhan sejumlah warga asal Cina mendulang emas di pertambangan rakyat di Nabire.

Sebelumnya, masyarakat adat di daerah itu juga bersengketa dengan pemerintah lokal soal izin tambang emas untuk perusahaan privat.

Laurenzus Kadepa, anggota DPRD Papua, menuding lemahnya penegakan hukum dan patgulipat perizinan menggenjot aktivitas tambang ilegal.

"Papua adalah provinsi yang tidak punya pagar, pihak luar, oknum-oknum lembaga, bisa masuk tanpa takut pada pemilik tanah ulayat," ujarnya.

Laurenzus juga menyindir para bupati dan wali kota yang disebutnya menutup mata terhadap tambang ilegal yang meresahkan masyarakat lokal. Padahal, kata dia, warga rutin menyuarakan penolakan mereka atas tambang tak resmi.

"Seharusnya semua masalah tidak harus dibawa ke provinsi. Pemda seperti tidak mau tahu. Pembiaran memang terjadi dari dulu, rakyat dianggap duri," kata Laurenzus.

Di sisi lain, Laurenzus juga mengakui badan legislatif daerah turut melanggengkan praktik haram terhadap sumber daya emas di Papua.

Kasus Korowai, misalnya, disebut Laurenzus telah dibahas DPRD Papua sejak awal 2018 tapi hingga kini urung dibahas secara serius.

"Masing-masing anggota dewan punya urusan, apalagi ini tahun politik. Partai mendukung calon kepala daerah tertentu, mereka ikut sibuk memenangkan kandidat."

"Tugas utama demi kemanusiaan Korowai dilupakan demi misi partai," ucapnya.

'Tidak seperti nyolong ayam'

Hingga pekan lalu kepolisian mengklaim telah memeriksa tiga saksi terkait pendulangan emas di Korowai.

Juru bicara Polda Papua, Kombes Ahmad Mustofa Kamal, menyebut pihaknya masih meneliti perizinan tambang tersebut.

"Kami menunggu data-data dari lapangan. Kasus seperti ini tidak seperti nyolong ayam, harus ada pendalaman," ujarnya.

Kepolisian belum dapat memastikan keterlibatan oknum lembaga tertentu yang dituduhkan beberapa kelompok masyarakat lokal. Begitu pula keterkaitan tambang ilegal Korowai dengan pendulangan emas tak berizin di Nabire.

"Nanti kami akan urutkan satu persatu, siapa pihak-pihak di sana, kalau ada perizinan, bagaimana keluarnya. Saat ini belum bisa dikonfirmasi karena masih tahap awal," tandas Ahmad.

***
Source: economy.okezone.com

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama