Hidup bersama itu indah. Bincang santai di rumah dinas Polsek Weliman pada Rabu (18/05/2022) |
Auguste Comte membagi tiga tingkatan perkembangan pengetahuan ke
dalam tahap relijius, metafisik, dan positif. Dalam tahap pertama maka asas
relijilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau
penjabaran dari ajaran reliji. Tahap kedua orang mulai spekulasi tentang
metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelatahan yang terbebas
dari doma reliji dan mengembangakn sistem pengetahuan di atas dasar
postulat metafisik tersebut. Tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah,
(ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses
verifikasi yang objektif.
Dibagi dalam sepuluh
bab dengan pemilahan acak, di bagian probalitas sempat membuatku demam. Bahkan
sampai khawatir Covid-19 sebab pandemi saat itu lagi ramai-ramainya dan
gejalanya mirip. Setelah beberap minggu dengan kesibukan tertentu, akhirnya
terbengkelai. Niat di dalam diri kulanjutkan, dan ‘untungnya’ paruh ketiga
buku, bahasannya lebih landai. Apalagi ending-nya, lebih nyaman tentang tata
kelola penelitian.
Mungkin karena saya
kuliah filsafat, maka buku ini terasa sangat bervitamin. Cara kerja otak
merupakan objek telaah dari berbagai disiplin ilmu seperti fisiologi,
psikologi, kimia, matematika, fisika, teknik, dan neuro-fisiologi. Kadang
kurang disadari bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi
tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya.
Ilmu sosial juga terasa fun ternyata kalau pembawaannya asyik.
Begitu juga agama,
jelas disinggung. Kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis, maka agama adalah
mutlak dan abadi. Maka kata Einstein: “Ilmu
tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh… mengapa ilmu yang
sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya
membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita?”
Ilmu dikacaukan oleh
seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih
menyedihkan dari itu? Kehendak Tuhan tidak akan pernah kita ketahui, dan Bruder
Juniper dalam karya sastra klasik The
Bridge of San Luis Rey berujar, “Tuhan terhadap kita adalah bagaikan lalat
yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di musim panas.”
Manusia adalah makhluk
yang berpikir, merasa, mengindera, dan totalitas pengetahuannya berasal dari
ketiga sumber tersebut; di samping wahyu: yang merupakan komunikasi Sang
Pencipta dengan makhluk-Nya. Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir
logis, di mana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir
menurut pola tertentu, atau dengan perkataan lain, logika tertentu. Berpikir
logis mempunyai konotasi yang bersifat jamak (prural) dan bukan tunggal
(singular).
Perasaan merupakan
suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Kegiatan berpikir
juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpannya intuisi yang merupakan
kegiatan berpikir nonanalitik yang tidka berdasarkan diri kepada
suatu pola berpikir tertentu. Wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan
wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan.
Rasio adalah sumber
kebenaran mengembangkan paham yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat
pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Jadi penalaran deduktif terkait rasionalime, dan penalaran induktif
dengan empirisme. Jadi sumber-sumber pengetahuan ada empat: rasio,
pengalaman, intuisi, wahyu. Dengan demikian kita bisa menelaah hakikat ilmu
dengan saksama.
Intuisi merupakan
pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Tanpa
melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di
situ. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena
menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya.
Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawabannya yang kita cari namun kita
tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai ke sana. Bagi Maslow,
intuisi merupakan puncak pengalaman, bagi Nietzsche merupakan
intelegensia yang paling tinggi.
Agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman,
namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transcendental seperti latar
belakang penciptaan manusia dan hari akhirat nanti. Kepercayaan merupakan titik
tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima.
Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya
kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu
umpamanya, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya,
dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap
pada pendirian semula.
Humaniora terdiri atas
seni, filsafat, agama, bahasa, dan sejarah. Sejarah kadang dimasukkan juga ke dalam
ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontroversial yang berkepanjangan apakah sejarah
itu ilmu ataukah humaniora.
Animisme merupakan
kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme, di mana manusia
percaya pada roh-roh yang gaib yang ada di benda-benda, dan merupakan
kepercayaan yang paling tua. Materialisme merupakan paham berdasar naturalism berpendapat
bahwa gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, melainkan
karena kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri.
Descartes, Locke dan Berkeley berpendapat
bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap
pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat
nyata adalah pikiran sebab dengan berpikir maka sesuatu itu lantas ada. Locke
menganggap pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin
yang licin (tabula rasa) di mana pengalaman indera kemudian melekat pada
lempeng tersebut. Dengan demikian pikiran diibaratkan sebagai organ yang
menangkap dan menyimpan pengalaman indera. Berkeley terkenal dengan
pernyataan ‘To be is to be perceived’ –
ada adalah disebabkan persepsi.
Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat
empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Ini lawan
dari aliran fatalism yang berpendapat segala kejadian ditentukan oleh
nasib yang telah ditetapkan lebih dulu. Demikian juga paham determinisme bertentangan
dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan manusia mempunyai kebebasan dalam
menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan
alternatif.
Ilmu sekadar merupakan
pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan
manusia secara pragmatis. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia
dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tak mempelajari surga neraka
sebab surga neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Matematika
bukan merupakan ilmu, melainkan cara berpikir deduktif. Matematika merupakan
sarana berpikir yang penting sekali dalam kegiatan disiplin ilmu.
Berpikir adalah
kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Hipotesis merupakan dugaan atau
jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi. Dalam
melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seakan-akan ilmuwan
melakukan suatu ‘integrasi terhadap alam’.
Ilmu sekadar alat dan
semuanya tergantung kepada kita mempergunakan alat itu dengan baik atau tidak.
Menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup mata terhadap semua
kemajuan masa kini di mana hampir semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh
produk ilmu dan teknologi. Syair Byron dalam Manfred, di mana
pengetahuan tak membawa kita bahagia, dan ilmu sekadar bentuk lain dari
ketidakbahagiaan.
Pengetahuan ilmiah pada
hakikatnya mempunyai tida fungsi: menjelaskan, meramalkan, dan
mengontrol. Tantum possumus, ujar Francis Bacon, quantum
scimus! (Kita dapat melakukan sesuatu sebatas yang kita tahu!). “Jika saya mampu melihat jauh maka hal itu
disebabkan oleh sebab saya berdiri di puncak para jenius terdahulu.” – Newton
“Tak
pernah ada binatang yang membikin perang,” kata Aldous Huxley, “Karena
mereka tak mempunyai sesuatu yang dianggap luhur. Apakah yang lebih luhur lagi
bagi seekor harimau selain daging dan betinanya? Mereka tak mempunyai mekanisme
verbal untuk mengemukakan dan mempertahankan apa yang dianggap luhur…”
Peradaban manusia
sangat berutang pada ilmu dan teknologi. Perkembangan ilmu sering melupakan
faktor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusialah
akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. (Jaques Ellul, The
Technological Society). Secara moral ilmu ditunjukkan untuk kebaikan manusia
tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Menurut Alfred Korzybski, “kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu.
Tanaman mengikat bahan-bahan kimia, binatang mengikat ruang, tetapi hanya
manusia seorang yang mampu mengikat waktu.” Kegiatan kreatif berarti
melakukan sesuatu yang lain, suatu pola yang bersifat alternatif, bagi
kelaziman yang bersifat baku. Improvisasi yang baik tidak mungkin dilakukan
tanpa mengenal tema pokok serta teknik-teknik dasar untuk pengungkapan secara kreatif.
“Kejelasan
menulis adalah masalah psikologis, di mana sering kali ditemui ilmuwan yang
menderita rasa rendah diri yang menyebabkan mereka secara terus-menerus harus
memompa ego mereka dengan menulis sekabur mungkin.” – E. Bright
Wilson Jr., An Introduction to Scientific, Research.
“Seorang
yang pikirannya semrawut akan menulis secara semrawut pula. Humor mengajarkan
toleransi, dan seorang humoris, dengan senyum di bibirnya, sambil menghela
napas kemungkinan besar akan mengangkat bahu daripada harus memaki-maki…” – W.
Somerset Maugham, The Summing Up
“Ah,” keluh
sejarawan Hendrik Willen van Loon, “ingin
saya menuliskan sejarah dengan satu suku kata.” / “Satu suku kata mungkin tak
bisa,” jawab seorang ilmuwan, “namun
mungkin ada kalimat yang patut diingat oleh mereka yang mendalami perkembangan
ilmu.” / “Yakni…” / “Jangan putar jarum sejarah!”
Sajak Sutarji atau
lagu Ebiet fungsinya memang bersifat estetik, yang kalau kita
konsumsikan dengan baik, memberikan kenikmatan batiniah. “Tiap ilmu dimulai dengan filsafat dan diakhiri dengan seni.” Kata Will
Durant.
Daftar Pustaka
Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer | by Jujun S. Suriasumantri | 84 UM 02 | Desain sampul Natasa
T. | Penerbit Sinar Harapan, Jakarta | Cetakan kedelapan belas, April 2005 |
Skor: 5/5
Karawang, 030321 –
100321– 190321 – Ida Laila – Bunga Dahlia
Thx to Ade Buku,
Bandung