Bercerita Filsafat dengan Gaya Santai (Medio Weliman dalam Kesederhanaan)

Bercerita Filsafat dengan Gaya Santai (Medio Weliman dalam Kesederhanaan)

Hidup bersama itu indah. Bincang santai di rumah dinas Polsek Weliman pada Rabu (18/05/2022)


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Makin pandai seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya. Ilmu pengetahuan tidak bisa disangkal merupakan agama yang paling efektif karena ini adalah agama pertama yang mampu berevolusi dan memperbaiki dirinya sendiri. Buku ini diterbitkan agar masyarakat lebih mencintai filsafat. Kubaca santai sejak bulan Maret lalu, setelah dengan terjal mencoba tuntaskan, akhirnya selesai juga. Sempat menghantuiku berbulan-bulan, sebab saat itu menemukan pengetahuan yang tak lazim tentang filsafat. Jelas buku ini memesona sekali, terutama separuh awal, tema serius disampaikan fun, dengan gambar-gambar lucu dan potongan kutip filsuf dari berbagai era. Sempat pula ku bilang, wow. Ini ditulis oleh Penulis lokal, penuh gaya dan akrobat kata yang disodorkan luar biasa nyaman. Belajar filsafat tak melulu pening.

Auguste Comte membagi tiga tingkatan perkembangan pengetahuan ke dalam tahap relijius, metafisik, dan positif. Dalam tahap pertama maka asas relijilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran reliji. Tahap kedua orang mulai spekulasi tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelatahan yang terbebas dari doma reliji dan mengembangakn sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif.

Dibagi dalam sepuluh bab dengan pemilahan acak, di bagian probalitas sempat membuatku demam. Bahkan sampai khawatir Covid-19 sebab pandemi saat itu lagi ramai-ramainya dan gejalanya mirip. Setelah beberap minggu dengan kesibukan tertentu, akhirnya terbengkelai. Niat di dalam diri kulanjutkan, dan ‘untungnya’ paruh ketiga buku, bahasannya lebih landai. Apalagi ending-nya, lebih nyaman tentang tata kelola penelitian.

Mungkin karena saya kuliah filsafat, maka buku ini terasa sangat bervitamin. Cara kerja otak merupakan objek telaah dari berbagai disiplin ilmu seperti fisiologi, psikologi, kimia, matematika, fisika, teknik, dan neuro-fisiologi. Kadang kurang disadari bahwa tiap ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial, mempunyai asumsi tertentu tentang manusia yang menjadi lakon utama dalam kajian keilmuannya. Ilmu sosial juga terasa fun ternyata kalau pembawaannya asyik.

Begitu juga agama, jelas disinggung. Kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis, maka agama adalah mutlak dan abadi. Maka kata Einstein: “Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh… mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita?”

Ilmu dikacaukan oleh seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu? Kehendak Tuhan tidak akan pernah kita ketahui, dan Bruder Juniper dalam karya sastra klasik The Bridge of San Luis Rey berujar, “Tuhan terhadap kita adalah bagaikan lalat yang dibunuh kanak-kanak pada suatu hari di musim panas.”

Manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, mengindera, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut; di samping wahyu: yang merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan makhluk-Nya. Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis, di mana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu, atau dengan perkataan lain, logika tertentu. Berpikir logis mempunyai konotasi yang bersifat jamak (prural) dan bukan tunggal (singular).



Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpannya intuisi yang merupakan kegiatan berpikir nonanalitik yang tidka berdasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan.

Rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme. Jadi penalaran deduktif terkait rasionalime, dan penalaran induktif dengan empirisme. Jadi sumber-sumber pengetahuan ada empat: rasio, pengalaman, intuisi, wahyu. Dengan demikian kita bisa menelaah hakikat ilmu dengan saksama.

Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawabannya yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai ke sana. Bagi Maslow, intuisi merupakan puncak pengalaman, bagi Nietzsche merupakan intelegensia yang paling tinggi.

Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transcendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari akhirat nanti. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima. Singkatnya, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melalui proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.

Humaniora terdiri atas seni, filsafat, agama, bahasa, dan sejarah. Sejarah kadang dimasukkan juga ke dalam ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontroversial yang berkepanjangan apakah sejarah itu ilmu ataukah humaniora.

Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme, di mana manusia percaya pada roh-roh yang gaib yang ada di benda-benda, dan merupakan kepercayaan yang paling tua. Materialisme merupakan paham berdasar naturalism berpendapat bahwa gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri.

Descartes, Locke dan Berkeley berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran, termasuk penginderaan dari segenap pengalaman manusia, adalah bersifat mental. Bagi Descartes maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikir maka sesuatu itu lantas ada. Locke menganggap pikiran manusia pada mulanya dapat diibaratkan sebuah lempeng lilin yang licin (tabula rasa) di mana pengalaman indera kemudian melekat pada lempeng tersebut. Dengan demikian pikiran diibaratkan sebagai organ yang menangkap dan menyimpan pengalaman indera. Berkeley terkenal dengan pernyataan ‘To be is to be perceived’ – ada adalah disebabkan persepsi.

Thomas Hobbes menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Ini lawan dari aliran fatalism yang berpendapat segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dulu. Demikian juga paham determinisme bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan alternatif.

Ilmu sekadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tak mempelajari surga neraka sebab surga neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Matematika bukan merupakan ilmu, melainkan cara berpikir deduktif. Matematika merupakan sarana berpikir yang penting sekali dalam kegiatan disiplin ilmu.

Berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang sedang kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seakan-akan ilmuwan melakukan suatu ‘integrasi terhadap alam’.

Ilmu sekadar alat dan semuanya tergantung kepada kita mempergunakan alat itu dengan baik atau tidak. Menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup mata terhadap semua kemajuan masa kini di mana hampir semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Syair Byron dalam Manfred, di mana pengetahuan tak membawa kita bahagia, dan ilmu sekadar bentuk lain dari ketidakbahagiaan.

Pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tida fungsi: menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol. Tantum possumus, ujar Francis Bacon, quantum scimus! (Kita dapat melakukan sesuatu sebatas yang kita tahu!). “Jika saya mampu melihat jauh maka hal itu disebabkan oleh sebab saya berdiri di puncak para jenius terdahulu.” – Newton

“Tak pernah ada binatang yang membikin perang,” kata Aldous Huxley, “Karena mereka tak mempunyai sesuatu yang dianggap luhur. Apakah yang lebih luhur lagi bagi seekor harimau selain daging dan betinanya? Mereka tak mempunyai mekanisme verbal untuk mengemukakan dan mempertahankan apa yang dianggap luhur…”

Peradaban manusia sangat berutang pada ilmu dan teknologi. Perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusialah akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. (Jaques Ellul, The Technological Society). Secara moral ilmu ditunjukkan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

Menurut Alfred Korzybski, “kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu. Tanaman mengikat bahan-bahan kimia, binatang mengikat ruang, tetapi hanya manusia seorang yang mampu mengikat waktu.” Kegiatan kreatif berarti melakukan sesuatu yang lain, suatu pola yang bersifat alternatif, bagi kelaziman yang bersifat baku. Improvisasi yang baik tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal tema pokok serta teknik-teknik dasar untuk pengungkapan secara kreatif.

“Kejelasan menulis adalah masalah psikologis, di mana sering kali ditemui ilmuwan yang menderita rasa rendah diri yang menyebabkan mereka secara terus-menerus harus memompa ego mereka dengan menulis sekabur mungkin.” – E. Bright Wilson Jr., An Introduction to Scientific, Research.

“Seorang yang pikirannya semrawut akan menulis secara semrawut pula. Humor mengajarkan toleransi, dan seorang humoris, dengan senyum di bibirnya, sambil menghela napas kemungkinan besar akan mengangkat bahu daripada harus memaki-maki…” – W. Somerset Maugham, The Summing Up

“Ah,” keluh sejarawan Hendrik Willen van Loon, “ingin saya menuliskan sejarah dengan satu suku kata.” / “Satu suku kata mungkin tak bisa,” jawab seorang ilmuwan, “namun mungkin ada kalimat yang patut diingat oleh mereka yang mendalami perkembangan ilmu.” / “Yakni…” / “Jangan putar jarum sejarah!”

Sajak Sutarji atau lagu Ebiet fungsinya memang bersifat estetik, yang kalau kita konsumsikan dengan baik, memberikan kenikmatan batiniah. “Tiap ilmu dimulai dengan filsafat dan diakhiri dengan seni.” Kata Will Durant.

Daftar Pustaka

Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer | by Jujun S. Suriasumantri | 84 UM 02 | Desain sampul Natasa T. | Penerbit Sinar Harapan, Jakarta | Cetakan kedelapan belas, April 2005 | Skor: 5/5

Karawang, 030321 – 100321– 190321 – Ida Laila – Bunga Dahlia

Thx to Ade Buku, Bandung


 ***

Inpirasi Polsek Weliman Kabupaten Malaka-NTT, bincang santai bersama Pak Aga (Guru) dan Pak Toni (Polisi)




Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama