Ketika membicarakan
iman, kita akan membicarakan jiwa dari agama-agama di dunia. Iman berdiri
layaknya sesuatu yang lain dari manusia. Manusia dipaksa untuk tidak
mempertanyakan kembali kebenaran yang berasal darinya. Bayangkan saja ketika
seseorang dapat menggenggam kebenaran tersebut. Semua akan tunduk kepadanya,
karena segalanya adalah kekuasaannya tanpa dipertanyakan sedikit pun.
Keyakinan terhadap iman
perlu menilik sebuah sketsa masyarakat religius. Agama menjadi suatu jalan
hidup. Segala bentuk putusan dan penilaian etik menuntut untuk mendapatkan
pertimbangan dari agama. Agama merupakan suatu sumber yang paling dipercaya
untuk menyelesaikan segala masalah yang ada di dalam masyarakat. Agama
merupakan penuntun dan pedoman mereka. Kepercayaan kepemimpinannya diserahkan
kepada seorang maupun sekelompok imam atau pun alim ulama yang telah kompeten
dalam bidang keagamaan. Sebagai anggota masyarakat, setiap pernyataan imam
besar harus diyakini sebagai kebenaran. Bagi mereka imam tersebut adalah wakil
Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia.
Bukannya tanpa bahaya
dan tanpa kritik. Meskipun secara intern mereka meyakini iman adalah sumber
yang mutlak, masyarakat di luarnya justru mempertanyakan keabsolutannya.
Keyakinan berlebihan terhadap iman tak ayal berbuntut kepada dogmatisme,
kebodohan, dan penindasan elemen-elemen di bawahnya. Agama sebagai sumber
kebenaran absolut dapat dimonopoli oleh segelintir orang demi kepentingan
golongan tersebut.
Selain kekerasan dari
atas, yakni kekerasan yang diakibatkan oleh “imam” kepada “umat”nya, kekerasan
justru diperlebar menjadi kekerasan horizontal. Masyarakat dengan agama
tertentu menyerang masyarakat lain yang beragama lain maupun yang tidak
beragama dengan terornya. Sekelompok teroris diindikasi menjadikan agama sebagai
kekuatan dan alasan utama untuk melakukan kekerasan dan penindasan dengan
membuat segala macam ketakutan kepada golongan di luarnya. Tak ayal agama dapat
menjadi bahaya tertentu ketika mata mereka dibutakan oleh matinya nalar kritis
dan dogmatisme agama.
Di sisi lain, berdiri
sebuah aspek yang diagungkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya
sebagai pengusung tema pencerahan, Renaissance. Tema ini diusung oleh
orang-orang yang lebih meyakini nalar daripada iman. Nalar dianggap mampu
membebaskan segala penindasan yang berasal dari agama. Pergerakan pencerahan
dianggap mengatasi dogma-dogma yang diyakini secara tidak kritis oleh
masyarakat beragama. Agama dianggap sebagai sebuah kekuasaan dan mitos yang
menghalangi progresivitas peradaban.
Dua kekuatan, yakni
iman dan nalar, bersitegang satu sama lain. Alih-alih hendak meninggalkan yang
satu kepada yang lain, kita justru harus bersikap dialektis. Sebagaimana yang
telah diutarakan bahwa keyakinan terhadap salah satunya akan fatal. Ketika yang
lain mendominasi, salah satunya harus dapat berkata “berhenti”.
Peradaban yang telah
ditaburi oleh semangat-semangat pencerahan bersikap skeptis terhadap segala
bentuk keimanan. Sikap ini muncul dalam dalam abad pencerahan menjadi sebuah
semangat yang menggebu-gebu untuk menciptakan dunia tanpa dogma-dogma agama.
Belajar dari kesalahan masa lalu, yakni abad pencerahan, agama dapat berpotensi
untuk mengasingkan jiwa-jiwa manusia. Dogma menjadikan manusia bergeser pada
otentisitasnya.
Tak ayal, doktrin
humanisme—yang meyakini agama dapat mengasingkan manusia—sangat mengambil jarak
terhadap agama. Agama beserta pemeluknya dimarjinalkan. Pada masa inilah
sekularisasi alias pemisahan segala aspek masyarakat dari properti keagamaan
dimulai. Pemisahan ini merupakan suatu wujud keseriusan untuk menentang agama
sebagai kekuatan yang mengasingkan. Pada akhirnya terbentuklah sebuah negara
sekuler, i.e. negara yang berusaha memisahkan kehidupan agama dan
kehidupan bermasyarakat.
Awalnya, negara sekuler
memang bersikap agresif terhadap segala bentuk kekerasan maupun penindasan yang
berasal dari terorisme dari kelompok agama tertentu. Namun cita-cita masyarakat
terbuka yang diidamkan oleh negara sekuler justru menjadi sebuah monade yang
terisolir[1]. Memang sudah sejak awal sikap skeptis
terhadap agama membahayakan dan dapat berubah menjadi kekuatan otoriter lain.
Proses sekularisasi
justru tidak hanya menjadikan terorisme sebagai lawan mereka, namun juga semua
yang beragama dan tidak memiliki jalinan sedikitpun dengan terorisme pun
ditindas. Cita-cita masyarakat terbuka yang awalnya melawan segala bentuk
penindasan dan kekerasan justru dinodai oleh keduanya. Khusnudzon saja,
barangkali penindasan tersebut hanya disebabkan oleh ketakutan pemerintah
terhadap kelompok agama tertentu. Meskipun pada akhirnya ketakutan itulah yang
justru merepotkan.
Dalam perspektif teroris
sendiri justru menyebut perlakuannya merupakan sebuah bentuk pembebasan agama
dari penindasan negara barat. Negara barat dianggap telah semena-mena terhadap
beberapa golongan agama dengan proses sekularisasinya. Namun dari sisi
pemerintah sekuler terorisme merupakan momok menakutkan yang dilawan dengan
proses sekularisasi tersebut. Inilah yang menjadi penyebab untuk saling
menyalahkan satu sama lain. Negara Barat ataukah terorisme yang salah? Hal ini
seakan-akan menjadi gugatan satu sama lain untuk saling menjatuhkan
senjata. Alih-alih menyerah, perang justru semakin ramai.
Masyarakat Dialektis dan Terbuka
Permusuhan antara
negara sekuler Barat dan juga kaum agamawan menjadi topik yang sangat gurih dan
ramai diperbincangkan. Memang penindasan dari pemerintah (khususnya Amerika)
terhadap agama tertentu (salah satunya Islam) masih ada dalam negara sekuler.
Alih-alih memperlemah agama, agama justru bertahan.
Fenomena keagamaan yang
merebak di masyarakat sekuler jangan hanya dipandang sebagai fakta sosial, tetapi
juga sebagai tantangan kognitif[2]. Tantangan ini bukan untuk diabaikan,
justru hendak didengarkan. Dengan kata lain, proses sekularisasi sendiri justru
harus dikritik agar tidak menjadi penindasan dan kekerasan yang baru.
Negara sekuler hanya
memandang bahwa pembebasan dari kekerasan dan penindasan diharuskan berasal
dari atas, yakni dari pemerintah itu sendiri. Segala bentuk putusan tentang
kekerasan mutlak dari pemimpin. Sementara, rakyat di bawahnya justru tidak
boleh ambil bagian. Padahal, melihat kondisi dan situasinya negara sekuler
seperti di Amerika Serikat justru rakyatnya tidak sepenuhnya sekuler tapi ada
juga yang beragama. Kondisi ini justru memungkinkan adanya penindasan yang
terjadi layaknya penindasan dalam masyarakat beragama, yakni penindasan “imam”
terhadap “umat”. Penindasan dari atas ke bawah.
Agar tidak menodai
upaya pembebasan manusia dari penindasan dan kekerasan, masyarakat yang telah
bertransformasi menjadi masyarakat yang monadik tersebut diharuskan untuk
membukanya. Dengan kata lain, mereka harus membuka diri kepada hal yang di luar
dirinya, yakni iman. Yang harus dilakukan adalah pengakuan akan keterbatasan
negara sekuler beserta nalarnya beserta pengakuannya terhadap masyarakat agamis
yang ditindasnya. Pengakuan ini menjadi suatu diskursus yang membebaskan.
Diskursus ini memang tidak sebatas diskursus akademik-intelektual, melainkan
juga pengakuan akan keberadaan masyarakat beragama.
Ketika membicarakan
perseteruan iman dan nalar, kita memang tidak dapat memisahkannya dengan sebuah
kecenderungan masyarakat atau pun keyakinan suatu negara. Ada sebagian
masyarakat yang mempercayakan segalanya kepada imannya, sementara ada juga yang
mempercayakan sepenuhnya kepada nalarnya. Kaum agamawan menjadi golongan yang
pertama sementara negara sekuler lebih cenderung pada yang kedua.
Penindasan dan
kekerasan dalam diskusi iman dan nalar disebabkan oleh keyakinan yang
berlebihan terhadap salah satunya. Penindasan yang diakibatkan oleh dominasi
iman dicontohkan dengan penindasan dari “imam” terhadap “umat” serta penindasan
oleh golongan tertentu terhadap golongan yang lain. Sementara, kekerasan dalam
negara sekuler adalah kekerasan yang berasal dari keyakinan berlebihan terhadap
nalar yang didewakan dalam sistem sekularisme.
Dua kekuatan, yakni iman dan nalar, bersitegang satu sama lain. Alih-alih hendak meninggalkan yang satu kepada yang lain, kita justru harus bersikap dialektis. Sebagaimana yang telah diutarakan bahwa keyakinan terhadap salah satunya akan fatal. Ketika yang lain mendominasi, salah satunya harus dapat berkata “berhenti”. Sikap dialektis ini melambangkan keterbukaan satu sama lain, yakni keterbukaan terhadap akal maupun terhadap agama.
Cita-cita sebagai
masyarakat terbuka hendak menjunjung sikap dialektis ini. Ketika pemerintah
sekularis terlalu memusuhi dan anti terhadap agama, maka pada saat itulah
masyarakat di bawahnya hendak melawan dan berkata “berhenti” kepada pemerintah
semacam itu. Pemerintah juga mulai untuk tidak menjadi sistem yang tertutup.
Desakan dari masyarakat terbuka justru menjadi sadar betapa bahaya dirinya.
Di sisi lain,
perjuangan terhadap terorisme juga tidak hanya berasal dari pemerintah
sekularisme, melainkan juga berasal dari masyarakat bawah yang resah.
Masyarakat yang sadar akan ancaman terhadap akal sehat yang hendak dihilangkan
oleh kaum-kaum puritan yang mengatasnamakan agama. Kaum-kaum dogmatis, bodoh
dan buta yang tidak mau terbuka terhadap sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi,
perlawanan terhadap terorisme bukan dari pemerintah sekuler sendiri, melainkan
dari masyarakat yang dialektis dan terbuka. Perlawanan tidak berasal dari
pemerintah otoriter yang hendak merestorasi kekuasaannya, melainkan dari solidaritas
masyarakat terbuka.
Antara Aktual dan tidak Aktual
Masyarakat terbuka
merupakan sebuah masyarakat yang diinginkan sebagai pengganti dari masyarakat
sekuler maupun masyarakat fanatik. Masyarakat ini bercirikan sebuah keterbukaan
satu sama lain. Iman sudah tidak lagi menjadi asing bagi nalar, begitu juga
sebaliknya. Masyarakat ini ditandai dengan keterbukaan masyarakat kepada hal
yang di luar dirinya. Keterbukaan kepada agama oleh masyarakat sekuler serta
keterbukaan terhadap nalar oleh masyarakat religius.
Pembukaan relasi iman
dan nalar yang menjadi kunci bagi masyarakat terbuka. Masyarakat tidak hanya
dijejali sentimen-sentimen keburukan terhadap suatu golongan dengan
mengatasnamakan nalar ataupun iman. Progresivitas masyarakat ditandai dengan
keinginan masyarakat untuk belajar. Masyarakat mulai mengerti bahwa agama tidak
hanya menjadi suatu dogma kosong dan barbar. Selain itu, nalar juga tidak
dipandang lebih tinggi di antara iman. Ketegangan di antara nalar dan iman
menjadi perlu untuk dinampakkan sebagai keterbukaan satu sama lain. ketegangan
ini bukan untuk mendominasi satu sama lain, melainkan untuk menerima.
Cita-cita sebagai
masyarakat terbuka merupakan sebuah potensi. Potensialitas masyarakat dapat
ditarik antara dua kemungkinan, yakni tidak aktual atau aktual. Aktualisasi
masyarakat terbuka dimungkinkan jika adanya usaha bersama untuk menjaga
dialektika di antara iman dan nalar. Mengakui keagungan agama dan menerima
segala bentuk pemikiran rasional. Rekognisi ini bukan berasal dari kekuasaan
elit politik, melainkan berasal dari rakyat yang telah berpikir dialektis dan
terbuka.
Selain itu, cita-cita
masyarakat terbuka juga mungkin tidak ada jika tidak adanya keterbukaan sama
sekali. Kesewenang-wenangan pemimpin terhadap rakyatnya alias merajalelanya
pemerintahan yang monadik. Agama hanya akan menjadi kekuatan tersendiri yang
buta tanpa adanya tuntunan dari nalar.
Namun bagaimanapun juga
ketidakaktualan masyarakat terbuka bukannya tidak ada sama sekali alias utopis.
Ketidakaktualannya dapat diperjuangkan menjadi benar-benar aktual. Selama
potensi tidak disamakan dengan aktualitas, semua itu mungkin. Selama keyakinan
akan fakta penindasan dan kekerasan dilampau sebagai aktualitas dan
ditansformasi menjadi masyarakat terbuka dan diskursif sebagai potensi yang
teraktualisasi, maka cita-cita masyarakat tidaklah utopis.
Masyarakat terbuka dan
dialektis memang sebuah kemungkinan yang harus diaktualisasi. Selama nalar
monadik dengan rasionalitas tertutup berhasil membuka dirinya, maka masyarakat
terbuka bisa aktual. Sementara perlawanan atas kekerasan dan penindasan terjadi
karena solidaritas merebak, maka masyarakat terbuka bukan lagi tidak mungkin.
Namun jika tiadanya solidaritas dan kesadaran, maka mungkin juga penindasan dan
kekerasan merajalela.
Namun yang menjadi
catatan adalah iman dan nalar bukan lagi berelasi antagonistik. Mereka tidak
boleh saling mengeksklusikan satu sama lain. Dua pasangan itu senantiasa
bersitegang satu sama lain. Ketegangan tersebut menandai adanya hubungan
dialektis dan terbuka. Mereka adalah sahabat, sehidup semati, yang saling
mengingatkan satu sama lain dan menyadari keterbatasan mereka sendiri.
Catatan Akhir
[1] Lih. Jurgen Habermas, “Hal-Hal yang Diakui
oleh Filsuf Non-Religius tentang Tuhan (lagi dari Rawls), dalam Giancarlo
Bosetti ed., Iman Melawan Nalar: Perdebatan Joseph Ratzinger melawan
Juergen Habermas, terj. Satriyo (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 37.
[2] Lih. Giancarlo Bosetti, “Pemikiran untuk
Mencari Titik Temu dalam Zaman Pascasekular”, dalam Giancarlo Bosetti
ed., Iman Melawan Nalar: Perdebatan Joseph Ratzinger melawan Juergen
Habermas, terj. Satriyo (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 17.
Penulis Ulasan Lepas