Ada satu nama di dalam
hatimu, nama yang selalu kau aminkan di setiap sujud terakhirmu, nama yang
sangat kau harapkan untuk kau dampingi. Kepada pemilik nama itu, kau mencintai
sedalam-dalamnya, namun kau pendam sediam-sediamnya.
Kau hanya mampu
memperhatikannya dari jarak yang jauh, tanpa berani menyentuh.
Ketika dia bahagia, kau
pun ikut merasakannya, meski bukan kau yang menjadi alasannya.
Ketika dia terluka, kau
pun tak pernah rela, meski kau juga begitu pengecut menjadi penawarnya.
Saban hari, tak
sekalipun kau alpa merindukannya, tak sedikitpun ingatanmu kosong dari
bayangnya. Hanya dia, dia, dan dia.
Kau mengetahui bahwa
dia ialah seseorang yang menyukai puisi, maka setiap kali kau menulis, kau
menulis tentangnya.
Kau mengetahui bahwa
dia ialah seseorang yang menyukai senja, maka setiap kali senja datang menyapa,
kau memikirkan wajahnya.
Kau mengetahui bahwa
dia ialah seseorang yang menyukai hujan, maka setiap kali turun hujan, kau
membayangkan kenangan dengannya.
Apa yang dirinya suka,
kau akan menyukainya. Sebegitunya kau menggilainya.
Andai perasaan mudah
untuk dikalimatkan, tentu kau takkan ragu menyatakan. Namun, semua yang
tersirat terlalu sulit untuk di surat. Kau takut rasamu justru membuat dia
semakin jauh. Sehingga, kau memilih mengubur semuanya dalam senyap tanpa ingin
lenyap.
Sampai suatu saat kau
mendengar kabar yang mematahkan seluruh harapanmu, kau melihat kenyataan yang
menyesakkan dadamu; Dia yang kau kagumi, mengagumi orang lain, dia yang ingin
kau genggam, menggenggam tangan orang lain.
Kau kecewa, benar-benar
kecewa, namun kau tak bisa melakukan apa-apa. Hanya terdiam di belakang
seseorang yang tak pernah menyadari keberadaanmu. Hanya menangis di belakang
seseorang yang tak pernah menyadari ada yang terluka. Hanya terkapar di
belakang seseorang yang tak pernah menyadari ada yang berjuang.
Kau kehilangan sebelum
sempat memiliki, kau melepaskan sebelum sempat memeluk, kau selesai sebelum
sempat memulai.
Kini, selayaknya
seseorang yang tersesat, yang tak tahu lagi kemana arah melangkah, Hidupmu
terhenti di satu titik yang membuatmu resah, gelisah.
Kau masih menulis
puisi, namun hanya puisi tentang kepergian.
Kau masih menatap
senja, namun dengan tatapan kekosongan.
Kau masih menanti
hujan, namun hanya untuk berlari di tengahnya menyembunyikan tangisan.
Betapa satu nama di
dalam hatimu mengubah seluruhmu, satu nama yang kau aminkan dalam sujud
terakhirmu mengubah doamu.
Kemarin, doamu agar
bisa dibersamakan, hari ini agar bisa mengikhlaskan.