Sastra Daerah Kabupaten Malaka, NTT di Tengah Bahasa Milineal "Kidz Zaman Now"

Sastra Daerah Kabupaten Malaka, NTT di Tengah Bahasa Milineal "Kidz Zaman Now"

Salah satu upacara adat batar manaik di wilayah Kabupaten Malaka



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Beberapa tahun belakangan berhembus polemik bagaimana mengidentifikasi sastra dan sastrawan NTT, siapakah yang tergolong sastrawan NTT dalam periodisasi sastra. Perdebatan itu bermula ketika diterbitkannya sebuah buku berjudul Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT oleh Drs. Yohanes Sehandi, M.Si (Penerbit Universitas  Senata Dharma, 2012)  yang kemudian menetapkan beberapa nama besar seperti Gerson Poyk, Julius Sijaranamual, Dami Toda, Ignas Kleden, John Dami Mukese dan lainnya sebagai pemicu lahirnya sastra Indonesia dengan Warna Daerah NTT. Menurut Sehandi, telah tercatat 44 Sastrawan NTT dalam kurung waktu 1961 sampai Desember 2014 dengan 135 judul buku sastra.

Sastra NTT artinya sastra yang mengandung kultur daerah lokal dan karakter kedaerahan khas NTT, baik dari segi bahasa, tema, amanat, latar, ketokohan dan sebagainya.Lokalitas menjadi ciri pembeda (identitas) baik dari eksistensi dan intensi dalam bersastra.  Misalnya dalam novel Badut Malaka dan Likurai untuk Sang Mempelai (Robby Fahik), Orang-Orang Oetimu (Felix Nesi), Nyanyian Sasando (Antologi Puisi Sastrwan NTT, 2016) terkandung warna-warni khas daerah NTT. Tentu perkembangan demikian patut diapresiasi. Alih-alih yang masih menggangu alam pikir saya adalah bagaimana peran sastrawan NTT dalam membangkikan sastra lokal, sastra daerah (sastra lisan) menjadi produk bersama orang NTT dalam sebuah kajian bahasa lokal yang khas. Atau secara ekstrem dikatakan bagaimana mengelola sastra lokal menjadi sastra nasional bahkan sastra dunia dengan menggunakan bahasa lokal seperti yang dilakukan oleh Yohanes Manhitu dalam antologi puisi Dawan berjudul Nenomatne Mbolen; Uab Meto Sin Le Mabuab, buku Foetnai Mapules-Princino Laudata (Puisi Dawan-Spanyol) dan beberapa karya lainnya. Tidak banyak sastrawan NTT mengerjakan sastra lokal demikian. Pergelutan yang selama ini ditampilkan ke permukaan adalah menggali nilai lokalitas kebudayaan NTT dengan melulu menggunakan bahasa tata bahasa Indonesia modern.  

Sastra Warna Daerah Malaka

Memperhatikan potensi dan perkembangan sastra NTT, tidak membuat penggiat sastra menutup mata pada geliat sastra adat sebagai medan magnet bagi seluruh aktivitas rohani dan profan manusia NTT. Sastra adat atau sastra lisan dalam masyarakat tradisional biasanya melekat dalam seluruh iklim kehidupan manusia NTT. Meskipun sastra local belum banyak dipublikasikan dalam bentuk buku namun masih tetap terpelihara oleh masyarakat adat. Di wilayah Belu terdapat keunikan sastra adat tersebut. Masyarakat Malaka pada umumnya berbahasa Tetun Terik. Tetun  berarti seimbang, harmonis, damai (tetuk no nesan diak no kmanek). Selain bahasa Tetun terdapat pula bahasa Bunak (Marae), bahasa Kemak, bahasa Welaun, Bahasa Tetun Agora/Prasa (digunakan oleh Warga eks Timor Leste).

Saya mencoba merangkum sastra adat ini dari berbagai sumber seperti; Mako’an (penutur adat, satu tingkat diatas Mak’dean), Makerek Badaen, pemangku adat (kepala suku). Wilayah kajian saya bertempat di Builaran, Pusat Kerajaan Liurai Fatuaruin. Kajian ini bisa berlaku pula bagi masyarakat di wilayah Timor Barat-Timor Timur pada umumnya.

Kesusastraan Malaka terbagi atas tiga bagian pokok yaitu; puisi (ai babelan, fatumalae/fatuk malae), pantun (ai knanuk), pepatah (ai tatean atau lia tatean). Kemunculan kesusastraaen ini seperti pada umumnya lahir dari keprihatinan dan kekaguman akan dimensi kehidupan manusia dengan 3A yakni Allah, Alam dan Arwah. Sehingga sastra di sini dimadsudkan untuk menanamkan nilai-nilai sejarah, kemanusiaan, pendidikan, religi, sosial politik, perkawinan dan sebagainya yang benilai benar, baik dan indah.  

Ai Babelan

Ai Babelan adalah bentuk karya sastra tradisional yang tersaji dalam bentuk monolog, menggunakan kata-kata indah dan kaya akan makna. Ai Babelan pada umumnya terikat pada konteks ritual adat atau situasi hidup penyair. Diksi yang dipakai berada pada level bahasa tetun tingkat kedua yang sulit dipahami kebanyakan orang. Ai Babelan biasanya dibawakan  oleh para penyair adat (makoan dan makerek badaen) dalam kesempatan ritual adat dengan cara mendaraskan atau melagukan. Adapun ritual-ritual tersebut diantaranya, ritual hamis batar (syukur panen jagung), ritual kelahiran, ritual perkawinan, ritual kematian, ritual religi (misalnya; terima patung), ritual penjemputan tamu kehormatan, acara suguhan sirih pinang (lalok dato, soere dato), ritual hasae kakaluk, ritual ukun badu, dan sebagainya. Di sini dapat disimak bahwa siklus kehidupan manusia adalah sebuah bahasa universal yang diungkapkan secara puetik dengan tujuan penghormatan dan menjaga keharmonisan hidup antarmanusia juga manusia dengan pencipta dan semesta.

Seperti puisi lama pada umumnya,  ai babelan terdapat bentuk yang unik dan khas. Di sini saya akan menyajikan jenis-jenis puisi dengan pola umum  sebagai berikut;

Puisi Lia Kneter no Ktaek, bentuk puisi yang mengungkapkan etika dan moral hidup;

Heii husar dato, binan dato

Toos dato, metin dato

Hau ata koi bolu, koi kalia

Atu mai libur, mai hanesanan

Iha ksadan dato, molin dato

Ksadan baboi, molin baboi

Ksadan boi ibu falik,  boi lia fatik

Atu hodi rona no hanono manfatin murak orde murak

Nosi bot we bot, bot raimaran

Nodi temi lia kneter no ktaek,

Lia kneter tolu lia, lia ktaek tolu

Lia kneter no ktaek, lake kneter tolu ktaek tolu

Lia bei lian, lia ama lian

Hori otas tian, hori dalas tian

Bei nahoris tian. Bei natadu tian

Bodik ain nanutak ita, liman nanutak ita

Bodik hutun ita, bodik renu ita.

Tan keneter no ktaek, lake kneter tolu ktaek tolu

No kedan ukun, no kedan badu

Bodik temi tuir, bodik halao tuir

Iha ba loron, iha ba kalan, iha lisan no ahan

nahalok moris loron no kalan.

Bodik hetan diak bodik hetan kmanek

Iha moris iha uma kain hai kain

No teni moris iha loron-loron no kalan

Iha raiklaran ne;e

Ami atu hafudi nini ba ne’e telun ba nee.

Dalam Ai Bebelan terdapat bentuk pengulangan kata pada setiap larik puisi. Pengulangan itu membentuk keindahan irama dan makna puisi. Puisi di atas mengungkapkan bagaimana seorang anak harusnya mendengarkan petuah dari para tetua (matas no waik). Petuah tentang bagaimana menghargai dan bertindak penuh sopan santun terhadap sesama. Sebab petuah yang ada merupakan warisan mulia leluhur  yang bernilai baik untuk dihayati dalam hidup harian. Penyair menasihati supaya dengan menaati perintah, ketetapan, hukum yang diwariskan leluhur membantunya membangun kehidupan rumah tangga di dunia ini (Rai klaran). Dengan menyebut Rai berarti menyebut kesatuan alam semesta dan klaran berarti pusat atau central kehidupan. Ada rai klaran atau dunia tengah, tempat hunian manusia, ada rai ohak atau tempat hunian para arwah. Dan ada dunia atas atau rai leten as atau tempat kehidupan roh. Orang Malaka percaya bahwa  pada mula alam semesta hanyalah satu.  Pada  alam semesta yang satu dan sama ini, dahulu kebersamaan hidup antara Rai dan penghuninya yang beraneka ragam bentuk kehidupan, budaya, bahasa, makanan, corak hidup, cara adaptasi dan segala-galanya pernah dirajut bersama dialam semesta yang menyatu itu.

Puisi Hase Hawaka

Hase Hawaka adalah sebuah puisi yang dibawakan  untuk menerima kunjungan tamu-tamu kehormatan. Di hadapan para tamu, Makoan – Makerek Badaen atau seseorang yang telah disiapkan khusus akan melagukannya dengan aksentuasi yang tepat. Saya mengutip contoh puisi dalam kunjungan salah satu anggota DPRD Kabupaten Malaka di Kampung Numbei, Desa Kateri

Hei…

Ema foho bot , ema rai bot

Bot we bot, bot rai maran

Ema ukun nain, ema badu nain

Noi mai nare, noi mai naliku

Ema hutun sia, ema renu sia

Iha Labur ne’e, kau rai biti

Dik Alas ningkau, manu mutin

Silole, Mandeu Raimanus, Tali Oan, Kufeu.

Mais foho bot rai bot naman sai, nakauan sai hosi kota dato rai Atambua

Lao tuir belak ain fatik, leut ai fatik

ne’e mak uduk rama Lalian, Wekabu, Bua Oan, Hali Kelen ne’e

Fatik tomak ne’e, hali sikun ne’e

Bakus nee Tula nee

Hali e ne’e, lulik e ne’e

We laka ne,e, nanaet ne’e, Dubesi ne’e

Fatu renes ne’e, Kufeu ne’e.

Tama liu Labur ne’e, kias rai biti

Ningkar Dik Alas, Manumutin, Selole ne’e

Ami katak hasara, too ninin ba nee rohan ba nee.

Hei…

Fukun dato, matas no kwaik, sasian no tatanen

Hutun renu Mandeu Raimanus

Emi nakan bot we bot rai mara eee

Hase Hawaka pada prinsipnya adalah ritus penghormatan terhadap tamu undangan atas kerelaannya untuk mengunjungi wilayah tersebut. Dalam tuturan di atas terkandung nilai penghormatan  atas kedudukan dan kekuasaan seorang pemimpin (Ema foho bot , ema rai bot//Bot we bot, bot rai maran//Ema ukun nain, ema badu nain). Penyair menguraikan pula rute perjalanan dengan menyebutkan nama tempat sebagai wilayah kekerabatan dengan menggunakan bahasa figuratif.

Setelah puisi Hase Hawaka selesai, tamu undangan dipersilakan duduk di tempat yang sudah disiapkan. Selanjutnya akan disuguhkan sirih-pinang (lalok dato, soere dato). Dalam menyuguhkan sirih pinang, terpadat pula syair yang diucapakan oleh pelayan. Bunyi syairnya demikian;

Puisi untuk Suguhan Sirih Pinang (Lalok Dato)

Hei bot we bot,  bot  rai maran

Foho bot rai bot

Ami ata hatetu tian lalok dato

Fuik Wehali, Bua Wehali,

Iha matan murak sia, oin murak sia

Ne’e te tane liman beur matan ba

Atu simu hola

Atu halamak hola

Lalok dato mak ami hatetu ami harani

No teni, ata hak fila lai halo tula lai.

Lalok Dato Versi Panjang

Hau inan sia ruma, inan sia ruma,

Hau aman sia ruma, aman sia ruma.

                Mama teni hadato, teni hadato

                Mama so'e hadato, so'e hadato

                Mama teni hadato, lok liu rai

                Mama so'e hadatao, lok liu rai

Fuik ne'e fuik ita, la hase'i

Bua ne'e bua ita, la hase'i

Fuik ne'e fuik ina, Rika Bata tatoli

Bua ne'e bua ama, Bere Bata tatoli

Tatoli hodi hein, leten sia mai

Tatoli hodi hein, as sia mai

                Sasoka kola dei, rai sei kalan

                Dadula kola dei, rai sei kalan

Rai liman maliku, mare lai

Tonan liman maliku, mamos lai

                Lawarain oan ruma no'i nisa tuir, la kare

Mela mutin oan ruma noi tara an tuir, la kare

Lia sara Wehali sara tuir uit, ha'i be mamar

Lia buti Wehali buti tuir uit, ha'i be so'i

                Hau inan sia ruma, aman sia ruma,

Hau aman sia ruma, inan sia ruma.

Hei foho bot rai bot, ina  no ama, ferik no katuas......................

Hadirin:         He..............!

 

Jika dalam acara tersebut ada acara santap bersama tamu undangan maka setelah menyuguhkan hidangan seorang pelayan akan bertutur puisi demikian ;

Puisi untuk mempersilakan tamu menyantap

Hei….

Fukun no dato

Matas no kwaik

Ema hutun no renu sia

Ami atu tane lamak)

ba bot we bot bot rai maran (Kepada penguasa air dan darat)

foho bot rai bot (Tanah dan bukit yang besar)

no niakan sasian no tatanen sia ee (Bersama para pembantu dan )

Hee’e…

Puisi Hamulak

Dalam upacara adat terutama persembahan kurban bakaran (Tunu no Hakserak  terdapat syair adat berupa doa kepada realitas yang tinggi. Makoan, makerek badaen atau matas waik yang membacakan atau melagukan puisi ini mengawalinya dengan melempar beras ke tempat persembahan sebanyak tujuh kali sambil. Setelah selesai dilanjutkan dengan melagukan syair doa demikian;

                        Hei ema is bot, ema beran bot

                                Ema matak hun, ema malirin hun

                                Iha as ba, iha leten ba

                                Iha fitun fohon, iha fulan fohon

                                Iha uma metan maromak, iha rin mean maromak

                                Ema la bebibis, ema la kakaer

                                Ema bi’i ain la dai, lolo liman la too

Ami ata metan, ami O kan oan kabun

Liman nanutak sia, ain nanutak sia

Mai deku no dere, fu’a no fanun

Hodi katak no hasara, hodi halon no hakmasik

Tuir fohon dato, tuir lamak mak ami mai sera hodi hahani no hahulu

Ami atu halon no hakmasik

ema is bot ema beran bot

Ema matak wain, ema matak hun, malirin hun

Atu beur oin mai, beur matan mai

Hodi hanini tun mai, hatete tun ba fohon dato sia

Mak ami ata sia sera tian, hatetu tian.

Tan ami ain nauntak sia liman nanutak

Atu husu is bot beran bot, husu matak no malirin

Atu fo tun mai, lolo tun mai

Bodik moris diak no kmanek

Bodik isin lolon no uma kain nai kain ba kalan no loron

No teni ami husu teni no halon teni

Ba bei sia iha ri tiir, ri hasan

Iha fatukabelak tuan, rai bubu tuan

No teni iha rai manaran, we manaran atu hatoo liu teni

Lia hamulak ne bodik ema is bot ema beran bot

Atu simu seka amin fohon dato ne’e

No teni ami husu fo urat diak, urat laleno

Ne’e be ami ata hodi hatene

Lia diak no at iha moris laran

Ami ata hamulak, hodi hada to’o ba ne’e ona

Hola ninin ba ne’e, tehen ba nee.

Puisi Hamulak adalah puisi doa kepada Tuhan (Maromak) yang disapa sebagai ema is bot ema beran bot//ema matak hun, ema malirin hun// iha as ba iha leten ba, iha fitun fohon iha fulan fohon// bi’i ain la dai lolo liman la too//.  Puisi Hamulak berisikan permohonan manusia kepada Tuhannya untuk sudikiranya memandang dan memerhatikan (beur oin mai, beur matan mai) kesulitan dan kesengsaraan hidup mereka. Mereka berharap semoga Tuhan mencurahkan rahmat dan berkat (matak no malirin) yang berlimpah demi kehidupan yang baik, keluarga yang damai sepanjang waktu. Permohonan ini pun disampaikan kepada leluhur yang telah meninggal yang diyakini dekat dengan Tuhan (Bei sia iha ri timir, ri hasan, iha fatu kabelak tuan, rai bubu tuan). Tujuanya semoga merekapun mendoakan anak cucunya (ain nanutak liman nanutak). Seperti kebiasaan masyarakat percaya akan ramalan dengan melihat pada usus binatang. Puisi ini tutup dengan diksi yang menarik yakni //kami hambamu telah menyusun doa //sampai di sini kami mengambil jarak lalu menepi (Ami ata hamulak, hodi hada to’o ba ne’e ona. Hola ninin ba ne’e, tehen ba nee)

Ai Knanuk

Dalam penyusunan pantun atau ai kananuk terdiri atas dua baris. Kata-kata pada baris pertama sebagian dikutipkan untuk diulangi pada baris kedua. Pengulangan ini bukan sekedar irama bunyi (berirama aa bb abab), ai kenanuk justru mempertegas maksud penutur perihal tertentu. Ai kenanuk biasanya digunakan dalam acara-acara syukuran oleh kebanyakan orang dengan menggunakan bahasa metafora. Terkadang bernada sarkis, namun tujuannya adalah memberi petuah berupa larangan, teguran, pujian, penghinaan.  Misalnya beberapa knanuk yang saya kemukan di bawah ini;

Mesak emi tur uma sidak manoin, Manoin ami talin tuan sia

Artinya, berpikirlah dengan matang sebelum memutuskan untuk membangun rumah tangga.

Mesak ita rua moris maromak naneo, moris kalan no loron maromak naneo

 Artinya, Tuhan menyertai hidup mereka berdua setiap saat

Lia ida koa tua lia bei ama, Ta toos koa tua lia bei ama  

Artinya; hal bertani atau bercocok tanam adalah warisan leluhur.

Ita ema taru ten knaok nanasa, taru ten natutu dalan ba knaok

Artinya, perjudian membuka jalan bagi pencuriaan.

Daka ibu fuan daka lia fuan, lia fuan sala ona isin ba tomak.

Artinya,berhati-hatilah dalam bertutur kata, sebab kata-kata yang salah mendatang petaka bagi diri sendiri.


Lia Tatean

Lia Tatean adalah peribahasa atau pepatah yang digunakan untuk membuat komparasi atau perbandingan. Di dalam Lia Tatean terkandung juga  nasihat atau ajaran bahkan filosofi yang dikemukan dengan masksud mendidik atau pun mematahkan lawan. Pada bagian ini, saya belum menemukan bentuk khas dari ai tatean.  Akan saya gali dan sertakan pada tulisan berikut.

Sastra berwarna daerah Belu, pada umumnya berdimensi ritual magis dan bersifat momentum. Jenis-jenis sastra adat ini menjadi corak utama yang mampu merangsang imajinasi kreatif penggiat sastra untuk memproduksi karya sastra yang berkualitas. Kekuatan sastra adat terletak pada usaha mengolah simbol-simbol menjadilebih berenergi bagi kehidupan. Di sinilah para penggiat sastra seharus ada untuk mengelaborasi faset-faset budaya dan realitas adat masyrarakat.

Membangun Proyek Sastra Adat

            Terjun dan bergelut dengan satra adat mengandaikan penguasaan tata bahasa daerah yang mumpuni. Namun itu bukan masalah pelik, sebab bahasa bisa dipelajari. Masalahnya adalah beranikah sastrawan NTT mencipta sastra dalam bahasa lokal secara konsisten dan berkelanjutan di tengah semarak bahasa Indonesia. Meskipun dianggap sebagai langkah mundur dalam bersastra namun inilah salah satu cara untuk menjaga dan melestarikan sastra lokal di tengah “ketidakteraturan” penggunaan bahasa kaum milenial dalam berkomunikasi.

Sebagaimana kegelisahan saya dan publik akan eksistensi sastra lokal di dalam agenda bahasa milenial yang semakin tak menentu, keberadaan sastra lokal sebagai kekayaan kebudayaan masyarakat Belu – NTT haruslah mendapat kajian bersama para penggiat sastra. Program-program pemerintah pun hendaknya turut merangsang masyarakat untuk menggali, memelihara dan melestarikan sastra lokal sebagai identitas diri masyarakat ditengah arus globalisasi melalui festival sastra tradisional. Dengan demikian masyarakat adat tetap menjaga fondasi kesusasteraan daerah sembari membangun corak yang lebih menawan kepada generasi berikut.

Sumber Bacaan

Darma, Budi. 2019. Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Kosasih, E. 2008. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia.

Maxi Un Bria, Florens. 2004. The Way To Happiness of Belu People, Jakarta : Caritas Pubishing House Indonesia.

Sehandi, Yohanes. 2015. Sastra Indonesia Warna Daerah NTT, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Sehandi, Yohanes. 2012. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, Yogyakarta: Universitas anata Dharma.

Nahak, Yustinus. 20099. Kamus Plus. Tetun Indonesia, Indonesia Tetun, Besikama: Uma Maksaki Rai.

 



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama