Shireen Akleh, Jurnalis Katolik Yerusalem Gugur Tertembak Konflik Israel-Palestina (Jurnalis Al Jazeera yang Dihormati Palestina)

Shireen Akleh, Jurnalis Katolik Yerusalem Gugur Tertembak Konflik Israel-Palestina (Jurnalis Al Jazeera yang Dihormati Palestina)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Shireen Abu Akleh awalnya belajar untuk menjadi seorang arsitek, tetapi ia gamang melihat masa depannya di dunia itu. Jadi, dia memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik, dan menjadi salah satu jurnalis Palestina paling terkenal di Jazirah Arab bersama Al Jazeera.

“Saya memilih jurnalisme untuk dekat dengan orang-orang,” katanya dalam rekaman yang dibagikan oleh Al Jazeera segera setelah dia terbunuh pada Rabu oleh tembakan penembak jitu Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat. “Mungkin tidak mudah untuk mengubah kenyataan, tapi setidaknya saya bisa membawa suara mereka ke dunia.”

Seorang warga negara Amerika Serikat keturunan Palestina, Abu Akleh adalah wajah yang dikenal di jaringan Al Jazeera. Perempuan yang menghembuskan nafas pada usia 51 tahun itu menghabiskan 25 tahun terakhirnya sebagai jurnalis.





Namanya terkenal di tengah kekerasan pemberontakan Palestina yang dikenal sebagai intifada kedua, yang mengguncang Israel dan wilayah pendudukan Tepi Barat mulai tahun 2000.

Nasibnya berakhir tragis ketika peluru tajam penembak jitu Israel bersarang ke lehernya di Kota Jenin di Tepi Barat pada Rabu lalu. Al Jazeera dan Kementerian Kesehatan Palestina menyalahkan pasukan Israel atas kematiannya. Namun, militer Israel balik menuding milisi Palestina mungkin bertanggung jawab, meski semua saksi berkata sebaliknya.

Mohammed Daraghmeh, kepala biro Ramallah untuk outlet berita berbahasa Arab Asharq News, yang berteman dengan Abu Akleh selama bertahun-tahun, mengatakan jurnalis perempuan itu berkomitmen  meliput semua masalah yang mempengaruhi Palestina, besar dan kecil.

Dia terakhir berbicara dengannya dua hari sebelum Abu Akleh tewas. Daraghmeh sempat mengatakan kepada Abu Akleh bahwa peristiwa di Jenin cukup penting untuk diliput oleh seorang jurnalis senior seperti dia. "Tapi dia tetap pergi," kata Daraghmeh. “Dia meliput cerita dengan cara yang seharusnya dilakukan.”

Bukan cerita terbesar atau politik yang paling menarik Abu Akleh. Tetapi yang lebih kecil yang menunjukkan bagaimana orang hidup, kata Wessam Hammad, seorang produser berita di Al Jazeera, yang bekerja dengannya selama 17 tahun. Dia bilang dia akan melihat cerita di mana orang lain tidak.

“Kadang-kadang saya akan berkata, 'Tidak, Shireen lupakan saja, itu bukan cerita besar.'” katanya. “Tapi dia akan selalu berpikir tentang begitu banyak sudut pandang yang berbeda tentang bagaimana kita bisa melakukannya, dan bagaimana kita bisa membuatnya menjadi cerita yang sangat manusiawi dan sangat menyentuh tentang Palestina yang tidak akan pernah terpikirkan oleh jurnalis lain.”

Lahir di Yerusalem dari keluarga Katolik, Abu Akleh belajar di Yordania, lulus dengan gelar sarjana di bidang jurnalisme. Dia menghabiskan waktu di Amerika Serikat ketika dia masih muda dan memperoleh kewarganegaraan AS melalui keluarga dari pihak ibunya, yang tinggal di New Jersey, kata teman dan kolega.

Al Jazeera mengatakan bahwa setelah lulus dari perguruan tinggi, dia bekerja untuk beberapa media, termasuk radio Voice of Palestine dan Amman Satellite Channel, sebelum bergabung dengan Al Jazeera pada 1997.

Pelaporan televisi langsung dan penandatanganannya menjadi ikon bagi mereka yang ingin menirunya, kata Dalia Hatuqa, seorang jurnalis Palestina-Amerika dan teman Abu Akleh.

“Saya tahu banyak gadis yang tumbuh pada dasarnya berdiri di depan cermin dan memegang sisir rambut mereka dan berpura-pura menjadi Shireen,” kata Hatuqa. “Begitulah abadi dan pentingnya kehadirannya.”

Kematiannya juga menggambarkan bahaya yang dihadapi wartawan Palestina dalam melakukan pekerjaan mereka, baik di Tepi Barat yang diduduki, di Gaza atau di dalam Israel, katanya.

Dalam wawancara pada 2017 dengan saluran televisi Palestina An-Najah NBC, dia ditanya apakah pernah takut ditembak.

"Tentu saja aku takut," katanya. “Pada saat tertentu Anda melupakan ketakutan itu. Kami tidak melemparkan diri kami ke kematian. Kami pergi dan mencoba menemukan di mana kami bisa berdiri dan bagaimana melindungi tim bersama saya. Ini sebelum saya berpikir tentang bagaimana saya akan tampil di layar dan apa yang akan saya katakan.”

Duta Besar Otoritas Palestina untuk Inggris, Husam Zomlot, menyebutnya sebagai “jurnalis Palestina paling terkemuka.”

Al Jazeera pernah mengirimnya ke Amerika Serikat untuk bekerja. Setelah tiga bulan, Abu Akleh kembali ke Ramallah."Ketika dia kembali, dia berkata: 'Saya bisa bernapas sekarang. Segala sesuatu di AS bersifat teknis dan rumit,'” kenang Daraghmeh. “‘Di sini hidup itu sederhana. Saya cinta Palestina. Aku ingin tinggal disini.'"

SUMBER: THE NEW YORK TIMES

 


 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama