Hal ini dapat
disebabkan oleh persepsi, kepentingan, maupun tujuan yang berbeda dari setiap
individu maupun kelompok. Perbedaan tersebut dapat memicu konflik dan bersifat
destruktif antara lain karena adanya perbedaan agama.
Konflik antar penganut
agama biasanya dipicu oleh prasangka dan saling mencurigai antara penganut
agama yang satu dengan penganut agama lainnya. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya saling pengertian antar pemeluk agama, rendahnya sikap toleransi, kurang
adanya pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama masing-masing, adanya sikap
fanatisme, dan masuknya unsur-unsur kepentingan diluar kepentingan agama yang
luhur, misalnya kepentingan politik.
Bertolak dari uraian di
atas maka perlu adanya penanganan konflik khususnya konflik keagamaan dengan
jalan meningkatkan kerukunan umat beragama, dengan mengangkat dan mewariskan
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat yang berkontribusi terhadap terciptanya
kerukunan antar umat beragama di Kabupaten Malaka.
Kabupaten Malaka
memiliki budaya yang sangat mengedepankan persaudaraan dan kekeluargaan, yaitu
budaya “Sabete Saladi” yang
ditanamkan secara turun-temurun kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga
terbentuk sikap saling menghargai dan saling menghormati.
Ibu-ibu dalam balutan kain adat di Kampung Builaran pada salah satu acara peresmian rumah adat |
Pada tingkatan etis di
sini orang Malaka memiliki niat yang ikhlas yang tidak ditujukan pada sikap
egoistis, melainkan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan
pribadi. Hal tersebut dapat dijadikan inspirasi dalam meningkatkan kerukunan
umat beragama.
Budaya Sabete Saladi
Arti Kata Sabete
Dalam arti harafiah
kata Sabete berasal dari kata sai (tetun) artinya keluar dan kbetek (tetun) artinya: tumpul. Kaitan
dengan arti harafiah di atas maka kata sabete
artinya kata-kata yang terungkap tidak tajam, tidak kasar, lembut. Ibarat
parang isinya tumpul dan tidak tajam. (Refrensi Kamus Bahasa Tetum-Indonesia,
Yustinus Nahak).
Sabete bisa juga berarti: “duduk bersila” dalam konteks
“bicara adat” untuk menunjukkan sikap rendah hati, hormat, dan menjungjung
tinggi martabat tua-tua adat lain yang hadir.
Efek dari sikap ini
ialah orang yang sedang berbicara akan dihargai oleh semua orang yang hadir
lantaran kita sudah lebih dahulu menunjukkan sikap menghargai, menghormati,
menjunjung tinggi tua-tua adat yang hadir.
Arti Kata Saladi
Saladi dari kata “sai-kladik”, artinya di luar batas atau
kelewat batas (Kamus Bahasa Tetum_Indonesia).
Dalam konteks bicara
adat atau bicara biasa orang Malaka hendaknya “Sadar menempatkan diri, tahu
batas dengan memperhatikan lawan bicara. Dengan siapa anda berbicara, apa
kedudukannya, dan berapa usianya”.
Status dan usia
merupakan batasan yang harus dijaga dan diperhatikan agar kita tidak melanggar
batas. Kalau melanggar batas maka kita akan disebut “notar lalek” (Tetun), artinya tidak tahu adat, tidak tahu aturan.
Dari arti kata di atas
dapat disimpulkan bahwa budaya Sabete
Saladi adalah sebuah ungkapan adat atau budaya yang diwariskan oleh nenek
moyang untuk menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi martabat orang yang
lebih tua dan berkedudukan di masyarakat dengan memperhatikan batasan-batasan
budaya yang dianut.
Budaya Sabete Saladi Dalam Kehidupan Sehari-hari
Budaya Sabete-Saladi yang ditampilkan dalam
kehidupan sehari-hari adalah budaya Lok
Malu (saling menyuguhkan sirih-pinang).
Sirih-pinang adalah
sarana pergaulan adat yang bisa mengakrabkan setiap orang yang berjumpa baik
dalam forum resmi maupun tidak resmi.
Ketika ada tamu yang
berkunjung ke rumah wajib hukumnya bagi tuan rumah untuk menyuguhkan
sirih-pinang.
Setelah makan sirih
bersama baru kemudian dibicarakan maksud dari kunjungan tersebut.
Pada saat makan sirih
tamu akan merasa menjadi bagian dari tuan rumah dan sebaliknya.
Di sini baik tamu
maupun tuan rumah saling menyuguhkan sirih-pinang dan makan sirih bersama dalam
suasana kekeluargaan. Budaya “lok malu”
merupakan simbol persaudaraan.
Upacara Perkawinan Adat
Dalam upacara perkawinan adat Wesei-Wehali terdapat tahap yang disebut dalam bahasa tetun “Sadan Uma Kain”, artinya petuah bagi rumah tangga baru untuk memberikan bekal kepada kedua mempelai demi memulai hidup baru, memperkenalkan kepada kedua rumpun keluarga dan masyarakat bahwa kedua mempelai sudah berkeluarga, dan mempererat kekeluargaan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Upacara Penobatan Kepala Suku
Kepala suku adalah
seorang yang memegang kepemimpinan tertinggi dalam sebuah suku dalam
masyarakat. Penobatan kepala suku mengandung makna bahwa harus ada pemimpin
untuk mempersatukan dalam membangun persaudaraan.
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Budaya Sabete
Saladi
Adapun nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya Sabete Saladi
berdasarkan pendapat beberapa responden dalam sebuah diskusi singkat dengan
beberapa teman pencinta sejarah budaya Timor adalah:
Nilai Spiritual, bahwa
budaya sabete saladi membawa
pemahaman manusia akan hadirnya Tuhan dalam hidup sehari-hari dan dipahami
sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
Di sini setiap orang
diberi kebebasan untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing tanpa ada
paksaan dari orang lain.
Nilai Sosial, bahwa
manusia harus berelasi dengan sesama sebagai makhluk sosial dengan
memperhatikan filosofi yang terkandung dalam budaya sabete saladi, yaitu:
Hadomi
Malu (Tetun), artinya
saling menyayangi tanpa pandang bulu. Kasih sayang adalah rasa yang tumbuh dari
dalam hati seseorang untuk menyayangi dan memberikan kebahagiaan kepada mereka
yang dicintai. Rasa kasih sayang muncul secara alamiah, tidak menuntut dan tidak
dapat dibuat-buat.
Haklaran
Malu (Tetun), artinya
saling melayani dan memperhatikan satu sama lain sebagai keluarga.
Hakneter
no Haktaek Malu (Tetun),
artinya Saling menghargai dan menghormati sesama tanpa perbedaan.
Nilai-Nilai Kerukunan yang Terkandung dalam Budaya
Sabete Saladi
Dalam kaitan dengan
kerukunan umat beragama, maka budaya sabete saladi mengandung beberapa nilai,
yaitu:
Solidaritas
Rasa setia kawan yang
dimiliki oleh masyarakat Malaka, membuat mereka rela berkorban demi orang lain
tanpa ada rasa paksaan di dalam dirinya.
Persaudaraan
Walaupun berselisih
paham tetapi orang Malaka tetap memperhatikan persatuan dan kesatuan dan saling
menguatkan satu sama lain.
Budaya sabete saladi
merupakan landasan persaudaraan yang kuat, sehingga jika ada pertentangan maka
yang lain akan berusaha mendamaikan.
Gotong-royong
Dalam budaya sabete
saladi ada istilah Hakawak (Tetun),
artinya membersihkan kebun secara bersama-sama tanpa dibayar. Hal ini menuntut
kerja sama dari anggota masyarakat.
Kekeluargaan
Dalam budaya sabete
saladi nilai kekeluargaan sangat diutamakan, misalnya membantu keluarga yang
membutuhkan baik dalam suka maupun duka, saling berbagi, sehingga tercipta
suasana damai dan tentram.
Toleransi
Saling menghargai dan
menghormati dalam budaya sabete saladi
menggambarkan sikap toleransi yang tinggi.
Peran budaya sabete saladi dalam meningkatkan
kerukunan umat beragama di Kabupaten Malaka.
Berdasarkan nilai-nilai
yang terkandung dalam budaya sabete saladi maka peran budaya sabete saladi
dalam meningkatkan kerukunan beragama adalah:
Menciptakan
Stabilitas
Budaya sabete saladi
membantu masyarakat untuk bisa lebih akrab satu sama lain sehingga komunikasi
berjalan lancar dan tidak kaku dan terciptalah stabilitas dalam hidup
bermasyarakat dan beragama. Dengan adanya stabilitas yang tercipta di
masyarakat maka radikalisme dapat diminimalisir.
Mengklarifikasi
Kesalahpahaman
Kesalahpahaman dalam
hidup bersama dapat saja terjadi, hal ini dianggap hal yang sudah biasa, namun
dengan adanya rasa kekeluargaan dan persaudaraan dalam budaya sabete saladi
kesalahpahaman dapat diredam dan diklarifikasi dengan cara musyawarah.
Mendamaikan
dan Mempersatukan
Setelah mengklarifikasi
kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat maka tua-tua adat dan orang-orang
yang dituakan akan berusaha untuk mendamaikan dan mempersatukan kembali
sehingga pihak-pihak yang salah paham bisa saling memaafkan dan saling menerima
dengan tulus ikhlas.
Menciptakan
Batasan
Budaya sabete saladi
membatasi seseorang untuk tidak berkata kasar, menjunjung tinggi sopan santun,
menghormati yang lebih tua dan menghargai sesama manusia.
Keberagaman merupakan
realita dan ketentuan dari Tuhan Yang Maha Esa maka diperlukan rasa toleransi
dan usaha untuk memelihara keberagaman itu sendiri demi tercapainya kerukunan
hidup beragama.
Untuk mempertahankan
kerukunan umat beragama di Kabupaten Malaka maka semua elemen masyarakat
terutama Pemerintah dituntut untuk berperan aktif dalam menumbuhkan rasa
toleransi kepada masyarakat.
Selain dengan melakukan
dialog antar umat beragama, Pemerintah juga dapat menggali nilai-nilai luhur
yang terdapat dalam kearifan lokal yang sudah diwariskan secara turun-temurun.
Karena tanpa disadari, kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhur dari
generasi ke generasi dapat meningkatkan kerukunan umat beragama di Kabupaten
Malaka.
Dengan demikian, budaya
sabete saladi merupakan salah satu
kerarifan lokal yang ada di Kabupaten Malaka yang mengandung nilai-nilai
kerukunan umat beragama dapat dilestrikan demi meningkatkan kerukunan umat
beragama di Kabupaten Malaka.