Sekolah Katolik
berdasarkan Kanon 803, §§ 1-2, didefinisikan sebagai suatu lembaga pendidikan
formal yang dipimpin oleh otoritas gerejani yang berwenang atau oleh badan
hukum gerejani publik atau yang diakui demikian oleh otoritas gerejani melalui
dokumen tertulis. Dalam sekolah Katolik, pengajaran dan pendidikan dilaksanakan
berdasarkan azas-azas ajaran Katolik. Para pengajar atau pendidik diharapkan
menjadi teladan hidup, dan unggul dalam ajaran kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Mereka dalam lingkungan sekolah Katolik berupaya
menjawab kebutuhan masyarakat kontemporer — yang dicirikan oleh depersonalisasi
dan mentalitas produksi massal yang begitu mudah dihasilkan dari perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi — secara baik dan benar.
Dalam mengejar
percepatan kemajuan zaman, pimpinan lembaga pendidikan perlu mengambil sikap
jelas, yaitu melakukan transformasi lembaga dengan memperhatikan akar tradisi
yang sudah baik, dan berkembang selama ini di dalam sekolah. Transformasi
tersebut dibuat guna menjawab tantangan zaman, dengan tetap memperhatikan
dimensi moralitas Kristiani. Nilai-nilai moral menurut Magliano (dalam
angelusnews.com, 2018), ditanamkan secara komprehensif ke dalam mata
pelajaran dan suasana keseluruhan lembaga pendidikan, memiliki potensi kuat
untuk membentuk para murid tidak hanya peduli dengan karir masa depan mereka,
tetapi jauh lebih penting, tentang kesejahteraan dan kebaikan setiap orang
secara keseluruhan.
Pimpinan sekolah
Katolik dalam tugas pokok dan fungsi, guna mengawal secara cermat proses
transformasi melakukan perencanaan dan tindakan strategis dalam berbenah
memperbaiki kualitas layanan pendidikan. Pengurus yayasan bersama unsur
pimpinan sekolah sebaiknya tidak ceroboh dalam menanggapi perubahan. Perubahan
zaman ditanggapi secara wajar dan proporsional, dengan tetap memperhatikan
kehati-hatian, sebab kalau tidak, dapat saja transformasi malah merusak maksud
dan tujuan mengapa sekolah Katolik tersebut didirikan. Transformasi terhadap
layanan pendidikan dilakukan secara bertahap. Dalam perbaikan layanan edukatif,
sekolah Katolik perlu memperhatikan kompas pendidikan Kristiani, yaitu formasi
yang berorientasi pada nilai-nilai keutamaan hidup dan moralitas mulia yang
dapat diterima secara universal.
Sekolah Formasi Otentik
Dalam situasi dunia
yang mudah berubah, sekolah Katolik diharapkan dapat berkembang menjadi sekolah
formasi otentik bagi para murid yang dilayani. Para formator di tingkat satuan
pendidikan terlibat aktif mengembangkan aneka potensi para murid agar mereka
dapat bertanggung jawab dan sekaligus mampu menggunakan hati nurani secara baik
dalam diskresi, yakni memilih dan memilah hal-hal yang luhur untuk semakin
besar kemuliaan Allah. Dalam konteks tersebut, sekolah sebagai rumah formatif
formal dapat berfungsi secara baik membentuk pribadi para murid belajar membuka
hati terhadap kehidupan nyata apa adanya, dan dalam diri mereka tercipta sikap
hidup yang pasti terhadap kehidupan sebagaimana mestinya. Dalam Amsal 9:9,
sangat jelas diuraikan bahwa nasihat bagi orang bijak membuat pribadi yang
bersangkutan menjadi lebih bijaksana; dan mengajarkan orang benar, menjadikan
pengetahuannya bertambah. Sesungguhnya para murid adalah pribadi yang
bijak dan benar pada tingkat usia mereka. Oleh karena itu pendidik yang arif
bijaksana dapat membantu mereka bertumbuh untuk menjadi lebih bijak, dan benar
sesuai keutamaan moral dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Guru sebagai pendidik
di zaman kerap berubah perlu mengajarkan para murid memahami suara tersembunyi
alam semesta, Pencipta yang diungkapkan. Melalui ilmu sains, para murid
diharapkan semakin dapat mengenal Tuhan dan manusia secara lebih baik. Dalam
kehidupan sekolah sehari-hari, para murid perlu belajar menjadi saksi hidup
kasih Allah bagi sesama melalui tindakan yang mencerminkan kasih Kristus
terhadap dunia, karena bagaimanapun manusia dapat menjadi kepanjangan Tangan
Tuhan, dalam karya keselamatan Allah. Bapa Suci, Paus Fransiskus (dalam catholicnewsagency.com,
28/05/2022) mengatakan bahwa Catholic schools should not be Christian in
name only, but in fact. Sekolah-sekolah Katolik seharusnya tidak hanya dalam
nama (Katolik) saja, tetapi juga pada kenyataannya. Paus menegaskan bahwa
pendidik dalam sekolah Katolik, pertama-tama adalah seorang saksi, dan dia
disebut guru sejauh dia menjadi saksi Kristus. Paus menambahkan bahwa pendidik
yang berjalan bersama Kristus hidupnya diubah dan pada saatnya guru tersebut
dapat menjadi ragi, garam, dan terang bagi para murid dan pemangku kepentingan
yang dilayani.
Dalam dokumen
Kongregasi Suci untuk Pendidikan, yang diterbitkan tanggal 19 Maret 1977,
kesaksian para pendidik dan tenaga kependidikan merujuk pada nilai-nilai
Kristiani yang secara universal dapat diterima. Segenap anggota komunitas
pendidikan diharapkan dapat mengomunikasikan core values lembaga
lewat hubungan interpersonal dan tulus para anggota di dalamnya, dan melalui
kepatuhan individu maupun bersama terhadap pandangan hidup luhur yang meresapi
sekolah. Seorang guru yang penuh hikmat Kristen, dipersiapkan baik dalam mata
pelajaran-nya sendiri, melakukan lebih dari sekedar menyampaikan arti dari apa
yang dia ajarkan kepada para murid. Lebih tinggi daripada yang dikatakan,
pendidik membimbing para murid melampaui kata-katanya ke inti “Kebenaran” yang
sesungguhnya berasal dari Allah.
Pedagogis Reflektif
Bentuk kesaksian
sekolah Katolik dalam menghadirkan Kerajaan Allah dalam komunitas pendidikan
diwujudkan melalui pelayanan pendidikan yang penuh kasih, berintegritas dan
kemudian berdampak positif bagi para murid yang dilayani. Para pendidik selain
mempunyai kecerdasan kognitif yang baik, mereka juga dibekali konsep pedagogis
reflektif yang dapat diterapkan dalam kurikulum pembelajaran. Mereka dilatih
membuat diskresi, memilah mana bahan ajar yang esensial dan tidak untuk
diberikan kepada para murid. Para guru diharapkan dapat melakukan aktivitas
pembelajaran lebih daripada sekedar menyampaikan arti dari apa yang diajarkan
kepada murid-murid. Mereka, selain menyampaikan bahan ajar, juga membimbing
murid-murid melampaui kata-kata, untuk masuk ke inti kebenaran yang
sesungguhnya dari apa yang diajarkan. Dalam sekolah Katolik, pengetahuan
manusia dianggap sebagai kebenaran yang diupayakan untuk ditemukan. Penemuan
dan kesadaran akan kebenaran membawa manusia pada penemuan Kebenaran (yang
ilahi) itu sendiri.
Para pendidik dalam
kesaksian, menunjukkan kualitas pelayanan pendidikan melalui berbagai bentuk
formasi terukur dalam mendampingi para murid. Formasi yang terukur untuk
mengembangkan manusia dari kedalaman hati melalui cura personalis atau
bantuan personal guna membebaskan para murid dari hal-hal yang menghalangi
mereka menjadi manusia seutuhnya. Oleh karena itu proses formasi para murid
perlu ditunjang oleh ketersediaan guru-guru yang berkualitas dan berkarakter
unggul. Para pendidik berkualitas unggul bukan dibentuk dalam cara-cara yang
instan, tetapi melalui formatif yang panjang. Para guru muda dalam sekolah
Katolik sejak dini perlu didampingi dalam proses induksi oleh kepala sekolah
atau wakil bersama guru senior secara baik dan terukur. Dalam lima tahun
pertama diharapkan guru muda tersebut sudah mempunyai orientasi keguruan secara
jelas, sehingga mereka mengerti apa yang menjadi tanggung jawab pendidik.
Tak Sekadar Nama
Sebagai catatan akhir,
penulis menyimpulkan bahwa sekolah Katolik bukan hanya namanya “Katolik”,
tetapi juga secara real mencerminkan kesaksian karya nyata yang berkualitas.
Sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas sekolah Katolik perlu memperhatikan
kualitas kinerja para pendidik dan tenaga kependidikan dalam mengelola sekolah
yang mereka tangani. Pengelolaan pendidikan secara profesional pada satu sisi
sangat penting, tetapi bagi sekolah Katolik, sisi nilai-nilai Kristiani yang
berorientasi pada dimensi moralitas mulia tetap dipertahankan dan dikembangkan
dalam cara bertindak segenap anggota komunitas yang berada dalam lingkup
lembaga. Cara bertindak Kristiani merupakan bentuk kesaksian di tengah arus
perubahan zaman yang semakin pragmatis dan sekular. Semoga pendidikan di
sekolah Katolik — di tengah perubahan zaman yang begitu cepat dan dinamis –,
tetap dapat bercirikan nilai-nilai universal yang berbasis pada ajaran
Kristiani guna merangkul setiap murid yang belajar dan bersekolah.
Romo
Odemus Bei Witono, SJ, Direktur Perkumpulan Strada/Pengamat Pendidikan
HIDUP,
Edisi No. 26, Tahun ke-76, Minggu, 26 Juni 2022