Tanggal 28 Juni 2010
Mgr. Suharyo resmi menjadi Uskup Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Dihitung sejak
tanggal tahbisan sebagai Uskup KAS dan diangkat sebagai Uskup Koajutor KAJ
tanggal 25 Juli 2009, sampai 22 Agustus 2022 ini Kardinal Suharyo memangku
jabatan uskup selama 25 tahun.
Sebagai ahli Kitab
Suci, Kardinal Suharyo menggali banyak keutamaan dan kebijaksanaan dari sana
dan berusaha menyatukan dalam dirinya. Mendalam, rendah hati, berbela rasa dan
terus menjadi dalam arti terus berkembang, kata Julius Kardinal Darmaatmadja
SJ: 2016. “Saya senang, bersyukur dan merasa teberkati bertemu dengan orang
yang rendah hati, yang tahu secara mendalam dan menghayati apa yang
diketahuinya itu, sehingga terus menjadi. Menjadi baru dalam wawasan dan
perilaku. Mgr. Suharyo seorang pribadi yang mampu menjelaskan kerumitan dan
kedalaman dengan mudah dan dimengerti, disesuaikan kondisi audiens.
Saat Romo Ignatius Suharyo (tengah) bersiap menuju altar untuk ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang, 22 Agustus 1997 di Semarang, Jawa Tengah .(Foto: Dok. Windiyatmoko MSF) |
Katekese Kitab Suci
“Api Karunia Tuhan” yang disampaikan Kardinal Suharyo pukul 20.00-21.00 WIB
tiap Senin lewat HidupTV — hanya lowong empat kali –sejak Mei 2020 sebagai
salah satu contoh. Dengan peserta rata-rata 500 penonton, menurut Romo
Vincentius Adi Prasodjo, Sekretaris KAJ — kadang bisa lebih dari 1.000 bahkan
5.000 menurut Romo Harry Sulistyo, Pemimpin Umum Majalah HIDUP — acara
itu menjadi viral sampai saat ini. Diawali tentang Kitab-kitab Perjanjian Baru
sampai 60 kali pertemuan, pada 8 Agustus yang lalu pertemuan ke-23 mengenai
Kitab-kitab Perjanjian Lama. Acara rutin masih berlanjut.
Sumber Moral dan Spiritual
Visi pastoralnya
sebagai uskup, Serviens Domino cum omni humilitate (Aku
melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati, Kis. 20:19), mencerminkan pribadi
Kardinal Suharyo (Mgr. Antonius Bunjamin Subianto OSC: 2020). Antara
identitas dan aktivitasnya sepadan. Jatidiri yang dihidupi adalah jatidiri
otentik, bukan pemenuhan diri manusia zaman modern. Muara identitasnya etika
solidaritas yang tampak dalam bela rasa dan pelayanan belas kasih.
Gerakan Ayo Sekolah Ayo
Kuliah (ASAK) lahir tahun 2011 yang berawal dari Paroki Bojong 15 tahun lalu,
salah satu contoh aksi bela rasa. ASAK di paroki ini berkembang dengan program
Ayo Vokasi yang mengusahakan anak asuh ASAK dan program Gerakan Mengasihi Berbagi
Laptop mengumpulkan laptop yang dibagikan bagi anak asuh ASAK. Sampai saat ini
ASAK berjalan baik di 65 paroki dan dua stasi seluruh KAJ.
Contoh lain. Gerakan
BerKhat Santo Yusuf (BKSY), gagasan Kardinal Suharyo bergulir sejak 30 November
2013. Didasarkan atas Ardas KAJ 2011-2016 dengan gerakan ini umat diharapkan
menjadi lebih beriman, lebih bersaudara dan lebih berbela rasa.
BKSY adalah salah satu
ragam gerakan lain sebagai bentuk bela rasa. Sejak awal berdiri BKSY berada di
bawah koordinasi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) KAJ. Menurut H. Kasiyanto
dari Sekretariat BKSY, kini sudah 32 paroki dari 67 paroki melaksanakan BKSY.
Berbeda dengan program Iuran St. Yusuf yang sudah berjalan bertahun-tahun
sebelumnya dan hanya di KAJ, BKSY tidak hanya berurusan dengan kematian tetapi
juga yang sakit. Sementara per 17 Juli di KAS, BKSY sudah ada di enam paroki
dari 98 paroki dengan 24.249 peserta.
Melayani dengan rendah
hati, bagi Kardinal Suharyo menjadi sumber moral dan spiritual yang ditimba
dari Santo Paulus, tokoh favoritnya. Moto “melayani dengan segala kerendahan
hati” pernah disampaikan dalam sharing pribadi, 15 September 2009. “Saya yakin
kerendahan hati adalah keutamaan dasar,” katanya.
Dengan semboyan itu ia
ingin mengemban tugas tanggung jawab sejarah. Rendah hati sepadan dengan humble yang
diturunkan dari kata humus. “Humus itu lapisan tanah yang sangat subur.
Dalam kerendahan hati segala macam keutamaan tumbuh, termasuk pelayanan.
Melayani Tuhan tidak macam-macam. Melayani sesama lebih sulit karena
keinginannya bisa macam.”
Menjadi Saudara bagi Sesama
Surat Gembala pertama
sebagai Uskup KAS disampaikan pada saat pentahbisannya, 26 Januari 1997, untuk
menyongsong Yubelium Agung Tahun 2000. Dalam kondisi bangsa dan negara sedang
mengalami krisis ekonomi, politik dan sosial waktu itu, Mgr. Suharyo mengajak
umat bersama masyarakat menjadi sesama saudara. Selama masa kegembalaan di KAS,
Kardinal Suharyo menawarkan refleksi dan pengembangan Gereja sebagai peristiwa,
istilah yang pertama kali disebut dalam Surat Gembala ketiga 21 Juni 1998.
Dalam Surat Gembala
Prapaskah 21/22 Februari 1998, di samping mengajak umat berbela rasa dan
bermurah hati, Kardinal Suharyo mengajak umat menanggapi ajakan Presidium
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk berdoa bagi seluruh bangsa
Indonesia agar diberi kekuatan iman dan pengharapan yang tegar bahwa krisis
akan lewat.
Menempatkan gagasan
Gereja sebagai peristiwa akan mempermudah mencerna gagasan-gagasan Kardinal
Suharyo (Y. Gunawan Pr: 2013) dan menjadi bingkai program
penggembalaan di KAS (Fl. Hasto Rosariyanto SJ: 2009). Gereja
menangkap peristiwa kehidupan sebagai peristiwa berahmat untuk menanggapi kehendak
Tuhan. Keterbukaan pada tanda-tanda zaman dimaknai sebagai kesanggupan
menanggapi iman di tengah pergulatan warga dan bangsa. Satu bentuk konkret
cita-cita yang ingin dirayakan adalah perziarahan iman menuju hidup yang
berpengharapan dan bukan sekadar optimistis.
Ignatius Kardinal Suharyo (kanan) berbincang-bincang dengan Imam Besar Masjid Istiglal Jakarta, Nasaruddin Umar. (Foto: Dok HIDUP) |
Senyampang sebagai
Uskup KAJ, pada 12 November 2010 Kardinal Suharyo diangkat merangkap
Administrator Apostolik Keuskupan Bandung sampai tahun 2014 dengan kepindahan
Mgr. Johanes Pujasumarta menjadi Uskup KAS. Pada 1 September 2019 diangkat
sebagai kardinal bersama 12 kardinal baru lain dari berbagai belahan dunia,
satu dari tiga kardinal baru yang berusia di bawah 70 tahun, lainnya di atas 80
tahun.
Menyambut 60 tahun
Hirarki Gereja Indonesia dan 75 tahun majalah HIDUP, awal tahun 2021,
sebagai uskup dan Ketua Presidium KWI sejak 2012, Kardinal Suharyo memberikan
penegasan dan pengkayaan karya kegembalaan dan kepemimpinannya sesuai
perkembangan zaman.
Bahwa pertumbuhan
Gereja Indonesia sekarang lebih sesuai sebagai Gereja Gaudium et Spes daripada
Gereja Lumen Gentium. Bukan pandangan teologis yang diutamakan tetapi
Gereja yang terlibat dalam kegembiraan dan harapan, keprihatinan dan kecemasan
murid Kristus. Dalam Ardas KAJ, identitas Gereja sebagai Persekutuan (Lumen Gentium)
dan Gerakan (Gaudium et Spes) terus bertumbuh dalam kedua aspek:
bukan Gereja yang eksklusif tetapi Gereja yang diutus (HIDUP, 3/1/2021).
Duapuluh lima tahun
penggembalaan di KAS (1997-2009) dan KAJ (2009—) adalah pertumbuhan Gereja yang
diutus sesuai jiwa semangat Konsili Vatikan II (Gereja sebagai bagian dari
masyarakat), bukan Konsili Vatikan I (Gereja sebagai entitas institusi
kekuasaan seperti negara). Disemangati 100% Katolik dan 100% Indonesia, warisan
klasik-magis Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, Kardinal Suharyo membumikan
Pancasila tidak hanya menjadi dasar negara tetapi pedoman utama menyatukan dan
memajukan bangsa Indonesia. Komitmen itu diwujudkan dalam Ardas KAJ 2015-2020.
Selama lima tahun umat diajak memperdalam dan mewujudkan sila dari lima sila
Pancasila setiap tahun, yang antara lain diwujudkan dengan Rosario Merah Putih.
Cinta tanah air, makna terdalam dari lima sila Pancasila.
Diselingi tahun 20211
sebagai Tahun Refleksi, dalam Ardas KAJ 2022-2026 komitmen pertumbuhan
Gereja yang diutus ditegaskan kembali. KAJ sebagai persekutuan dan Gerakan Umat
Allah yang berlandaskan Spiritualitas Ekaristis berjuang untuk semakin
mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi demi cinta tanah air dengan
melaksanakan nilai-nilai Ajaran Sosial Gereja dalam setiap sendi kehidupan
sehari-hari.
Identitasnya sebagai
pribadi yang rendah hati, murah hati dan mendalam, tercermin dalam program
kegembalaan dan kepemimpinan sebagai uskup, juga dalam menyikapi berbagai tugas
lain di antaranya Uskup Militer (TNI/Polri) sejak 2006, Ketua Presidium KWI,
dan guru besar Ilmu Teologi di Fakultas Teologi Universitas Santa Dharma USD).
Uskup itu menurut Kardinal Suharyo bukan jabatan kekuasaan, tetapi perutusan
yang siap dipecah-pecah dan dibagikan. Uskup itu arti kata aslinya, peniliki. “Tukang niliki, padahal
saya dulu ketika memilih panggilan sebagai imam projo ingin berkarya secara
langsung melayani umat. Karena kaul ketaatan waktu tahbisan, saya ikut
perutusan yang diberikan uskup. Jadi uskup bukan pilihan saya, tetapi perutusan
pelayanan dan rahmat Tuhan,” tegas Kardinal Suharyo di Wisma Keuskupan, 12
Agustus 2022 yang lalu.
Dihadapkan pada bentuk
baru kemiskinan kota besar seperti Jakarta, murid-murid Krisus mesti juga
semakin kreatif mengembangkan kreativitas dalam bentuk-bentuk pelayanan kasih.
Pelayanan kasih menuntut pengosongan diri yang memberinya ciri ekaristis. Kasih
dalam tindakan (mungkin Gereja harus menjadi miskin), memastikan bahwa
kata-kata mengenai kasih itu sungguh-sungguh benar.
Kardinal Suharyo
mengingatkan Ensiklik Deus Caritas Est dari Paus Benediktus
XVI penutup Tahun Yubileum Agung 2000. Kata Santo Agustinus, “Kalau Anda
melihat kasih, Allah melihat Tritunggal Mahakudus”.
Peranan keluarga
Keluarga memang
berperanan dalam pembentukan dan pengembangan. Masing-masing keluarga dan latar
belakang sosial budaya berbeda-beda. Ada keluarga yang menempatkan anak sebagai
titipan Tuhan, anak itu modal keluarga, misalnya. Kebiasaan-kebiasaan keluarga
menentukan masa depan anak. Kebiasaan doa malam bersama seluruh anggota
keluarga, termasuk bersama-sama ke gereja bersama seperti dialami masa kecil
Kardinal Suharyo dan biasa berbagi bersama tetangga, membentuknya sebagai
pribadi pendoa, rendah hati, suka berbagi, dan murah hati.
Dalam doa malam rutin
itu, seingat Kardinal Suharyo, selalu diselipkan doa mohon panggilan hidup
sebagai rohaniwan. Memang, dari 10 saudara kandung Kardinal Suharyo, tiga
lainnya masuk biara selain Kardinal Suharyo sebagai rohaniwan.
Lahir di Desa Sedayu,
Bantul 9 Juli 1950 dari keluarga kebanyakan, sebab ayahnya Florentinus Amir
Hardjodisastro seorang mantri pertanian dan Theodora Murni Hardjodisastro,
sementara penduduk sekitarnya petani. Menempuh SD Pangudi Luhur Sedayu pindah
ke SD Tarakanita Yogyakarta, SMP dan SMA Seminari Mertoyudan, Seminari Tinggi
Kentungan, Kardinal Suharyo ditahbiskan sebagai imam KAS bersama Romo J.
Bardiyanto Pr (alm), 26 Januari 1976.
Dari 10 bersaudara,
Kardinal nomor tujuh. Selain Ignatius Kardinal Suharyo sebagai rohaniwan, tiga
saudaranya masuk biara: Suitbertus Arie Sunardi, OCSO (alm), Sr. Christina Sri Murni,
FMM yang saat ini berkarya di Yayasan Pendidikan Regina Pacis Bogor dan bungsu
Sr. Maria Magdalena Marganingsih, PMY yang bertugas di Timor Leste dan yayasan
yang menangani anak-anak tunarungu di Wonosobo.
Partisipatif-Transformatif
Tugas perutusan pertama
Kardinal Suharyo dimulai satu tahun sebagai pastor rekan di Paroki Bintaran,
sebelum ditugaskan belajar mengambil teologi biblis di Universitas
Urbaniana, Roma. Lulus doktor tahun 1981, disusul tugas rutin sebagai dosen di
Fakultas Teologi Wedabhakti USD, guru besar teologi biblis di Fakultas Teologi
USD 2004, dan pada 22 Agustus 1997 ditahbiskan sebagai Uskup Agung Semarang.
Terbentang karya
kegembalaan Ignatius Kardinal Suharto dengan segala tambahan tugas perutusan
yang lain. Mengenai kepindahan dari Semarang ke Jakarta, Kardinal Suharyo
mengungkapkan dalam Epilog salah satu buku biografinya, tahun 2017, Terima Kasih, Baik, Lanjutkan!
Menghadapi realitas metropolitan yang sekuler, dipikirkan strategi evangelisasi
atau misi yang terdiri dari lima bidang, yaitu evangelisasi, pelayanan kasih,
restrukturisasi paroki, katekese dan liturgi.
Mengenai sifat
kepemimpinan Kardinal Suharyo, ada yang mengalisis sebagai gembala yang fortiter sed suaviter (keras
tetapi lembut). Kepemimpinannya menyertakan (partisipatif), mengembangkan
(transformatif), dan memberdayakan (empowerment). Tiga kata yang dirumuskan
Anthony D’Souza dengan istilah ennoble, ennable, dan empower (Di
KAS, kata “duduk bersama” menjadi kata kunci menyelesaikan berbagai
persoalan (Y. Gunawan Pr).
Bagaimana model
kepemimpinan menurut Kardinal Suharyo? Panggilan hidupnya sebagai uskup adalah
rahmat Tuhan, Kardinal Suharyo mengembangkan semangat partisipatif. “Dengan
partisipatif,” demikian Kardinal Suharyo, “saya menyadari diri bukan orang
cerdas, dengan demikian dalam kepemimpinan selain saya memimpin juga dipimpin”.
Dari semangat
partisipatif itulah terbangun berbagai transformasi. Sehingga konsep
kepemimpinan bagi Kardinal Suharyo adalah kepemimpinan
partisipatif-transformatif. Di Semarang, semasa kegembalaan Uskup Agung
Suharyo, populer istilah “duduk bersama” menjadi kata kunci mengatasi berbagai
persoalan.
***
St. Sularto, Kontributor (Jakarta)
HIDUP,
Edisi No. 34, Tahun ke-76, Minggu, 21 Agustus 2022