Ada satu hal yang
paling mendasar dari manusia, barangkali merupakan salah satu hal dari hal
lain, yaitu hasrat ingin mengetahui dirinya sendiri dan sekitarnya. Pengetahuan
akan diri inilah yang menjadi salah satu tujuan dari filsafat, oleh sebab
itulah Aristoteles mengatakan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir (Homo est animal rationale). Ia juga
mengatakan bahwa hasrat untuk mengetahui membawa implikasi ke dalam bentuk
pengetahuan dan perbedaan banyak hal.
Namun, pada praktiknya, agama justru melahirkan banyaknya kekerasan, kekejaman, perang dan pembunuhan daripada ide yang hendak dibawanya sebagai misi pembebasan.
Dalam sejarah dan juga
budaya kita bisa menemukan bahwa pengetahuan mengenai “diri” dan juga
“luar-diri” tersebut berasal dari sesuatu yang ada di luar manusia, sebab
mereka menganggap terdapat sesuatu yang mendahului dan melampaui manusia. Karen
Armstrong, di dalam bukunya Sejarah Tuhan, mengatakan bahwa manusia (Homo Sapiens) merupakan makhluk
spiritual (Homo Religiosus), dari
sini pulalah mereka akan menciptakan agama sebagai seperangkat aturan bersama.
Menurut Karen
Armstrong, manusia pada saat itu mulai menyembah dewa-dewa, kemudian mereka
menciptakan agama-agama yang bersamaan ketika mereka menciptakan karya seni.
Ekspresi yang dilakukan oleh manusia-awal, menurut Karen Armstrong, tidak lain
merupakan sebuah bentuk dari ketakjuban akan dunia yang penuh misteri sekaligus
indah.
Pernyataan di atas
diperkuat oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God.
Schmidt mengatakan bahwa pada manusia-awal mereka telah menyembah satu tuhan
(monoteis) sebelum mereka menyembah dewa-dewa (politeis). Sementara
Rudolf Otto mengatakan bahwa rasa tentang yang-gaib adalah dasar dari agama.
Kekuatan yang-gaib ini pula yang dirasakan berbeda-beda oleh tiap pengikutnya.
Selain itu, sejarah mencatat bahwa agama sebagaimana seni awal muncul merupakan
sebuah “alat” untuk menemukan makna kehidupan dan stabilitas sosial. Terlebih
agama merupakan upaya dari manusia untuk menjawab hakikat dari realita,
mengontrol perilaku, dan memberikan perasaan aman serta daya imajinatif. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa monoteis, politeis, seni dan agama merupakan
bentuk tertua dari ekspresi dari manusia-awal guna menjawab dan menjelaskan
misteri, tragedi kehidupan.
Jika kita sepakat
dengan para pemikir di atas, jelas bahwa dalam kehidupan beragama sehari-hari,
praktik keagamaan seharusnya tidak mengedepankan emosi, melainkan mengedepankan
toleransi. Sebab agama ada sebagai sarana, fungsi untuk memberikan
jawaban-jawaban bagi para pemeluknya dan yang terpenting adalah adanya kesamaan
di dalam satu komunitas atau kelompok yang memiliki nilai bersama tersebut.
Setidaknya hal tersebutlah yang menjadi ciri esensial agama yang dapat membawa
pemahaman kepada kita bahwa tiap-tiap komunitas agama memiliki ciri-ciri:
keyakinan terhadap adanya yang-sakral dan yang-profan, ritual-peribadatan, dan
komunitas penganut.
Sikap berpaling kepada
agama guna menjawab pelbagai masalah yang dihadapi kerap terjadi di Indonesia.
Bahkan, membedakan anatara bagian yang tampak dan tak-tampak dari sebuah
fenomena merupakan suatu hal yang sulit, sebab keduanya selalu dicampur-adukkan
dan batas di antaranya amat tipis. Sebenarnya tindakan seperti itu bisa
diminimalkan kemungkinannya apabila kita mengenal ciri-ciri dari agama, fungsi
agama, dan perannya di dalam kehidupan manusia.
Agama dan Kemunculannya
Sejarah kemunculan
agama-agama di dunia merupakan bentuk dari upaya pembebasan. Menurut pemaparan
di atas kita bisa melihat bahwa kemunculan agama merupakan bentuk ekspresi
imajinatif manusia-awal di dalam kesehariannya, terutama agama Abrahamik. Kita
bisa lihat figur dari Musa yang berupaya membebaskan masyarakat Yahudi pada
saat itu dari penguasaan Firaun. Kemudian Isa yang membawa misi untuk
membebaskan kaumnya dari kekangan raja romawi, dan Muhammad untuk menolong dan
mengubah kondisi masyarakat (jahiliyyah) Mekkah yang kemudian juga Madinah.
Serta Ibrahim yang dilahirkan untuk memberi ‘harapan’ pembebasan dari
ketertindasan yang terjadi pada saat itu oleh raja Namrud. Terlihat bahwa isi
agama Abrahamik memiliki muatan kemanusiaan yang amat kuat, yaitu mengubah
kondisi masyarakat yang tertindas dan membawa konsep dunia yang ideal.
Sementara agama sebagai ekspresi imajinatif menekankan bentuk penghayatan dari
yang tampak bahwa ada sesuatu di balik itu semua.
Namun, pada praktiknya,
agama justru melahirkan banyaknya kekerasan, kekejaman, perang dan pembunuhan
daripada ide yang hendak dibawanya sebagai misi pembebasan. Alasan utamanya, adalah
tiap bentuk agama membawa “kebenaran” satu-satunya untuk diterapkan di dunia
saat-ini, kekerasan tersebut berupa atas nama: “perang suci”, “membela Tuhan”,
dan membela kelompoknya. Jarang kita mendengar, khususnya (beberapa) di
Indonesia, para agamawan membela sisi kemanusiaan tanpa mementingkan mengenai
yang-sama. Padahal jika kita lihat kembali dimensi yang ada di dalam agama
justru bukan hanya menyoal perihal dunia “di sana”, akan tetapi ada juga
dimensi “di sini”, kekinian yang dekat dengan sisi kemanusiaan, tidak
hanya soal ilahi.
Kecenderungan seperti ini tidak lain merupakan konsekuensi dari doktrin yang menyebut bahwa di dalam agama sudah terkandung seluruhnya….
Inilah yang menjadi
salah satu, menurut Karen Armstrong, alasan kenapa agama tampak tidak relevan,
khusunya di negara-negara maju. Alasannya, karena saat ini kita tidak memiliki
rasa akan ke-sakral-an atau sisi yang-gaib dari agama. Karena kultur dari
negara maju itu mengedepankan kultur ilmiah, bukan seperti dunia (kuno) Timur
Tengah, atau juga Indonesia, yang masih memiliki “kepekaan” terhadap sesuatu
yang “spiritual”, “gaib”, “suci” bagaikan kulit dan daging di dalam tubuh
manusia. Tidak jarang bagi para pemeluk agama ini mengandalkan kesehariannya ke
dalam agama sebagai pegangan, mengingat dunia yang ada selalu berubah dan
beberapa pemeluk agama, ataupun sebagian orang selalu memiliki dunia yang ideal
daripada kenyataan itu sendiri dan kerap terjebak ke dalam bentuk masa lalu.
Dalam konteks Islam
kita bisa melihat dunia yang di-ideal-kan dalam keseharian, yang berarti segala
fenomena harus diislamkan. Misalnya ekonomi Islam, perbankan Islam, negara
Islam, bahkan sampai ke perumahan Islam. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai
bentuk kekecewaan terhadap suatu sistem, sebab tidak jarang sebagian kelompok
di Indonesia mengedepankan masa kejayaan masa lalu Islam yang ada di seberang
sana yang bahkan cenderung telah berlalu dan berharap untuk bisa
direalisasikan. Bentuk idealisme tersebut tidak jarang datang dari
“instansi-instan” guna mempertahankan status-quo dari masyarakat
untuk tetap mengikuti sistem yang ada dengan sedikit modifikasi berbalut agama.
Begitulah nasib agama
dewasa ini, kehadirannya seperti obat yang jika diperlukan dan digunakan sesuai
dosis yang pas, maka ia akan baik-baik saja. Sebaliknya, jika dosis yang
diberikan berlebihan, justru akan menimbulkan masalah. Kecenderungan seperti
ini tidak lain merupakan konsekuensi dari doktrin yang menyebut bahwa di dalam
agama sudah terkandung seluruhnya; tujuan hidup tiap manusia; moralitas; masa
depan; ilmu-ilmu; bahkan sampai hal yang ditemukan secara baru, dianggap telah
ada dan sudah tercatat di dalam agama.
Keberagaman dan Sifat Keterbukaan
Tidak ada yang lebih
buruk daripada mereka yang mengukuhkan hari esok, sekalipun mereka telah
memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi. Oleh sebab hari esok adalah
misteri, maka sikap yang perlu kita utamakan adalah keterbukaan. Apabila sifat
dari keterbukaan diterapkan ke dalam kehidupan beragama kita saat ini, yaitu
menjauhi sifat ego-sentris dan kesamaan kelompoknya, maka akan sangat mungkin
kekerasan antar penganut agama, khususnya antara kelompok mayoritas kepada
kelompok minoritas, yang selama ini sering terjadi akan berkurang, terlebih
jika menyangkut persoalan kebenaran. Sebab hal tersebut akan memunculkan
kemungkinan timbulnya memonopoli ‘kebenaran’. Alasannya jelas, bahwa secara
ciri, fungsi, dan definisi semuanya berada di tataran yang sama, tidak ada yang
lebih tinggi daripada yang lainnya.
Selain itu, “perang”
sejatinya adalah upaya melawan musuh yang berbentuk kebodohan, kemiskinan, dan
ketidaksejahteraan. Tidak akan ada lagi diskriminasi terhadap yang-lain. Dengan
demikian, agama dan pemeluknya harus ditarik ke titik terjauh, ke dalam suatu
bentuk yang belum terpikirkan. Sebab kita tahu bahwa nyatanya realitas sosial
dan kehidupan beragama kita masih menyimpan banyak masalah yang telah
mengendap.
…yang diperlukan adalah membaca kembali literatur-literatur agama masing-masing, mulai dari kemunculannya hingga saat ini, sebagai bentuk penghayatan akan yang Ilah, goib, dan membebaskan pemujaan atas bentuk tafsiran tunggal….
Charles Kimball, dalam
bukunya Kala Agama Jadi Bencana, mencatat terdapat lima sebab agama dapat
menjadi bencana. Pertama, apabila agama mengedepankan klaim kebanaran secara
mutlak, maka ia tidak menyisakan sedkit pun ruang kebenaran kepada kelompok
agama lain. Pada saat itu juga agama berubah menjadi Tuhan yang selalu
diagung-agungkan dan disembah. Dengan kata lain, para pemeluk agama bukan lagi
menyembah Tuhan, tetapi menyembah agama.
Kedua, ketaatan buta
kepada seorang pemimpin agama yang dianggap mempunyai otoritas. Ketiga, ketika
pemeluk agama merindukan zaman ideal dan berusaha untuk merealisasikannya
dengan negara agama. Keempat, apabila agama membiarkan terjadinya tujuan yang
menghalalkan segala cara. Kita tahu hal ini yang akan menimbulkan anggapan
untuk membela agama, bahkan tega untuk membunuh atas nama kesucian agama.
Akhirnya inilah yang akan menimbulkan kekerasan identitas, kekerasan terhadap
yang-lain.
Kelima, ketika perang
suci atas nama agama digaungkan, maka yang tersisa hanyalah korban-korban dari
peperangan yang mengatasnamakan perang suci. Oleh karena itu, yang diperlukan
adalah membaca kembali literatur-literatur agama masing-masing, mulai dari kemunculannya
hingga saat ini, sebagai bentuk penghayatan akan yang Ilah, goib, dan
membebaskan pemujaan atas bentuk tafsiran tunggal yang berimplikasi kepada
ketimpangan dan ketidakadilan secara sosial dan politik.
Penutup
Sudah semestinya
tindakan keagamaan kita hari ini tidak bersifat eksklusif dan menafikan
kehadiran dari para pemeluk agama lain. Sebab tindakan yang dibutuhkan di dalam
masyarakat—meminjam ungkapan Habermas—pasca-sekular ini adalah sikap saling
belajar untuk mengerti posisi partner diskursus. Dominasi mayoritas tidak boleh
menjadi penindasan, terutama dominasi agama mayoritas tidak boleh mengabaikan
peran pemeluk agama lain, sekalipun yang tidak beragama. Sebab dari hal
tersebutlah keakraban di antara para pemeluk agama di dalam negara dapat
dipertemukan tanpa adanya suatu pembatasan kebenaran.
Tidak ada jalan lain,
kita harus keluar dari batasan-batasan yang didasarkan atas pembacaan-pembacaan
yang telah dilakukan oleh pendahulu mengenai suatu nilai pada zamannya.
Menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang sesuai dengan zaman kita saat ini,
hanya bisa dilakukan dengan menjauhkan diri dari eksklusivisme. Bukan berangkat
dari masa kejayaan waktu lampau, melainkan berangkat dari kondisi kenyataan
masyarakat. Dari situ pula agama harus tampil secara terbuka dan membiarkan
dirinya berkomunikasi dengan agama-agama lain serta tidak menawarkan
akhir-kebenaran untuk saat ini.
Daftar Pustaka
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan, cet, ke-XVII (Bandung:
Mizan, 2017)
Cassirer, Ernst, An Essay On Man: An
Introduction to a Philosophy of Human Culture, (New York: Yale University
Press, 1944)
Diamond, Jared, Guns, Germs & Steel: Bedil, Kuman, & Baja,
cet, kelima (Jakarta: KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018)
Fasya, Teuku Kemal,
dkk, Kata & Luka Kebudayaan:
Isu-Isu Gerakan Kebudayaan & Pengetahuan Kontemporer, ( Medan: USU
Press, 2006)