Kontestasi politik
memiliki kaitan erat dengan pergolakan budaya (Faruk, 2010). Negara, sebagai
sebuah entitas politik, memiliki daya untuk mendefinisikan realitas material,
yaitu manusia, kenampakan alam, dan lain-lain dalam suatu teritori.
Mendefinisikan realitas material artinya melakukan konstruksi atas realitas
material tersebut. Konstruksi tersebut menghasilkan realitas abstrak berupa
masyarakat, norma, hukum, sistem politik, ekonomi, dan lain-lain. Dengan
konstruksi tersebut, negara dapat melakukan pengaturan dan pembatasan atas
bagaimana ajaran agama berlaku di tengah masyarakat.
Dalam konteks
Indonesia, masyarakat diharuskan memeluk satu dari enam agama , yaitu Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Peraturan semacam itu
menyebabkan siapapun yang tidak memeluk satu dari enam agama tersebut dianggap
melanggar otoritas negara. Hal ini, tentu saja, melahirkan persoalan dalam
masyaraka, karena di luar enam agama tersebut, berbagai ajaran agama lokal
telah eksis dalam masyarakat pra-Indonesia, misalnya Kejawen, ajaran agama
dalam suku Jawa. Maka, dengan mengharuskan individu untuk memeluk satu dari
enam agama tersebut, negara telah memarjinalkan ajaran-ajaran agama lokal lain
dalam masyarakat.
Persoalan semacam itu
terekam dalam sebuah karya film pendek berjudul “KTP” yang diproduksi oleh
Shinta Oktania Retnani dan Bobby Prasetyo selaku sutradara dan penulis skenario
(Morrow, 2019). Film ini bercerita tentang Darno, seorang petugas kecamatan,
yang melakukan pendataan untuk Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi masyarakat
lanjut usia dalam rangka mewujudkan akses kesehatan gratis. Darno mengambil
data diri seorang lanjut usia bernama Karsono. Suatu hal yang menarik dalam
pengambilan data tersebut adalah ketika Darno bertanya soal agama yang dianut
Karsono. Karsono mengatakan bahwa ia adalah penganut Kejawen, ajaran agama
dalam suku Jawa. Hal tersebut membuat Darno kebingungan, karena dalam KTP, opsi
agama yang dapat dipilih hanya berjumlah enam, yaitu Islam, Protestan, Katolik,
Hindu, Buddha dan Konghucu. Untuk itu, Darno mengatakan pada Karsono untuk
memilih salah satu dari enam agama tersebut. Akan tetapi, Karsono menolak hal
tersebut, bahkan menolak untuk memiliki KTP. Pemecahan persoalan kolom agama
itu juga melibatkan ketua Rukun Tetangga (RT) serta masyarakat sekitar.
Pengharusan memeluk
salah satu dari enam agama yang ditetapkan oleh negara merupakan cara negara
untuk mengonstruksi masyarakat agar sesuai dengan kehendak negara.Sara Upstone,
dalam Spatial Politics in the Postcolonial Novels menyatakan bahwa
tindakan tersebut menunjukkan upaya negara melakukan represi atas masyarakatnya
sendiri (Upstone, 2009). Hal tersebut rentan terjadi dalam negara bekas jajahan
(pascakolonial). Bagi Upstone, negara pascakolonial yang melakukan represi atas
masyarakatnya telah melanjutkan praktik kolonial.
Praktik kolonial yang
dimaksud adalah politik ruang (political space). Dalam melakukan penjajahan,
pihak penjajah menerapkan konsep ruang (Upstone, 2009). Ruang, sebagai suatu
hal yang memiliki wilayah dan batas tertentu, bertujuan untuk mengatur dan
membatasi kehidupan subjek terjajah. Pihak penjajah membagi teritori jajahan ke
dalam ruang negara, perjalanan, kota, rumah, dan tubuh. Ruang berdiri di atas
tempat (place) tertentu. Tempat adalah dimensi konkret dan manifestasi dari
ruang yang merupakan dimensi abstrak. Sebagai hal konkret, tempat bersifat kaku
(statis), sedangkan ruang bersifat cair (dinamis). Akan tetapi, dalam rangka
melakukan penguasaan, pihak penjajah berupaya menjaga ruang tetap statis dan
stabil. Menurut Upstone, sekalipun penjajahan telah usai, praktik
tersebut tetap berjalan di teritori bekas jajahan dan dilakukan oleh otoritas
negara pascakolonial.
Konstruksi negara
bertujuan untuk menciptakan masyarakat lokal yang sesuai dengan kehendak negara
dan menciptakan stabilitas negara. Dengan demikian, negara berupaya membentuk
masyarakat lokal yang homogen dalam hal konstruksi, sekalipun pada nyatanya masyarakat
lokal merupakan masyarakat yang heterogen (Upstone, 2009). Hal tersebut
sebelumnya juga dilakukan oleh pihak kolonial. Untuk menciptakan stabilitas
negara, pihak kolonial menanamkan sebuah konstruksi yang berisi pemahaman bahwa
Barat (Eropa) superior di hadapan Timur (objek jajahan). Konstruksi itu disebut
dengan “Orientalisme” (Said, 1978). Berdasarkan perspektif orientalistik,
siapapun yang menolak superioritas Barat atas Timur merupakan seorang
pemberontak. Dengan demikian, pada masa kolonial, pola represi penjajah atas
masyarakat jajahan terbangun atas pola “Barat” dan “Timur” (Bandel, 2013).
Kemudian, oleh negara pascakolonial yang melanjutkan praktik kolonial,
represi tetap dilakukan, namun dalam pola “Negara” dan “Masyarakat Lokal”.
Nasionalitas vs Lokalitas
Dalam konteks film
pendek “KTP”, pihak negara direpresentasikan oleh Darno, sedangkan pihak
masyarakat lokal direpresentasikan oleh Karsono. Pada adegan awal, ketika Darno
baru sampai ke rumah Karsono, Darno mengucap salam sesuai ajaran Islam.
Kemudian, Karsono menjawab salam tersebut dengan jawaban sesuai ajaran Kejawen.
Mendengar jawaban tersebut, Darno merasa heran dan berkata:
DARNO:
“Assalamualaikum kok
jawabane mangga“
(Assalamualaikum kok
jawabnya silakan masuk)
Rasa heran yang ditunjukkan
oleh Darno tersebut menunjukkan adanya negativitas antara dua ide, yaitu ajaran
Islam yang dianut oleh Darno dan ajaran Kejawen yang dianut oleh Karsono.
Pada adegan yang
menunjukkan keduanya bersalaman, Darno melihat tangan Karsono yang, dari sudut
pandang Darno, kotor dan membuatnya merasa jijik. Dengan demikian, Darno
menunjukkan superioritasnya atas Karsono. Hal itu dapat dipahami, bahwa dalam
perspektif Darno lokalitas lebih rendah derajatnya daripada modernitas (dalam
hal ini, Darno adalah subjek yang merepresentasikan nasionalitas sekaligus
modernitas).
Akan tetapi, pada
mulanya, Karsono tidak merasakan adanya negativitas antara ajaran yang
dianutnya dengan ajaran yang dianut Darno. Negativitas mulai tampak ketika
Darno mulai menanyakan agama yang dianut Karsono untuk data KTP. Karsono
mengatakan bahwa agama yang dianutnya adalah Kejawen. Kemudian, Darno
mengatakan bahwa Kejawen tidak tercantum sebagai opsi dalam kolom agama.
Sebagai solusi atas persoalan tersebut, Darno menawarkan pada Karsono untuk
memilih Islam pada kolom agama. Akan tetapi, Karsono menolak tawaran tersebut
karena ia memang tidak pernah mempraktikkan ajaran Islam.
DARNO:
“Ngeten
mawon Mbah. Kristen napa, Mbah? Napa Katolik? Kong hu cu?
(Begini saja, Mbah. Apa
Kristen, Mbah? Apa Katolik? Kong hu cu?)
KARSONO:
“We
ya aja.”
(Wah ya jangan.)
DARNO:
“Lha
pripun? Lha niki mung wonten enem pilihan, Kejawen mboten wonten.”
(Lalu bagaimana? Disini
hanya ada enam pilihan, Kejawen tidak ada.)
KARSONO:
“Lha
ngapa kok ra ana?”
(Kenapa kok tidak ada?)
DARNO:
“Lha
niki aturane pemerintah kok, Mbah. Pilih mawon, Mbah.”
(Ini aturan dari
pemerintah kok, Mbah. Pilih saja, Mbah.)
Tindakan Darno yang
menyuruh Karsono untuk memilih satu dari enam agama yang dapat dipilih dalam
kolom agama pada KTP dapat dipahami sebagai upaya negara untuk mengonstruksi
masyarakat agar tercipta stabilitas. Karsono menolak untuk memilih satu dari
enam agama tersebut, bahkan menolak untuk memiliki KTP. Tindakan Karsono
tersebut dapat dipahami sebagai sebuah resistensi pihak lokal terhadap negara,
karena tanpa KTP Karsono tidak dianggap sebagai warga negara.
Resistensi dari pihak
lokal menghasilkan kekacauan (chaos). Kekacauan adalah kondisi ketika pihak
negara dan pihak lokal berkontestasi dalam bentuk apapun. Kekacauan menyebabkan
terjadinya instabilitas negara (Upstone, 2009). Maka dari itu, dari perspektif
negara, kekacauan merupakan suatu hal yang buruk. Akan tetapi, bagi Upstone,
kekacauan serta instabilitas negara merupakan hal yang baik, karena hal
tersebut dapat membatalkan konstruksi homogenitas dan memberikan ruang bagi
pihak lokal untuk mengekspresikan dirinya yang sebenarnya serta mengembalikan
heterogenitas.
Dalam “KTP”, kekacauan
yang terjadi akibat kontestasi antara negara (Darno) dan lokal (Karsono) termediasi
oleh tokoh Nunung, Pak RT, Pak Harso, dan warga sekitar. Mediator kekacauan
tersebut merupakan representasi dari kekacauan itu sendiri. Di antara
tokoh-tokoh yang berperan sebagai mediator tersebut, berbagai ide alternatif
yang dapat menjadi solusi dari kontestasi antara Darno dan Karsono
dikeluarkan.
Ide alternatif pertama
yang disarankan adalah saran bagi Karsono untuk sepakat dengan tawaran Darno,
yaitu memilih satu dari enam agama yang diakui oleh negara. Hal tersebut
didasarkan pada kenyataan bahwa Karsono telah berusia lanjut, dan dengan
demikian akan membutuhkan layanan kesehatan gratis dari negara.
Ide alternatif kedua
adalah membebaskan Karsono untuk memilih agama yang dikehendakinya, karena hal
tersebut merupakan hak Karsono.
Ide alternatif ketiga,
yaitu solusi yang dilontarkan oleh Pak RT berupa ajakan kepada warga untuk
secara bersama mengurus Karsono dan membiarkan Karsono tidak memiliki KTP
serta, dengan demikian, tidak memiliki akses kesehatan gratis dari
negara.
Karsono dalam Kondisi Pasca-ruang
Kekacauan merupakan
konsekuensi dari resistensi pihak lokal terhadap negara (Upstone, 2009). Bagi
negara, kekacauan adalah hal yang buruk, karena kekacauan membawa struktur
negara pada kondisi yang tidak stabil. Dalam kondisi yang tidak stabil,
kekuasaan negara atas masyarakat lokal menjadi goyah. Akan tetapi, kekacauan
adalah kondisi yang positif bagi pihak lokal. Dengan kekacauan, kekuasaan
negara menjadi goyah, dan dengan demikian pihak lokal memiliki kesempatan untuk
lepas darinya.
Setelah lepas dari
konstruksi negara, pihak lokal akan sampai pada kondisi pasca-ruang (post-space).
Pasca-ruang adalah kondisi saat subjek lokal berada pada suatu ruang atau
konstruksi yang berada di luar kuasa negara (Upstone, 2009). Akan tetapi,
sebelum sampai pada kondisi tersebut, pihak lokal perlu menempuh strategi
terlebih dahulu.
Upstone menawarkan dua
strategi yang dapat ditempuh untuk mencapai kondisi pasca-ruang. Pertama, saat
kekacauan berlangsung, subjek lokal dapat memasuki ruang yang sempit, yaitu
ruang lokal. Memasuki ruang yang sempit artinya kembali pada konstruksi lokal.
Kedua, subjek dapat memasuki ruang yang luas, yaitu ruang ketiga yang tidak
berada di bawah konstruksi manapun, baik konstruksi negara, maupun konstruksi
lokal. Artinya, dengan memasuki ruang ketiga, subjek lokal menciptakan ruang baru
dan, dengan demikian, konstruksi yang baru pula (Upstone, 2009).[penggabungan
dua paragraf dan kesalahan penulisan sitasi].
Dalam “KTP”, ide-ide
yang disampaikan oleh warga dapat dipahami sebagai kemungkinan-kemungkinan yang
dapat ditempuh Karsono (subjek lokal) untuk sampai pada kondisi pasca-ruang.
Ide pertama, yaitu ide yang menyarankan agar Karsono mengikuti saran Darno
untuk memilih satu dari enam agama yang diakui negara. Argumen dari ide
tersebut adalah bahwa Karsono telah berusia lanjut , dan dengan demikian suatu
saat akan membutuhkan layanan kesehatan gratis dari negara. Ide tersebut tampak
menguntungkan bagi Karsono. Akan tetapi, dengan mengikuti saran Darno, Karsono
sebagai subjek lokal telah memilih untuk sepakat dan memasuki konstruksi negara
terkait ajaran agama yang harus dianutnya. Hal ini tidak sejalan dengan apa
yang disarankan Upstone, karena dengan menyepakati Darno, Karsono telah
menjadi subjek yang kalah , dan dengan demikian telah masuk ke dalam
ruang negara.
Ide kedua adalah ide yang
menyatakan bahwa Karsono sebaiknya diberi kebebasan untuk menentukan ajaran
agama yang hendak dianutnya. Argumen dari ide tersebut adalah, bahwa agama yang
dianut oleh Karsono, Kejawen, merupakan ajaran turun-temurun. Maka dari itu,
negara seharusnya memberi hak pada pewaris ajaran tersebut untuk menganutnya.
Konsekuensi dari ide kedua adalah Karsono tidak akan memiliki KTP , dan dengan
demikian tidak akan memiliki akses terhadap layanan kesehatan gratis dari
negara. Meskipun demikian, bila ide kedua dipilih sebagai solusi, maka Karsono
telah menjadi subjek yang menang. Karena, tanpa memiliki KTP, Karsono tidak
tercatat sebagai warga negara , dan dengan demikian terbebas dari konstruksi
negara. Ide kedua dapat dipahami sebagai strategi yang dapat membawa Karsono ke
dalam ruang yang sempit, yaitu ruang lokal.
Ide ketiga merupakan
ide yang diajukan oleh Pak RT. Dalam ide tersebut, Pak RT menyarankan agar
Karsono bebas memilih ajaran agama yang hendak dianutnya serta mengajak warga
untuk mengurus Karsono, karena Karsono akan tidak memiliki akses kesehatan
gratis dari negara. Argumen dari ide tersebut adalah, bahwa Karsono, sebagai
seorang lanjut usia, telah diterima “dengan apa adanya” oleh warga. Dalam ide
tersebut, bila kesehatan Karsono diurus atau menjadi tanggung jawab dari warga,
maka peran negara telah terganti.
Beberapa hal yang
menarik dari ide ketiga tersebut adalah, bahwa Karsono dapat menjadi subjek
yang lepas dari konstruksi negara serta tetap memiliki akses kesehatan yang
disediakan oleh Pak RT dan warga. Pak RT sebagai subjek yang pada dasarnya
merupakan bagian dari ruang negara mendukung kebebasan Karsono. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Pak RT adalah subjek hibrid, yaitu subjek “belang” yang pada
dirinya terjadi pencampuran konstruksi (negara dan lokal) (Faruk, 2007).
Hibriditas juga ada pada ide ketiga itu sendiri, karena terdapat campuran
antara ide kebebasan yang dikehendaki konstruksi lokal dan ide kesehatan gratis
yang dikehendaki konstruksi negara.
Sebagai suatu hal yang
hibrid, ide ketiga merupakan strategi yang dapat membawa Karsono pada ruang
ketiga, yaitu ruang yang berada di luar konstruksi manapun, baik konstruksi
negara maupun konstruksi lokal. Maka dari itu, ide ketiga dapat dipahami
sebagai strategi yang membawa Karsono ke dalam ruang yang luas, yaitu ruang
ketiga.
Pascakolonialitas dalam Film “KTP”
“KTP” adalah sebuah
film pendek yang bercerita tentang seorang petugas kecamatan, Darno, yang
sedang melakukan pengambilan data untuk Kartu Tanda Penduduk (KTP)bagi Karsono,
seorang lanjut usia. Pengambilan data KTP tersebut ditujukan sebagai
upaya pemberian akses kesehatan gratis dari negara pada Karsono. Pada kolom
agama, terjadi ketidaksepakatan antara keduanya, bahwa agama yang dianut oleh
Karsono, Kejawen, tidak tercantum sebagai opsi agama. Darno meminta Karsono
untuk memilih satu dari enam agama yang diakui oleh negara. Akan tetapi,
Karsono menolak hal tersebut dan memilih untuk tetap menjadi pemeluk Kejawen.
Dari perspektif teori
ruang pascakolonial Sara Upstone, pertentangan antara Darno dan Karsono
mengindikasikan adanya pertentangan antara konstruksi negara (direpresentasikan
Darno) dan konstruksi lokal (direpresentasikan Karsono). Pertentangan tersebut
menyebabkan terjadi kekacauan (chaos) serta terjadinya instabilitas negara. Dengan
kekacauan tersebut, stabilitas negara sebagai subjek penguasa terancam , dan
dengan demikian memberi kesempatan pada subjek yang dikuasai untuk membebaskan
diri. Dalam “KTP”, kekacauan direpresentasikan oleh adanya silang pendapat
antara warga dalam mencari solusi bagi Karsono.
Instabilitas negara
memberi kesempatan pada subjek yang dikuasai untuk keluar dari konstruksi
negara dan menjadi subjek merdeka. Untuk sampai pada kemerdekaan, subjek yang
dikuasai memerlukan strategi tertentu. Dalam kekacauan pada film “KTP”,
terdapat dua strategi yang dapat menjadi jalan keluar bagi subjek yang dikuasa.
Pertama, Karsono tetap menganut Kejawen. Strategi pertama tersebut sejalan
dengan strategi yang disebut dengan membawa subjek pada ruang yang sempit,
yaitu kembali pada ruang lokal. Kedua, Karsono tetap memeluk Kejawen dan tetap
mendapatkan akses kesehatan gratis yang diurus oleh Pak RT dan warga sekitar.
Strategi kedua sejalan dengan strategi yang disebut sebagai membawa subjek pada
ruang yang luas, yaitu ruang ketiga.
Pada akhir film,
strategi yang dipilih sebagai jalan keluar untuk Karsono adalah strategi kedua,
yaitu memberikan kebebasan bagi Karsono untuk tetap menganut Kejawen sembari
tetap mendapatkan akses kesehatan gratis yang diurus oleh Pak RT dan warga
sekitar. Strategi kedua tersebut bersifat hibrid , dan dengan demikian
membawa Karsono ke dalam ruang ketiga yang tidak berada pada konstruksi
manapun, baik konstruksi negara maupun konstruksi lokal.
Daftar Pustaka
Bandel, K.
(2013). Satra Nasionalisme
Pascakolonialitas (1st ed.). Yogyakarta: Pustaha Hariara.
Faruk. (2007). Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni &
Resistensi dalam Sastra Indonesia (1st ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
_____. (2010). Pengantar Sosiologi Sastra: dari
Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Morrow, A. (2019, Maret
17). Review: Short Film ‘KTP’.
Inside Indonesia. Retrieved 11 27, 2020, from
https://www.insideindonesia.org/review-short-film-ktp
Said, E. W.
(1978). Orientalism (1st
ed.). New York: Vintage Books.
Upstone, S.
(2009). Spatial Politics in the
Postcolonial Novels (1st ed.). Farnham: Ashgate Publishing.
Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM. Suka menulis puisi dan esai kritik sastra. Saat ini sedang aktif menulis konten di platform filsafat Logos ID