Penetapan Batas Desa dan Pemanfaatan Teknologi
Kartometrik
Telah 77 tahun
Indonesia mengenyam kemerdekaan, dalam realitasnya masih banyak pekerjaan rumah
(PR) yang harus diselesaikan. Salah satu yang mengemuka sebagai persoalan di
dalam negeri, adalah kusutnya batas antar wilayah: provinsi, kabupaten/kota
hingga desa/kelurahan. Ketaksepakatan, dan saling klaim antar wilayah, kerap
terjadi. Akibatnya, untuk melakukan pembangunan berdasar administrasi wilayah
yang benar, jadi tak mudah.
Akar persoalan semua
itu, belum dilakukannya penataan batas wilayah secara baik. Ini membutuhkan
perhatian dan keseriusan banyak pihak, dengan menanggalkan sikap ego
masing-masing sektor. Lagi pula, penataan batas wilayah, kini tak berparadigma
dari atas ke bawah (top down). Tapi juga dari bawah ke atas (bottom up). Ini
meliputi unit administrasi pemerintahan terkecil di tingkat desa dan kelurahan.
Berkah kemajuan
teknologi hari ini, memudahkan proses pemetaan. Penetapan dan penegasan batas
desa dengan metode kartometrik, dengan cara pelacakan dan penarikan garis batas
wilayah desa di atas peta, adalah wujud dari kemajuan teknologi pemetaan.
Metode kartometrik di atas peta, pada awalnya adalah alternatif untuk
menetapkan dan menegaskan batas desa. Namun kini diterapkan untuk mempercepat
program penetapan dan penegasan batas desa, bahkan ditargetkan selesai pada
tahun 2024 untuk seluruh desa di Indonesia. Dengan menggunakan metode pelacakan
garis batas desa di atas peta, kesepakatan batas desa yang saling bersebelahan
tidak harus dilakukan di lapangan. Ini menyebabkan proses pemetaan dan
pendokumentasiannya dapat dilakukan lebih cepat.
Namun demikian, tak
serta merta metode kartometrik ini bisa begitu saja diterima oleh para pemangku
kepentingan. Pasalnya, walaupun metode pelacakan langsung (tracing) memiliki
tingkat akurasi yang baik, masih tetap dibutuhkan tahap untuk menelusuri batas
desa secara langsung. Metode ini jadi tak efektif untuk percepatan penataan
batas desa. Terlebih bagi desa-desa yang luas, yang punya banyak ruas batas
dengan desa tetangga, areanya susah dijangkau, melintasi medan yang sulit
dilalui : sungai besar, kawah gunung dan lainnya. Pelacakan batas secara
langsung di lapangan pun dapat menimbulkan konflik fisik secara langsung. Ini
terutama jika ada pihak yang tak dapat memahami dengan baik, keperluan penataan
batas desa.
Menteri Dalam Negeri,
yang juga Ketua Tim Penetapan dan Penegasan Batas Desa Pusat, telah menerbitkan
pedoman penetapan dan penegasan batas desa, yang diintegrasikan dengan
Peraturan BIG (Badan Informasi Geospasial) tentang metode kartometrik, untuk
keperluan batas desa
ini. Di dalamnya terdapat petunjuk teknis, yang berisi tahapan yang harus
dilakukan para pemangku batas desa. Berdasar ketentuan ini pula, batas wilayah
administrasi desa yang benar adalah batas wilayah desa yang dapat dituangkan di
dalam peta skala besar dan merupakan hasil kesepakatan bersama. Ketika
kesekapakatan antar desa tidak dicapai mufakat, dan beberapa kali proses menuju
kesepakatan telah dilakukan, maka pimpinan tinggi pemerintah daerah bersama
dengan Tim Penegasan Batas Desa-nya diizinkan mengambil keputusan terhadap
batas desa tersebut.
Makna Penegasan Batas Desa
Dalam pelaksanaan
penataan batas desa, perlu disepakati batas hak dan kewajiban pemerintah desa
maupun warganya. Batas desa tak serta merta memisahkan status hak kepemilikan
tanah seseorang atau kelompok. Batas desa juga tak berarti, semua sumber daya
alam yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan dan dieksploitasi sepenuhnya oleh
warga desa. Demikian pula, batas desa tak dapat diartikan sebagai tak
diizinkannya warga desa lain melintas, bekerja, bercocok tanam, atau memiliki
hak atas tanah maupun sumber daya alam di desa tertentu. Batas desa tak
membatasi pengembangan aspek-aspek kebudayaan, adat istiadat maupun interaksi
sosial warga.
Batas desa berfungsi
administratif, mengatur tata laksana pemerintahan. Ini termasuk penerbitan data
kependudukan, akta tanah, perencanaan dan pembangunan infrastuktur, yang terkait
layanan publik oleh pemerintah. Kejelasan dan ketegasan batas wilayah desa dan
batas wilayah administrasi lainnya, memperjelas alokasi pembangunan,
menghindari duplikasi perencanaan, juga menghindari terabaikannya suatu daerah
karena tumpang tindih batasnya, dengan wilayah lain. Dalam pelacakan batas
desa, kadang ditemukan adanya ketaksinkronan data atau peta batas desa yang
ada, baik itu di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Di tingkat pusat,
sebelum KSP (Kebijakan Satu Peta) ditetapkan, banyak lembaga pemerintah yang
punya data batas desa sendiri. Masing-masing lembaga punya versinya
masing-masing. Ini karena digunakan untuk keperluan sektornya. Hasilnya, ketika
ditumpangsusunkan terjadi banyak perbedaan. Perbedaan peta yang diterbitkan
oleh lembaga-lembaga sektoral di tingkat pusat maupun daerah, bukan lewat
proses yang disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri. Ini menimbulkan anggapan
bagi aparat desa, bahwa peta itu benar. Meskipun pada kenyataannya, belum tentu
benar. Malah bisa sebaliknya, peta yang lain benar, meskipun ketika ditampilkan
batas antara satu desa dengan desa lainnya yang bersebelahan, ternyata tumpang
tindih. Ini merupakan sumber kerancuan, dan berpotensi memunculkan konflik
horizontal.
Secara administrasi
pemerintahan, wilayah Indonesia saat ini, terbagi habis jadi 34 provinsi. Dan
ini akan bertambah 3 provinsi lagi. Semua wilayah dalam provinsi itu terbagi
jadi 514 kabupaten kota. Yang selanjutnya terbagi jadi 7.094 kecamatan.
Selanjutnya terbagi jadi satuan administrasi terkecil, berupa 83.436 desa dan
kelurahan. Desa jadi perhatian sangat serius, sejak disahkannya undang-undang
tentang desa di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Alokasi Dana Desa dan Munculnya Desa-Desa Baru
Warisan kebijakan
pemerintahan sebelumnya, dilanjutkan saat pemerintahan beralih. Presiden Joko
Widodo pada kampanye Pemilihan Presiden 2014, mengangkat isu tentang
pembangunan Indonesia dari pinggiran. Program yang pada pelaksanaannya,
memperkuat peran desa. Isu strategis desa makin nyata, seiring bergulirnya
alokasi dana desa, mulai tahun 2015. Ditetapkan, tiap desa memperoleh alokasi
dana desa, sebesar 1 miliar rupiah, untuk pembangunan desa.
Adanya dana desa ini,
memunculkan fenomena munculnya desa-desa baru. Bahkan, juga muncul usulan perubahan
status kelurahan, jadi desa. Ketentuan tentang pemekaran desa, sesungguhnya
telah diatur di dalam undang-undang yang memuat tentang penataan desa. Pada
proses penataan desa, terdapat 5 (lima) kegiatan. Ini meliputi: pembentukan,
penghapusan, penggabungan, perubahan status, dan penetapan desa. Syarat untuk
membentuk desa, jika desa induk telah berusia sedikitnya 5 tahun, punya
sejumlah penduduk tertentu, wilayah kerja dengan akses transportasi, punya
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya ekonomi pendukung,
sarana dan prasarana layanan publik, tersedianya dana operasional dan adanya
batas wilayah desa, yang dinyatakan dalam bentuk peta desa, melalui Peraturan
Bupati.
Poin terakhir itu,
meskipun nampak mudah tetapi menjadi hal yang paling sulit dilaksanakan hingga
saat ini. Penentu berjalan tidaknya penataan desa, adalah keseriusan Bupati.
Ini sesuai dengan aturan Menteri Dalam Negeri yang menyebutkan hasil akhir dari
proses penetapan dan penegasan batas desa adalah, keputusan Bupati.
Keseriusan pimpinan
daerah tertuang dalam kebijakan dan program kegiatan daerah, yang terwujud
dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Anggaran, tak menyangkut
besar kecilnya, tetapi lebih pada kinerja perangkat daerah dalam mewujudkan
keseriusannya. Karenanya, diperlukan parameter sasaran kinerja perangkat
daerah, dalam suatu perjanjian. Sehingga tidak ada kebingungan, organisasi
perangkat daerah yang harus melakukan penataan desa.
Memang tak mudah jika
hanya membayangkan yang terjadi dalam penataan desa. Menata desa adalah hal
yang penting segera diselesaikan guna penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Menata desa memberikan kepastian hukum dalam pembangunan dan segala aktivitas
di dalamnya. Diperlukan kelapangan hati, kedewasaaan sikap, dan rasa persatuan
sebagai bangsa. Bagi Bangsa Indonesia, menata desa dengan baik, berarti menata
Indonesia.