Sekelompok aktivis merekonstruksi TKP terkait TNI membunuh empat warga asli Papua. (Foto disediakan) |
Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia Biro Papua (PGI Papua) dan Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia (PGI), mengadakan konferensi pers pada 12 September untuk menuntut
penyelidikan yang adil dan hukuman yang berat terhadap para pelaku pembunuhan
tersebut.
“Pembunuhan dan mutilasi
adalah ‘di luar batas kemanusiaan.’ Sangat brutal. Saya berharap para tersangka
anggota TNI diadili di pengadilan sipil, bukan pengadilan militer,” kata Pastor
Bernardus Baru, OSA, ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan
Ordo Agustinian (JPIC OSA) di Papua.
Imam itu berbicara
kepada UCA News pada 13 September dan mengatakan pengadilan militer tampaknya
tidak transparan karena mereka cenderung tidak mempublikasikan putusan
pengadilan.
Dia juga mengutip
pembunuhan seorang pendeta Protestan tahun 2020 oleh seorang anggota TNI,
yang diadili di pengadilan militer.
Pendeta Yeremia
Zanambani dari Gereja Kristus Tabernakel di Indonesia ditemukan tewas
tertembak pada September 2020 di luar rumahnya di Distrik Intan Jaya, Provinsi
Papua.
Menurut tim investigasi
independen dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anggota
TNI itu diduga menyiksa dan menembaknya dari jarak dekat. Proses persidangan
masih belum diketahui.
“Dengan demikian,
proses persidangan pembunuhan dan mutilasi harus transparan. Tidak boleh
menyembunyikannya di bawah karpet. Jika demikian, kejahatan seperti itu
akan terus terjadi,” kata Pastor Baru.
“Para prajurit itu
harus dihukum dengan berat, dipenjara seumur hidup.”
Para pemimpin Gereja
menyatakan keprihatinan mereka setelah laporan menyatakan bahwa terdakwa akan
diadili di pengadilan militer.
Warga Desa Iwaka di
Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah menemukan jenazah-jenazah –
Arnold Lokmbere, Irian Nirigi, Lemanion Nirigi, dan Atis Tini – dalam karung
yang mengapung di Sungai Pigapu pada 26 Agustus.
Para prajurit itu
menuduh mereka memiliki hubungan dengan gerakan separatis pro-kemerdekaan dan
diduga membunuh mereka pada 22 Agustus setelah berpura-pura menjual senjata
kepada mereka. Tubuh mereka dimutilasi, dimasukkan ke dalam karung, dan dibuang
ke sungai.
Selain TNI, empat warga
sipil telah ditetapkan sebagai tersangka. Salah satunya masih buron.
Adriana Elisabeth dari
PGI mengatakan pengadilan militer tidak akan pernah membawa keadilan bagi
para keluarga korban.
“Kasus ini harus dibawa
ke pengadilan sipil. Intinya kita ingin proses persidangan yang transparan. Ini
penting bagi keluarga korban dan juga masyarakat. Otoritas terkait harus
memberikan perhatian serius,” katanya kepada UCA News.
Dia mengatakan kejahatan
terbaru itu menunjukkan “wilayah Papua belum aman.”
Gustaf Kawer, direktur
Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia Papua dan pengacara keluarga korban,
mengatakan kepada UCA News bahwa keluarga korban membantah tuduhan bahwa
keempat pria yang tewas itu berafiliasi dengan gerakan pro-kemerdekaan.
“Para korban hanya
masyarakat biasa. Mereka pergi ke Kota Timika untuk membeli bahan
bangunan,” katanya, seraya menambahkan polisi setempat telah mengumpulkan
keterangan dari keluarga korban.
“Keluarga korban
menginginkan hukuman yang berat bagi para tersangka – penjara seumur hidup atau
hukuman mati.”
Pangdam
XVII/Cenderawasih, Mayor Jenderal Muhammad Saleh Mustafa mengatakan kepada
wartawan pada 13 September bahwa tiga tersangka tentara diterbangkan ke
Jayapura untuk diadili di pengadilan militer, dan tiga lainnya akan
diadili di pengadilan militer segera.
Jika terbukti bersalah,
katanya, terdakwa bisa menghadapi hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Pada 12 September, Nada
Al-Nashif, penjabat Komisaris Tinggi HAM PBB, menyatakan keprihatinan tentang
kekerasan yang meningkat di Papua yang mengakibatkan korban sipil dan
pengungsian termasuk pembunuhan empat warga Papua, selama sesi ke-51 Dewan Hak
Asasi Manusia di Jenewa.
“Saya terkejut dengan
laporan baru-baru ini tentang jenazah empat warga sipil asli Papua yang ditemukan
di luar Timika di Provinsi Papua Barat pada 22 Agustus,” katanya.
“Saya mencatat upaya
awal pemerintah untuk menyelidiki, termasuk penangkapan setidaknya enam
personel militer, dan mendesak penyelidikan menyeluruh, tidak memihak, dan
independen, meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab,”
tambahnya.
Sumber: Church
leaders seek harsh sentence for Papua killings