/1/
Sambil mengingat
keindahan Paris yang dilukiskan Hemingway sebagai tiada pernah menunju
akhir, Tiada akhir bagi cogito, kata Khoiril Maqin. Begitu juga
dengan Descrates, kita terjebak dalam argumen filosofis yang sulit menemukan
titik akhir. Tidak kunjung paham. Bagaimana melalui prinsip kesangsian atas
segala sesuatu, kemudian ditandaskan pula ketepatan penalaran, ditambah lagi
posisi Tuhan yang semakin kuat? Descartes belum juga puas, kita pun diajak
berbalik arah pada diri yang sedang berfikir, pada manusia: mungkinkah aku
hanya sekumpulan daya kognitif yang terpisah dari badan? Antara daya kognitif
dan badan, bagaimana keduanya dijelaskan? Bagaimana struktur aku yang
sebenarnya? Tanpa berlama-lama pun akhirnya, kita dapati satu kepastian: saya
bingung membaca Descartes. Barangkali atas itulah kemudian gagasannya
tidak pernah selesai ditafsirkan. Dan paling rentan juga disalah tafsirkan.
Tiada akhir bagi cogito,
adalah sebuah kalimat cerdas untuk melanjutkan laku tekun mencermati gagasan
Descartes dan tafsir-tafsirnya. Tiada akhir bagi cogito adalah sebuah
alternatif di antara kebingungan memahahi gagasan Descartes serta
tafsir-tafsirnya dan keharusan menyampaikan kebenaran yang otoritatif. Tulisan
ini pun hendak saya tuntutkan pada para pembaca untuk menilai uraian saya hanya
sebagai upaya awal. Sebuah upaya merekam ingatan, tanpa sedikitpun kehendak
untuk menjadi otoritatif. Selebihnya Descartes terus mengalir dan tiada akhir.
/2/
Orang mengatakan nasib
kebenaran yang objektif telah usai, fajar pencerahan telah sirna,
pascamodernisme tiba sebagi terik yang menyengat setiap kebekuan. Kehidupan
dihadap-tantang dengan penerimaan penuh rasa cinta –amor vati– pada realitas
yang seutuhnya kautik, tidak tunduk pada konsep. Akhirnya, Relativisme (Lihat
gerakan anti-positivisme logis, Popper, Feyerabend) menjadi mode intelektual
yang laris di awal abad 20 hingga kini, termasuk di Indonesia walaupun
setengah-setengah.
Puncaknya, gerakan
Anti-Fondasionalisme terus menyuarakan begitu terbatasnya laku mengetahui
manusia, objektivitas universal hanyalah ilusi. Manusia kehilangan –atau jika
tidak malah dihilangkan- kepercayaan dirinya, ego-nya untuk menemukan kebenaran
yang kukuh ternyata penuh keterbatasan. Pragmatisme Amerika yang dirintis
Pierce, James, Dewey dan Rorty, menjadi obat penenang di tengah kebingungan
manusia menentukan orientasi ngelmu –isi kognitif kesadaran-
dan laku tindakan dalam pengalaman empiris.
Ketegangan
epistemologis, antara mengetahui sebagai aktivitas ego dan pengalaman tindakan
empiris. Antara idealisme dan empirisme. Keduanya kemudian dikerucutkan pada
pentingnya tindakan dan orientasi kebermanfaatan: Pragmatisme. Tapi, ternyata
kita tak urung juga masih terjebak dalam kebimbangan tanpa pegangan yang
disuarakan pascamodernisme.
Pada suasana seperti
itu, membaca Descartes bagi saya adalah menemukan rasa optimis. Walaupun di
mana-mana pasca-modernisme menjadi trend intelektual –jika tidak
sebuah kecentilan. Objektivitas masih dapat kita raih dengan kaidah nalar yang
jelas-terang, dan terpilah. Dalam bahasa sehari-hari: keadilan masih ada
ditengah laku sosial-politik yang saling menidak-niadakan. Kemanusiaan masih
hidup bahkan ketika kita menyaksikan setiap program moral-agama berubah menjadi
tirani sosial dengan pandu emosi untuk mensahihkan melukai setiap yang lemah,
tersisihkan dan abnormal.
Adagium cogito
ergo sum terdengar sebagai intuisi optimis, walaupun hanya bagi mereka di
sudut-sudut kantin. Kita menginginkan sebuah pegangan universal tempat
mengantungkan harap, tanpa harus merecoki kebebasan, dan partikularitas nilai,
norma, maupun kebudayaan.
/3/
Modern, sebuah kata
yang mempunyai sejarah panjang, karena kita ternyata tidak pernah absen
mengunakan kata tersebut, hingga kini. Sebuah kata yang mengartikulasikan
semangat pembaharuan, pembrontakan, gerakan penolakan terhadap masa lalu, atau
bisa sebuah avantgardisme yang keras kepala. Pada akhir abad skolastik William
dari Ockham disebut sebagai seorang modern karena penolakannya pada doktrin
skolastik.
Singkatnya, kata modern
atau filsafat modern, adalah sebuah genderang perang yang ditabuh dari dalam
suasana agamis abad tengah. Sebagai sebuah artikulasi perlawanan, yang tidak
hanya pembabagan periodik, sulit sebenarnya menentukan awal filsafat modern.
Geraknya –modernisme- sudah mulai terasa sejak dalam abad kegelapan
–skolastik- .
Perubahan-perubahan
yang terjadi di Eropa berangsur lama dan kadang malah tidak tampak sampai
kemudian benar-benar menjadi nyata di permukaan melalui Descartes. Humanisme
misalnya yang menjadi salah satu ciri khas modernisme, justru bentuk awalnya
dibangun pada abad kedua belas, berkesinambungan sampai abad delapan belas.
Descartes pun juga seorang yang mulai membangun keraguan-keraguan metodologisnya
sejak dalam abad skolastik. Sebelumnya pada abad ke enam belas Copernicus mulai
meyakinkan pada khalayak bahwa bumi bukan pusat alam semesta. Satu abad
kemudian Galileo dihukum pihak gereja karena mengembangkan ajaran Copernicus.
Dari abad keenam belas
hingga abad kedelapan belas, konfrontasi antara ilmu dan agama menjadi hal yang
biasa. Status quo yang dipegang semangat skolastik untuk menjadikan
filsafat sebagai anak bantu untuk mengkukuhkan posisi doktrin agama kristen,
tak ayal menjadi sebab satu di antara lain, setiap konfrontasi tersebut. Ilmu
bersifat sekunder, dan harus patuh pada teologi, seluruh teori mengenai alam
harus membenarkan diri di atas landasan doktrin agama.
Descartes muncul dengan
semangat untuk menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang primer. Akan tetapi kita
tidak bisa lantas dengan mudah mengatakan bahwa orientasi pada ilmu adalah
penyebab munculnya gerakan modernisme. Ada kondisi kejumudan
sosial-politik-budaya di Eropa yang tidak boleh dilupakan[1]. Ilmu hanyalah satu manifestasi dari
keinginan untuk mencapai objektivitas. Filsuf Renaissance akhir percaya
pengetahuan yang sejati benar dapat dicapai, jika dan hanya jika manusia
mempunyai kaidah metodologis yang objektif. Pengetahuan adalah kekuasaan,
seruan F. Bacon menunjukkan bahwa orientasi pada ilmu yang objektif amat
mendesak, karena ilmu ternyata tidak hanya bermanfaat ansich, tetapi juga
bisa sebagai alat politis.
Descartes yang kemudian
memberikan landasan yang mantap untuk objektivitas ilmu, yang sebelumnya
menjadi ambisi filsuf Renaisans akhir. Descartes melakukan pembalikan yang
serempak dari objetivitas ke subjektivitas. Subjektivitas dipandu dengan
prinsip keraguan yang menemukan bentuk metodis pada nalar aksiomatis.
/4/
Apa yang dilakukan
Descartes melalui kerja filosofisnya, adalah penentangan yang barangkali amat
keras kepala atas otoritas doktrin gereja abad pertengahan. Descartes
memberikan optimisme melalui keterangannya tentang akal sehat yang dimiliki
setiap manusia. Dia menekankan kemampuan akal sehat untuk mencapai otonomi intelek,
kemampuan kita untuk berpikir hanya untuk diri kita.
Filsafat Descartes
diawali dengan tuntutan bahwa kita masing-masing menetapkan bagi diri kita
kebenaran yang kita percayai, dan ini tentu menetapkan dengan kepastian. Untuk
tujuan tersebut, ia mengungkapkan suatu metode radikal, metode keraguan. Di
dalamnya semua kepercayaan harus dicurigai, ditunda sampai terbukti sebuah
kebenaran.
Descartes menuliskan
kalimat kedua dalam Meditations kedua sebagai berikut:
“SAYA DIPUKUL OLEH SEJUMLAH KEBOHONGAN YANG SAYA TERIMA TANPA RAGU SEBAGAI SEBUAH KEBENARAN KETIKA MASA KECIL. KEMUDIAN SAYA TERSADAR DAN MULAI MENDASARI SETIAP APA YANG SAYA TERIMA SEBAGAI SESUATU YANG HARUS DIRAGUKAN. SAYA PUN MENYADARI SELANJUTNYA; KERAGUAN SANGAT PENTING DALAM HIDUP SAYA. SAYA MULAI MENGHANCURKAN SEGALA SESUATU SEPENUHNYA, DAN MULAI DARI TITIK AWAL –KERAGUAN- UNTUK MEMBANGUN SEBUAH LANDASAN ILMU YANG BERTAHAN-STABIL.”[2]
Lalu apa sebenarnya
dasar pengetahuan? Jika kita mengikuti Descartes; segala sesuatu yang kita
terima secara jelas adalah benar, dari itulah pengetahuan dimungkinkan. Hal
tersebut sering dinamai sebagai lingkaran kebenaran Cartesianisme.
Namun, segala apa yang
kita terima dalam kondisi yang jelas dan terang adalah kebenaran. Tetapi,
segala sesuatu yang jelas dan terang, tidak bisa langsung secara sederhana kita
katakan sebagai benar. Jelas dan terang adalah kriterium yang memerlukan
penjelasan yang tidak mudah, tentu karena setiap orang menangkap segala
sesuatunya secara berbeda.
Tapi barangkali ada
satu hal dasar yang menjadikan kita sama; keraguan, aku yang berpikir.
Dalam Discourse on Method, segalanya disangsikan oleh Descartes
sebagai sesuatu yang tidak benar. Sedangkan sambil menyangsikan, ternyata galib
ada sesuatu yang tak tersangsikan. Aku yang berpikir, secara hakiki
merupakan sesuatu yang jelas, ada dan karena itu benar. Sebuah kepastian yang
didapat dari bibit keraguan yang terus disemai.
Pada bagian kedua
meditasi-nya[3] kita diajak mengikuti perjalanan
Descrates membayangkan dirinya keluar dari tubuh. Sekarang saya akan menutup
mata saya, menutup segala akses pendengaran ke telingga saya, saya akan
mengalihkan semua indra saya. Dan bahkan saya akan menghapus semua gambaran
tubuh dalam pikiran saya. Saya akan menganggap semua itu sebagai tidak ada dan
kosong belaka. Saya akan mencoba berbicara dengan diri saya sendiri, masuk pada
bagian paling dalam dari diri saya, mengenal dengan lebih baik diri saya.
Ternyata di sana ada kenyataan tentang saya yang sedang berpikir dan meragukan.
Menjadi jelas bagi saya, mengerti satu hal adalah juga mengabaikan hal lain,
menghendaki ini dan tidak itu. Saya yakin bahwa cara berpikir ini –sensasi dan
imajinasi-, adalah sesuatu yang murni asali, dan nyata ada dalam diriku.
Dalam Meditation I[4], ditetapkanlah alasan-alasan mengapa kita
dapat meragukan segala sesuatu, terutama hal-hal material. Ini jelas berguna
untuk memberikan landasan yang kuat bagi ilmu-ilmu. Pandangan Descartes
tersebut walaupun didasari keraguan akan tetapi memiliki manfaat sangat besar
hingga saat ini. Kita diberi jalan untuk membebaskan pikiran dari prasangka,
serta jalur untuk menarik pikiran dari campur tangan indera. Akhirnya, hal itu
berarti kita dapat meragukan apapun, sampai kemudian kita benar-benar mendapat
satu titik tentang sesuatu yang tak teragukan: cogito ergo sum.
Sikap keraguan yang
dipelopori Descartes, adalah sebuah laku metodik. Bukan keraguan yang
asal-asalan. Keraguan Descartes adalah sebuah prinsip metodologis yang
dijalankan merunut metode triade –bertahap tiga[5]. Pertama, mengesampingkan hal ikhwal yang
dapat diragukan telebih dahulu, sehingga kemudian tinggallah sesuatu yang
secara eksplisit tidak dikenal, tetapi secara implisit adalah kesadaran diri
sendiri yang dikenal. Kedua, adalah mengidentikkan aku dengan pemikiran.
Tahap ketiga, adalah mengemukakan ciri-ciri khas yang terdapat dalam pemikiran
ini.
Secara lebih rinci
prinsip metodis yang diturunkan dari aku yang menyangsikan segala sesuatu, bisa
kita cermati dalam bagian kedua Risalah tentang Metode[6]. Penjabaranya adalah bahwa yang
dikerjakan satu orang lebih utama dari yang patungan. Cotohnya dari arsitektur,
aturan kebudayaan dan tatanegara. Lebih baik mencabut akar semua pendapat orang
lain, dan mengikuti pendapat sendiri.
Metode aljabar dan
geometri perlu dilengkapi dengan suatu prinsip yang akan memperkukuhnya untuk
mencapai kebenaran. 1) tidak menerima apapun sebagai benar, kecuali diyakini
sendiri. 2) Memilah masalah menjadi bagian terkecil agar mudah diselesaikan. 3)
Berfikir runtut, sedikit-sedikit, dari sederhana sampai yang rumit. 4)
Perincian lengkap dan menyeluruh perlu supaya tidak ada yang terlupakan.
Demikian Descartes menerapkan aljabar dan geometri sambil menambal kekuranganya
dengan obsesi metodenya bisa diterapkan dalam segala ilmu. Atau paling tidak
bagi saya, memberikan sebuah langkah universal untuk memberi tunjuk ajar
bagaimana seharusnya laku mengetahui.
/5/
Kebenaran merupakan
penataan atas fakta-fakta alamiah: subjek –aku- merupakan konstruksi Tuhan yang
memungkinkan menerima segala sesuatu secara jelas sebagai kebenaran. Jadi,
menetapkan sebuah jalan mencapai kebenaran tidak bisa tidak melibatkan aku
sebagai subjek. Yang jelas memerlukan landasan metafisik terkait dengan
substansi aku; posisi aku di alam semesta, serta alam semesta itu sendiri.[7]
Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah bagimana Descartes menjelaskan setiap konstelasi
metafisik merunut sebuah alur yang koheren –sebuah prinsip metodologis-.[8] Hal tersebut wajar, karena agar
kita mendapatkan sebuah pemahaman yang adekuat tentang bagaimana manusia
mencapai pengetahuan. Sehingga dengan penjelasan tersebut pun akhirnya kita
dapat mendaku mengetahui dasar-dasar setiap laku mengetahui, walau pun tidak
dalam artian sepenuhnya mengethui segala sesuatu. Descartes tampaknya memegang
dengan sangat kukuh prinsip metodologis di atas. Descartes menulis dalam
bagian kelima meditasinya:
“SAYA MELIHAT DENGAN JELAS BAHWA KEPASTIAN DAN KEBENARAN DARI SEMUA LAKU MENGETAHUI MANUSIA [OMNIS SCIENTIA CERTITUDINEM & VERITATEM] ADALAH SESUATU YANG UNIK DAN HARUS DIGANTUNGKAN PADA KESADARAN BAHWA TUHAN ADALAH PUSAT KEBENARAN. AKHIRNYA PENGETAHUAN SAYA TENTANG APAPUN TIDAKLAH SEMPURNA, KEMUDIAN SAMPAILAH PADA SEBUAH KESADARAN TENTANG TUHAN DAN LAKU MENGETAHUI SAYA YANG TETAP HARUS DIDASAR KAN PADA KERAGU-RAGUAN.”
Prinsip tersebut
kemudian membawa masalah, terkait dengan pemikir-pemikir yang berusaha
menyanggah peryataan Descartes. Kritikan pertama datang dari Antoine
Arnauld (1612—1694) penulis objection, saya bisa mengetahui apapun hanya
melalui alasan-alasan dari setiap laku mengetahui saya. Tidak jelas bagaimana
pengetahuan bisa di didasarkan pada konstelasi metafisik tentang subjek.
“SAYA PUNYA SATU KEKHAWATIRAN LEBIH LANJUT, YAITU BAGAIMANA DESCARTES MENGHINDARI PENALARAN YANG MELINGKAR KETIKA IA MENGATAKAN: SAYA YAKIN BAHWA APA YANG KITA TERIMA SEBAGAI SESUATU YANG JELAS DAN TERANG PENUH KERAGUAN, SEMENTARA YANG JELAS BENAR ADALAH TUHAN ADA. BAGAIMANA KITA BISA YAKIN TUHAN ADA DIDASARKAN PADA PENGLIHATAN KITA ATAS SESUATU SEBAGAI IKHWAL YANG JELAS-TERANG. KARENANYA, SEBELUM KITA BISA YAKIN BAHWA TUHAN ITU ADA, KITA HARUS DAPAT MEMASTIKAN BAHWA APA PUN YANG KITA LIHAT ADALAH HAL IKHWAL JELAS DAN TERANG TANPA KERAGUAN.” [9]
Kritik Arnauld,
bertempu pada argumen Descartes untuk mempertahankan bahwa dakuan ketepatan
subjek, keberadaan Tuhan, dan kepastian aturan kebenaran laku mengetahui
(Mudahnya: Sebelum kita dapat memastikan bahwa tuhan ada, kita terlebih dulu
harus dapat memastikan bahwa segala hal-ikhwal dapat kita terima sebagai
sesuatu yang jelas dan terang maka oleh karenanya benar). Dengan kata lain
pengetahuan kita tentang tuhan didasarkan pada pengaturan kognisi metafisik
subjek dalam mencapai pengetahuan. Tapi, kemudian ternyata untuk mengetahui
dasar kognisi metafisik subjek, memerlukan terlebih dahulu pengetahuan tentang
“ tuhan itu ada”. Lalu tampak kita terjebak dalam penjelasan yang melingkar.
Keberatan kedua,
tampaklah palsu keterangan bahwa saya tidak bisa tahu apa-apa sebelum saya
mengetahui dasar-dasar dari setiap laku mengetahui –keraguan. Sebagai penengah
–Tuhan dan alam- bukankah subjek terlebih dahulu menemukan keberadaan dirinya
sendiri, sebelum dia mulai belajar bahwa tuhan ada? Untuk itu, bukankah seseorang
tidak bisa mengetahui geometri, tanpa belajar terlebih dahulu bagaimana
pencipta geometri menetapkan kaidah geometrinya. Lalu apakah masih dapat kita
katakan bahwa kejelas-terangan persepsi yang dipandu sikap berpikir yang
menyangsikan segala hal adalah selalu benar?
Terlepas dari setiap
keberatan atas pemikiran Descartes. Kini manusia diperlengkapi sebuah prinsip
metodologis yang ternyata juga didukung karena eksistensi tuhan. Tuhan
dihadirkan Descartes sebagai upaya untuk mendukung prinsip kesangsian
metodisnya. Laku dalam mengetahui ternyata tidak sempurna, dalam
ketidaksempurnaan dan dalam keraguan metodis itulah tuhan sebagai
ketidakterbatasan tak tergapai hadir. Eksistensinya bersamaan ada dengan
eksistensi aku yang sedang berpikir.
/6/
Descartes melengkapi
kita dengan metodologi dan metode meneliti manusia dan dunianya. Kini sumber
objektivitas telah ditemukan justru dalam subjektivitas itu sendiri. Kini kita
mengenal dunia luar sekaligus juga dunia dalam. Zaman modern dibangun berdasar
pada landasan yang barangkali terasa bertentangan. Walaupun modernitas berdiri
di atas landasan yang bertentangan, tapi kita pun bisa dengan mudah menemukan
keuntungan dari kebertentangan itu.
Dengan menegaskan
subjektivitas secara mutlak, Descartes dan para filsuf modern, mempunyai alat
untuk mengabaikan atau bahkan menolak otoritas gereja. Bahkan menolak setiap
pemimpin politik tertentu, jika ternyata dia melestarikan tribalisme sosial:
tiran yang otoriter. Penekanan pada subjektivitas juga membuka pintu pada egalitarianisme
yang luar biasa: kebenaran pengetahuan kini diserahkan pada diri sendiri.
Tetapi tentu hal tersebut beda dengan relativisme pasca-modern.
Setiap orang dibebaskan
menentukan kebenaran. Tetapi pada saat yang sama apa yang ditetapkan, dengan
metode pengalaman dan penalaran yang tepat, benar bukan hanya bagi diri kita
tetapi juga bagi dunia. Sebuah kebenaran yang absolut universal. Kita mengharap
kondisi kebebasan yang egaliter, tanpa penindasan, penuh dengan rasa
kemanusiaan, karena kita yakin itulah nilai-nilai universal. Dengan begitu kita
berhasrat pada universalitas kemanusiaan tanpa perlu merecoki partikularitas
nilai, tata-norma.
Sudahlah, tiada lain
selain aku yang meragu, tiada lain selain sesuatu yang benar, jelas, dan terang
terlahir dari keraguan. Descartes, adalah potret dari gerakan baru yang keras
kepala. Gerakan baru yang percaya penuh pada kemerdekaan dan kaidah-kaidah
universal yang melingkupi manusia. Karya meditation Descartes,
akhirnya kita tahu diperlengkapi juga dengan objection –kritik-kritik
terhadap Descartes. Kebenaran yang keras kepala ternyata harus tetap terbuka
pada kritik. Sebuah tunjuk ajar dari Descartes tentang sikap lain dalam ilmu:
rendah hati. (Danang Tp., Mahasiswa Filsafat UGM 12′, Pemimpin Litbang LSF
Cogito).
[1] Mengenai Aspek sosial politik kondisi eropa
yang melahirkan gerakan modernisme Lih. Robert C. Solomon, A Short History of
Philosophy, Terjemahan Saut Pasaribu (Yogyakarta: Yayasan bentang budaya,
2003).
[2] Rene Descartes, Meditations on First
Philosophy, with Selection on Objection and Replies. Terjemahan Michael
Moriarty (Oxford: Oxford World’s Classics), hal. 17.
[3] ibid., hal. 17.
[4] ibid., hal. 7.
[5] Lih Toety Heraty, Aku dalam Budaya (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984).
[6] Lih, Teoty Heraty, Dialog Filsafat dengan
Ilmu-ilmu Pengetahuan (F. Sastra UI, Orasi Guru Besar, 1994).
[7] Mengenai konstelasi –tatanan- metafisik
berupa: aturan kebenaran, alam, dan tuhan, yang kemudian menjadi dasar untuk
memahami kognisi manusia mencapai pandangan yang kukuh tentang ilmu
pengetahuan. Lih John Carriero, The Cartesian Circle and the Foundations
of Knowledge , dalam Blackwell Companion to Descartes (Blackwell
Publishing Ltd, 2008).
[8] Pada bagian ini saya mengikuti uraian John
Carriero, dengan beberapa penyesuaian tentunya.
[9] Arnauld dalam Descartes, Meditations on
First Philosophy, Op. Cit., hal. 17.