Descartes, Optimisme Modernitas dan Soal Kebenaran dari Keraguan yang Keras Kepala (Secangkir Kopi dan Surya 12)

Descartes, Optimisme Modernitas dan Soal Kebenaran dari Keraguan yang Keras Kepala (Secangkir Kopi dan Surya 12)



/1/

Sambil mengingat keindahan Paris yang dilukiskan Hemingway sebagai tiada pernah menunju akhir, Tiada akhir bagi cogito, kata Khoiril Maqin. Begitu juga dengan Descrates, kita terjebak dalam argumen filosofis yang sulit menemukan titik akhir. Tidak kunjung paham. Bagaimana melalui prinsip kesangsian atas segala sesuatu, kemudian ditandaskan pula ketepatan penalaran, ditambah lagi posisi Tuhan yang semakin kuat? Descartes belum juga puas, kita pun diajak berbalik arah pada diri yang sedang berfikir, pada manusia: mungkinkah aku hanya sekumpulan daya kognitif yang terpisah dari badan? Antara daya kognitif dan badan, bagaimana keduanya dijelaskan? Bagaimana struktur aku yang sebenarnya? Tanpa berlama-lama pun akhirnya, kita dapati satu kepastian: saya bingung membaca Descartes. Barangkali atas itulah kemudian gagasannya tidak pernah selesai ditafsirkan. Dan paling rentan juga disalah tafsirkan.

Tiada akhir bagi cogito, adalah sebuah kalimat cerdas untuk melanjutkan laku tekun mencermati gagasan Descartes dan tafsir-tafsirnya. Tiada akhir bagi cogito adalah sebuah alternatif di antara kebingungan memahahi gagasan Descartes serta tafsir-tafsirnya dan keharusan menyampaikan kebenaran yang otoritatif. Tulisan ini pun hendak saya tuntutkan pada para pembaca untuk menilai uraian saya hanya sebagai upaya awal. Sebuah upaya merekam ingatan, tanpa sedikitpun kehendak untuk menjadi otoritatif. Selebihnya Descartes terus mengalir dan tiada akhir.

/2/

Orang mengatakan nasib kebenaran yang objektif telah usai, fajar pencerahan telah sirna, pascamodernisme tiba sebagi terik yang menyengat setiap kebekuan. Kehidupan dihadap-tantang dengan penerimaan penuh rasa cinta –amor vati– pada realitas yang seutuhnya kautik, tidak tunduk pada konsep. Akhirnya, Relativisme (Lihat gerakan anti-positivisme logis, Popper, Feyerabend) menjadi mode intelektual yang laris di awal abad 20 hingga kini, termasuk di Indonesia walaupun setengah-setengah.

Puncaknya, gerakan Anti-Fondasionalisme terus menyuarakan begitu terbatasnya laku mengetahui manusia, objektivitas universal hanyalah ilusi. Manusia kehilangan –atau jika tidak malah dihilangkan- kepercayaan dirinya, ego-nya untuk menemukan kebenaran yang kukuh ternyata penuh keterbatasan. Pragmatisme Amerika yang dirintis Pierce, James, Dewey dan Rorty, menjadi obat penenang di tengah kebingungan manusia menentukan orientasi ngelmu –isi kognitif kesadaran- dan laku tindakan dalam pengalaman empiris.

Ketegangan epistemologis, antara mengetahui sebagai aktivitas ego dan pengalaman tindakan empiris. Antara idealisme dan empirisme. Keduanya kemudian dikerucutkan pada pentingnya tindakan dan orientasi kebermanfaatan: Pragmatisme. Tapi, ternyata kita tak urung juga masih terjebak dalam kebimbangan tanpa pegangan yang disuarakan pascamodernisme.

Pada suasana seperti itu, membaca Descartes bagi saya adalah menemukan rasa optimis. Walaupun di mana-mana pasca-modernisme menjadi trend intelektual –jika tidak sebuah kecentilan. Objektivitas masih dapat kita raih dengan kaidah nalar yang jelas-terang, dan terpilah. Dalam bahasa sehari-hari: keadilan masih ada ditengah laku sosial-politik yang saling menidak-niadakan. Kemanusiaan masih hidup bahkan ketika kita menyaksikan setiap program moral-agama berubah menjadi tirani sosial dengan pandu emosi untuk mensahihkan melukai setiap yang lemah, tersisihkan dan abnormal.

Adagium cogito ergo sum terdengar sebagai intuisi optimis, walaupun hanya bagi mereka di sudut-sudut kantin. Kita menginginkan sebuah pegangan universal tempat mengantungkan harap, tanpa harus merecoki kebebasan, dan partikularitas nilai, norma, maupun kebudayaan.

/3/

Modern, sebuah kata yang mempunyai sejarah panjang, karena kita ternyata tidak pernah absen mengunakan kata tersebut, hingga kini. Sebuah kata yang mengartikulasikan semangat pembaharuan, pembrontakan, gerakan penolakan terhadap masa lalu, atau bisa sebuah avantgardisme yang keras kepala. Pada akhir abad skolastik William dari Ockham disebut sebagai seorang modern karena penolakannya pada doktrin skolastik.

Singkatnya, kata modern atau filsafat modern, adalah sebuah genderang perang yang ditabuh dari dalam suasana agamis abad tengah. Sebagai sebuah artikulasi perlawanan, yang tidak hanya pembabagan periodik, sulit sebenarnya menentukan awal filsafat modern. Geraknya –modernisme-  sudah mulai terasa sejak dalam abad kegelapan –skolastik- .

Perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa berangsur lama dan kadang malah tidak tampak sampai kemudian benar-benar menjadi nyata di permukaan melalui Descartes. Humanisme misalnya yang menjadi salah satu ciri khas modernisme, justru bentuk awalnya dibangun pada abad kedua belas, berkesinambungan sampai abad delapan belas. Descartes pun juga seorang yang mulai membangun keraguan-keraguan metodologisnya sejak dalam abad skolastik. Sebelumnya pada abad ke enam belas Copernicus mulai meyakinkan pada khalayak bahwa bumi bukan pusat alam semesta. Satu abad kemudian Galileo dihukum pihak gereja karena mengembangkan ajaran Copernicus.

Dari abad keenam belas hingga abad kedelapan belas, konfrontasi antara ilmu dan agama menjadi hal yang biasa. Status quo yang dipegang semangat skolastik untuk menjadikan filsafat sebagai anak bantu untuk mengkukuhkan posisi doktrin agama kristen, tak ayal menjadi sebab satu di antara lain, setiap konfrontasi tersebut. Ilmu bersifat sekunder, dan harus patuh pada teologi, seluruh teori mengenai alam harus membenarkan diri di atas landasan doktrin agama.

Descartes muncul dengan semangat untuk menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang primer. Akan tetapi kita tidak bisa lantas dengan mudah mengatakan bahwa orientasi pada ilmu adalah penyebab munculnya gerakan modernisme. Ada kondisi kejumudan sosial-politik-budaya di Eropa yang tidak boleh dilupakan[1]. Ilmu hanyalah satu manifestasi dari keinginan untuk mencapai objektivitas. Filsuf Renaissance akhir percaya pengetahuan yang sejati benar dapat dicapai, jika dan hanya jika manusia mempunyai kaidah metodologis yang objektif. Pengetahuan adalah kekuasaan, seruan F. Bacon menunjukkan bahwa orientasi pada ilmu yang objektif amat mendesak, karena ilmu ternyata tidak hanya bermanfaat ansich, tetapi juga bisa sebagai alat politis.

Descartes yang kemudian memberikan landasan yang mantap untuk objektivitas ilmu,  yang sebelumnya menjadi ambisi filsuf Renaisans akhir. Descartes melakukan pembalikan yang serempak dari objetivitas ke subjektivitas. Subjektivitas dipandu dengan prinsip keraguan yang menemukan bentuk metodis pada nalar aksiomatis.

/4/

Apa yang dilakukan Descartes melalui kerja filosofisnya, adalah penentangan yang barangkali amat keras kepala atas otoritas doktrin gereja abad pertengahan. Descartes memberikan optimisme melalui keterangannya tentang akal sehat yang dimiliki setiap manusia. Dia menekankan kemampuan akal sehat untuk mencapai otonomi intelek, kemampuan kita untuk berpikir hanya untuk diri kita.

Filsafat Descartes diawali dengan tuntutan bahwa kita masing-masing menetapkan bagi diri kita kebenaran yang kita percayai, dan ini tentu menetapkan dengan kepastian. Untuk tujuan tersebut, ia mengungkapkan suatu metode radikal, metode keraguan. Di dalamnya semua kepercayaan harus dicurigai, ditunda sampai terbukti sebuah kebenaran.

Descartes menuliskan kalimat kedua dalam Meditations kedua sebagai berikut:

“SAYA DIPUKUL OLEH SEJUMLAH KEBOHONGAN YANG SAYA TERIMA TANPA RAGU SEBAGAI SEBUAH KEBENARAN KETIKA MASA KECIL. KEMUDIAN SAYA TERSADAR DAN MULAI MENDASARI SETIAP APA YANG SAYA TERIMA SEBAGAI SESUATU YANG HARUS DIRAGUKAN. SAYA PUN MENYADARI SELANJUTNYA; KERAGUAN SANGAT PENTING DALAM HIDUP SAYA. SAYA MULAI MENGHANCURKAN SEGALA SESUATU SEPENUHNYA, DAN MULAI DARI TITIK AWAL –KERAGUAN- UNTUK MEMBANGUN SEBUAH LANDASAN ILMU YANG BERTAHAN-STABIL.”[2]

Lalu apa sebenarnya dasar pengetahuan? Jika kita mengikuti Descartes; segala sesuatu yang kita terima secara jelas adalah benar, dari itulah pengetahuan dimungkinkan. Hal tersebut sering dinamai sebagai lingkaran kebenaran Cartesianisme.

Namun, segala apa yang kita terima dalam kondisi yang jelas dan terang adalah kebenaran. Tetapi, segala sesuatu yang jelas dan terang, tidak bisa langsung secara sederhana kita katakan sebagai benar. Jelas dan terang adalah kriterium yang memerlukan penjelasan yang tidak mudah, tentu karena setiap orang menangkap segala sesuatunya secara berbeda.

Tapi barangkali ada satu hal dasar yang menjadikan kita sama; keraguan, aku yang berpikir. Dalam Discourse on Method, segalanya disangsikan oleh Descartes  sebagai sesuatu yang tidak benar. Sedangkan sambil menyangsikan, ternyata galib ada sesuatu yang tak tersangsikan. Aku yang berpikir, secara hakiki merupakan sesuatu yang jelas, ada dan karena itu benar. Sebuah kepastian yang didapat dari bibit keraguan yang terus disemai.

Pada bagian kedua meditasi-nya[3] kita diajak mengikuti perjalanan Descrates membayangkan dirinya keluar dari tubuh. Sekarang saya akan menutup mata saya, menutup segala akses pendengaran ke telingga saya, saya akan mengalihkan semua indra saya. Dan bahkan saya akan menghapus semua gambaran tubuh dalam pikiran saya. Saya akan menganggap semua itu sebagai tidak ada dan kosong belaka. Saya akan mencoba berbicara dengan diri saya sendiri, masuk pada bagian paling dalam dari diri saya, mengenal dengan lebih baik diri saya. Ternyata di sana ada kenyataan tentang saya yang sedang berpikir dan meragukan. Menjadi jelas bagi saya, mengerti satu hal adalah juga mengabaikan hal lain, menghendaki ini dan tidak itu. Saya yakin bahwa cara berpikir ini –sensasi dan imajinasi-, adalah sesuatu yang murni asali, dan nyata ada dalam diriku.

Dalam Meditation I[4], ditetapkanlah alasan-alasan mengapa kita dapat meragukan segala sesuatu, terutama hal-hal material. Ini jelas berguna untuk memberikan landasan yang kuat bagi ilmu-ilmu. Pandangan Descartes tersebut walaupun didasari keraguan akan tetapi memiliki manfaat sangat besar hingga saat ini. Kita diberi jalan untuk membebaskan pikiran dari prasangka, serta jalur untuk menarik pikiran dari campur tangan indera. Akhirnya, hal itu berarti kita dapat meragukan apapun, sampai kemudian kita benar-benar mendapat satu titik tentang sesuatu yang tak teragukan: cogito ergo sum.

Sikap keraguan yang dipelopori Descartes, adalah sebuah laku metodik. Bukan keraguan yang asal-asalan. Keraguan Descartes adalah sebuah prinsip metodologis yang dijalankan merunut metode triade –bertahap tiga[5]. Pertama, mengesampingkan hal ikhwal yang dapat diragukan telebih dahulu, sehingga kemudian tinggallah sesuatu yang secara eksplisit tidak dikenal, tetapi secara implisit adalah kesadaran diri sendiri yang dikenal.  Kedua, adalah mengidentikkan aku dengan pemikiran. Tahap ketiga, adalah mengemukakan ciri-ciri khas yang terdapat dalam pemikiran ini.

Secara lebih rinci prinsip metodis yang diturunkan dari aku yang menyangsikan segala sesuatu, bisa kita cermati dalam bagian kedua Risalah tentang Metode[6]. Penjabaranya adalah bahwa yang dikerjakan satu orang lebih utama dari yang patungan. Cotohnya dari arsitektur, aturan kebudayaan dan tatanegara. Lebih baik mencabut akar semua pendapat orang lain, dan mengikuti pendapat sendiri.

Metode aljabar dan geometri perlu dilengkapi dengan suatu prinsip yang akan memperkukuhnya untuk mencapai kebenaran. 1) tidak menerima apapun sebagai benar, kecuali diyakini sendiri. 2) Memilah masalah menjadi bagian terkecil agar mudah diselesaikan. 3) Berfikir runtut, sedikit-sedikit, dari sederhana sampai yang rumit. 4) Perincian lengkap dan menyeluruh perlu supaya tidak ada yang terlupakan. Demikian Descartes menerapkan aljabar dan geometri sambil menambal kekuranganya dengan obsesi metodenya bisa diterapkan dalam segala ilmu. Atau paling tidak bagi saya, memberikan sebuah langkah universal untuk memberi tunjuk ajar bagaimana seharusnya laku mengetahui.

/5/

Kebenaran merupakan penataan atas fakta-fakta alamiah: subjek –aku- merupakan konstruksi Tuhan yang memungkinkan menerima segala sesuatu secara jelas sebagai kebenaran. Jadi, menetapkan sebuah jalan mencapai kebenaran tidak bisa tidak melibatkan aku sebagai subjek. Yang jelas memerlukan landasan metafisik terkait dengan substansi aku; posisi aku di alam semesta, serta alam semesta itu sendiri.[7]

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagimana Descartes menjelaskan setiap konstelasi metafisik merunut sebuah alur yang koheren –sebuah prinsip metodologis-.[8]  Hal tersebut wajar, karena agar kita mendapatkan sebuah pemahaman yang adekuat tentang bagaimana manusia mencapai pengetahuan. Sehingga dengan penjelasan tersebut pun akhirnya kita dapat mendaku mengetahui dasar-dasar setiap laku mengetahui, walau pun tidak dalam artian sepenuhnya mengethui segala sesuatu. Descartes tampaknya memegang dengan sangat kukuh prinsip metodologis di atas.  Descartes menulis dalam bagian kelima meditasinya:

“SAYA MELIHAT DENGAN JELAS BAHWA KEPASTIAN DAN KEBENARAN DARI SEMUA LAKU MENGETAHUI MANUSIA [OMNIS SCIENTIA CERTITUDINEM & VERITATEM] ADALAH SESUATU YANG UNIK DAN HARUS DIGANTUNGKAN PADA KESADARAN BAHWA TUHAN ADALAH PUSAT KEBENARAN. AKHIRNYA PENGETAHUAN SAYA TENTANG APAPUN TIDAKLAH SEMPURNA, KEMUDIAN SAMPAILAH PADA SEBUAH KESADARAN TENTANG TUHAN DAN LAKU MENGETAHUI SAYA YANG TETAP HARUS DIDASAR KAN PADA KERAGU-RAGUAN.”

Prinsip tersebut kemudian membawa masalah, terkait dengan pemikir-pemikir yang berusaha menyanggah peryataan Descartes. Kritikan pertama datang dari Antoine Arnauld (1612—1694) penulis objection, saya bisa mengetahui apapun hanya melalui alasan-alasan dari setiap laku mengetahui saya. Tidak jelas bagaimana pengetahuan bisa di didasarkan pada konstelasi metafisik tentang subjek.

“SAYA PUNYA SATU KEKHAWATIRAN LEBIH LANJUT, YAITU BAGAIMANA DESCARTES MENGHINDARI PENALARAN YANG MELINGKAR KETIKA IA MENGATAKAN: SAYA YAKIN BAHWA APA YANG KITA TERIMA SEBAGAI SESUATU YANG JELAS DAN TERANG PENUH KERAGUAN, SEMENTARA YANG JELAS BENAR ADALAH TUHAN ADA. BAGAIMANA KITA BISA YAKIN TUHAN ADA DIDASARKAN PADA PENGLIHATAN KITA ATAS SESUATU SEBAGAI IKHWAL YANG JELAS-TERANG. KARENANYA, SEBELUM KITA BISA YAKIN BAHWA TUHAN ITU ADA, KITA HARUS DAPAT MEMASTIKAN BAHWA APA PUN YANG KITA LIHAT ADALAH HAL IKHWAL JELAS DAN TERANG TANPA KERAGUAN.” [9]

Kritik Arnauld, bertempu pada argumen Descartes untuk mempertahankan bahwa dakuan ketepatan subjek, keberadaan Tuhan, dan kepastian aturan kebenaran laku mengetahui (Mudahnya: Sebelum kita dapat memastikan bahwa tuhan ada, kita terlebih dulu harus dapat memastikan bahwa segala hal-ikhwal dapat kita terima sebagai sesuatu yang jelas dan terang maka oleh karenanya benar). Dengan kata lain pengetahuan kita tentang tuhan didasarkan pada pengaturan kognisi metafisik subjek dalam mencapai pengetahuan. Tapi, kemudian ternyata untuk mengetahui dasar kognisi metafisik subjek, memerlukan terlebih dahulu pengetahuan tentang “ tuhan itu ada”. Lalu tampak kita terjebak dalam penjelasan yang melingkar.

Keberatan kedua, tampaklah palsu keterangan bahwa saya tidak bisa tahu apa-apa sebelum saya mengetahui dasar-dasar dari setiap laku mengetahui –keraguan. Sebagai penengah –Tuhan dan alam- bukankah subjek terlebih dahulu menemukan keberadaan dirinya sendiri, sebelum dia mulai belajar bahwa tuhan ada? Untuk itu, bukankah seseorang tidak bisa mengetahui geometri, tanpa belajar terlebih dahulu bagaimana pencipta geometri menetapkan kaidah geometrinya. Lalu apakah masih dapat kita katakan bahwa kejelas-terangan persepsi yang dipandu sikap berpikir yang menyangsikan segala hal adalah selalu benar?

Terlepas dari setiap keberatan atas pemikiran Descartes. Kini manusia diperlengkapi sebuah prinsip metodologis yang ternyata juga didukung karena eksistensi tuhan. Tuhan dihadirkan Descartes sebagai upaya untuk mendukung prinsip kesangsian metodisnya. Laku dalam mengetahui ternyata tidak sempurna, dalam ketidaksempurnaan dan dalam keraguan metodis itulah tuhan sebagai ketidakterbatasan tak tergapai hadir. Eksistensinya bersamaan ada dengan eksistensi aku yang sedang berpikir.

/6/

Descartes melengkapi kita dengan metodologi dan metode meneliti manusia dan dunianya. Kini sumber objektivitas telah ditemukan justru dalam subjektivitas itu sendiri. Kini kita mengenal dunia luar sekaligus juga dunia dalam. Zaman modern dibangun berdasar pada landasan yang barangkali terasa bertentangan. Walaupun modernitas berdiri di atas landasan yang bertentangan, tapi kita pun bisa dengan mudah menemukan keuntungan dari kebertentangan itu.

Dengan menegaskan subjektivitas secara mutlak, Descartes dan para filsuf modern, mempunyai alat untuk mengabaikan atau bahkan menolak otoritas gereja. Bahkan menolak setiap pemimpin politik tertentu, jika ternyata dia melestarikan tribalisme sosial: tiran yang otoriter. Penekanan pada subjektivitas juga membuka pintu pada egalitarianisme yang luar biasa: kebenaran pengetahuan kini diserahkan pada diri sendiri. Tetapi tentu hal tersebut beda dengan relativisme pasca-modern.

Setiap orang dibebaskan menentukan kebenaran. Tetapi pada saat yang sama apa yang ditetapkan, dengan metode pengalaman dan penalaran yang tepat, benar bukan hanya bagi diri kita tetapi juga bagi dunia. Sebuah kebenaran yang absolut universal. Kita mengharap kondisi kebebasan yang egaliter, tanpa penindasan, penuh dengan rasa kemanusiaan, karena kita yakin itulah nilai-nilai universal. Dengan begitu kita berhasrat pada universalitas kemanusiaan tanpa perlu merecoki partikularitas nilai, tata-norma.

Sudahlah, tiada lain selain aku yang meragu, tiada lain selain sesuatu yang benar, jelas, dan terang terlahir dari keraguan. Descartes, adalah potret dari gerakan baru yang keras kepala. Gerakan baru yang percaya penuh pada kemerdekaan dan kaidah-kaidah universal yang melingkupi manusia. Karya meditation Descartes, akhirnya kita tahu diperlengkapi juga dengan objection –kritik-kritik terhadap Descartes. Kebenaran yang keras kepala ternyata harus tetap terbuka pada kritik. Sebuah tunjuk ajar dari Descartes tentang sikap lain dalam ilmu: rendah hati. (Danang Tp., Mahasiswa Filsafat UGM 12′, Pemimpin Litbang LSF Cogito).

[1] Mengenai Aspek sosial politik kondisi eropa yang melahirkan gerakan modernisme Lih. Robert C. Solomon, A Short History of Philosophy, Terjemahan Saut Pasaribu (Yogyakarta: Yayasan bentang budaya, 2003).

[2] Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, with Selection on Objection and Replies. Terjemahan Michael Moriarty (Oxford: Oxford World’s Classics), hal. 17.

[3] ibid., hal. 17.

[4] ibid., hal. 7.

[5] Lih Toety Heraty, Aku dalam Budaya (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

[6] Lih, Teoty Heraty, Dialog Filsafat dengan Ilmu-ilmu Pengetahuan (F. Sastra UI, Orasi Guru Besar, 1994).

[7] Mengenai konstelasi –tatanan- metafisik berupa: aturan kebenaran, alam, dan tuhan, yang kemudian menjadi dasar untuk memahami kognisi manusia mencapai pandangan yang kukuh tentang ilmu pengetahuan. Lih John Carriero, The Cartesian Circle and the Foundations of Knowledge , dalam Blackwell Companion to Descartes (Blackwell Publishing Ltd,  2008).

[8] Pada bagian ini saya mengikuti uraian John Carriero, dengan beberapa penyesuaian tentunya.

[9] Arnauld dalam Descartes, Meditations on First Philosophy, Op. Cit., hal. 17.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama