* Beato Paus Yohanes XXIII sudah dinyatakan sebagai Santo lewat kanonisasi oleh Paus Fransiskus pada tanggal 27 April 2014.- Sumber : yesaya.indocell.net
* Beato Paus Yohanes XXIII sudah dinyatakan sebagai Santo lewat kanonisasi oleh Paus Fransiskus pada tanggal 27 April 2014. Sumber : yesaya.indocell.net |
Jenazah Bapa Paus
Yohanes XXIII hendak dipindahkan dari makam yang sekarang di ruang bawah tanah
St. Petrus ke suatu makam baru di atas, dalam basilika itu sendiri, di
altar yang dipersembahkan demi menghormati St. Hieronimus.
Paus Yohanes Paulus II
menginstruksikan pemindahan tersebut guna menegaskan kekudusan paus
pendahulunya itu dan guna memungkinkan umat beriman dapat lebih mudah
menghormatinya.
Ketika peti jenazah
dibuka, Kardinal Noe mengatakan bahwa wajah Bapa Paus Yohanes XXIII tampak
“utuh dan damai”. Laporan resmi menyatakan, “Begitu kain selubung dibuka, wajah
beato tampak utuh, dengan kedua mata tertutup dan mulut sedikit terbuka, dengan
roman muka yang segera mengingatkan orang pada penampilan familiar paus yang
dihormati itu.” Kedua tangan Bapa Suci, yang masih menggenggam sebuah rosario,
juga masih utuh.
Pemeriksaan yang
demikian merupakan langkah penting yang perlu dilakukan dalam proses
kanonisasi. Kardinal Prospero Lambertini (yang dikemudian hari menjadi Paus
Benediktus XIV, 1675-1758) menulis lima jilid buku berjudul De Beatificatione
Servorum Dei et de Beatorum Canonizatione di mana ia menuliskan dua bab, De
Cadaverum Incorruptione.
Karya ini tetap
merupakan referensi klasik dalam perkara demikian. Jenazah yang tak rusak merupakan
sesuatu yang luar biasa dan karenanya jenazah yang tidak mengalami proses
pengawetan, namun tetap mempertahankan rona, kesegaran dan kelenturan seolah
hidup setelah bertahun-tahun kematian, merupakan suatu mukjizat. Secara
spiritualitas, tanda demikian merupakan indikasi bahwa jenazah orang tersebut
dipersiapkan untuk kebangkitan tubuh dengan mulia.
Bersamaan dengan
incorruptibilitas keadaan jenazah yang tak rusak) adalah tanda “harum surgawi”,
suatu fenomena di mana jenazah atau makam seorang kudus memancarkan bau harum
semerbak.
Dalam Perjanjian Lama,
bau wangi-wangian dipergunakan untuk menyatakan bahwa seseorang berkenan kepada
Allah dan kudus dalam pandangan-Nya. Biasanya, bau harum ini khas dan tak dapat
diperbandingkan dengan wangi-wangian apapun. Kardinal Lambertini mengatakan
bahwa dalam kasus tubuh yang mati, nyaris tak mungkin ia tidak memancarkan bau
busuk, lebih tak masuk akal lagi jika jenazah memancarkan bau harum.
Sebab itu, bau harum
yang terpancar tersebut pastilah berasal dari suatu kuasa adikodrati dan
karenanya dianggap sebagai mukjizat. Walau demikian, perlu dicatat, bahwa iblis
pun dapat membuat “bau harum mewangi”; jadi tanda ini harus dipertalikan dan
didukung dengan kekudusan hidup orang yang meninggal tersebut secara keseluruhan.
Dalam mempertimbangkan
fenomena ini, faktor-faktor lain harus diperhitungkan juga. Sebagai contoh,
jenazah Beato Paus Yohanes XXIII ditempatkan dalam suatu peti pualam yang
terdiri dari tiga peti – satu dari kayu oak, satu dari timah dan satu dari cypress
(semacam kayu cemara). Walau jenazahnya tidak diawetkan, namun jenazah telah
disemprot dengan bahan-bahan kimia agar dapat dipertontonkan sebelum
dimakamkan.
Nazareno Gabrielli,
seorang tenaga ahli dari Vatican Museums, mengatakan, “Ketika beliau wafat,
diambil langkah-langkah agar jenazah dapat dipertontonkan untuk dihormati oleh
umat beriman. Jangan dilupakan juga bahwa jenazah dimasukkan dalam tiga peti,
di mana salah satunya disegel dengan timah.”
Sebab itu, kemungkinan
sedikit oksigen menembus ke dalam peti mati dan mempengaruhi jenazah. (Setelah
jenazah diperiksa secara resmi, jenazah disemprot dengan bahan anti-bakteri,
dan peti disegel kedap udara).
Pada pokoknya, jenazah
yang tak rusak merupakan tanda kekudusan hidup seseorang. Jenazah St Bernadette
Soubirous (1844-1879) dan St Katarina Laboure (1806-1876) juga tetap tak rusak
hingga kini, walau jenazah mereka tidak diawetkan dan tidak terlindung dari
berbagai macam unsur selama bertahun-tahun sebelum makam mereka digali kembali.
Karenanya, orang dapat melihat dengan pasti bagaimana tangan Tuhan bekerja
dalam memelihara jenazah Beato Paus Yohanes XXIII; juga yang mengagumkan adalah
bagaimana beliau melewatkan masa hidupnya dengan hidup kudus.