Dikutip dari laman Perpusnas, Kamis (30/6/2022), Hoegeng Iman Santoso lahir di
Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921. Ia masuk pendidikan HIS pada usia
enam tahun, kemudian melanjutkan ke MULO (1934) dan menempuh sekolah menengah
di AMS Westers Klasiek (1937). Setelah itu, ia belajar ilmu hukum di Rechts
Hoge School Batavia tahun 1940.
Sewaktu pendudukan
Jepang, Hoegeng pernah mengikuti latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto
Keisatsu Ka I-Kai (1943).
Selanjutnya, pada tahun
1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada
Military Police School Port Gordon, George, AS. Dari situ, ia menjabat Kepala
DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian
Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan. Tahun 1959,
mengikuti pendidikan Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II
Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran
Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Kemudian
pada 5 Mei 1968, Hoegeng diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara.
Banyak hal yang terjadi
selama masa kepemimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng
melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di
tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru terkesan lebih dinamis dan
komunikatif.
Kedua, adalah soal
perubahan nama pimpinan polisi dan markas besarnya. Berdasarkan Keppres No.52
Tahun 1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI diubah menjadi Kepala
Kepolisian RI (Kapolri). Dengan begitu, nama Markas Besar Angkatan Kepolisian
pun berubah menjadi Markas Besar Kepolisian.
Perubahan itu membawa
sejumlah konsekuensi untuk beberapa instansi yang berada di Kapolri. Misalnya,
sebutan Panglima Daerah Kepolisian menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau
Kadapol. Demikian pula sebutan Seskoak menjadi Seskopol. Di bawah kepemimpinan
Hoegeng peran serta Polri dalam peta organisasi Polisi Internasional,
International Criminal Police Organization (ICPO), semakin aktif, ditandai
dengan dibukanya Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol di Jakarta.
Tak hanya itu, selama
menjadi Kapolri, Hoegeng dikenal sebagai sosok yang jujur, sederhana dan
pekerja keras. Hoegeng sangat memakai fasilitas negara untuk kepentingan
pribadi. Selain itu, Hoegeng juga tak segan untuk turun ke jalan jika melihat
kemacetan lalu lintas. Kejujuran dan kesederhanaan Hoegeng inilah yang
membuatnya menjadi tokoh yang akan terus dikenang.
Hoegeng mengakhiri masa
jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971. Atas semua pengabdiannya kepada negara,
ia telah menerima sejumlah tanda jasa, seperti Bintang Gerilya, Bintang Dharma,
Bintang Bhayangkara I, Bintang Kartika Eka Paksi I, Bintang Jalasena I, dan
Bintang Swa Buana Paksa I..Dia pun menerima sederet Satya Lencana, misalnya SL
Sapta Marga, SL Perang Ke-merdekaan (I dan II), SL Peringatan Kemerdekaan, SL
Prasetya Pancawarsa, SL Dasa Warsa, SL GOM I, SL Yana Utama, SL Penegak dan SL
Ksatria Tamtama.
Hoegeng Iman Santoso
meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli
2004 pukul 00.30 WIB. Sebelumnya, sejak 13 Mei 2004, ia telah dirawat intensif
di RS Polri Kramat Jati, Jakarta akibat mengalami stroke, penyumbatan saluran
pembuluh jantung, dan pendarahan bagian lambung.
Jenazahnya dimakamkan
di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giritama, Desa Tonjo, Bojong Gede, Bogor, Jawa
Barat pada Rabu siang 14 Juli 2004.
***
Jenderal Hoegeng adalah
satu teladan dan tokoh yang terkenal jujur dan anti korupsi. Beliau merupakan
salah satu tokoh Kepolisian Republik Indonesia yang pernah menjabat sebagai
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-5 yang bertugas dari tahun
1968-1971. Berbeda dengan polisi lainnya di masa itu, Hoegeng tidak mempan
disuap. Baginya, lebih baik hidup melarat dari pada menerima suap atau korupsi.
Inilah beberapa kisah dan kiprah Jenderal Hoegeng sejak merintis karier sebagai
polisi hingga berpuncak pada karier sebagai Kapolri:
1. Larang istri buka toko bunga
Saat dilantik sebagai
Kepala Jawatan Imigrasi, Hoegeng meminta istrinya yang saat itu membuka usaha
toko bunga untuk menutup usahanya. Hal ini dilakukannya untuk mengurangi
benturan kepentingan antara pihak yang berurusan dengan imigrasi dengan memesan
kembang pada toko bunga istrinya.
2. Tolak rayuan pengusaha
Kapolri Hoegeng pun
pernah merasakan godaan suap. Dia pernah dirayu seorang pengusaha yang terlibat
kasus penyelundupan. Pengusaha itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya
tak dilanjutkan ke pengadilan. Jenderal Hoegeng sangat gencar memerangi
penyelundupan. Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti
disikatnya. Pengusaha tersebut berusaha mengajak damai Hoegeng. Berbagai hadiah
mewah dikirim ke alamat Hoegeng. Tentu saja Hoegeng menolak mentah-mentah.
Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng.
3. Mengatur lalu lintas di perempatan
Teladan Jenderal
Hoegeng bukan hanya soal kejujuran dan antikorupsi. Hoegeng juga sangat peduli
pada masyarakat dan anak buahnya. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat
Jenderal berbintang empat, Hoegeng masih turun tangan mengatur lalu lintas di
perempatan. Hoegeng berpendapat seorang polisi adalah pelayan masyarakat. Dari
mulai pangkat terendah sampai tertinggi, tugasnya adalah mengayomi masyarakat.
4. Berantas semua beking kejahatan
Pada saat mendapat
perintah pindah tugas ke Sumatera Utara tahun 1955, Hoegeng mendapat tugas
berat untuk memberantas penyeludupan dan perjudian di daerah tersebut.
Ironisnya, baru saja Hoegeng mendarat di Pelabuhan Belawan, utusan seorang
bandar judi sudah mendekatinya. Utusan itu menyampaikan selamat datang untuk
Hoegeng. Tak lupa, dia juga mengatakan sudah ada mobil dan rumah untuk Hoegeng
hadiah dari para pengusaha. Hoegeng menolak dengan halus. Dia memilih tinggal
di Hotel De Boer menunggu sampai rumah dinasnya tersedia. Bahkan saat rumah
dinasnya sudah tersedia, rumah dinasnya sudah penuh barang-barang mewah. Mulai
dari kulkas, piano, tape hingga sofa mahal. Ternyata barang itu lagi-lagi
hadiah dari para bandar judi. Apa tindakan Hoegeng? Dia memerintahkan polisi
pembantunya dan para kuli angkut mengeluarkan barang-barang itu dari rumahnya.
Diletakkan begitu saja di depan rumah. Bagi Hoegeng itu lebih baik daripada
melanggar sumpah jabatan dan sumpah sebagai polisi Republik Indonesia.
5. Selalu berpesan polisi jangan sampai dibeli
Hoegeng telah
membuktikan dirinya memang tidak bisa dibeli. Sejak menjadi perwira polisi di
Sumatera Utara, Hoegeng terkenal karena keberanian dan kejujurannya. Dia tak
sudi menerima suap sepeser pun. Barang-barang hadiah pemberian penjudi
dilemparkannya keluar rumah. Kata-kata mutiara yang terkenal dari Hoegeng
adalah, “Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang
baik."