Pemilu menjadi jalan
bagi perubahan sosial yang paling konstitusional dan melibatkan partisipasi
warga negara secara lebih besar. Apa yang selama ini menjadi harapan mayoritas
rakyat Indonesia terhadap kondisi ideal negara, kemajuan daerah, masa depan anak-cucu,
dan pada ujungnya adalah nasib ekonomi mereka, diawali dan ditentukan oleh
pilihan politik yang diputuskan di dalam bilik TPS.
Agenda Revolusioner
Jika dipandang dari
keterlibatan rakyat, besar dan luasnya dampak, serta prosesnya yang cepat,
pemilu dapat dikatakan sebagai agenda revolusioner. Hasil dari Pemilu dapat
secara kontras dan cepat merubah beberapa hal. Konsolidasi para pemenang pemilu
memiliki kesempatan sekaligus kewenangan untuk melanjutkan atau merubah
Undang-Undang dan kebijakan negara. Visi dan program mereka yang menang dapat
dijalankan langsung melalui seluruh kelembagaan pemerintahan dengan berbagai
instrumen yang melekat di setiap institusi, terutama anggaran.
Selain itu, pemenang
pemilu mendapat akses dan otoritas untuk mengarahkan alat-alat negara dalam
rangka mengawal setiap kehendak dari kekuasaan. Agenda-agenda strategis
kerakyatan yang sebelumnya tidak dijalankan atau bahkan disingkirkan, dapat
dieksekusi.
Sedikitnya ada tiga
kondisi yang akan tercipta pasca pemilu; statuq quo, optimasi, dan
transformasi. Status quo menjadi kondisi yang sama sekali tidak ada perubahan
antara kondisi sebelum dan sesudah pemilu dilaksanakan.
Optimasi dapat dimaknai
sebagai kondisi dimana secara garis besar, kebijakan dari rezim sebelumnya
tetap dilanjutkan, namun dengan percepatan dan perluasan secara lebih
signifikan.
Transformasi adalah
kondisi dimana perubahan-perubahan besar dan mendasar nampak sangat mencolok
hampir di segala bidang. Transformasi dapat berdampak positif dan negatif,
bergantung kepada ideologi, visi, dan watak dari kekuasaan existing.
Indonesia masih belum
sepenuhnya menerapkan meritokrasi dalam memberi mandat kepada para calon pemimpin
dan wakil rakyatnya, baik pada skala nasional, apalagi di daerah. Sebagian
besar kewenangan masih dipegang oleh partai politik dan pemilik modal.
Sehingga, dalam kondisi dan kontestasi tertentu, para bakal calon cenderung
dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang dinilai sejalan dengan kepentingan
elit partai.
Pada sisi lain, tradisi
patron klien, ditambah dengan politik uang yang telah mengakar cukup lama,
membentuk cara pandang dan preferensi politik masyarakat tentang siapa yang
dianggap “rasional” untuk dipilih masih berdasarkan status sosial, kemampuan
ekonomi, dan relasinya dengan kekuasaan. Belum sepenuhnya didasarkan kepada
kapasitas, integritas, dan derajat komitennya terhadap kepentingan rakyat.
Momentum Titik Balik
Pemilu 2024 seharusnya
menjadi momentum titik balik. Peradaban sosial, ekonomi dan politik tidak dapat
dilepaskan satu dengan yang lainnya. Ketiganya saling terikat, saling memberi
pengaruh. Belajar dari beberapa pemilu sebelumnya, juga dari beberapa model
berikut cara kerja kepengurusan negara dan daerah yang pernah ada, serta
pembacaan secara utuh dan objektif terhadap tokoh-tokoh politik di pusat dan di
daerah, keputusan mutlak tetap berada di tangan rakyat.
Rakyat dapat melihat
dan menilai mulai dari sisi kapasitas, integritas, komitmen, hingga karya apa
saja yang telah dikontribusikan untuk negara dan daerah, terutama untuk
kepentingan rakyat. Selain itu, dalam satu tarikan nafas, rakyat sekaligus bisa
menilai gagasan dan program apa yang diusung, bagaimana gagasan dan program
tersebut dikomunikasikan kepada rakyat. Apakah menggunakan cara edukatif dan
beradab, atau dengan sengaja melanggar batas-batas moralitas dan etika yang
ada. Dari sana, rakyat seharusnya dapat menarik garis demarkasi antara mana yang
layak untuk dipilih dan mana yang bahkan harus ditenggelamkan.
Untuk sampai kepada
keputusan dan langkah politik yang revolusioner tersebut, tentu yang dibutuhkan
adalah pengetahuan dan keberanian. Pemilu adalah pembuktian kekuatan rakyat
yang sebenarnya. Selain sebagai momentum titik balik, pemilu sebenarnnya adalah
pintu revolusi, yang senjatanya adalah suara rakyat.
Konsolidasi dan Bargaining
Position
Penting dan
strategisnya dampak pemilu bagi kehidupan sosial-politik rakyat, menuntutnya
untuk benar-benar dipahami seluk-beluknya, mekanismenya, cara mengontrolnya,
dan yang tidak kalah penting adalah cara bagaimana mayoritas rakyat memiliki
pengetahuan mengenai itu semua.
Jika selama ini
konsolidasi lebih sering dilakukan oleh peserta dan penyelenggara pemilu, maka
pada pemilu 2024 kali ini, rakyat harus mulai mengambil peran yang lebih besar.
Kesadaran kritis harus mulai dibangun, kantong-kantong inisiasi gerakan organik
harus diperluas, dan bargaining position rakyat sebagai pemilih harus
diperkuat.
Partisipasi pemilih
selama ini hanya diukur dari angka banyaknya mereka yang datang dan mencoblos
di TPS. Model partisipasi yang seperti itu harus ditingkatkan lagi bobotnya.
Partisipasi pemilih jangan lagi hanya bersifat kuantitatif, namun juga harus
kualitatif. Beberapa sikap atau perilaku yang dapat digunakan untuk
mengukurnya, antara lain, alasan datang ke TPS, alasan untuk memilih dan tidak
memilih tokoh tertentu, seberapa besar upaya yang dilakukan untuk mempengaruhi
dan mengajak pemilih lain datang ke TPS, serta beberapa alasan ideal yang lain.
Kita masih memiliki
cukup waktu untuk menunjukkan bahwa rakyat memiliki kekuatan, menampakkan sisi
progresif dari demokrasi. ***