Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Pada 6 April 2021 lalu, Gereja Katolik kehilangan salah satu putra terbaik, Hans Kung, yang meninggal di usia 93 tahun. Hans Kung mungkin lebih dikenal sebagai teolog kontroversial yang dicitrakan membangkang terhadap otoritas Vatikan, terutama sejak hak mengajarnya dicabut pada tahun 1979. Namun kesan yang simplistik itu hanya mengaburkan banyak hal penting yang seyogianya diketahui dan dinilai dengan jernih. Ia adalah teolog yang cemerlang, penampilannya menarik, artikulasinya menawan, dengan bahasa yang membumi.Di tengah simpang siur soal agama: glorifikasi pindah agama layaknya transfer pemain bola, hubungan antaragama dan intra-agama yang kerap panas dingin, dan bangkitnya semangat keberagamaan yang diikuti maraknya eksklusivisme dan kekerasan atas nama agama – berpulangnya Hans Kung menjadi kehilangan amat besar. Sulit rasanya Gereja dan dunia melahirkan tokoh sekelas Kung.
Bagi Roger Haight,SJ,
seorang teolog terkemuka AS, Kung adalah satu dari tiga teolog Katolik terbesar
abad ke-20, di samping Karl Rahner dan Edward Schillebeeckx. Ia dibesarkan
dalam kelompok teolog muda satu zaman yang cemerlang seperti JB Metz, Jurgen
Moltmann, dan Wolfhart Pannenberg. Penilaian itu tampaknya tak berlebihan.
Reputasi Kung sangat baik dan karirnya moncer. Ia lahir di Lucerne Swiss 11
Maret 1928 dan ditahbiskan sebagai imam Katolik tahun 1954, setelah
menyelesaikan pendidikan filsafat dan teologi di Universitas Gregoriana Roma.
Ia lantas melanjutkan
studi di Institut Catholique de Paris dan meraih gelar doktor bidang teologi
tahun 1957. Tak tanggung-tanggung, ia menulis disertasi tentang pemikiran Karl
Barth, raksasa teologi Protestan. “Supaya orang tahu bahwa ada non Jesuit yang
cerdas,” ujar Kung bercanda tentang studinya di Roma. Kung aktif menulis dan
karyanya langsung menarik perhatian publik secara luas. Salah satu karya
pentingnya adalah The Council, Reform and Reunion (1961), yang juga
menginspirasi Paus Yohanes XXIII untuk melibatkannya sebagai salah satu ahli di
Konsili Vatikan II dalam usia 34 tahun, bersama sahabatnya di Tubingen, Josef
Ratzinger (Paus Benediktus XVI). Avery Dulles, SJ, seorang eklesiolog masyur,
menulis di America Magazine pada tahun 1962, betapa buku Kung tersebut amat
penting bagi reorientasi Gereja Katolik di zaman modern. Sedemikian memukau,
Tahun 1963, ia diundang Presiden AS John F Kennedy dan diperkenalkan kepada
kelompok politik AS sebagai ‘tokoh Katolik garda terdepan’. Kung pun memberikan
ceramah di beberapa universitas yang diikuti ribuan orang. Ia juga mendapat 15
gelar doktor kehormatan dari berbagai universitas terkemuka karena kontribusi
dan kebaruan pemikirannya di bidang teologi.
Kung memang gigih
memperjuangkan perombakan radikal pada otoritas Vatikan agar Gereja Katolik
lebih terbuka dan tidak sentralistik. Ia banyak merujuk Perjanjian Baru,
khususnya praktik kepemimpinan Yesus dan Gereja Purba. Keterpusatan kekuasaan
pada Paus dianggapnya tidak tepat karena selain rawan penyimpangan juga tak
punya akar biblis dan historis yang kuat. Meski tak sepenuhnya harus diserahkan
pada Gereja lokal. Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Commonweal pada tahun
1971, Kung menegaskan,”If the Catholic Church wants to be a community of free
Christians, we must not follow totalitarian patterns. Criticism without loyalty
is destructive; loyalty without criticism is totalitarian.” Ia hanya ingin
menjadi pengkritik yang loyal justru karena kecintaannya yang amat besar pada
Gereja.
Kritik terkerasnya
adalah saat Paus Paulus VI, pengganti Paus Yohanes XXIII, mengeluarkan ensiklik
Humanae Vitae (1968) yang melarang penggunaan kontrasepsi buatan. Kung
menyerang lembaga kepausan pada jantungnya: infalibilitas Paus.
Menurutnya, infalibilitas lebih tepat dilekatkan pada Gereja, yang
meski pernah jatuh dalam kesalahan, tetap menapaki jalan kebenaran. Puncaknya,
ia menulis buku Infallible: An Inquiry (1971), buku yang mengantarnya pada
pencabutan hak mengajar oleh Kongregasi Doktrin Iman. Keputusan Vatikan ini
menuai gelombang protes, tetapi Kung tetap mengajar teologi ekumenis di
Universitas Tubingen hingga pensiun pada 1996. Lantaran buku ini, Karl Rahner,
mentor dan sahabat dekatnya, pernah menjuluki Kung sebagai ‘Teolog Protestan
liberal”. Ia menanggapi dingin dan menyayangkan penilaian Rahner karena belum
membaca buku itu secara utuh.
Kritik Kung memang
kerap terlampau keras dan terasa kurang adil. Dengan dicabut hak mengajarnya,
apakah Kung lantas meninggalkan Gereja Katolik? Tidak. Ia tetap setia di dalam
Gereja Katolik, tetap sebagai imam dan mengajar. Dalam sebuah wawancara ia
mengatakan bahwa ia telah mengalami begitu banyak pencobaan, tapi tak satu pun
godaan untuk meninggalkan Gereja Katolik. Dalam sebuah kunjungan ke Australia
pertengahan 1970-an, Kung menegaskan bahwa seluruh pemikiran dan kritiknya
dilakukan hanya untuk membantu umat lebih mencintai Gereja Katolik, sebagaimana
dengan jelas ia tulis di buku On Being Christian. Sebagai bentuk
pertanggungjawabannya pada tantangan zaman, ia menulis buku Does God Exist?
Sebagai pencarian intelektual menghadapi tantangan ateisme modern. Ia tak akan
pernah melupakan didikan orang tuanya, pemilik toko sepatu dan seorang Katolik
taat, meski pencabutan hak mengajar ini ia rasakan sebagai sebuah inkuisisi
atas dirinya.
Kung kemudian fokus
pada upaya membangun etika global, sebuah platform yang dia tawarkan sebagai
bentuk keprihatinan terhadap maraknya kekerasan dan teror atas nama agama, yang
dipuncaki dengan deklarasi oleh Parlemen Agama-agama Dunia tahun 1993.
Ungkapannya sangat terkenal: “No peace among the nations without peace among
the religions. No peace among the religions without dialogue between the
religions. No dialogue between the religions without investigation of the
foundation of the religions.” Meski mendapat beberapa catatan kritis akan metod
Kologi dan efektivitas gerakan ini, Kung harus diakui sebagai salah satu
perintis dialog antargama global. Ia mendirikan Yayasan Etika Global dan
rintisan disertasi tentang konsep justifikasi Karl Barth berujung pada
Pernyataan Bersama Vatikan dan Lutheran tentang Justifikasi pada
tahun 1999, sebagai buah gerakan ekumenis yang nyata.
Pasca-wafatnya Paus
Yohanes Paulus II dan terpilihnya Josef Ratzinger sebagai paus yang baru,
muncul harapan baru terjadinya rekonsiliasi dua sahabat lama. Tahun 2005, Hans
Kung diundang jamuan makan oleh Paus Benediktus XVI di Puri Gandolfo.
Perjumpaan yang hangat dan melegakan meski pada akhirnya Kung tetap
menyampaikan beberapa kritik dan keberatan atas keputusan Paus Benediktus,
khususnya pencabutan ekskomunikasi atas empat uskup yang ditahbiskan oleh Uskup
Marcel Lefebvre, seorang konservatif dan tidak menerima hasil Konsili Vatikan
II.
Kung menyambut baik
terpilihnya Jorge Mario Bergoglio sebagi paus dan menaruh harapan besar bagi
liberalisme Gereja. Harapan yang mungkin terlalu muluk, tetapi toh tetap
melegakan karena pendekatan Paus Fransiskus yang tidak legalistik melainkan
pastoral. Paus Fransiskus sebagaimana Paus Yohanes XXIII tidak mengeluarkan
dogma namun keputusan dan kebijakannya otoritatif. Dukungan publik yang luas
dituai berkat kesediaan untuk bersikap terbuka dan merangkul.
Pada musim panas tahun
2020, ketika kesehatan Kung terus menurun dan belakangan ia menderita
parkinson, Kardinal Walter Kasper, sahabat Kung sejak 1950-an, diminta Paus
Fransiskus untuk menelepon untuk menyampaikan doa dan berkat Paus. Hans Kung
sangat gembira dan menyambut baik. Paus Emeritus Benediktus XVI pun berdoa
untuk Kung. Kini ia telah pergi selamanya dalam kesatuan dengan Gereja Katolik,
institusi yang melahirkan dan membesarkannya, yang ia cintai sepenuh hati
melalui kritik sepanjang hidupnya.
Tak sedikit buah yang
dapat dipetik. Sulit ditampik, pegiat dialog antar agama era 1990-an tidak
tertawan pemikiran Kung. Ia adalah gambaran bagi orang beriman yang secara
sungguh-sungguh mencintai Gereja dengan segenap daya, dengan perasaan yang
meluap-luap dan ekspresi yang kerap terlampau bersemangat, tetapi seringkali
jatuh kandas dalam kekecewaan. Hal-hal yang harus dihidupi sebagai konsekuensi
sebuah keterlibatan yang otentik dan tulus. Semoga rintisan Hans Kung membawa
Gereja terus terbuka menangkap tanda-tanda zaman dan hadir untuk terus membawa
kasih dan kebaikan Tuhan. *** yustinusprastowo.id