Mourinho menyebut Messi
sebagai seorang “Genius”. Ia adalah seorang arsitek lapangan hijau sejati. Ia
tahu kapan menyerang, kapan bertahan. Ia mengamati posisi lawan secara teliti,
mengkalkulasi segala kemungkinan dan boom, kejutan demi kejutan menghantui
lawan-lawannya. Lantas, layakkah Messi dinobatkan sebagai Filsuf dan kemanakah
arah kiblat kefilsufannya?
Kalau berkiblat pada
filsuf klasik seperti Aristoteles dan Plato, Messi tampak bersinggungan dengan
filsafat mereka. Sebagai seorang arsitek lapangan hijau, Messi tidak selalu mengandalkan
kekuatan fisik semata, tapi sebuah idea Platon memerciki seluruh aksinya. Meski
berbeda dengan Platon, Messi tidak menganggap permainan bola sebagai sebuah
mimesis, semacam peniruan dari sebuah ide, sehingga seolah-olah sepak bola
sendiri tidak dianggap sebagai laga yang riil, palsu dan tidak otentik.
Messi condong kepada
sang murid Aristoteles yang menganggap idea dan tindakan adalah dua hal yg
saling mengandaikan, berpikir dan bermain adalah satu kesatuan peristiwa. Hal
itu tampak dalam banyak laga yang dilawatinya. Sesekali Messi berjalan santai,
monoleh kiri dan kanan, mengamati dan kemudian mengakhiri dengan sentuhan yang
akurat. Ia seperti Kant yang disiplin dalam berpkir dan bertindak.
Tak bisa dibayangkan
kalau Messi berguru pada Nietzche. Tuhan saja ia singkirkan, apalagi bola kaki.
Bagi Nietzche, bola kaki, apapun meriahnya, tetap berakhir dengan kesia-siaan.
Begitu banyaak fanatisme irasionalitas manusia yang tercermin dalam sepak bola.
Tampak beberapa pertandingan berakhir dengan kekalahan tragis dan bahkan
berujung pada korban nyawa. Kita ingat tragedi kenjuruhan 1 Oktober 2022
mengekibatkan 125 orang meninggal.
Memelintir Nietzche “Football
is dead”. Keresahan itu tentu bagi Messi terlalu berlebihan. Seperti
gurunya Plato dan Aristoteles, bola kaki menolak nihilism semcam itu. Bola kaki
adalah seni memadukan akal dan pikiran ke dalam tindakan.
Marx tentu berbeda
lagi. Mengamati perkembangan bola terkini, tentu saja Marx kesal sebab bola
kaki cendrung komersil. Bola kaki menjadi ladang kapitalisme baru. Dalam sebuah
wawancara dengan Piers Morgan, Ronaldo melihat kecendrungan komersialisasi
kapitalistik ini sebagai ancaman terhadap bola kaki di masa depan. Now
football is a business, tegas Ronaldo. Tidak sedikit pemain dieksplotasi tenaganya.
Sempat tercium, Club mewah seperti Paris melanggar beberapa aturan dasar
berkaitan dengan standar pembelian pemain, termasuk pembelian Messi.
Terlepas dari semua
itu, Messi kini keluar sebagai filsuf paruh baya yang akan menjadi kiblat semua
pecinta bola kaki. Ia telah mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai
penerima Ballon D’or tujuh kali. Ia memenangkan banyak kompetisi,
Liga, Champions, Copa America. Kini ia punya kesempatan untuk memenangkan hati
para penggembarnya dalam perhelatan Piala Dunia yang kini memasuki Fase
per-empat final melawan Kroasia. Sebagai seorang Filsuf, Ia kini sedang
berfilasafat di atas lapangan hijau, menuliskan sekian banyak kisah
keajaibannya dalam dunia sepak bola yang akan diwariskan kepada dunia.*
Artikel ini telah dipublikasikan di bulir.id dengan judul Messi, Filsuf dari Argentina?
*Gregorius
Sukur merupakan alumnus Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK )
Ledalero. Kini ia sedang menceburkan diri menjadi penabur benih kebijaksanaan
di salah satu Universitas di kota Semarang.