Orang menjadi cemas dan
takut karena berhadapan dengan atribut-atribut agama tertentu. Padahal atribut
bukan bagian dari ajaran atau dogma iman agama tersebut. Dalam pemahaman
penulis, atribut berkaitan erat dengan dimensi luar dari iman bukan dimensi
batiniah yang berkaitan dengan penghayatan iman tertentu.
Problem ini menjadi
problem tahunan di negeri kita juga, sebab di setiap perayaan natal seringkali
atribut-atribut natal sampai pada ucapan pun dipersoalkan oleh sebagian orang.
Hal ini kemudian memunculkan semacam phobia natal.
Phobia semacam itu,
bukan tanpa alasan. Sebab relasi sosio historis Islam-Kristen mengalami pasang
surut dengan konflik berkepanjangan dari masa ke masa.
Terdapat monopoli
tafsir kebenaran yang menyebabkan relasi antar keduanya menjadi runyam.
Monopoli ini pun pada gilirannya mendominasi penganutnya sehingga penganut dan
kemanusiaannya dialienasi dari keduniawiannya yang otentik.
Kedua agama tersebut
terlalu memusatkan diri pada keselamatan jiwa umatnya. Bagi penganut yang
menelan mentah doktrin agama tersebut, yang penting tidak lagi manusia nyata
melainkan agama. Agama menjadi lebih penting dibanding penghargaan terhadap
relasi kehidupan di dunia nyata.
Immanuel Kant kemudian
mempertegasnya dengan membedakan dua jenis agama, kultis dan moral. Baginya,
agama kultis berorientasi pada pencarian akan kemurahan Tuhan. Hal utama dalam
agama ini adalah doa dan harapan, bukan tindakan.
Agama ini terarah
secara mutlak kepada penyembahan kedaulatan Tuhan dan karena itu berciri
dogmatis. Obsesinya adalah mengetahui apa yang dilaksanakan Tuhan terhadap
dunia dan sejarah.
Sedangkan jenis yang
kedua sebagai agama moral, yakni agama yang tertuju kepada perubahan sikap
manusia dan masyarakat menuju kebaikan. Moralitas menjadi intensi dasar agama.
Agama ini tidak
berspekulasi mengenai apa yang telah dilaksanakan Tuhan demi keselamatannya,
melainkan apa yang harus dilakukan manusia agar pantas untuk diselamatkan.
Pengetahuan tentang Tuhan tidak menjadi prioritas.
Hal ini mau menunjukkan
kepada semua penganut agama bahwa manusia perlu menggunakan kesadaran kritisnya
untuk menemukan dan menentukan apa yang perlu dilakukan. Oleh karenanya, ia
menekankan moralitas sebab yang diinginkan adalah perubahan sikap penganut
menuju kebaikan.
Yang paling penting adalah
kemanusian. Sebab kemanusiaan mendahului agama. Melalui relasi dengan manusia,
kita dapat menemukan Allah yang disembah di dalam agama-agama.
Mo Salah telah
memberikan gambaran yang benar. Sebab bagi Salah semua kebaikan itu rasional
untuk dilaksanakan karena dengan cara itu manusia menjadi manusia bagi
sesamanya.
Secara rasional,
mengenakan atribut agama tertentu tidak berarti keimanan seseorang pun ikut
larut bersama atribut tersebut. Tetapi jauh dari itu, Salah mau menunjukan
bahwa, atribut merupakan bahasa universal yang tak memiliki identitas. Oleh
karena itu siapa pun berhak mengenakannnya sebab atribut melampaui tembok agama
dan kebudayaan.
Manusia perlu memandang
sejarah dan masa depannya dengan cara yang sama sekali baru. Kemajuan kesadaran
itu sejatinya meyakinkan para penganut untuk melihat masa lalu sebagai sebuah
kesalahan dan membangun masa depan yang penuh kedamaian.
Kita perlu menyudahi
perdebatan dengan membangun dialog yang berkesadaran. Sebab hanya dengan dialog
itulah kita dapat menemukan kehadiran Allah melalui sesama yang berbeda.
Salah mungkin salah
dalam menjalankan akidah agamanya tetapi Salah tak salah dalam menyampaikan
pesan moral.*