Seiring dengan tahun politik itu,
kini semakin ramai orang bercakap tentang “politik identitas”. Konsep politik
identitas selalu dijadikan sebagai “kambing hitam” untuk membuat
‘framing’ negatif bagi para calon yang akan memasuki gelanggang politik baik
legislatif maupun eksekutif.
Bukan itu saja.
‘Framing’ politik
identitas juga disasarkan pada partai-partai politik maupun
Ormas-ormas pendukung. Banyak diskusi di medsos, seperti FB, twitter, terutama
WA Grup berdebat soal politik
identitas ini. Yang pasti, politik
identitas seperti momok yang trend di zaman ini. Tidak
tanggung-tanggung, framing menghubungkan politik
identitas seseorang, sekelompok orang, bahkan partai politik dengan
radikalisme, terorisme, fanatisime, fundamentalisme, dan aliran isme-isme
lainnya.
Pertanyaan saya (dan
kita!) adalah “apa yang salah dengan politik
identitas itu”? Bukan soal salah atau benar, namun tidak banyak yang
memahami konsep “politik identitas” itu. Kita amini saja kekurang-pahaman itu,
karena; pertama, semua orang adalah pemikir politik (Andrew Heywood,
2017, Political Ideologies - an Introduction).
Disadari atau tidak,
orang menggunakan ide dan konsep politik mereka dalam percakapan politik. Dalam
pelbagai kampanye politik, bahasa kita sehari-hari telah “dikotori” dengan
istilah-istilah berisi ‘pikiran politik’; seperti 'kebebasan', 'keadilan',
'persamaan', 'kesetaraan' dan 'hak'. Begitu juga, kata-kata seperti
'konservatif', 'liberal', 'sosialis', 'komunis' dan 'fasis' secara teratur
digunakan siapa saja untuk menggambarkan pandangan mereka sendiri atau
pandangan orang lain.
Meskipun
istilah-istilah seperti itu akrab, bahkan terasa biasa, namun jarang digunakan
dengan presisi atau pemahaman dengan makna yang jelas. (bdk. Leslie Paul
Thiele, 2002, Thinking Politics Perspectives in Ancient, Modern, and
Postmodern Political Theory).
Kedua, tidak semua
pemikir politik menerima bahwa ide dan ideologi sebagai sesuatu yang sangat
penting. Politik terkadang dianggap tidak lebih dari perjuangan ‘telanjang’ (transparan) untuk mendapatkan
kekuasaan. Jika ini benar, maka ide-ide politik hanyalah propaganda, suatu
bentuk kata-kata atau kumpulan slogan yang dirancang untuk memenangkan suara
atau menarik dukungan rakyat.
Oleh karena itu, ide
dan ideologi hanyalah 'penutup jendela', yang digunakan untuk menyembunyikan
realitas kehidupan politik yang lebih dalam (Andrew Heywood, 2017). Ekonom
Inggris John Maynard Keynes (1883–1946), berargumen bahwa dunia diperintah oleh sedikit gagasan saja selain gagasan para ahli
teori ekonomi dan filsuf politik.
Keynes (1936, 1963)
telah menguraikan soal ini dalam General
Theory-nya: “orang-orang praktis, yang percaya diri mereka cukup bebas dari
pengaruh intelektual apa pun, biasanya adalah budak dari beberapa ekonom yang
sudah mati. Orang gila yang berkuasa, yang mendengar suara-suara di udara,
menyaring kegilaan mereka dari beberapa penulis akademis beberapa tahun yang
lalu”.
Ide dan ideologi dalam (partai) politik
Kata ideologi
diciptakan selama Revolusi Prancis oleh Antoine Destutt de Tracy (1754– 1836).
Kata ideologi, pertama kali digunakan di depan umum pada tahun 1796. Bagi de
Tracy, idéologie merujuk pada 'ilmu tentang ide'. Ini ilmu
baru, yang secara harfiah berarti “ideologi dari ide”.
De Tracy adalah seorang
rasionalis dari era pencerahan. Dia percaya bahwa sains baru ini akan menikmati
status yang sama dengan sains mapan seperti biologi dan zoologi. Bahkan de
Tracy berambisi bahwa ideologi pada akhirnya akan diakui sebagai ratu ilmu
pengetahuan.
Terlepas dari harapan
yang tinggi ini, makna asli dari istilah tersebut memiliki sedikit dampak pada
penggunaan selanjutnya, yang telah dipengaruhi oleh pemikiran Marxis dan
non-Marxis (de Tracy, 1969, A Commentary and Review of Montesquieu's
Spirit of Laws).
Tidaklah mengherankan
jika David McLellan (1995) mengatakan bahwa, 'ideologi adalah konsep yang
paling sulit dipahami di seluruh ilmu sosial.' Hal ini terjadi karena dua
alasan. Pertama, karena
semua konsep ideologi mengakui adanya hubungan antara teori dan praktik.
Istilah ini mengungkapkan perdebatan yang sangat kontroversial tentang peran
gagasan dalam politik dan hubungan antara kepercayaan dan teori di satu sisi,
dan kehidupan material atau perilaku politik di sisi lain.
Kedua, konsep ideologi belum mampu berdiri sendiri dari pergulatan yang sedang berlangsung antar ideologi politik. Yang pasti, kita harus mengakui bahwa, ide dan ideologi mempengaruhi kehidupan politik dalam beberapa cara. Ideologi memberikan perspektif, atau 'lensa', yang melaluinya dunia dipahami dan dijelaskan. Orang tidak melihat dunia sebagaimana adanya, tetapi hanya seperti yang mereka harapkan.
Dengan kata lain,
mereka melihatnya melalui selubung keyakinan, opini, dan asumsi yang mendarah
daging. Ide dan ideologi politik dengan demikian menetapkan tujuan yang
mengilhami aktivisme politik. Oleh karena itu, para politisi umumnya tunduk
pada dua pengaruh yang sangat berbeda. Tanpa ragu, semua politisi menginginkan
kekuasaan.
Hal ini memaksa mereka
untuk menjadi pragmatis, untuk mengadopsi kebijakan dan ide-ide yang populer
secara elektoral atau memenangkan dukungan dengan kelompok-kelompok kuat,
seperti bisnis atau militer. Ideologi politik juga membantu membentuk sifat
sistem politik. Sistem pemerintahan sangat bervariasi di seluruh dunia dan
selalu dikaitkan dengan nilai atau prinsip tertentu.
Lalu apa itu partai
politik? Partai politik terdiri dari individu-individu yang berorganisasi
untuk memenangkan pemilihan, menjalankan pemerintahan, dan mempengaruhi
kebijakan publik. Karena partai-partai menjadi pintu masuk orang untuk
berpolitik praktis maka partai dapat selalu digunakan untuk melegitimasi sistem
politik atau rezim. Termasuk menyebarluaskan doktrin politik yang mencakup
semua yang mengklaim monopoli kebenaran (Dahl 1971; Diamond 1999).
Para ilmuwan politik
telah membedakan beberapa jenis partai politik, antara lain; (1) partai
kader, atau partai elit, adalah jenis partai politik yang dominan pada abad
ke-19 sebelum kita mengenal hak pilih universal (Hague, dkk, 2019), (2) partai
massa, jenis partai politik yang berkembang di sekitar perpecahan dalam
masyarakat dan memobilisasi warga biasa atau 'massa' dalam proses politik
(Angell, 1987), (3) catch-all parties (Schumacher, 2017),adalah
partai-partai yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an sebagai hasil dari
perubahan dalam partai massa.
Peran anggota berkurang
karena sebagian biaya partai ini ditanggung negara atau dengan sumbangan; dan
(4) partai kartel (Katz, dkk, 1995); partai politik yang muncul
setelah tahun 1970-an dan dicirikan oleh pembiayaan negara yang berat dan
berkurangnya peran ideologi sebagai prinsip pengorganisasian. Istilah 'kartel'
mengacu pada cara partai-partai terkemuka di pemerintahan mempersulit masuknya
partai-partai baru, sehingga membentuk kartel partai-partai yang sudah mapan.
Partai politik memiliki
berbagai fungsi. Salah satunya adalah mempromosikan kepentingan pemilih mereka.
Mereka juga menyusun program partai. Warga negara dapat bergabung dengan partai
politik, memungkinkan mereka membantu membentuk program partai. Sejak seseorang
menjadi anggota partai itulah dia sudah mengidentifikasi diri, dan di sini dia
sudah dipolitisasi.
Jadi, seseorang sudah
mengalami idenditas ganda. González dan Brown (2003) menciptakan
istilah "identitas ganda" untuk menunjukkan bahwa satu individu pada
saat yang sama dapat mengidentifikasikan diri dengan dua kelompok yang
bersaing. Misalnya, pekerja yang melakukan pemogokan, pada saat yang sama,
mengidentifikasi diri dengan serikat pekerja dan dengan perusahaan.
Politik identitas
Politik identitas
adalah aktivitas politik atau sosial oleh atau atas nama ras, etnis, budaya,
agama, jenis kelamin, atau kelompok lain. Biasanya aktivitas ini dilakukan
dengan tujuan memperbaiki ketidakadilan yang diderita oleh anggota kelompok
karena perbedaan atau konflik antara identitas khusus mereka (atau
kesalahpahaman tentang identitas khusus mereka) dan identitas dominan (atau
identitas) dari masyarakat yang lebih besar.
Politik identitas juga
bertujuan, dalam kegiatan semacam itu, untuk menghilangkan representasi negatif
(stereotipe) dari kelompok tertentu yang telah berfungsi untuk membenarkan
pengucilan, eksploitasi, marginalisasi, penindasan, atau asimilasi anggota
mereka hingga titik penghapusan. (Linda MartÃn, dkk, 2006, Identity
Politics Reconsidered). Dalam arti luas, politik
identitas juga mencakup gerakan nasionalis atau separatis di negara
dan wilayah tertentu.
Contoh, AS dengan
pengalaman demokrasi selama 200 tahun masih mewacanakan kelompok-kelompok yang
terkait dengan politik
identitas antara lain, penduduk asli AS, orang Afrika-Amerika,
Hispanik-Amerika, Asia-Amerika, Arab-Amerika, Muslim, Yahudi, feminis, dan
komunitas LGBTQ. Artinya politik
identitas terkait erat dengan multikulturalisme, atau pandangan umum
bahwa kelompok budaya minoritas berhak mendapatkan pengakuan atas sistem
kepercayaan, nilai, dan cara hidup mereka yang khas (Anja Katharina Becker,
2015, Etnicity as a Political Resource).
Oleh karena itu, politik
identitas (dalam banyak kasus) berkaitan dengan tantangan seputar
kelompok-kelompok minoritas. Hal ini membuat kecil kemungkinan (namun bukan
tidak mungkin) bahwa mayoritas anggota masyarakat akan memandang situasi
kelompok-kelompok ini sebagai masalah kritis atau memberi mereka perhatian dengan
prioritas tinggi. Pada saat yang sama, pelbagai bukti menunjukkan bahwa isu-isu
yang berpusat pada kelompok minoritas dapat menjadi penting hanya dalam situasi
tertentu.
Para pengkritik politik
identitas mengklaim bahwa keberadaan praktik politik
identitas itu jangan dibiarkan karena hanya memperdalam perbedaan yang
ada di antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
Di AS (juga di
Indonesia) seperti, kulit hitam versus kulit putih, Yahudi versus Arab, Sunni
versus Syiah, Protestan versus Katolik, Jawa versus Sunda, Jawa versus
luar Jawa; dan sebagainya. Alih-alih berfokus pada perbedaan kita, kata para kritikus,
kita harus mengakui kesamaan kemanusiaan kita.
Kita hendaknya berusaha
untuk melakukan apa yang ada dalam pikiran Rodney King ketika dia bertanya,
“Bisakah kita semua rukun?” Itu adalah tanggapan King setelah dipukuli oleh
empat polisi, sebuah insiden yang direkam dalam rekaman video oleh seorang
saksi warga, dan berujung pada Kerusuhan LA 1992. (Stevenson, 2015, The
Contested Murder of Latasha Harlins: Justice, Gender, and the Origins of the LA
Riots).
Bagaimanapun, isu-isu
politik tidak harus menimbulkan dukungan mayoritas untuk memiliki pengaruh
besar pada sistem politik. Banyak yang disebut masalah irisan sangat penting
bagi bagian pemilih yang lebih kecil, dan suara mereka bisa menjadi penentu.
Bandingkan dengan situasi dan kondisi social politik masyarakat kita yang juga
multikultur, di mana ada irisan antara suku bangsa, agama, atau
golongan-golongan; semuanya ini kita praktekkan dalam Pilkada dll.
Masalah politik
identitas
Dengan memahami konsep
dasar politik
identitas ini maka saya menarik simpulan bahwa percakapan tentang
‘politik identitas’ di Indonesia tetap dan selalu merupakan wacana
menarik. Pertama. Perteori. Selama masih ada orang yang
terpinggirkan, dikorbankan, atau ditindas karena identitasnya, maka percakapan
tentang politik
identitas tidak akan berhenti.
Kata filsuf Hannah
Arendt, “seseorang dapat melawan [penindasan] hanya dalam kerangka identitas
yang sedang diserang.” Gagasan bahwa kaum tertindas dapat melawan atau
melarikan diri dari penindasan mereka dengan menyangkal identitas mereka
sendiri adalah sebuah fiksi (Catherine, 2014, Persons, Identity, and
Political Theory - A Defense of Rawlsian Political Identity).
Kedua. Dengan lain
kata, jika masih ada percakapan tentang politik
identitas itu di Indonesia, maka wacana itu muncul dari orang-orang
tertentu yang mengatas-namakan mereka yang merasa terpinggirkan. Dan isu ini
lebih popular dibangun dalam kemasan “politik identitas” yang beririsan dengan
“identitas politik” partai politik. Apalagi dalam tahun politik,
tahun 2023 ini.
Menurut saya, “perasaan
keterpinggiran” itupun hanya karena ada kelompok-kelompok suku bangsa, agama
dan golongan tertentu yang merasa belum menikmati “pemerataan pembangunan”,
yang mendasarkan pemerataan itu harus dinikmati kelompok-kelompok suku bangsa,
agama dll secara proporsional.
Ketiga. Ada juga
kekhawatiran filosofis bahwa politik
identitas bersandar pada gagasan yang mencurigakan, yaitu bahwa ada
sesuatu yang disebut “identitas bersama” di antara orang-orang dalam kelompok
tertentu. Ini menarik semacam esensialisme, dan mengabaikan heterogenitas dalam
kelompok.
Keempat, kebanyakan
percakapan tentang ‘politik identitas” itu ternyata kurang memperhatikan
keunikan keberadaan partai-partai politik, dan ormas-ormas atau orsospol di
Indonesia yang semuanya berazaskan Pancasila. Pada hal Pancasila dapat
dikatakan sebagai “identitas politik” Indonesia.
Oleh karena itu, percakapan tentang politik identitas itu akan semakin berkualitas jika berada dalam bangunan diskusi dan perdebatan berdasarkan argumen yang masuk akal. Ini akan membuat kita semakin cerdas karena merasa berada bersama-sama di dalam dan menghadapi pelbagai perubahan politik dalam suatu masyarakat yang multikultur, apalagi multipartai. (*)
dari Jalan setapak tanah retak
Medio Beitara, 25 Januari 2022