Di setiap suku, daerah,
atau masyarakat selalu ada orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya
karena berbagai sebab, tidak hanya karena kemiskinan tapi karena banyak faktor.
Bahkan kerap terjadi karena naluriah manusianya saja, yang tidak pernah merasa
cukup dengan apa yang dimiliki saat ini.
Pada beberapa kasus,
orang-orang yang mengemis adalah orang sekitar yang kita kenal. Namun banyak
kasus, pengemis adalah orang
yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk meminta uang dan bentuk
bantuan lainnya kepada orang lain.
“Begging is a part of nature”, Tomi Falade (2018).
Sedang ramai
diperbincangkan tentang fenomena baru di media sosial. Tentang nenek yang
melakukan siaran langsung di media sosial TikTok sambil mengguyur air ke
badannya yang sudah kedinginan karena telah melakukan hal tersebut dalam waktu
yang tidak singkat–bahkan bisa berjam-jam. Tentu kegiatan bukan tanpa tujuan,
uang adalah faktor utamanya.
Fenomena ini sebenarnya
bukan hal baru. Bahkan fenomena mandi lumpur telah lama digandrungi pengguna
Tiktok, namun ini lebih meledak dan mengundang banyak perhatian warga di
internet.
Tepatnya seorang nenek berusia 55 tahun, warga Desa Setanggor, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) sedang ramai menjadi perbincangan di media sosial, bahkan diundang menjadi bintang tamu pada salah satu program di TV Nasional.
Hal ini menarik bagi
saya, bukan saja karena ini dilakukan melalui media baru, namun juga karena
melibatkan warga desa yang sempat saya puji diopini sebelumnya. Berikut uraian saya terkait fenomena ini.
Digitalisasi, tapi Mental Tetap Sama
Kita kerap bertemu
pengemis di pinggir jalan, di persimpangan atau di tempat-tempat umum yang
ramai oleh pengunjung. Membuat diri mereka berbeda secara fisik dan tampilan
agar mudah diidentifikasi sebagai pengemis, walau akhirnya kerap berujung pada
hinaan, atau angkut satuan polisi pamong praja karena dianggap meresahkan
ketertiban umum.
Kemajuan teknologi,
khususnya internet telah merevolusi banyak hal termasuk modus dan pola
mengemis. Akhir-akhir ini pengemis jalanan dianggap bertransformasi dan
memaksimalkan penggunaan media sosial seperti Tiktok.
Internet begging simply means using the internet to beg people for money, clothes or other form of support or assistance (McDonald, 2020).
Jika mengutip wikipedia
saja, mengemis di internet berbeda dengan mengemis jalanan karena di internet
para pengemis bisa menyembunyikan identitas mereka. Anonimitas ini yang kerap
diandalkan pengguna sosial media dalam melakukan komunikasi dengan orang lain.
Sayangnya di Tiktok
tidak demikian, pelaku mengemis online jelas-jelas menunjukkan identitas mereka
di depan kamera, layaknya mengemis pada umumnya, mereka menggunakan semua
sumber daya simbol untuk bisa menarik penonton agar memberikan beberapa pilihan
hadiah–yang telah disediakan Tiktok–yang kemudian bisa ditukarkan dengan
rupiah.
Dari sekian gulungan
fenomena dan tren yang dihasilkan oleh teknologi Tiktok, saya merasa tidak
kaget jika pada akhirnya berbagai model mencari uang–di Tiktok–dalam bentuk
hadiah bermunculan di media sosial ini.
Fitur dan arah
pengembangannya media sosial–Tiktok khususnya–dewasa ini seakan mengarahkan
manusia untuk melakukan hal-hal baru dalam mencari uang dengan berbagai pola
dan model, misalnya pelaku seni musik, pemain game online, pelaku goyang
erotis, hingga akhirnya bermuara para pelaku-pelaku minim skill yang hanya
menanti iba para penonton saja.
Di internet jangan
harap anda bebas dari cacian dan makian warganet. Tidak jarang juga para
penonton memberikan komentar negatif, mencemooh dan menganggap perilaku
tersebut malah membahayakan kesehatan orang tua yang ada dalam video.
Tidak hanya itu,
perilaku ini sampai menjadi sorotan, bukan lagi Satpol PP, namun langsung oleh
Kementerian Sosial yang akan menertibkan perilaku ini.
Lebih jauh lagi,
aktivitas ini tidak jauh berbeda dengan pengemis dunia nyata, pengemis di
Internet melakukan hal tersebut karena alasan ekonomi, karena kemiskinan, usia
lanjut, kehilangan pekerjaan–karena pandemi–dan alasan yang kita anggap classic
lainnya.
Sisi Negatif Globalisasi Kadang Datang dari Diri
Sendiri
Seminggu lalu saya menulis
tentang bagaimana internet digunakan oleh masyarakat pinggir kota untuk
mengakses internet terkait jual beli organ karena kemiskinan dan minimnya
pengetahuan serta wawasan hingga menipisnya nilai-nilai sosial di masyarakat.
Dalam tulisan tersebut saya
sedikit memuji masyarakat desa yang menurut saya setidaknya memiliki kultur
gotong-royong atau saling menjaga antar warga agar tidak terjerumus dalam
bahaya sisi negatif penggunaan media internet.
Sayangnya berbeda
dengan yang terjadi dalam fenomena ini. Kegiatan–live Tiktok–ini tidak
dilakukan sendirian, setelah ditelusuri ternyata orang di belakang nenek-nenek
mandi atau berendam di dalam bak air selama berjam-jam adalah seorang pemuda
yang menjadi admin akun TikTok yang juga adalah warga desa Setanggor sendiri.
Pemilihan Tiktok untuk
media sosial, setting lokasi, dan penggunaan pesan-pesan yang didramatisir
dengan ekspresi yang membuat para penonton merasa iba.
Hal ini yang membuat
saya yakin orang di depan kamera hanyalah objek yang dikomodifikasi, sedangkan
pelaku belakang layar yang tentu akan mendapat keuntungan yang lebih besar.
Bukan malu, justru
membuat para pengemis terus melakukan kegiatan live Tiktok tersebut–terlepas
dari paksaan anak muda di belakang kamera atau juga karena janji akan
mendapatkan uang yang banyak dengan kegiatan yang minim keringat.
Memang media dan
teknologi membawa perubahan dan globalisasi yang dapat berpengaruh buruk pada
nilai-nilai di sebuah daerah, namun tidak jarang juga pengaruh buruk bukan
karena teknologi, namun karena niat penggunanya sendiri.
Bertalian dengan
fenomena ini, terkadang perubahan kecil hingga besar yang terjadi di desa,
banyak dilakukan oleh generasi muda. Utamanya yang memiliki pengetahuan dan
wawasan pada tren dan teknologi terkini.
Tidak jarang perubahan
positif di sebuah desa terjadi karena seorang perantau yang kembali dengan
gagasan-gagasan brilian untuk mengubah nasib warga desa atau kampungnya.
Sayangnya tidak jarang
rusaknya sebuah kebudayaan dan nilai baik di desa karena pengaruh dari perantau
yang kembali dengan segenggam nilai-nilai yang merusak di desa asalnya.
Tentu nilai-nilai di
setiap daerah berbeda-beda, namun saya tidak yakin perilaku membiarkan orang
tua untuk berendam di dalam kolam air dan mengguyur badannya selam satu hingga
dua jam ini adalah hal baik untuk suatu daerah, atau dalam konteks kasus ini di
Nusa Tenggara Barat.
Perkembangan teknologi
dan media adalah salah satu yang tak terbendung saat ini. Dua hal yang
menghalangi penyebaran teknologi informasi di Indonesia–hingga ke
pelosok–hanyalah akses jaringan dan pengguna atau saya sebut saja mentor
penyebarannya.
Jika akses jaringan
telah terhubung, maka yang dibutuhkan untuk menyebarkan teknologi informasi ke
dalam ruang-ruang privat masyarakat desa adalah pengguna atau mentor yang
mengajarkan masyarakat desa dalam penggunaan teknologi komunikasi yang ada.
Pengguna awal atau
orang yang saya sebut mentor bagi masyarakat adalah pihak yang mengajarkan
teknologi ini. Pihak yang cukup memegang kendali bagaimana sebuah teknologi
digunakan.
Tentu konteks mentor
ini tidak semata-mata orang yang telah dididik oleh sebuah institusi pendidikan
dan pemerintahan, namun siapa pun yang memiliki pengetahuan dan wawasan tentang
teknologi media komunikasi bertanggung jawab atas penggunaan teknologi di suatu
daerah.
Sebagai masyarakat desa
di pelosok Sulawesi yang mengenal komputer di bangku SMP–tahun 2007–dari
mahasiswa PKL yang melakukan kegiatan bakti desa, saya sedikit-banyak memiliki
pengalaman tentang hal ini.
Agenda Media tentang Frasa Mengemis Online
Selama ini, di
lingkungan kita hingga yang dipertontonkan oleh media, citra pengemis adalah
berpakaian kotor, lusuh, orang tua atau lanjut usia, renta, orang sakit, kaum
difabel hingga anak-anak.
Mengemis akan identik
dengan kegiatan mengetuk pintu ke pintu atau menunggu kehadiran orang di suatu
tempat agar dapat dikasihani. Sedangkan yang dilakukan para pelaku
mandi/berendam air di Tiktok tidak serupa dengan hal tersebut. Hal ini yang
membuat pelaku merasa tidak sedang mengemis.
Mereka hanya menganggap
itu sebuah pertunjukan yang mampu mereka lakukan selayaknya influencer yang
sedang melakukan siaran langsung untuk menyapa para penggemar atau selayaknya
pelaku seni yang memanfaatkan media sosial.
Di Indonesia, selama
larangannya belum jelas, apa pun bisa dijawab dengan kalimat, “daripada mencuri
atau menipu yang jelas-jelas haram, lebih baik saya/kami mengerjakan ini”.
Di Indonesia, selama
larangannya belum jelas, apa pun bisa dijawab dengan kalimat, “daripada mencuri
atau menipu yang jelas-jelas haram, lebih baik saya/kami mengerjakan ini”.
Pada dasarnya meminta
bantuan–ekonomi, pakian, makanan dan lainnya–untuk donasi dan kemanusiaan bagi
banyak orang bukan hal yang memalukan. Bahkan di era saat ini meminta bantuan
atau bahkan mengemis melalui internet menjadi pilihan yang masuk akal.
Sayangnya yang terjadi
pada kasus berendam di air berjam-jam yang sedang tren di Tiktok bukan untuk
konteks semacam donasi kemanusiaan. Hal tersebut hanyalah orang-orang yang
mengharapkan uang dengan instan–meminta dari orang yang iba–melalui media
sosial Tiktok, dengan bersembunyi di balik hadiah, atau tren sosial.
Setelah hal tersebut
ramai muncul di layar pada genggaman warganet, media pun merasa perlu
memberikan definisi terhadap tren yang terjadi dan masih baru.
Dengan melihat
ciri-ciri yang dapat media kumpulkan dan amati, kata “mengemis online” yang
menjadi pilihan kata yang menurut media tepat untuk mengkotakkan perilaku orang
tua yang sedang siaran langsung di aplikasi Tiktok ini.
Agenda media semacam
ini kemudian disambut oleh kebijakan pemerintah yang akan memberikan teguran
dan menertibkan perilaku yang dianggap meresahkan ini.
Tak sampai di situ,
berbagai program acara TV, Influencer, Podcaster, hingga Youtuber mengundang
mereka untuk diwawancarai. Setelahnya, perilaku semacam ini akan didefinisikan
oleh seluruh masyarakat sebagai kegiatan mengemis di Internet.