Salah satu yang
diangkat Setapak Rai Numbei kali ini adalah Prof. Dr. Gregorius Keraf, atau lebih dikenal
dengan Gorys Keraf, salah seorang legendaris dalam dunia ilmu bahasa dan tata
bahasa Indonesia.
Tak hanya terkenal di
pulau kelahirannya, Lembata dan daratan Flores, ia juga terkenal di seantero
Indonesia karena sumbangsih pemikiran dan buku-bukunya pada perkembangan
ketatabahasaan negeri ini.
Gorys Keraf lahir pada
17 November 1936 di Kampung Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur
(NTT). Pada 1964, Gorys Keraf memperoleh gelar sarjana dari jurusan bahasa
Indonesia, kejuruan linguistik di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Selanjutnya, Dia
menjabat sebagai dosen tetap Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1963),
serta mengajar di beberapa SMA seperti Santa Ursula dan Theresia (1964).
Pada tahun-tahun
berikutnya, Gorys Keraf menjadi dosen di Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan, Unika Atma Jaya (1967) serta Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian Jakarta juga Jakarta Academy of Languages (1971).
Karyanya Jadi Kita Suci Bahasa Indonesia
Gorys Keraf menyadari
minimnya ketersediaan buku-buku tentang tata bahasa Indonesia. Dia lantas
menerbitkan Tata Bahasa Indonesia pada 1970 dalam rangka memajukan
ilmu pendidikan bahasa di Indonesia. Hal ini tecermin melalui kutipan di bawah
ini yang diambil dari kata pengantar dalam buku tersebut:
“Karena insyaf akan
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan buku-buku Tatabahasa Indonesia
hingga saat ini, maka kami mencoba menyusun Tatabahasa ini dengan mempergunakan
prinsip-prinsip Ilmu Bahasa Modern, memakai penafsiran-penafsiran baru dan
analisa-analisa yang lebih sesuai dengan taraf kemajuan Ilmu Bahasa sekarang.”
Buku ini melambungkan
namanya hingga menjadi sangat terkenal. Lalu disusul dengan sebuah buku
monumental lainnya berjudul “Komposisi” di tahun setelahnya. Kedua buku ini
bisa dianggap sebagai kitab suci Bahasa Indonesia bagi para pelajar dan
mahasiswa di era 70-an dan 80-an.
Buku Tata Bahasa
Indonesia karangan Gorys Keraf tersebut adalah buku yang menurut Bambang
Kaswanti Purwo (1987), “pengaruhnya begitu mendalam merasuki relung-relung
pengajaran bahasa Indonesia.”
Bambang Kaswanti Purwo,
seorang ilmuwan bahasa dari Unika Atma Jaya, Jakarta, melakukan penelitian
terhadap ratusan buku tata bahasa yang terbit tahun 1900-1982 (selama 82 tahun).
Dari 174 buku tata
bahasa Indonesia yang diteliti oleh Bambang, ada dua buku yang paling banyak
dibaca dan berpengaruh luas di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia selama
lebih dari 25 tahun.
Kedua buku itu adalah
(1) Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (jilid 1 dan 2) karangan Sutan Takdir
Alisjahbana dan (2) Tata Bahasa Indonesia karangan Gorys Keraf.
Pengaruh buku Tata
Bahasa Indonesia yang sangat besar tersebut memiliki dampak negatif yang jamak
yakni masifnya terjadi pembajakan.
Ikatan Penerbit Indonesia
(IKAPI) pada tahun 1989 mensinyalir bahwa buku yang paling banyak dibajak dan
dijual secara ilegal di pasaran bebas pada kurun waktu 1970-an dan 1980-an
adalah buku Tata Bahasa Indonesia karangan Gorys Keraf.
Keperkasaan buku ini
mulai berkurang setelah pada tahun 1988 Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen P dan K meluncurkan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Gorys Keraf bisa
dibilang sebagai ilmuwan bahasa. Dalam buku-bukunya, ia menciptakan rumus-rumus
ketatabahasaan yang masih dipakai hingga saat ini.
Teori Keraf dan Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Tidak hanya itu,
berdasarkan hasil penelitiannya yang mendalam atas bahasa-bahasa Nusantara
sebagaimana dipaparkannya dalam bukunya “Linguistik Bandingan Historis” (1984)
membuahkan sebuah “teori baru” tentang asal-usul bahasa dan bangsa Indonesia
yang mengejutkan banyak ahli antropologi.
Teori Keraf
menyebutkan, nenek moyang bangsa Indonesia “berasal dari wilayah Indonesia
sendiri,” bukan dari mana-mana, bukan pula dari Asia Tenggara Daratan atau dari
Semenanjung Malaka sebagaimana dipahami masyarakat umum selama ini.
Teorinya ini didasarkan
pada tiga landasan tinjauan, yakni (1) situasi geografis masa lampau, (2)
pertumbuhan dan penyebaran umat manusia, dan (3) teori migrasi bahasa dan
leksikostatistik.
Wafat di Jakarta
Doktor linguistik yang
dikagumi guru-guru bahasa ini menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta pada
30 Agustus 1997.
Selama hidupnya, ia
banyak menularkan ilmunya dengan cara menjadi guru dan dosen di berbagai
universitas, terutama di almamaternya: Universitas Indonesia.
Ia juga meninggalkan
warisan tak ternilai berupa buku-buku hasil karangannya bagi bangsa ini.
Buku-bukunya yang telah diterbitkan adalah:
Tata Bahasa Indonesia
(1970), Komposisi (1971), Eksposisi dan Deskripsi (1981), Argumentasi dan
Narasi (1982), Diksi dan Gaya Bahasa (1984), Linguistik Bandingan Historis
(1985), Linguistik Bandingan Tipologis (1990);
Tata Bahasa Rujukan
Bahasa Indonesia untuk Tingkat Pendidikan Menengah (1991), Tanya Jawab Ejaan
Bahasa Indonesia Untuk Umum (1992), Cakap Berbahasa Indonesia (1995), dan Fasih
Berbahasa Indonesia (1996).
PENDIDIKAN
1. SMP di Seminari Hokeng (1954)
2.
SMA Syuradikara
di Ende (1958)
3.
Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Kejuruan Linguistik (1964)
4. Doktor Universitas Indonesia (1978) dalam bidang
linguistik. Judul disertasi: Morfologi Dialek Lamalera
KARIR
1. Guru SMA Syuradikara, SMA (1962-1965)
2.
Guru SMA Santa
Ursula(1964)
3.
Guru SMA Santa
Theresia (1964)
4.
Dosen Unika
Atmajaya (1967)
5.
Dosen Perguran
Tinggi Kepolisian
Dosen Jakarta Academy of Languages Jakarta (1971)
6.
Dosen tetap di
Fakultas Sastra UI (sejak 1964)
7.
Koordinator Mata
Kuliah Bahasa Indonesia dan Retorika di Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
8.
Dosen
Pascasarjana Hukum UI
9.
Dosen
Universitas Trisakti
10. Dosen Universitas Tarumanegara, Jakarta.
11. Menjadi pengasuh tetap rubrik “Pembinaan Bahasa
Indonesia” di harian Surya Surabaya
12. Sesekali tampil di TVRI membawakan acara “Pembinaan
Bahasa Indonesia”