Paus meminta akademi
untuk memastikan bahwa pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
paralel dengan tanggung jawab, nilai, dan hati nurani.
“Percepatan teknologi
baru yang cepat dapat menghasilkan konsekuensi yang signifikan bagi kehidupan
manusia dan lingkungan yang tidak selalu jelas dan dapat diprediksi,” kata
Francis.
Selain pertemuan tatap
muka, akademi mengadakan webinar online gratis tentang “Emerging Technologies
and the Common Good” dengan pembicara dijadwalkan untuk membahas konvergensi
teknologi dalam nanoteknologi, bioteknologi, dan ilmu kognitif.
“Selama hari-hari ini
Anda akan merenungkan hubungan antara manusia, teknologi baru, dan kebaikan
bersama. Ini merupakan batasan yang rapuh, di mana kemajuan, etika, dan
masyarakat berjumpa. Sekaligus bagaimana iman dapat memberikan kontribusi yang
berharga,” kata Paus Fransiskus.
“Dalam pengertian ini,
Gereja tidak pernah berhenti mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
demi martabat pribadi dan perkembangan manusia seutuhnya.”
Dalam pidatonya di
akademi, Paus Fransiskus juga memperingatkan bahwa “teknologi tidak dapat
menggantikan manusia.” Dia berkata bahwa adalah “godaan buruk” untuk membuat
“yang maya menang atas yang nyata.”
“Jelaslah perkembangan
teknologi semakin meluas setiap hari: dalam perbedaan antara ‘alamiah’ dan
‘buatan’, ‘biologis’ dan ‘teknologis’, kriteria yang dapat digunakan untuk
membedakan apa itu manusia dan teknologi menjadi semakin sulit. Karena itu,
refleksi serius tentang nilai manusia itu penting.” ungkapnya.
Selama sidang umum,
akademi akan memberikan Penghargaan Penjaga Kehidupan 2023 kepada Magdalen
Awor, seorang bidan dari Uganda yang bekerja dengan organisasi nonpemerintah
Doctors with Africa CUAMM yang berbasis di Italia untuk memberikan pelatihan
medis di Sudan Selatan.
Santo Yohanes Paulus II
mendirikan Akademi Kepausan untuk Kehidupan pada bulan Februari 1994 untuk
mempelajari dan memberikan informasi dan pelatihan tentang masalah-masalah
utama hukum dan biomedis yang berkaitan dengan kemajuan dan perlindungan
kehidupan.
Yang Mulia Jérôme
Lejeune, seorang dokter anak dan ahli genetika Prancis yang menentang
penggunaan tes prenatal untuk tujuan melakukan aborsi elektif. Ia adalah
presiden pertama akademi tersebut, meskipun ia meninggal karena kanker
paru-paru hanya beberapa minggu setelah pendiriannya.
Paus Fransiskus
mengubah statuta Akademi Kepausan untuk Kehidupan pada tahun 2016, membatalkan
persyaratan bagi anggota akademi untuk menandatangani deklarasi yang menegaskan
bahwa dari saat embrio terbentuk hingga kematian, manusia yang sama yang tumbuh
menjadi dewasa dan mati.
Statuta baru mengatakan
bahwa para anggotanya dapat dari agama apa pun, meskipun mereka harus
mempromosikan dan mempertahankan prinsip-prinsip mengenai nilai kehidupan dan
martabat pribadi manusia, yang ditafsirkan dengan cara yang sesuai dengan
Magisterium Gereja.
Tahun lalu, sebuah
jurnal Katolik yang dikelola Yesuit mendapat kecaman lebih dari 50 organisasi
untuk sebuah artikel yang mendukung bunuh diri yang ditulis oleh anggota
Akademi Kepausan untuk Kehidupan.
Uskup Agung Vincenzo Paglia merupakan presiden Akademi Kepausan untuk Kehidupan sejak 2016.*