Belum lagi ukuran
kemasan beras di atasnya. Saya
memprediksi harga yang naik bukan cuma beras. Akan menyusul harga sembako
lainnya akibat efek domini kenaikan harga beras.
Megap-megap, itulah
juga yang tengah yang dirasakan rakyat kecil. Harga-harga seperti pendaki
gunung yang lupa turun. Sebagai orang yang berada di golongan abu-abu, tidak
kaya dan tidak miskin. Saya bisa merasakan dan menyimpulkan bahwa telah terjadi
resesi. Apa ukurannya?
Tidak usah pakai segala
teori-teori ekonomi Adam Smith dan Keynesian yang canggih. Daya beli masyarakat
jatuh bebas. Itulah ukuranya. PHK massal semakin kerap terjadi, lapangan kerja
begitu sulit.
Indikator kasat mata
itu cukup membuat kita semua menyimpulkan telah terjadi resesi meskipun hanya dirasakan
masyarakat kalangan bawah dan kalangan abu-abu seperti saya. Yang dengan
penghasilan saya, seharusnya saya tidak perlu berteriak dengan kenaikan
harga-harga, namun banyak faktor yang menyebabkan saya ikutan teriak.
Pada suatu hari, saya
mencoba naik angkot akibat mahalnya maxim mobil. Di tempat saya, kendaraan umum
hanya dua jenis yaitu, maxim, grab, gojek, dan angkot. Dengan naik maxim, saya
mengeluarkan Rp 65.000 sehari.
Naik angkot
sambung-menyambung ditotal-total Rp 38 ribu sehari. Nah kembali, pada suatu
hari di angkot tersebut, ada seorang ibu dengan keranjang yang berisi dagangan
penuh turun di tempat tujuannya. Uangnya Rp 8.000, harusnya kembali seribu.
Sopir angkot tidak punya kembalian.
"Gak apa-apa saya
bayar delapan ribu," kata si ibu, dengan mata nanar.
Si sopir pun kasihan.
Akhirnya ibu itu diberi uang kembalian Rp 2.000. Itu artinya, si ibu tadi hanya
membayar Rp 6.000. Sopir itu juga menampakan wajah sendu. Maklum kenaikan harga
BBM memukul kemampuan beli bensin mereka.
Saya jadi
terpikir-pikir begitu menderitanya jadi orang kecil. Kebijakan yang belum
terlalu berpihak kepada rakyat kecil, sungguh mengerikan. Kalau mau
dirunut-runut, timbul pertanyaan penting dalam diri saya. Perlukah kenaikan
BBM? Sungguh-sungguh perlu?
Saya banyak membaca
banyak hal, baik koran dalam negeri maupun luar negeri. Buku-buku dan
semua-semuanya serta menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Perlukah BBM
naik?
Kembali pembahasan naik
tingginya harga beras, sungguh tidak beralasan. Impor tengah membanjiri pasar.
Pemerintah sudah mengimpor 500 ton beras. Saat ini juga tengah panen raya.
Mengapa harga beras justru melonjak naik? Apakah mafia-mafia beras masih terus
merongrong rantai pasokan beras?
Pertanyaan-pertanyaan
tidak berujung terus menukik-nukik di kepala banyak orang. Bagaimana
melanjutkan hidup esok hari? Lusa? Entah, mari kita bertanya pada chat GPT yang
begitu cerdas, tidak usah lagi bertanya pada rumput yang bergoyang sudah bukan
zamannya lagi. Mungkin chat GPT bisa menghibur kita dengan jawaban-jawaban
cerdasnya yang akademik.
Kalau saya pribadi
mengatakan bahwa memang saat ini kita sudah resesi. Kita tidak berbicara
tentang 400 ribu orang yang sangat kaya. Kita bicara tentang 270 juta
masyarakat biasa yang tidak punya deposito dan saldo pas-pasan.
Kalau mayoritas
merasakan bahwa daya beli turun dan harga-harga melangit, PHK massal di
mana-mana. Memang resesi sedang berlangsung. Mau dipatahkan dengan segala
teori-teori, arus modal yang masuk tinggi, investasi meroket tetap saja
kenyataan di masyarakat berbicara lain.
Oleh karenanya,
dibutuhkan daya tahan yang tinggi untuk melewati ini semua. Masyarakat cuma
bisa berharap harga-harga jangan lama-lama naiknya. Berat, kami (rakyat kecil)
tidak akan kuat!
***
Rai Loro Inan Bakiruk
Kateri, 08 Maret 2023