Kisah Pilu! Disiksa Majikan di Malaysia, Meriance Buruh Migran Asal NTT Berjanji Akan Mengejar Keadilan Sampai Mati

Kisah Pilu! Disiksa Majikan di Malaysia, Meriance Buruh Migran Asal NTT Berjanji Akan Mengejar Keadilan Sampai Mati

Meriance mencoba bertahan di tengah penyiksaan berbulan-bulan pada 2014. Bayangan empat anaknya membantunya bertahan.(BBC INDONESIA)



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Seorang mantan pekerja migran Indonesia mengaku mengalami penyiksaan kejam lebih dari delapan tahun lalu di tangan majikannya di Malaysia.

Inilah cerita bagaimana dia mencoba bertahan hidup dan upayanya untuk menyelamatkan diri dari tempat yang ia sebut neraka.

Ia memberikan rincian penyiksaan yang ia alami selama delapan bulan.

Kesaksiannya didukung oleh laporan medis, dokumen pengadilan, cerita sejumlah tetangga, dan petugas kedutaan Indonesia di Malaysia yang melihatnya tak lama setelah diselamatkan.
Setiap kali bangun pagi, Meriance hanya memusatkan pikirannya pada satu hal. Bagaimana ia dapat melewati hari itu.

 Wajahnya menghitam karena bengkak akibat hantaman sang majikan. Dia mengatakan hampir sekujur tubuhnya menjadi sasaran penyiksaan.

Namun, dia mengatakan tidak pernah memikirkan rasa sakit yang tak terkira atas kejadian delapan tahun lalu itu.

Yang ada di benak ibu empat anak asal desa terpencil di Nusa Tenggara Timur itu adalah bagaimana caranya bertahan hidup. Wajah anak-anaknya menjadi penguat untuk bertahan. Pengadilan Indonesia - yang sudah inkrah dari Pengadilan Negeri Kupang sampai Mahkamah Agung - menyatakan dua orang, Tedy Moa dan Piter Boki bersalah karena merekrut dan memperdagangkan Meriance Kabu.

Putusan pengadilan menyebutkan Meriance dikirim sebagai pembantu rumah tangga untuk Ong Su Ping Serene. Sang majikan yang kemudian menyiksanya sehngga Meri harus dirawat di rumah sakit.

Desa tanpa aliran listrik ini harus ditempuh lebih dari lima jam melalui jalan berbatu besar dari ibu kota provinsi, Kupang. Untuk mendapatkan air bersih sekalipun, warga desa harus berjalan jauh.

Meriance memutuskan mengikuti tawaran bekerja ke Malaysia untuk membantu ekonomi keluarga yang ia sebut sangat kekurangan. "Agar anak-anak tidak nangis lagi minta makanan atau bisa punya uang jajan seperti anak-anak lain," kata dia.

Suaminya ketika itu bekerja sebagai tukang batu di proyek-proyek bangunan dengan nafkah tak cukup untuk menghidupi empat anaknya yang saat itu masih kecil-kecil. Bekerja di negeri seberang bahkan sempat membuatnya berani bermimpi untuk punya rumah sendiri suatu saat kelak setelah kembali.

Saat tiba di Kupang setelah direkrut dari desa, harapan Meri untuk hidup lebih baik semakin meningkat. Pihak perekrut, kata Meri, membelikannya baju dan keperluan lain. Namun Meri bercerita, mereka juga mengambil telepon selulernya Meriance direkrut dari Desa Poli di Timor Tengah Selatan, kampung terpencil di Nusa Tenggara Timur. Suami dan orang tua Meri mengatakan mereka tak ada kontak lagi setelah dia pergi dari desanya.

Mereka tidak mendengar kabar apapun darinya dari awal April 2014 sampai tanggal 24 Desember tahun itu, saat mereka mendapatkan kabar dari petugas Badan Perlindungan Pekerja Migran, yang menyampaikan berita dari KBRI Malaysia.

"Satu hari menjelang Natal saya mendapat kabar," kata Karfinus Tefa, suami Meri.

"Saya sangat terkejut saat mereka menunjukkan foto Meri di rumah sakit. Saya tidak mengenalinya," kata Karfinus. Saat Meri tiba di Malaysia pada minggu ketiga April 2014, paspornya diambil agen dan diserahkan ke majikan, kata Meriance. Pejabat KBRI mengatakan kepada BBC, langkah ini adalah praktik yang biasa dilakukan oleh para pelaku perdagangan manusia. Namun demikian, Meriance masih bersemangat.

Kepala dihantam ikan beku oleh majikan

Ia dijemput Serene dari tempat penampungan yang ia tak ingat lagi lokasinya. Ia mengatakan yang ia ingat adalah menempuan perjalanan dengan mobil yang cukup lama untuk tiba di rumah majikannya itu. Ia juga ingat tiba di Johor Bahru, Malaysia, dari Batam dengan menggunakan perahu kayu bersama sejumlah orang, dan dibawa ke tempat penampungan yang sama.

Tugas utamanya adalah menjaga nenek, ibu sang majikan, yang saat itu berusia 93 tahun. Selama sekitar tiga minggu pertama, cerita Meri, ia diajari cara memasak, membersihkan rumah, lengkap dengan jadwal berapa lama tugas harus diselesaikan. Selain nenek, kata Meri, ada teman perempuan Serene yang tinggal di rumah susun itu.

Ditempel setrika panas

Penyiksaan yang ia alami juga digambarkan dalam putusan pengadilan Indonesia atas dua orang yang dinyatakan bersalah merekrut Meriance.

Dokumen itu menyebutkan, "korban sering mendapat penyiksaan dari majikan menggunakan setrika panas, hamar, pinset, pentungan dan tang." "Dia dipukul di bagian tangan dan kaki menggunakan hamar, dipukul dengan pentungan pada seluruh bagian tubuh dan bagian wajah hingga tulang hidung patah dan memar."

Satu bagian dokumen menyebutkan Meriance "pernah ditempel ke tubuh dengan menggunakan setrika panas… puting susu dan kemaluan dijepit menggunakan tang lalu ditarik."

Delapan tahun berlalu. Bekas luka terbelah di bibir atas, tulang hidung atas rata karena hancur, lidah terpotong dan telinga yang tak berbentuk, masih terlihat jelas di wajahnya. Meriance mengatakan selama bekerja ia dilarang keluar.

Ia mengatakan majikannya mengancam akan melaporkan ke polisi karena dia adalah imigran gelap. Pintu jeruji besi rumah susun yang dipasang di depan pintu masuk tempat tinggal majikannya, selalu dikunci.

Empat tetangga yang ditemui pada Oktober 2022 dan tinggal di blok rumah susun yang sama ketika penyiksaan terjadi mengatakan kepada BBC selama delapan bulan itu mereka tak pernah melihat Meriance.

"Saya hanya melihatnya pada malam ia diselamatkan," kata salah seorang tetangga yang tak mau disebut namanya. "Baru ketika itulah, kami tahu, dia (Serene) memiliki pembantu rumah tangga."

Tetangga itu juga mengatakan sempat mendengar bunyi bising seperti benda jatuh tapi tak pernah bertanya lebih lanjut. Meriance mengatakan ia sering demam tinggi karena luka-luka parah yang tidak pernah diobati. Penyiksaan yang dihadapinya berhenti setelah sang majikan merasa capek memukulnya.

Dengan badan bersimbah darah, kata Meri, ia selalu diperintahkan membersihkan cipratan darah di lantai dan di dinding. Ia sempat terpikir lompat dari lantai tiga, tetapi celah jendela yang kecil serta bayangan wajah empat anaknya yang ketika itu masih kecil-kecil, membuatnya membatalkan niat itu. "Saya mau melawan, tapi saya ingat, kalau saya melawan saya harus mati. Saya juga ingat anak-anak saya."

Menanti waktu untuk minta tolong

Satu hal yang paling dia ingat adalah hari di penghujung tahun 2014. Hari ketika ia melihat dirinya sendiri di kaca. "Hari itu saya lihat muka saya di kaca kamar mandi, mulut saya sudah terbelah, saya tidak tahan lagi. Saya marah, bukan dengan majikan. Saya marah dengan diri sendiri, saya harus berani keluar dari itu tempat dan saya harus cari cara dengan cara tulis surat."

Ia mendengar tetangga yang lewat di depan unit rumah susun berbicara dengan Bahasa Melayu. Secarik kertas dan bolpoin diambilnya dari salah satu laci, disimpan di sakunya, sambil menunggu saat yang tepat, setelah selesai memberi makan sang nenek.

"Saya tulis surat itu, saya bilang tolong saya, saya disiksa majikan, saya mandi darah setiap hari, tolong saya. Itu saja yang saya tulis."

Ia kemudian melempar kertas keluar pintu depan melalui jeruji besi ke arah seorang ibu yang tengah berbicara Bahasa Melayu dengan anaknya. Ibu itu kemudian membawa kertas itu ke tetangga lain di blok yang sama, seorang polisi. Polisi inilah yang kemudian memanggil bantuan. "Dia tidak akan bertahan, dia pasti meninggal, bila terlambat ditolong," kata polisi yang sudah pensiun dan tidak mau disebutkan namanya itu. Malam itu - 20 Desember 2014 - polisi menggedor pintu rumah Serene, tak lama setelah ia pulang kerja.

Serene sempat terkejut, setelah mengintip ada polisi datang. Meri mengatakan dia diperintahkan oleh majikannya itu untuk bersembunyi di dapur dan berkata kepada polisi bahwa ia luka-luka karena jatuh di kamar mandi.

Jantungnya berdetak keras selama menunggu di dapur. Sampai akhirnya polisi bertanya langsung. Badannya saat itu panas tinggi dan menggigil karena luka-luka parahnya. "Saya mau jatuh rasanya. Saya duduk dan polisi bilang, kamu jangan takut karena kami sudah ada di sini." "Saat itu saya merasa kembali kuat.

Saya merasa sudah punya napas. Polisi panggil saya mendekat ke pintu depan…dan baru saya cerita yang sebenarnya." Ia mengatakan, "Tuhan menyelamatkan jiwanya". Malam itulah, ia keluar dari tempat yang ia sebut neraka, untuk pertama kalinya.

Meriance mencoba bertahan di tengah penyiksaan berbulan-bulan pada 2014. Bayangan empat anaknya membantunya bertahan.(BBC INDONESIA)



"Tuhan selamatkan saya"

"Saat itu, saya punya muka bengkak, warna hitam muka saya dan telinga saya lebar. Ada bagian yang kering. Muka saya bukan manusia, saya macam mayat yang berdiri di situ." "Di kantor polisi orang takut lihat saya, ini manusia atau mayat? Mereka tanya, siapa yang bikin orang ini begini?" Meriance dibawa ke rumah sakit, termasuk menjalani operasi kedua telinganya. Salah satu telinganya tak bisa diselamatkan bentuknya.

Petugas konsuler KBRI, Galuh Indriyati pada Desember 2014, mendampingi duta besar ketika itu, membesuk Meriance di rumah sakit Ampang.

"Pak Duta Besar ketika itu berbicara lama dengan Meriance," kata Galuh yang melihatnya dari balik pintu kamar rumah sakit dengan "kondisi diperban di bagian telinga dan mulut atas."

Galuh mengatakan pihak KBRI mendapatkan laporan dari Kepolisian Ampang bahwa mereka menyelamatkan seorang pekerja Indonesia dari penyiksaan majikan. Serene ditahan dengan dakwaan; termasuk pasal 326, tindakan menyebabkan luka parah dan 307, percobaan pembunuhan, serta perdagangan manusia dan pelanggaran imigrasi. Pada awal persidangan pada Januari 2015, Serene mengaku tidak bersalah. Meriance sempat memberikan kesaksian pada awal 2015, sebelum akhirnya kembali ke NTT pada pertengahan tahun itu. Ia berharap akan mendapatkan keadilan. Salah seorang polisi yang menemui Meriance setelah ia kembali ke NTT pada 2015, adalah Rudy Soik. Saat itu, ia bertugas sebagai anggota Satgas Anti-Trafficking Kepolisian Daerah NTT.

Ia mengatakan terkejut dan sedih melihat kondisi Meri yang masih trauma. "Dia cerita bentuk penyiksaan, sampai dia nangis. Saya sering berhadapan dengan korban, kami cepat terharu mendengar cerita seperti ini, giginya dicabut pakai tang, telinga ditusuk.. Kami merasa kasus ini harus diungkap," kata Rudy. Tim satgas mengejar para perekrut dan pada 2018, Tedy Moa dan Piter Boki dijatuhi hukuman penjara masing-masing lima dan tiga tahun.

Namun di Malaysia, pada Oktober 2017, hakim menetapkan putusan, DNAA -"discharge not amounting to an acquittal" atau dilepaskan tanpa dibebaskan terhadap Serene. Putusan itu mengejutkan kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono. "Bagaimana kasus-kasus penyiksaan kejam yang dialami oleh Meriance, yang sampai kuping dipukul, gigi dicabut, lidah dipotong, majikan bebas saja, di mana keadilan?" kata Hermono berang.

KBRI Malaysia mengaku telah melayangkan surat dua kali ke kejaksaan, pada September dan akhir Oktober 2022, untuk menanyakan kelanjutan kasus ini. Dubes Hermono menuding Malaysia tak serius dalam menangani kasus-kasus dugaan penyiksaan yang menimpa para pekerja rumah tangga Indonesia. Sehari-hari saat ini, Meriance lebih banyak mengurus anak-anaknya dan menenun, kegiatan yang menurutnya membantunya tenang.

Mama jangan sedih, suara Adelina ada di saya, kata Meriance saat bertemu ibu Adelina Sau.(BBC INDONESIA)



"Akan mengejar keadilan sampai saya mati"

Meri mengatakan "akan mengejar keadilan sampai saya mati." Pada akhir Oktober 2022, BBC menemani Meriance ke Malaysia untuk berupaya bertemu dengan Ong Su Ping Serene. Satu pertanyaan yang ingin ia lontarkan langsung adalah, "Apa salah saya, mengapa kamu siksa saya?" Kami melewati kantor polisi, tempat Meriance dibawa setelah diselamatkan dan kemudian rumah sakit, tempat ia dirawat. Kami juga menyusuri blok-blok rumah susun.

Meriance lebih banyak diam di dalam mobil memandang jendela dapur dengan jeruji besi di lantai tiga, tempatnya dulu bekerja. BBC mengirimkan surat dua kali kepada Serene, berisi permintaan untuk bertemu dan mendengarkan versi ceritanya atas tuduhan Meriance. Setelah tiga hari tidak mendapatkan jawaban, kami memutuskan untuk menunggu Serene di area parkir umum di depan blok rumah susunnya. Kami menunggu Serene dari siang sampai malam. Suara kembang api dan petasan untuk perayaan Diwali terdengar kencang pada malam di penghujung Oktober 2022.

Setelah menunggu cukup lama, dari kejauhan, kami akhirnya melihat Serene memarkir mobilnya.

Meriance dan saya sebagai wartawan BBC terlebih dahulu menghampiri Serene setelah ia keluar dari mobilnya. Kondisi di area parkir umum itu gelap. Hanya ada satu lampu jalan yang cukup jauh dari tempat kami berdiri. Bertubuh gempal dan berkacamata, dia berjalan cepat. Mengenakan celana pendek dan blus hem kotak-kotak warna krem.

Saya menyalakan rekaman video di ponsel saya dan menyapa Serene. "Saya Endang Nurdin, wartawan BBC." Namun suasana berubah cepat. Saya merasakan dorongan yang begitu keras dan langsung terhempas di atas aspal pelataran parkir. Tangan dan siku saya terasa nyeri.

Ponsel saya dirampas. Serene masih berusaha mendekat ketika saya masih dalam kondisi terjatuh. Dia terlihat marah. Serene langsung mengatakan "Maaf, saya tak bermaksud mendorong Anda", dan beberapa kali bertanya, "mengapa saya direkam."

Saya mencoba bangkit dan menjelaskan ke Serene bahwa kami telah mengirim surat dua kali, termasuk memberitahukan bahwa Meriance bersama kami. Sambil berjalan kembali ke arah mobilnya, dia mengatakan akan mengontak kuasa hukumnya dan lapor ke kantor polisi. Namun, di tengah suara keras kembang api dan petasan ini, Meriance melontarkan pertanyaan yang terpendam bertahun-tahun.

"Serene, kamu lupa saya? Masih ingat saya? Saya Meri. Salah saya apa, mengapa kamu siksa saya?" Pertanyaan yang tidak diindahkan Serene yang langsung pergi mengendarai mobilnya. Saya sangat terkejut dan cukup ketakutan dalam insiden yang hanya berlangsung beberapa menit itu. Meriance justru berusaha menenangkan saya dengan terus mengusap pundak saya. Bulan berikutnya, BBC mendapatkan surat dari kuasa hukum Serene yang mengklaim bahwa kami "menguntit, melecehkan, menyergap dan menyudutkannya."

Korban terus berjatuhan

Cerita Meriance - menurut Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono - merupakan salah satu dari sekian banyak korban perdagangan manusia yang rentan menghadapi penganiayaan dan penyiksaan - dan dialami banyak pekerja rumah tangga di Negara Jiran ini.

 "Kasus Meriance adalah kasus klasik (perdagangan manusia), dari dulu sampai sekarang. Saya tak tahu, kapan ini akan berakhir. Yang kita tahu korban terus berjatuhan, dari penyiksaan, gaji tidak dibayar dan lain-lain. Ini adalah contoh yang sempurna, banyak sekali WNI yang bekerja di sektor rumah tangga yang menjadi objek perdagangan orang," kata Hermono.

Karena sudah mengirim surat ke pemerintah Malaysia, Hermono mengatakan, "Kita lihat saja, bagaimana surat kita yang meminta penjelasan kapan kasus Meriance akan disidang kembali." Ketika tim BBC berada di Kuala Lumpur pada Oktober 2022, KBRI Malaysia tengah menangani kasus penyiksaan pekerja rumah tangga lain, juga oleh majikan.
Penyiksaan pekerja lain ini disebut disiksa secara di luar nalar kemanusiaan dengan badan lebam akibat dipukul dan juga ada luka bakar. Korban juga dalam kondisi kurus kering karena tidak diberi makan dan saat diselamatkan, berat badan turun 30 kilogram. Majikan dalam kasus penyiksaan ini tengah diadili. Kantor Kejaksaan Agung Malaysia menolak berkomentar ketika BBC menanyakan kasus-kasus penganiayaan termasuk kasus Meriance. Sementara Kementerian Luar Negeri Malaysia mengatakan pemerintah tengah mengkaji kasus-kasus penganiayaan yang menimpa para pekerja rumah tangga Indonesia dan akan memastikan keadilan akan ditegakkan berdasarkan hukum negara itu.

Seorang pekerja rumah tangga Indonesia lain, Adelina Sau, terlambat untuk diselamatkan ketika ditemukan penuh luka di beranda rumah majikannya di Penang pada 2018. Majikan Adelina, Ambika Shan dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Penang pada April 2019 karena permintaan jaksa untuk dibebaskan tanpa dilepaskan, DNAA (discharge not amounting to acquittal). Jaksa mengajukan banding namun Mahkamah Persekutuan mengukuhkan putusan pada Juni tahun lalu. Adelina berasal dari kabupaten yang sama dengan Meriance, Timor Tengah Selatan. Adelina termasuk satu dari lebih 700 tenaga kerja asal NTT yang kembali dalam peti mati akibat berbagai sebab, termasuk penyiksaan dalam sembilan tahun terakhir.

Angka dari BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) NTT ini adalah sejak 2014 sampai akhir 2022. Sebagian besar PMI dari berbagai sektor ini adalah pekerja gelap dan banyak yang merupakan korban perdagangan manusia.

"Saksi mata itu hanya saya dengan majikan… Kalau saya mati, dia senang. Teman-teman yang sudah meninggal, majikan berteriak, lompat-lompat senang karena buktinya di mana? Kirim peti mati, sumbang uang, beli semen, cor kuburan, selesai kan," kata Meriance dengan nada tinggi. Perjuangannya, kata Meri, adalah juga untuk semua yang tak selamat. Saat bertemu dengan ibu Adelina Sau, Yohana Banunaek, Meri memintanya untuk kuat. "Mama harus kuat dan tidak boleh sedih lagi, walaupun Adelina sudah meninggal tapi suara Adelina ada di saya," katanya.

Pelajaran bagi warga desa lain

Di desa asal Meri, kampung tanpa jaringan telepon, dengan kondisi jalan menuju ke desa berbatu-batu besar. Mobil sering berhenti untuk memastikan jalan bisa dilalui. Menjelang senja, ada satu sungai kering berbatu besar yang harus dilalui, satu jam sebelum tiba di Desa Poli.

Sejumlah ibu dan anak-anak membawa jerigen plastik di atas kepala mereka untuk mengambil air di salah satu mata air kecil. Beberapa ibu sibuk mencuci pakaian. Meri mengenal sebagian besar warga desa yang tengah mengambil air itu. Ia dan anggota keluarganya juga melakukan hal yang sama, berjalan jauh sekitar satu jam, hanya untuk mencari air bersih.

Setelah melalui sungai yang lebarnya sekitar dua ratus meter, kondisi jalan berbatu kembali menanjak ke perbukitan. Suasana sudah gelap. Tak ada jaringan listrik. Hanya ada beberapa sinar lampu tenaga surya yang temaram ketika tiba di Poli. Dua orang tua Meriance menyambut kami. Keduanya mengatakan tidak akan membiarkan anak-anak mereka atau sanak keluarga untuk mencari pekerjaan ke Negeri Jiran lagi. "Kami ada hasil tani, ada ubi, ada jagung, cukup untuk kami makan, dan hidup dengan tenang, daripada disiksa dan kami dihina," kata ayah Meri.

Warga di desa-desa terpencil seperti inilah yang menjadi sasaran para pelaku perdagangan manusia. Janji pekerjaan bagus untuk hidup yang lebih layak menjadi iming-iming yang menggiurkan. Namun bagi Meriance, pengalaman buruk yang ia alami di Malaysia, ia harapkan menjadi pelajaran bagi warga desa lain yang menjadi target agar tidak mudah terbujuk. --- regional.kompas.com

Laporan tambahan: Raja Eben Lumbanrau

Produksi visual: Dwiki Marta

Grafik dan ilustrasi: Aghnia Adzkia, Karima Nahimi, Davies Surya, Arvin Supriyadi, dan Ayu Widyaningsih





Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama