Lantaran selalu masuk
dalam daftar buronan di beberapa negara, tak heran jika Tan Malaka memiliki 23
nama samaran.Seperti tertulis buku Tan Malaka: Bapak Republik yang
Dilupakan. Nama samaran digunakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Nama-nama
tersebut disesuaikan dengan negara yang akan menjadi tujuan Tan Malaka.
Pada Juni 1925, Tan
masuk ke Manila dengan memakai nama alias Elias Fuentes karena sakit paru-paru.
Tan menulis buku Massa Actie yang mengilhami gerakan-gerakan di awal
kemerdekaan ditulisnya saat di Singapura pada awal 1926. Saat menetap di
Singapura, Tan memakai nama samaran yakni Hasan Gozali. Dia mengaku berasal
dari Mindanao, Filipina.
Saat pergi ke Shanghai
pada 1930, Tan menggunakan nama samaran Ossario. Berprofesi sebagai wartawan
asal Filipina. Dua tahun berselang Tan pindah ke Hongkong karena perang Cina-Jepang.
Tan ditangkap di Hongkong dan dibuang ke Shanghai. Penangkapan inilah yang
membuat Poeze mengetahui tinggi badan Tan berdasarkan berkas penangkapannya.
Sebelum kembali ke
Indonesia pada tahun 1942, Tan menetap agak lama di Singapura. Terhitung sejak
1937 sampai 1942. Di Singapura, Tan bekerja sebagai guru di sekolah Tionghoa.
Penyerangan Jepang ke wilayah Asia Tenggara merupakan momentum Tan untuk kembali
ke tanah air.
Sebelum kembali ke
Indonesia, Tan mengawali perjalanannya dari Penang, Malaysia. Dia mulai
menggunakan nama samaran Hussein (Legas Hussein). Tan tiba di pulau Sumatera
dan mampir di Padang dengan mengaku sebagai Ramli Husein.
Bulan Juli 1942 Tan
sampai dan menetap di Jakarta dan menyelesaikan Magnum Opusnya Madilog.
Sekitar satu tahun, Tan pindah ke Bayah, Banten Selatan dengan mengaku sebagai
Ilyas Hussein. Dia mendaftar menjadi Kerani dipertambangan batu bara. Nama
Ilyas Hussein ini tetap digunakan saat menemui Sukarni untuk pertama kali di
rumahnya.
Ketika sedang di
Indonesia setelah bepergian dari negara-negara Eropa dan Asia, Tan menggunakan
nama samaran Hussein. Nama tersebut kemudian dikembangkan menjadi tiga nama.
Yakni Legas Hussein, Ramli Hussein, dan Ilyas Hussein.
Bahkan saat ingin
bertemu beberapa tokoh Republik Indonesia, Tan Malaka tidak pernah sekalipun
membocorkan identitas aslinya. Alasannya kewaspadaannya. Dengan cara itu juga
Tan bisa mengetahui apakah tokoh yang ditemuinya mengenali ide-ide politiknya.
Dia pernah berkata akan membuka identitasnya di saat yang tepat.
"Saya masih
menunggu kesempatan yang lebih tepat," ungkap Tan dalam memoar Dari
Penjara ke Penjara.
Dicurigai Sebagai Intel Jepang
Pada awal Juni 1945,
Tan bertamu ke rumah Sukarni dan sempat dicurigai sebagai mata-mata Jepang.
Penyebabnya, Tan memperkenalkan diri sebagai Ilyas Hussein yang berasal dari
Bayah, Banten Selatan.
Sebagai tamu asing dari
daerah pedalaman, Hussein menyampaikan analisis dan ulasannya tentang
proklamasi kemerdekaan. Analisisnya sangat memukau. Setelah mendengar
penyampaian Hussein, Sukarni merasa sepemahaman. Karena sesuai dengan yang
selama ini dipelajari dari tulisan-tulisan Tan Malaka.
Sukarni sempat menaruh
curiga pada Hussein (Tan Malaka). Dengan pemikiran itu, Hussein tidak mungkin
hanya orang biasa. Bisa jadi, seorang agen intelijen negara lain.
"Ia takut kalau
Hussein mata-mata Jepang," ungkap Anwar Bey seperti dikutip dalam
buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan.
Abdul Radjak Bertemu Sukarno
Pada 9 September 1945,
Tan Malaka berhasil bertemu dengan 'Sang Proklamator' Sukarno. Sebelumnya, tiga
minggu setelah proklamasi, Sayuti Melik diberikan tugas oleh Sukarno untuk
mencari Tan Malaka.
Setelah menerima tugas
itu, Sayuti Melik bertemu Ahmad Soebardjo. Sulit menemukan Tan Malaka karena
memiliki banyak nama samaran. Ahmad Soebardjo membantu Sayuti Melik untuk menemukan
sosok Tan Malaka.
"Untungnya, Sayuti
tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad
Soebardjo mempertemukannya dengan penulis buku Naar de Republiek Indonesia
itu," seperti dikutip dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik yang
Dilupakan.
Sukarno meminta dokter
pribadinya, yakni Soeharto untuk menyediakan tempat pertemuan. Namun Sukarno
tidak membocorkan identitas tamu yang akan ditemuinya. Alias dirahasiakan.
Kepada Soeharto, Tan memperkenalkan diri sebagai Abdul Radjak.
Semua lampu padam saat
Soekarno dan Abdul Radjak bertemu pada malam hari. Ketika bertemu, Sukarno
langsung mengajukan beberapa pertanyaan mengenai salah satu buah pikirannya,
yakni Massa Actie.
Bung Besar menitipkan
pesan pada Tan Malaka. Agar melanjutkan revolusi jika Bung Karno sudah tidak
mampu lagi. Inilah awal rencana pemberian Testamen untuk Tan Malaka yang
nantinya akan dihancurkan oleh Sukarno sendiri.
Tan Malaka Gadungan
Sosok Tan Malaka tidak
begitu dikenal. Orang-orang hanya mengenal buah pikirannya saja. Tidak dengan
fisiknya. Akibatnya, banyak bermunculan Tan Malaka gadungan. Mereka yang
mengaku sebagai Tan punya kepentingan. Baik finansial atau ingin terkenal.
Contohnya saat November
1945. Muncul sosok Tan Malaka gadungan di Surabaya.
Dia berdiri di atas panggung dan berorasi. Pidatonya disiarkan stasiun radio
lokal. Ketika Tan Malaka yang asli sampai di Surabaya, dia justru ditahan para
aktivis.
Tan Malaka gadungan
juga muncul pada tahun 1949. Padahal saat itu, Tan Malaka asli dikabarkan sudah
meninggal. Nama Tan Malaka muncul dalam sebuah wawancara koran lokal di Kediri,
Jawa Timur. Sosok Tan Malaka palsu mudah diketahui karena pemikirannya yang
aneh.
"Jawaban-jawab
dalam wawancara juga tak sesuai dengan pemikiran Tan Malaka," ungkap Harry
Albert Poeze seperti dikutip dalam buku Tan Malaka: Bapak Republik yang
Dilupakan.