Sejak tahun 2019, tanggal 23 Maret diperingati sebagai Hari Ateis Sedunia. Apakah menjadi ateis tampaknya bisa menjadi pilihan hidup yang dinyatakan secara terbuka di Indonesia?
Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) - Manusia sejatinya berpikir dan memilih jalan hidupnya sendiri. Menurut Descrates (1596-1650), aku (manusia) ada karena berpikir, dan aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Namun manusia juga adalah makhluk yang terbatas. Kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya, yaitu Tuhan, sehingga proses berpikir manusia seringkali ‘menghadirkan’ ingatan akan ajaran pencipta (Tuhan) yang diimaninya. Namun bagi sebagian orang lainnya mengandalkan akal dan pengetahuan yang dimiliki, hidup tanpa Tuhan, yang menolak keberadaan pencipta semesta dalam bentuk apapun, yang kemudian disebut dengan ateis.
Secara historis gerakan
penolakan terhadap konsep ketuhanan mulai gencar pada abad ke-18, saat dimana
sains mulai melemahkan intuitif agama, yang ditandai dengan mencuatnya isu
positivisme. Ateisme, diakui atau tidak, tidak lepas dari filsuf Perancis yang
bernama Jean-Paul Sartre (1905—1980) yang adalah seorang filsuf
eksistensialis-ateis modern yang paling terkenal dan berpengaruh di Perancis
ataupun di dunia. Bagi Sartre, manusia adalah pencipta bagi dirinya sendiri
(causa sui). Karena itu, hidupnya selalu dalam kebebasan dalam mencari jati
diri. Kebebasan tersebut dalam pandangan Sartre merupakan kebebasan yang
berkesadaran dan atau kebebasan yang bertanggung jawab. Sebaliknya, manusia
yang beragama mau tidak mau tidak pernah bisa bebas, sebab mereka dibelenggu
oleh aturan-aturan yang ada dalam agama tersebut.
Di Indonesia menjadi
ateis tampaknya belum bisa menjadi pilihan hidup yang dinyatakan secara terbuka
karena masyarakat yang sangat agamis. Apalagi jika RUU KUHP yang mempidanakan
agnostik dan ateisme diberlakukan. Padahal memilih untuk tidak beragama sejatinya
adalah hak asasi manusia.
Beragama karena warisan
keluarga adalah tipikal orang Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang
sangat religius. Seluruh kehidupan sebagai seorang warga negara di Indonesia
tak jauh dari urusan agama. Ritual agama melingkupi kehidupan masyarakat di
Indonesia mulai dari melek bangun tidur hingga merem mau
tidur lagi. Bahkan novel jadul Atheis karya Achdiat Karta Mihardja
yang dinilai sebagai salah satu karya sastra penting dan penulisnya mendapat
Hadiah Tahunan Pemerintah Republik Indonesia tahun 1969 di ujung kisah
mengangkat penyesalan seorang ateis yang meninggalkan agama.
Seiring dengan makin
luasnya wawasan seseorang, memeluk agama bukan berarti menerima apa adanya atau
percaya begitu saja. Peristiwa tertentu, pengalaman hidup atau
pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban bisa menjadi pemicu bangkitnya kesadaran
yang mempertanyakan eksistensi Tuhan. Paling tidak, itulah yang terjadi pada
Stefen Jhon. "Tahun 1999 ketika Ambon dilanda konflik horizontal yang
berkepanjangan, saya mulai mempertanyakan tentang Tuhan. Ketika itu saya begitu
khusyuk berdoa Novena agar kampung dan rumah saya dijauhi perusuh sampai
akhirnya diserang oleh pihak lawan. Kami terpukul mundur, di situlah saya
berpikir, apa Tuhan punya maksud lain? Apa gunanya kami berperang membela
agama? Selemah inikah Tuhan yang saya sembah? Saya jadi skeptis, sangat
skeptis. Saya mulai mencari literatur dan saya tahu semua tentang Tuhan dan
gereja namun saya membunuh satu persatu keimanan saya terhadap Tuhan.” Setelah pergumulan
batin selama enam tahun, tahun 2005 Stefen Jhon memilih menjadi ateis.
Keributan tak dapat dihindari di rumah karena ia menolak ke gereja. Namun ia
tidak mengajarkan anak-anak untuk menjadi ateis seperti dirinya. Justru ia
senang melihat keluarganya kelihatan bahagia menjalankan ritual agama.
Ada Wadah Komunitas Ateis
Di Indonesia, Stefen
Jhon tidak sendiri. Mereka yang menggugat keimanan bergabung dalam
komunitas-komunitas free-thinker, agnostik (tidak mempercayai agama) dan
ateis (tidak mempercayai Tuhan) yang berada di media sosial atau grup-grup
WhatsApp. Di dunia maya ada saja orang yang mulai mempertanyakan kebenaran
agama dan kepercayaan yang mereka anut. Makin banyak yang kritis pada konsep
tentang Tuhan dan merasa agama tidak memberikan informasi yang memadai untuk
diterima secara intelektual. Karl Karnadi, pendiri dan moderator komunitas
ateis di Indonesia dengan nama Indonesian Atheists sejak tahun 2008 ketika
ditanya data ateis terakhir mengaku ada 1500-an anggota. "Tujuan utama
bukan untuk mengumpulkan ateis di Indonesia tetapi memberikan tempat yang aman
dan nyaman bagi ateis dan kaum minoritas di Indonesia yang didiskriminasi dan
jarang bisa terbuka di lingkungan nyata. Karena itu yang diterima menjadi
anggota Indonesian Atheists adalah mereka yang bertujuan sama. Selain komunitas
Indonesian Atheists, ada pula grup Facebook dengan nama "Anda Bertanya
Ateis Menjawab” dengan jumlah anggota 60 ribu orang yang menampung beragam
pertanyaan seputar ateis dan menjadi wadah untuk mengenal para ateis yang
sama seperti
manusia biasa seperti warga negara Indonesia lainnya.
Menjadi Ateis Tidak Bisa Dihukum
Tetapi bisa dibilang
mereka yang benar-benar ateis dan keluar dari agama sepenuhnya serta berani
mengakui di dunia nyata, terbuka di depan keluarga, rekan kerja dan pergaulan
sosial belum banyak. Sejumlah ateis yang saya kontak untuk mencari
tahu testimoni merekaterkait agama dan Tuhan enggan memberikan foto dan
menolak publikasi. Alasan yang diberikan bermacam-macam, "Orangtua saya
dan anak-anak saya bisa dikecam”, "Saya punya pekerjaan” atau alasan
diplomatis seperti "Saya belum tepat sebagai narasumber” dan "Ini
ranah pribadi”. Beberapa orang mengaku masih melakukan ritual agama sebagai
kegiatan sosial bukan spiritual karena memang tidak lagi percaya adanya Tuhan.
Keengganan para ateis
di Indonesia mengungkap identitas diri mereka, sangat saya maklumi karena
dipengaruhi kondisi di Indonesia yang kerap emosional atau bahasa gaul masa
kini baper (bawa perasaan) dalam urusan agama dan memandang tidak
beragama sebagai bentuk penodaan agama sehingga meminggirkan kebebasan
berbicara dan berpendapat yang sejatinya merupakan hak setiap orang.
Pengalaman buruk pernah
dialami Alexander Aan seorang pegawai negeri sipil di Sumatera Barat pada tahun
2012 yang dipenjara 2,5 tahun karena menulis status "Tuhan itu tidak ada”
di Facebook pribadinya. Ateis-nya tidak dihukum tetapi karena menyebarkan
pendapat di media elektronik maka Alexander Aan dijerat pasal penodaan agama
dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ateis dianggap
menodai agama alih-alih menjadi sebuah pilihan bebas semua orang, hak asasi
manusia yang universal dan berlaku termasuk untuk warga negara Indonesia.
Padahal Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada tahun 2012 menyatakan tidak
ada yang bisa menghukum individu ateis atau komunis jika mereka mengakui apa
yang dianutnya secara pribadi.
Negara-negara Tak Bertuhan
Dua pertiga penduduk
Bumi mengaku beragama, tapi sisanya tidak bertuhan. Negara mana yang paling
banyak menampung kaum ateis? Uniknya Asia justru berada di urutan terdepan
#1. Cina
Tradisi Cina tidak
mengenal istilah agama dalam prinsipnya yang mengatur hubungan antara manusia
dan Tuhan, melainkan ajaran nenek moyang yang terwujud dalam bentuk Taoisme
atau Khonghucu. Sebab itu tidak heran jika dalam jajak pendapat lembaga
penelitian Gallup, sekitar 61% penduduk Cina mengaku tidak bertuhan. Sementara
29% mengaku tidak taat beragama.
#2. Hong Kong
Sebagian besar penduduk
Hongkong menganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Sementara lainnya memeluk
agama Kristen, Protestan, Taoisme atau Buddha. Namun menurut jajak pendapat
Gallup, sekitar 34% penduduk bekas jajahan Inggris itu mengaku tidak percaya
kepada Tuhan.
#3. Jepang
Serupa Cina, sebagian
besar penduduk Jepang menganut kepercayaan etnis Shinto alias agama para dewa.
Dalam hakekatnya Shintoisme tidak mengenal prinsip ketuhanan seperti agama
samawi. Sebab itu pula banyak penganut Shinto yang mengaku tidak bertuhan.
Gallup menemukan sekitar 31% penduduk Jepang mengklaim dirinya sebagai Atheis.
#4. Republik Ceko
Sekitar 30% penduduk
Republik Ceko mengaku tidak bertuhan. Sementara jumlah terbesar memilih tidak
menjawab perihal agama yang dianut. Faktanya, agama sulit berjejak di negeri di
jantung Eropa tersebut. Penganut Katholik dan Protestan misalnya cuma berkisar
12 persen dari total populasi.
#5. Spanyol
Katholik mewakili porsi
terbesar dari penduduk Spanyol yang beragama. Sementara sisanya tersebar antara
Protestan atau Islam. Uniknya kendati beragama, sebagian besar penduduk Spanyol
mengaku tidak taat menjalani ritual keagamaan. Sementara 20% mengaku atheis
atau agnostik.
Melindungi Pilihan Hidup Individu
Dalam aturan hukum di
Indonesia tidak ada yang spesifik melarang seseorang menjadi ateis tetapi
karena dalam Pancasila sebagai dasar negara dimuat "Ketuhanan yang Maha
Esa” sebagai sila pertama maka diasumsikan semua warga negara Indonesia akan
memilih salah satu agama yang diakui di Indonesia. Jika sila pertama menjadi
rujukan seseorang beragama, idealnya rujukan sila kedua "Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab” menjadi dasar memperlakukan manusia lain termasuk para
ateis yakni secara adil dan beradab. Selain menerapkan sila pertama
Pancasila sebagai standar beragama di Indonesia, berbagai aturan administrasi
kependudukan tidak jauh-jauh dari identitas agama.
Kewajiban mencatatkan
pernikahan yang dilakukan berdasarkan hukum suatu agama mengacu pada
Undang-undang Pernikahan No.1 Tahun 1974 sehingga seorang ateis harus memilih
salah satu agama untuk menikah dengan orang Indonesia atau meresmikan
pernikahannya di Indonesia. Aturan administrasi kependudukan seperti Kartu
Tanda Penduduk (e-KTP) dan Kartu Keluarga masih memberlakukan pengisian kolom
agama.
Sejak tahun 2016 untuk
penganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah pada kolom agama
dapat ditulis "Penghayat Kepercayaan” atau dikosongkan. Pilihan bagi
pemeluk kepercayaan lokal ini logikanya bisa menjadi pilihan bagi para ateis di
Indonesia guna menyiasati kewajiban memilih salah satu agama yakni dengan cara
mengosongkan kolom agama. Namun opsi ini tidak banyak dipilih para ateis guna
menghindari keruwetan prosedur administrasi kependudukan yang dampaknya
menyasar urusan pendidikan dan pekerjaan walau secara hukum Mahkamah Konstitusi
menyakini kata "agama” dalam Pasal 61 dan 64 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak memiliki ketentuan hukum mengikat
secara bersyarat.
Meski tidak dilarang
menjadi ateis di Indonesia namun seorang ateis dilarang menyebarkan ajaran
ateis di Indonesia. Sejauh ini tidak ada yang menyebarkan ateisme dan agnostik
melalui organisasi secara resmi. Kecemasan terbesar saya adalah hilangnya
kebebasan bersuara para ateis dan agnostik jika Rancangan Undang-Undang KUHP
yang memuat pasal tindak pidana terhadap agama ditetapkan sebagai undang-undang
sebab orang yang mengajak tidak menganut agama (agnostik) bisa dipidana dengan
pidana penjara.
Idealnya KUHP
melindungi pengakuan secara terbuka seorang ateis dan agnostik dan tidak
membuat seseorang dipenjara karena tidak mengakui adanya Tuhan dan/atau tidak
beragama karena itulah pilihan hidup seseorang yang merupakan hak asasi manusia
yang dimiliki setiap orang. Bahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal
18 menyatakan setiap orang berhak berganti agama atau kepercayaan. Saya
mengasumsikan pasal itu mencakup melindungi mereka yang berganti agama menjadi
tidak beragama.
Disonansi Kognisi dalam Proses Menjadi Ateis
Seorang individu ateis,
sama seperti manusia lainnya, memiliki keinginan, bahkan kebutuhan, untuk
memahami dunia sekitarnya agar terasa cukup masuk akal, teratur, dan bermakna.
Dan kita tahu sampai saat ini belum ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan besar
seperti asal-usul, dan tujuan dari eksistensi diri dan alam semesta; yang tidak
melibatkan Tuhan didalamnya. Namun di sisi lain, seorang ateis tidak percaya
terhadap keberadaan Tuhan atau pencipta. Dua kognisi yang bertentangan ini,
akan menimbulkan ketidaknyamanan, yang disebut sebagai cognitive
dissonance (Festinger, 1957).
Pada umumnya ada
beberapa kondisi dimana individu kemudian rentan menjadi ateis. Pertama, adanya
pengalaman menyaksikan perilaku orang beragama yang tidak sejalan dengan ajaran
agamanya sendiri. Kedua, adanya kepercayaan kuat pada sains, dan anggapan bahwa
ajaran agama bertentangan dengan sains. Ketiga, individu terpapar dengan narasi
alternatif (wacana tanding) tentang agama, melalui literatur-literatur sains,
filosofi, sastra, atau melalui perdebatan langsung dan artikel di internet.
Keempat, menganggap bahwa identitas ateis sebagai sesuatu yang positif dan
mencoba mengubah beliefnya untuk mengadopsi ateisme atau belief yang lebih
dekat dengan atau mengarah ke ateisme (Nurdin & Purba, 2019). Pada keempat
kondisi tersebut, selalu ada dua kognisi atau perilaku yang bertentangan yang
menuntut resolusi agar dapat kembali dalam kondisi konsonan yang nyaman.
Kondisi pertama
menghadapkan individu kepada kenyataan bahwa tidak selamanya beragama membuat
seseorang menjadi baik. Jika hal ini diinterpretasikan oleh individu tersebut
sebagai kegagalan agama dalam meregulasi moral, maka individu akan rentan untuk
mencari sumber moral lain di luar agama yang dirasanya lebih baik; sehingga
individu tersebut menjadi ateis.
Kondisi kedua
menghadapkan individu pada berbagai ketidaksesuaian antara teks kitab suci yang
berusia ribuan tahun dengan sains modern. Jika hal ini diinterpretasikan
individu sebagai kegagalan kitab suci dalam menjelaskan kejadian-kejadian alam
sebagaimana yang dilakukan sains, maka individu akan rentan menolak kitab suci
atau ajaran agama dan menjadi ateis.
Kondisi ketiga
menghadapkan individu pada dua atau lebih pilihan narasi yang dianggap lebih
baik dalam menjelaskan pertanyaan-pertanyaan besar tersebut di atas. Kondisi
ketiga ini lebih menekankan pada koherensi alih-alih akurasi dan fakta seperti
dua kondisi sebelumnya. Contoh dari narasi alternatif ini adalah seperti karya
sastra Dan Brown, yang menginterpretasikan kisah biblikal lebih sebagai
kejadian-kejadian politis dibandingkan kejadian mistis; atau bahkan narasi
alternatif dari tradisi spiritual di luar agama, seperti Hinduisme aliran
Nastika, yang berhipotesis bahwa Tuhan tidak diperlukan karena hukum karma
telah cukup untuk dijadikan penjelasan atas segala yang terjadi di dunia.
Kondisi keempat terjadi
ketika individu memandang ateisme atau individu ateis sebagai sesuatu yang
positif, sehingga individu ingin menjadikan dirinya sebagai ateis. Ide-ide
ateisme dapat saja dipandang sebagai sebuah ide yang ‘memberontak’,
‘out-of-the-box’, atau bahkan sekedar ide ‘baru-dan-menarik’. Dalam kondisi ini
individu dapat saja mencoba untuk berperan sebagai ateis, sambil terus-menerus
menambah pengetahuannya tentang ateisme melalui bacaan, diskusi /debat, dan
kontemplasi pribadi.
Perlu diperhatikan
dalam keempat kondisi yang dijelaskan di atas, individu dapat saja mengambil
interpretasi dan keputusan yang mendukung dan menolak ateisme, dan tidak selalu
membuat individu menjadi ateis. Kondisi pertama contohnya, individu dapat saja
menginterpretasikan bahwa agama adalah tuntunan, dan semua manusia dapat saja
jatuh kedalam dosa meskipun telah berjuang mengikutinya, tidak terkecuali
orang-orang dengan ilmu agama tinggi. Kondisi kedua juga dapat
diinterpretasikan berbeda, contohnya individu dapat saja menganggap kitab suci
sebagai teks berusia ribuan tahun yang berbicara dengan berbagai alegori dan
kiasan, sehingga individu tidak melihat adanya pertentangan antara kitab suci
dan ajaran agama dengan sains, karena adapun beberapa ayat atau ajaran yang
tidak sesuai dengan sains secara literal, tetapi dapat dikaji lagi maknanya
secara filosofis sehingga sesuai. Pada kondisi ketiga dan kondisi keempat
nilai-nilai dan preferensi individu menentukan apakah individu tersebut akan
menjadi ateis atau tetap beragama.
Stephen LeDrew (2013)
menawarkan model yang lebih lengkap terhadap proses “penemuan” jati diri
sebagai ateis. LeDrew berpendapat bahwa pembentukan identitas ateis bukan
berupa membangun identitas baru sebagai ateis (becoming), tetapi lebih kepada
menemukan identitas ateis yang sudah ada di dalam dirinya (discover). Selain
itu, LeDrew juga membuat perbedaan antara ateis dengan latar belakang religius
dan ateis dengan latar belakang sekular mengingat proses pembentukan identitas
ateis pada individu tidaklah linear seperti yang dianggap sebelumnya, tetapi
bermacam-macam. Secara garis besar, pembentukan identitas ateis menurut LeDrew
adalah seperti ilustrasi berikut:
Epilog
Kesimpulan dari tulisan
ini adalah bahwa ada beberapa kondisi-kondisi yang membuat seorang individu
rentan menjadi ateis. Masing-masing kondisi menimbulkan dua kognisi yang bertentangan.
Kognisi yang bertentangan tersebut harus didamaikan atau dipilih salah satu
agar individu terhindar dari kondisi disonan yang berkelanjutan. Adapun
kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menyaksikan
ketidaksesuaian antara ajaran dan perilaku orang beragama.
2. Menemukan
ketidaksesuaian antara agama dan sains.
3. Menemukan
narasi alternatif tentang agama.
4. Menganggap
ateisme sebagai sesuatu yang positif dan patut ditiru.
Pada akhirnya, penentuan apakah individu tersebut akan menjadi ateis atau tidak ketika dihadapkan pada kondisi tersebut, jika menggunakan pandangan LeDrew bahwa identitas ateis cenderung ditemukan (discover) dibandingkan dibuat (becoming), bergantung pada tendensi untuk menjadi ateis dalam masing-masing individu tersebut.