Dalam menyampaikan
suatu pesan atau informasi, manusia dapat saling membangun demi kehidupan yang
lebih baik. Hal ini berlaku dalam setiap aspek kehidupan manusia baik itu dalam
keluarga, pekerjaan, studi hingga rohani. Demikian yang terjadi di dalam Gereja
Katolik.
Sebagai umat Katolik,
kerap kali kita berkomunikasi dengan para Imam yang adalah sosok pemimpin bagi
kita. Tidak jarang kita membicarakan hal-hal dalam setiap sendi kehidupan kita
kepada diri seorang imam. Imam juga menjadi sosok panutan bagi kita umat
Katolik khusunya di Indonesia. Selain itu, Gereja sebagai ibu yang baik juga
memberikan kita kesempatan untuk mengembangkan diri lewat berbagai macam
kegiatan yang diadakan di dalamnya. Banyak dari umat yang tak jarang terlibat
aktif dalam kegiatan Gerejawi seperti Orang Muda Katolik, Paduan Suara maupun
panitia-panita khusus.
Dalam kegaitan yang
tergolong organisasi ini, komunikasi antar anggota sangat penting terlebih
komunikasi kepada imam yang biasanya menjadi moderator suatu organisasi.
Ironisnya tidak jarang ada oknum-oknum imam yang membuat kegiatan komunikatif
antar umat dan dirinya menjadi tidak nyaman, menyebalkan bahkan rusak. Contoh
nyatanya terdapat sebuah kasus yang diangkat dalam sebuah buku berjudul
"Gereja Warteg: Refleksi 200 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung
Jakarta" yaitu tentang diri seorang imam yang otoriter, tidak mau
mendengarkan masukan dari umatnya, tidak terbuka dan berindak menyerang
perasaan umat lewat perkataannya yang menyakitkan. Meski demikian, hal ini
tidak menyurutkan semangat umat dalam melayani Gereja dan bertahan dalam
imannya. Melihat hal ini, lalu apa yang diharapkan umat Katolik terhadap sosok
imam yang notabene adalah pemimpin mereka?
Beberapa hal yang
sepatutnya diperhatikan dalam kegiatan komunikatif antara imam dan umat Katolik
:
Pertama:
Sebelum beranjak ke jenjang komunikatif antara imam dan umat, seorang imam
selayaknya menghargai nilai-nilai kepersonalan umat sebagai pribadi yang utuh.
Pribadi yang utuh berarti dalam diri manusia terdapat persatuan antara dimensi
jasmani dan dimensi rohani. Dimensi rohanilah yang membuat setiap umat memiliki
ciri khas dan keunikannya masing-masing. Melalui dimensi ini setiap pribadi
umat mampu menentukan pilihan yang berbeda, memiliki watak yang berlainan,
serta menghasilkan ide-ide dan pikiran yang mengaggumkan[1]. Selain itu, umat Allah
adalah manusia biasa. Sebagai manusia, Allah menganugerahkan mereka dengan
nilai-nilai yang membuat mereka dapat sungguh menjadi manusia. Menurut buku
"Filsafat Manusia" karangan Kasdin Sitohang seorang dosen di salah
satu Universitas Katolik di Indonesia, nilai-nilai yang dimaksud adalah
karakter, akal budi, kebebasan, nama, suara hati dan perasaan. Karakter
memiliki arti umat mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda. Dengan akal budi,
umat mampu berpikir kritis, menimbang masalah dan mempertanggung jawabkan
tindakannya. Akal budi juga memampukan umat memiliki ide-ide kreatif serta
buah-buah pikiran. Setelah itu melalui kebebasan yang dimilikinya, umat mampu
menentukan sendiri pilihannya serta mempunyai hak untuk berpendapat dan
mengajukan pernyataan tanpa ada yang melarang mereka. Kemudian dengan suara
hati, umat dapat menentukan apakah pilihan serta pernyataannya baik atau tidak.
Apabila baik maka akan membawa perasaan senang dan apabila buruk dapat membawa
perasaan buruk. Dengan menghargai nilai-nilai personal ini maka ia menghargai
manusia. Seorang imam yang bertindak secara otoriter dapat melanggar
nilai-nilai personal yang ada dalam diri umatnya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Otoriter sendiri memiliki arti tindakan yang berkuasa sendiri
atau sewenang-wenang. Tindakan ini cenderung menekan aspek kebebasan dalam diri
setiap manusia. Tidak mendengarkan pendapat umat, menyakiti perasaan umat, dan
mengambil keputusan seenaknya idealnya tidak terjadi dalam diri seorang imam
sebab Gereja bersifat komunal alias persekutun. Sebagai seorang pemimpin, imam
seharusnya mendukung sifat komunal ini bukan menghancurkannya hanya karena
termakan oleh egonya. Meskipun imam memiliki posisi yang lebih tinggi dari umat
namun keduanya tetaplah sama-sama umat Allah yang sedang berziarah di dunia
ini. Maka selayaknya imam dan umat bekerjasama bahu membahu demi kebaikan
Gereja bukan kebaikan diri mereka sendiri.
Kedua:
Pola komunikatif dialogis "Aku-Engkau". Eksistensi manusia hanya
dapat disadari apabila terdapat manusia lain yang mengakuinya. Hal ini yang
menjadi alasasn mengapa komunikasi sangat penting bagi manusia selain aspek
mahluk sosial. Dengan komunikasi, eksistensi manusia dapat sungguh berada.
Komunikasi dengan pola "Aku-Engkau" mengandung makna bahwa setiap
orang memiliki posisi yang sama dengan aku[2]. Aku disini berarti mengakui
pribadi seseorang seutuhnya. Dengan demikian termasuk segala hal yang dimiliki
orang tersebut, segala keunikan, pola pikir dan sebagainya. Apabila seorang
imam menerapkan pola komunikasi "Aku-Engkau" dalam setiap aspek
pelayanan pastoralnya maka umat akan merasa dihargai oleh imam tersebut. Sebab
tidak ada perbedaan antara imam dan umat. Hal ini didukung oleh kata dari Santo
Agustinus "Dihadapmu aku seorang Uskup, bersamamu aku adalah umat
Allah". Sebagai sesama umat Allah, imam dan umat harus senantiasa saling
menghargai satu sama lain. Dengan timbulnya perasaan saling menghargai maka
segala tindakan maupun kegiatan yang melibatkan aspek komunikasi dan
kebersamaan akan terasa menyenangkan.
Ketiga:
Melakukan cura personalis atau pengenalan masing-masing pribadi lebih intens.
Hal ini begitu penting terutama bagi diri seorang imam. Menjadi pemimpin yang
mengenal masing-masing anggotanya dengan baik akan sangat menguntungkan dalam membuat
suatu program. Saling mengenal juga menimbulkan rasa aman dan nyaman dalam diri
umat ketika berhadapan dengan imamnya. Imam dapat semakin mengerti apa yang
sedang terjadi dalam diri umatnya. Hal ini juga turut membantu sang imam dalam
membina umatnya agar menjadi semakin baik. Dengan demikian tidak menutup
kemungkinan bahwa umat dapat semakin semangat dalam melayani Gereja.
Keempat:
Komunikasi langsung dan interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah pola
komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan memungkinkan timbal
balik segera. Sekarang tidak sedikti umat yang mengeluhkan betapa lambat dan
sulitnya umat untuk sekedar bertemu dengan imamnya. Hal ini terjadi sebab
biasanya sebelum dapat bertemu dengan imam, umat diwajibkan untuk memproses
atau membuat janji melalui sekretariat. Di sini letak permasalahannya.
Pelayanan sekretariat Gereja dikeluhkan lamban dan tidak responsif. Beberapa
orang mengeluhkan hal yang sama ketika diwawancari. Kehadiran seorang imam yang
dapat secara langsung berkomunikasi dan cepat tanggap sangat dibutuhkan umat.
Sudah seharusnya seorang imam mengembangkan pola komunikasi langsung dan interpersonal
sehingga umat dapat lebih mudah untuk bertemu imamnya.
Memang menjadi seorang pemimpin merupakan hal yang sulit terkhususnya menjadi seorang imam. Imam bukan saja diserahkan hal-hal duniawi melainkan juga bertanggungjawab dalam hal-hal rohani.
Dunia yang berubah
semakin cepat membuat permasalahan yang dihadapi umat dan Gereja juga semakin
beragam. Dengan begitu kehadiran diri seorang imam di tengah-tengah umat sudah
menimbulkan kebahagiaan tersendiri. Namun sebagai manusia, seorang imam juga
masih bisa jatuh dalam kesalahan-kesalahan. Untuk itu seorang imam juga
membutuhkan dukungan dan sokongan dari umatnya. Bukan hanya sekedar kritik
terus menerus yang terlontar.
Kebersamaan dan sikap mau bahu membahu sangat dibutuhkan dalam menjaga kehidupan gerejawi antar imam dan umat yang baik. Saling menghibur, saling menguatkan dan menjaga, itulah yang dapat diharapkan dari masing-masing pihak baik dari pihak imam maupun pihak umat.
Selain itu,
pengendalian diri dan kesabaran juga turut mengambil peran besar dalam kegiatan
komunikasi antar imam dan umat. Tetap menjaga perkataan agar tidak saling
menyakiti menjadi hal yang patut diperhatikan secara khusus. Imam tidak boleh
mengatur umat seenaknya demikian umat juga diharapkan tidak mengkritik atau
bahkan menyebarkan berita yang tidak-tidak tentang imamnya. Semoga dengan
demikian imam dan umat dapat membangun Gereja Kristus yang damai.