Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau tuliskan sajak-sajak air mengalir dari punggung gunung ke tepian bukit, di mana telaga menera cinta sepasang angsa? Sedang di sini parit-parit kotaku tak menera apa-apa selain bau anyir darah, henti degup jantung, tumpukan sampah dan bangkai-bangkai yang kekal bau busuknya.
Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau nyanyikan tembang-tembang kerinduan musim yang menitik dari langit ke hamparan sawah, di mana rumpun padi menera cinta di hati para petani? Sedang di sini langit kotaku tak menera apa-apa selain udara pengap bertuba yang tikamkan sejuta luka ke dalam dada-dada telanjang berpeluh.
Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau bacakan larik-larik puisi yang agungkan kemegahan alam raya, keindahan panorama dan luapan seni? Sedang di sini pemandangan kotaku tak menera apa-apa selain deru hamparan debu dan rimba belantara beton dan baja yang tiada henti mencucuki mata. Sejak lama, jalan-jalan kotaku hanya mengucurkan sunyi dan gumpalan aspal menghitam.
Yang terhormat Tuan Penyair, mengapa masih kau rangkai syair dan madah pujian, himne dan ode yang ungkapkan kerinduan jiwa manusia kepada Khaliknya? Sedang di sini manusia-manusia kotaku tak menera apa-apa selain mata-mata yang kosong dan jiwa-jiwa beku yang tiada habis mengutuki diri sendiri.