Demokrasi sebagai
sistem yang lahir pertama kali di Yunani kuno menghendaki terjadinya
keterlibatan rakyat secara aktif dalam menentukan kebijakan yang berkaitan
dengan negara, sehingga hak-hak atas warga negara mencoba untuk dilindungi oleh
negara dalam proses penyelenggaraan negara yang berdasar asas dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
Indonesia dengan
kuantitas penduduk yang cukup banyak mencapai 268.583.016 jiwa, dengan
kompleksitas komponen penyusun lain seperti suku, budaya serta adat istiadat
yang sangat beragam, berpotensi melahirkan dominasi serta deskriminasi yang
dilakukan antar warga negara. Demokratisasi menjadi asas penting dalam
penyelenggaraan negara yang sangat besar secara kuantitas penduduk dan plural
secara komponen sosial-budaya. Negara harus hadir menjamin hak-hak warga
negara, melibatkan secara aktif aspirasi warga negara serta memastikan tidak
terjadinya dominasi antar warga negara yang akan berujung deskriminasi salah
satu pihak.
Dunia terus
bertransformasi secara aktif menjawab kebutuhan zaman, begitupun dengan
teknologi yang perlahan membersamai segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali
dalam ranah kehidupan bernegara yang perlahan mengalami efek transisi digital.
Perubahan ini memberikan dampak yang signifikan, dengan adanya digitalisasi
dalam bernegara, memungkinkan terjadi nya konversi ruang publik dan informasi
yang terbuka, yang tidak hanya dapat diakses oleh sebagian golongan. Sehingga,
asas-asas dalam demokrasi mampu menjangkau kesadaran masyarakat tanpa batas
dimensi ruang dan waktu.
Di sisi lain,
digitalisasi ini mampu membuka peluang terjadinya deviasi para aktor
pemerintahan, yang menghimpun parameter suara publik diukur sejauh mayoritas
suara maya, yang menjadikan bias korelasi kebijakan yang dikeluarkan dengan
aspirasi rakyat sebenarnya. Sehingga, tidak sedikit para pejabat yang menaruh
fokus pertanggungjawaban jabatan hanya dalam pencitraan ruang maya, yang tidak
bisa dipastikan kesesuaian kredibilitas kinerja yang ditampilkan dengan
realitas yang ada. Hal ini menjadi persoalan yang cukup krusial, dimana
demokratisasi bersanding dengan bias digitalisasi yang akan berdampak banyak
dengan proses penyelenggaraan tata kelola negara.
Realitas Demokratisasi dan Perkembangan Digitalisasi
Demokrasi lahir menjadi
jawaban atas sejarah panjang dinamika sosial politik yang berkembang cukup
pesat dalam melahirkan gelombang skeptisisme warga negara terhadap sistem
partisipasi publik yang cenderung terjebak dalam praktik otoritarianisme.
Demokrasi cukup mendapatkan atensi dalam konteks paradigma sistem partisipasi
warga negara, bahkan mendapatkan stratum teratas yang diproyeksikan mampu
mengelaborasikan hubungan antara aspirasi masyarakat kedalam kebijakan negara.
Demokrasi menghendaki
adanya liberalitas warga negara yang kondusif dan konstruktif dalam partisipasi
menyuarakan aspirasi, melibatkan diri dalam kontestasi ataupun mengawal laju
regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat seluruhnya, sehingga
terbentuk equilibrium sosial yang didasarkan atas partisipasi warga negara.
Inklusivitas kultur partisipasi memungkinkan proses berjalannya negara mampu
mengendalikan dinamika kekuasaan yang cenderung melanggengkan kepentingan
golongan.
Yaitu melalui integrasi
kepentingan masyarakat dengan tujuan negara yang didasarkan atas proses yang
demokratis, seperti dalam bahasanya Abraham Lincoln “Pemerintahan dari rakyat
dan untuk rakyat” sehingga rakyat memilki hak dan suara yang sama didalam pengaturan
kebijakan pemerintahan, dengan asumsi ruang potensi terbentuknya kekuasaan
absolut dapat dipastikan untuk tidak tumbuh diantara sistem yang ada. Indonesia
sebagai negara yang lahir dari rahim pluralitas, mengharuskan suara dari setiap
variabel masyarakat yang ada terakomodir didalam manifestasi kebijakan dan
aturan negara, sehingga tidak terjadi deskriminasi pada kelompok tertentu yang
memungkinkan terjadinya disintegrasi antar variabel masyarakat.
Transisi digital
menyasar berbagai negara, tanpa terkecuali Indonesia. Perkembangan tersebut
tidak hanya merubah sistematika dan pola yang ada dalam konteks teknologi.
Namun, merubah aspek sosiologis masyarakat, dimana terjadi pergeseran paradigma
cara masyarakat menilai realitas. Efisiensi, transparansi dan akuntabilitas
menjadi parameter utama masyarakat memandang berbagai pola kerja instansi yang
ada.
Ruang partisipasi yang
sebelumnya hanya memungkinkan diakses oleh kalangan strata tertentu, dan hanya
mengandalkan platform konvensional dengan laju distribusi informasi sejauh apa
yang dielaborasi oleh para pihak yang berperan sebagai awak media. Hari ini
dengan proses perkembangan digitalisasi memungkinkan masyarakat tidak hanya
sebagai objek informasi. Namun, dapat secara aktif sebagai aktor dalam
mendistribusikan informasi untuk khalayak umum (Starubhaar & LaRose, 2006).
Dalam aspek
keterjangkauan informasi pun mengalami pergeseran yang cukup signifikan,
masyarakat tanpa memandang hierarki tertentu memungkinkan mendapatkan substansi
yang serupa. Sehingga, realitas berjalan diantara pengawasan dan pengawalan
kesadaran masyarakat seluruhnya.
Transformasi peran
keterlibatan masyarakat sebagai Citizen Journalisme diperkuat dengan adanya
perbaikan infrastruktur teknologi yang ada, perbaikan yang diproyeksikan untuk
dapat berkembang secara eksponensial keseluruh daerah di Indonesia mampu
mempercepat proses transisi yang terjadi, sehingga tatanan masyarakat digital
dalam mengawal demokrasi dapat terbentuk secara komprehensif.
Indonesia tahun 1998
mengikrarkan diri melalui gerakan komunal masyarakat diberbagai daerah untuk
memutus rantai kebijakan negara yang tidak berbasis kepentingan rakyat.
Tuntutan pelayanan penyelenggaraan pemerintahaan yang “clean and good
government” menjadi tuntutan yang mutlak bagi masa reformasi. Sehingga korupsi,
kolusi dan nepotisme yang mengakar kuat sebelumnya berupaya diminimalisir
dengan tuntutan penyelenggaraan negara yang mengedepankan asas transparansi,
akuntabilitas dan berbasis pada hukum yang berlaku. Akurasi keterwakilan
aspirasi rakyat menjadi aspek yang krusial dalam penyelenggaran pemerintahan
setelah masa skeptisisme masyarakat memuncak pada pemerintahan sebelumnya.
Penyelenggaraan yang
dibarengi dengan proses transisi digital memungkinkan efektivitas rakyat
mengawal pemerintahan yang berjalan. Namun, menjadi bias bagi parameter suara
rakyat yang sebenarnya, ketika kecenderungan partisipasi dan aspirasi seolah
diukur dalam media sosial. Dengan jumlah data pengguna sebesar 160 juta
masyarakat akan memungkinkan terjadinya mobilisasi dan dominasi atas nama
rakyat oleh kalangan kepentingan tertentu melalui buzzer atau pengguna media
sosial yang tidak sebenarnya, bahkan deliberasi ruang publik pun akan cenderung
elitis. Sebab narasi bias yang berkembang memungkinkan terbentuk sejauh
kesepakatan dan kekuatan antar elit.
Konversi ruang politik
yang terjadi memberikan perubahan pula pada aspek aktivitas pertanggungjawaban
aktor politik, yang memungkinkan kinerja dilakukan sejauh pencitraan di media
sosial. Dalam demokrasi deliberatif kekuatan komunikasi menjadi proyeksi
penting atas setiap aktor politik dalam menghimpun simpati warga negara dengan
berbagai pendekatan yang reflektif, integral dengan prinsip kultur yang
mengakar kuat di masyarakat dan pendekatan yang non-koersif.
Menurut survey yang
dilakukan pada salah satu media sosial yang memiliki frekuensi yang cukup
tinggi, serta mampu mempengaruhi tren dan opini di Indonesia bahkan dunia yaitu
twitter. Survey yang dilakukan dengan metode Frequency of Interaction Analysis
(FIA) sepanjang 1 Juli hingga 20 Desember 2017, mampu menghimpun data sejumlah
1000 akun yang dimiliki oleh pejabat publik dan kepala daerah di Indonesia untuk
mengkomunikasikan kinerja nya pada rakyat Indonesia.
Hal ini menjadi kabar
baik atas keterbukaan dan transparansi birokrasi, namun memungkinkan pula bias
pertanggungjawaban dan orientasi kinerja sejauh komparasi tren dan prioritas
program yang dilakukan suatu daerah dan direalisasikan di daerah lain atas
dasar kepuasan masyarakat daerah yang berhasil tadi, padahal memungkinkan
terjadinya perbedaan kebutuhan dan kepentingannya antar masyarakat daerah.
Transformasi Mekanisme Tata Kelola Pemerintahan
Transformasi sistem dan
mekanisme tata kelola bergeser bersama perubahan ruang politik yang ada. Ketika
pertisipasi dan dialetika aspirasi hadir di ruang terbuka media sosial, maka
penghimpunan parameter aspirasi pun bergerak pada arah yang sama. Kebijakan dan
strategi penyelenggaraan pemerintahan secara regulasi menghendaki terjadi nya
pergeseran pada media sosial. Hal itu tersemat dalam instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government di
seluruh jajaran pemerintahan secara menyeluruh.
Terdapat banyak
kebijakan strategis dalam upaya pengembangan E-Government dalam penyelenggaraan
pemerintahan, yaitu dengan penerapan Government to Citizens (G-to-C) yang
memungkinkan pemerintah membangun dan merealisasikan berbagai portofolio
teknologi infomasi untuk menciptakan komunikasi efektif dengan masyarakat.
Penerapan Government to Business (G-to-B) yang memungkinkan kalangan bisnis
untuk dapat mengakses infomasi terkait kebijakan yang dikeluarkan yang
menyangkut keberadaan bisnis mereka.
Kemudian, penerapan
Government to Government (G-to-G) yang memungkinkan terjadinya kordinasi dan
komunikasi antar pemerintah yang satu dengan pemerintah yang lain baik dalam
hal program ataupun kebijakan yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama
lain. Penerapan Government to Employees (G-to-E) Tipe aplikasi G-to-E yang
diperuntukkan untuk aktivitas internal para staff di instansi pemerintahan.
Sehingga dengan semua pergeseran penerapan dan tata kelola pemerintahan yang
ada memungkinkan terjadinya hubungan pemerintah yang baik dengan masyarakatnya
maupun dengan swasta serta berlangsung secara efisien, efektif dan ekonomis.
Efektivitas komunikasi
terbentuk melalui proses penyatuan kepentingan yang sama, yang ditranformasikan
kedalam bahasa yang setara. Menurut Hovland komunikasi bukan hanya proses
penyampaian informasi, namun dapat mengkontruksi pendapat umum dan sikap
publik. Komunikasi publik dapat ditempuh dengan variasi cara, baik secara
komunikasi birokrasi verbal ataupun non-verbal yang ditujukan untuk menekankan,
melengkapi dan mengatur resonansi pemahaman publik atas setiap gagasan dan
proyeksi program yang akan diagendakan.
Karena segala aktivitas
inovasi dan efisiensi yang dilakukan, semua ditujukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan
masyarakat dengan situasi dan kondisi yang beragam untuk dapat menterjemahkan
apa yang di lakukan oleh pemerintah. Hal itu perlu ditempuh secara massif
melalui berbagai platform yang berkembang menyentuh lapisan terbawah dari
variabel masyarakat, sehingga tidak terjadi miskonsepsi antara pemerintah
dengan masyararakat seutuhnya.
Transformasi mekanisme
tata kelola ini perlu diperkuat dengan kecerdasan masyarakat dalam melakukan
pengamatan atas setiap kebijakan dan program yang dihadirkan oleh pemerintah.
Dengan aksesibilitas informasi dan transparansi yang lebih mudah diakses oleh
masyarakat serta daya magis “viralitas” yang menjadi senjata ampuh bagi
masyarakat untuk menampar pemerintah dengan kebijakan atau program yang tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat.
Dapat difungsikan
sebagai penguat kedaulatan rakyat dalam pilar demokrasi, bahwa rakyat lah yang
memiliki kuasa penuh atas masa depan negara. Sehingga, pertanggungjawaban
kinerja pemerintah dan pejabat publik tidak hanya sekedar pencitraan media
massa. Serta arah program dan kebijakan bukan sejauh apa yang ramai menjadi
perbincangan di media saja. Namun, memiliki dasar program yang empirik sesuai
dengan kebutuhan masyarakat yang ada.
Atas semua persoalan
yang telah dibahas tuntas didalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa
demokratisasi terus berjalan bersama dengan partisipasi masyarakat yang terus
berkembang dengan berbagai cara dan model partisipasi yang ada. Di tengah
perkembangan digitalisasi dunia, transisi partisipasi publik menuju demokrasi
berbasis digital telah banyak berkembang di Indonesia dengan berbagai kelebihan
dan kekurangan yang mengiringinya, demokrasi yang memungkinkan partisipasi bagi
seluruh rakyat tanpa terbatas pada strata jabatan tertentu, menekankan pada
efisiensi, transparansi dan akuntabilitas menjadi identitas tata kelola
pemerintahan yang dituntut oleh rakyat.
Namun menjadi bias pula
dalam laju informasi yang banyak terdistraksi oleh narasi yang terus berkembang
di media sosial, sehingga menciptakan ketidakpastiaan atas informasi yang
berkembang atau bahkan memungkinkan terjadinya mobilisasi dan dominasi narasi
oleh kepentingan kelompok tertentu. Serta dengan adanya konversi ruang politik
yang menjadi akibat dari proses digitalisasi tersebut, mampu merubah paradigma
pertanggungjawaban kinerja sejauh apa yang dicitrakan di media sosial.
Proses reformasi tata
kelola pemerintahan yang berubah bersama dengan proses digitalisasi demokrasi
ditujukan hanya untuk menciptakan iklim birokrasi yang efisien, efektif dan
ekonomis. Semua itu perlu ditranformasikan dan diterjemahkan dengan baik kepada
publik seluruhnya, sehingga tidak terjadi miskonsepsi antara maksud gagasan
pemerintah dengan pemahaman masyarakat seluruhnya.
***