Mari Mengenal Suku Abui di NTT, Dijuluki 'Pemburu Kepala Manusia'

Mari Mengenal Suku Abui di NTT, Dijuluki 'Pemburu Kepala Manusia'

Mengenal Suku Abui di NTT, Dijuluki 'Pemburu Kepala Manusia'-Dok-Berbagai sumber


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk) Salah satu suki yang cukup unik di Indonesia adalah, Suku Abui di Nusa Tengara Timur (NTT). Tepatnya, mereka mediami wilayah Pulau Alor di NTT, terpusat di desa Takpala.

Suku ini juga dikenal dengan nama Barawahing, Barue, atau Namatalaki. Kata Abui sendiri memiliki makna gunung. Masyarakat Abui memanggil diri mereka Abui laku, yang berarti orang pegunungan. 

Sementara Barawahing, memiliki arti kasar, dengan konotasi orang hitam, bau dan berasap. Jadi, ada baiknya untuk tak memanggil orang Abui dengan sebutan Barawahing.

Suku Abui di Alor NTT ini hidup dengan cara tradisional. Bahkan mereka tidak menggunakan listrik dalam kehidupan sehari-hari. Maka jangan harap menemukan kehidupan modern di tempat ini. Hidup tanpa listrik, termasuk prinsip turun-temurun dari leluhur mereka.

Julukan pemburu kepala manusia sesuai judul diatas, bukan dalam arti negatif ddan mengerikan, ini julukan karena suku abui dikenal mahir berperang. 

Sebaliknya Suku Abui dikenal sebagai suku paling bahagia. Sebab, masyarakat setempat sangat ramah dan rukun. Bahkan, mereka juga sangat menjamu para tamu yang mengunjungi mereka.

Suku Abui menunjukkan bahwa bahagia bisa diperoleh dengan cara sederhana, seperti hidup dengan penuh keramahan, rukun kepada sesama, dan menghormati masyarakat luar.

Selain itu, masyarakat Abui saat menerima tamu juga tak akan diam begitu saja. Mereka akan menyiapkan berbagai hal, seperti tarian khas, nyanyian, serta sambutan yang ramah.

Oleh sebab itu, masyarakat Abui juga disebut sebagai masyarakat adat yang terbuka. Mereka sangat murah hati hingga desa tempat mereka tinggal dijadikan sebagai desa wisata oleh pemerintah setempat.

Untuk lengkapnya, bagi yang ingin tahu suku abui, berikut yang dirangkum dari beberapa sumber, salah satunya gotravelaindonesia.com:

Hidup Tanpa Listrik

Masyarakat Suku Abui hidup tanpa menggunakan listrik. Dari dulu hingga sekarang mereka menggunakan bambu kering yang diisi buah jarak untuk penerangan. Alat ini digunakan sebagai alat penerangan sebelum adanya minyak tanah. Kalau sekarang, mereka menggunakan minyak tanah.

Sementara itu, penduduk di kampung adat ini ada yang memiliki ponsel. Untuk mengisi daya ponsel, mereka harus pergi ke desa bawah.

Punya Rumah Sakral

Ada sebanyak 14 rumah adat tradisional di kampung Suku Abui ini. Nama rumah tradisional tersebut adalah rumah lopo.

Rumah lopo punya empat bagian atau ruang. Yaitu ruangan menerima tamu, gudang penyimpanan jagung dan ubi, tempat memasak dan tidur, serta rumah sakral.

Rumah sakral ini ada di tengah kampung. Rumah tersebut tidak boleh dibuka oleh sembarang tempat. Orang yang boleh membuka rumah sakral adalah sub suku Abui Marang. Itu pun hanya satu tahun sekali saat pembukaan lahan.

Rumah sakral di desa ini ada dua rumah. Rumah ini tidak dihuni, hanya dibuka satu tahun sekali saat pembukaan lahan.

Satu rumah adat disebut Kolwat (hitam) dan satu rumah lain disebut Kanuruwat (putih). Rumah Kolwat atau hitam adalah rumah yang berhubungan dengan hal gelap atau jahat. Sementara rumah Kanuruwat sebaliknya. Rumah ini dianggap suci.

Secara rumum, sub suku Abui terbagi jadi tiga yaitu Marang, Kapitang, dan Awenni. Hanya suku Marang saja yang boleh masuk ke dalam rumah sakral ini. Selain itu, sub suku lain boleh masuk namun ada syaratnya. Hanya anak sulung dari sub suku tersebut yang diperbolehkan.

Apa isi dari rumah sakral itu?

Ada peninggalan leluhur yang terletak di rumah sakral suku Abui. Seperti periuk nenek moyang, moko (alat musik besi) dan tombak perang.

Suku Paling Bahagia

Mengunjungi suku Abui dapat menjadi salah satu wisata budaya untuk memperkaya pemahaman anda mengenai budaya Indonesia. Keramahtamahan suku Abui akan segera menjamu Anda ketika mengunjungi pedalaman Nusa Tenggara. Anda akan menemui betapa kebahagiaan mereka begitu sederhana.

Mama – mama di suku ini siap menyambut kedatangan Anda dengan tangan terbuka. Menurut Beverly Lennon, seperti yang ia ungkapkan di TripCanvas.Co, suku abui merupakan suku paling mudah didekati di Indonesia.

Ketika datang ke kampung suku Abui, Anda akan disambut dengan tari-tarian dan nyanyian yang dibawakan oleh para ‘Mama’. Masyarakat suku Abui begitu murah hati dan dermawan, mereka percaya bahwa mereka tak memiliki apa yang mereka punya. Saat ini, Takpala menjadi desa wisata yang dikembangkan oleh pemerintah.

Mempertahankan Kehidupan Tradisional

Suku Abui yang mendiami Desa Takpala mempertahankan kehidupan tradisional. Contohnya, rumah mereka menggunakan genteng dari bahan alang-alang.

Bahkan ketika atap rumah rusak, mereka akan mencari alang-alang baru. Bukan mengganti atap dengan bahan seng atau bahan lainnya. Intinya tetap menggunakan bahan tradisional seperti nenek moyang.

Mata Pencaharian Berkebun

Orang-orang Suku Abui mencari nafkah dengan berkebun. Mereka menanam jagung dan ubi.

Meskipun sebagian besar warga Alor mencari nafkah dengan bekerja sebagai nelayan, tidak dengan warga suku Abui ini.

Sementara bagi warga yang tidak berkebun, mereka akan membuat kerajinan. Kerajinan ini nantinya akan dijual sebagai souvenir bagi wisatawan yang berlibur ke sini.

Dulu Dijuluki “Pemburu Kepala Manusia”

Pada zaman dahulu, Suku Abui dikenal mahir berperang. Maka dari itu mendapatkan julukan pemburu kepala manusia.

Ketika menari dalam rangka penyambutan tamu, kamu akan melihat kostumnya yang mengenakan perlengkapan perang. Ada parang dan anak panah pada anak laki-laki.

Julukan pemburu kepala manusia diberikan pada zaman dahulu. Sekarang, Suku Abui sudah sangat terbuka dan membolehkan siapa saja datang berkunjung.

Tidak ada biaya tiket masuk yang dikenakan. Para pengunjung hanya mengisi buku tamu dan memberikan uang sukarela.

Itulah fakta unik Suku Abui di Alor NTT. Suasana desa yang masih sangat alami membuat banyak turis datang untuk menikmatinya.

Kekayaan bahasa

Suku Abui yang mendiami desa Takpala ini menggunakan bahasa Abui untuk percakapan sehari-hari mereka. Menurut Grimes & Max Jacob dalam bukunya ‘A Guide to the people and languages of Nusa Tenggara’, suku Abui memiliki beberapa dialek, diantaranya seperti Atimelang, Kobola, dan Alakaman. Bahasa Abui ini merupakan akulturasi dari bahasa Papua, Alor, dan Makasai.

Sayangnya, seiring dengan perkembangan jaman dan tekanan dari pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari, bahasa Abui kini makin luntur ditelan zaman.

Wisata Desa Takpala

Desa Takpala sebagai tempat tinggal masyarakat Abui kini menjadi desa wisata yang menarik.

Pasalnya, dengan berkunjung ke desa ini, para wisatawan akan mengenal lebih jauh seputar kebudayaan daerah dan memahami lebih detail tentang Suku Abui.* radarmukomuko.disway.id



 

 

 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama