Cerita Menarik Imam Misonaris SVD NTT Melayani Umat Katolik Suku Indian di Pedalaman Amazon

Cerita Menarik Imam Misonaris SVD NTT Melayani Umat Katolik Suku Indian di Pedalaman Amazon

TALK SHOW DARING- Pater Gregorius Fobia SVD (baju putih) saat menjadi narsumber Flores Bicara Tribun Flores, Rabu, 7 Juli 2023 malam. 



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Pater Gregorius Fobia SVD, seorang imam Katolik asal Eban, Kabupaten Timor Tengah Utar (TTU) Nusa Tenggara Timur. Sudah 11 tahun lamanya berkarya sebagai misonaris di pedalaman Amazon, Brazil.

Imam yang ditabiskan tahun 2012 di Kupang bersama 27 teman pastornya oleh Nunsius Apostolik untuk Indonesia, Mgr Antonius Guido Filipiazzi dan Mgr Petrus Turang.

"Saya bersukur ditabiskan oleh Nunsius Apostolik Vatikan untuk Indonesia, Mgr Antonius Guido Filipiazzi. Ditabiskan 2012 dengan 27 teman Pastor lain di Kupang,"kata Pater Gregorius saat melakukan talk show Flores Bicara bersama TribunFlores.Com secara daring, Kamis, 5 Juli 2023.

Sebelum bertugas di Regio SVD Amazon tepatnya Paroki Bunda Maria Segalah Rahmat di Brazil, Pater Gregorius mengajukan lamaran ke Vatikan saat kaul kekal untuk menjadi misonaris yang melayani kelompok kerja dan suku-suku asli Indian di pedalaman Amazon.

"Saya mengajukan lamaran pada tiga negara yaitu, Argentina, Meksiko dan Brazil. Saya diterima dari Roma untuk bertugas di Amazon Brazil. Saya juga memilih Brazil karena bola dan suka berpetualangan,"ujar imam Katolik asal Eban TTU.

Menerima panggilan sebagai misonaris memiliki tantang terkait penguasaan bahasa asing. Pater Gregorius sebelumnya kurus bahasa Inggris di Ledalero harus menerima kabar untuk ke Brazil di mana tempat misi ini mayoritas penduduknya menggunkan bahasa Portugis.

"Saat tiba di Brazil saya belajar bahasa Portugis selama 3 bulan. Saya ditempatkan di di kota kecil St Rein negara bagian barat di utara Brazil, saya masih kesulitan berbahasa Portugis dan selebihnya menggunakan bahasa tubuh,"kata Pater Greogorius.

Kendala bahasa tak menjadi alasan untuk melakukan pelayanan terhadap umat Katolik di tempatnya bertugas. Pater Gregorius menikmati karya misinya hidup bersama umat.
Katanya, di Paroki Santo Yoseph Pekerja dengan jarak 300 kilometer dari Kota Santa Rein

Di tempat tugas pertama ini ia melihat, mayoritas umat paroki tersebut bermata pencarian sebagai peternak sekitar 70 persen, sisanya pedagang, pegawai dan petani sederhana.

"Satu keluarga hampir mememiliki 2 hingga 4 ribu terenak. Itulah kenapa hutan Amazon itu habis dibabat untuk perluasan area ternak. Dan untuk luas paroki melihat pada jumlah 30 stasi yang ada,"jelas Pater Gergorius.

Setiap daerah di Brazil memiliki karakteristiknya sendiri. Dalam pelayanannya ia menuturkan, di Brazil Selatan lebih banyak umat yang merupakan migran dari Eropa.

Mereka lebih konservatif dalam hidup menggereja dan sangat menghargai imam dibandingkan wilayah tugasnya di Amazon.

"Di tempat saya berkarya di paroki pertama maupun paroki kedua, pastor harus bekerja sungguh-sungguh.  Katakanlah saat pesta pelindung paroki pastor harus kerja duluan. Ini sangat berbeda di Indonesia,"ungkapnya.

Namun pada tahun 2016 Pater Gregoris berpindah tugas di Paroki Bunda Segalah Rahmat yang letaknya dekat dengan negara bagian Prancis.

Di tempat ini ia menemukan suasana baru dan mendapat sambutan hangat suku-suku asli orang Indian.

"Suku-uku asli orang Indian memiliki ada 4 suku atau etinis besar dengan jumlah kurang lebih sekitar 7400 jiwa berdasarkan sensus terakhir yang tersebar di tanah ulayat yang dilindungi pemerintah,"kata Pater Gregorius.

Hal berbeda ia temukan dengan paroki pertama. Imam SVD ini mengagumi masyarkat setempat yang sangat menghargai alam dan kontraditoris dengan paroki pertama. Di mana berbondong-bondong untuk menjadikan hutan sebagai lahan peternakan.

Paroki kedua, mayoritas orang Indian lebih melindungi hutan. Mereka menebang pohon untuk kebutuhan seperti mengambil kayu untuk membuat rumah dan sampan.

Mereka lebih banyak hidup di pinggir sungai. Kehidupan perkampungan yang sederhana tetapi sangat menhargai budaya dan alam.

"Perkampungan kecil yang dikepalai satu kepala suku dan matapencarian mereka bertani bertanam ubi dan memancing untuk lauk dan berburu dari hutan. Saya kalau melakukan pelayanan, saya mengikuti umat ikut memancing dan berburuh di hutan,"cerita Pater Gregorius.

Pater Gregorius tak menampik  tantangan terbesar saat melakukan pelayanan ke stasi-stasi. Di Paroki kedua ini ia harus bisa mengemudi sped boat.

Hanya dengan sped boad ia bisa menjangkau umat. Membelah hutan Amazon yang lebat dan sungainya yang dikenal sebagi sungai terpanjang dan terbesar di dunia

"Saya ditantang untuk mengemudi sped boat tapi syukur bisa belajar. Jarak antara satu kampung dengan kampung lainnya jauh. Biaya operasi tinggi dan minimal bahan bahan bakar mengabiskan 125 liter. Tiap kunjungan 3-4 juta jika dirupiahkan,"kata Pater Gregorius.

Di balik tantangan wilayah, Pater Gregorius menilai liturgi lebih hidup di tempatnya bertugas. Umat berdoa dalam bahasa Portugis dan bahasa Indian yang diselipkan dengan tarian. Ia mengaku bahagia dengan kepolasan umat dan menerima dirinya sebagai misonaris.

"Saya ingat kata-kata Santo Yohanes Paulus II bahwa setiap tempat yang kamu pijak itu adalah kudus adanya. Bertolak dari situ tempat di mana saya diutus dan saya bekerja adalah suci kudus karena Tuhan ada situ"tuturnya. *** flores.tribunnews.com



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama