Gelar sarjana sering kali menjadi modal bagi orang
untuk mendapatkan pekerjaan
tertentu yang tentunya dulu posisi tersebut amat diperebutkan. Hal ini juga
berbanding lurus dengan kesulitan untuk mendapat gelar sarjana di mana
orang-orang harus berkuliah dan menjalani berbagai tahapan hingga akhirnya
lulus dan wisuda.
Hal ini berbanding terbalik pada saat ini, di mana
sarjana sudah menjadi hal yang biasa dan bukan nilai yang khusus lagi. Saat ini
terutama di kota-kota besar, gelar sarjana menjadi hal yang bukan lagi hanya
bisa didapatkan oleh kalangan menengah atas. Gelar sarjana bagi masyarakat kota
adalah hal lumrah yang banyak orang dapat meraihnya.
Pendidikan
tingkat sarjana di Indonesia belakangan ini banyak dinilai oleh para ahli bahwa
tidak memiliki karakter dan cenderung berorientasi pada materi. Sejumlah
fenomena juga terjadi yang pada akhirnya menciptakan kemunduran dalam
pendidikan setingkat sarjana.
Era teknologi yang semakin berkembang ini juga menyumbang andil dalam fenomena ini. Pergeseran pemikiran dari berbagai aspek mulai dari sistem politik hingga Pendidikan maupun pandangan masyarakat kepada sarjana semakin marak.
Fenomena tersebut di antaranya adalah inflasi
ijazah, di mana banyak sarjana yang bekerja setara dengan kemampuan setingkat
sekolah menengah atas (SMA), kualifikasi serta kompetensi setingkat SMA, upah
setingkat SMA, serta beban kerja yang "hanya" setingkat kualifikasi
pekerja lulusan SMA.
Fenomena inflasi ijazah ini juga didukung dengan
bergesernya politik pendidikan yang kini cenderung dikomersialisasikan. Hal ini
terlihat di mana perguruan tinggi cenderung memperbolehkan siapa saja untuk
menjadi sarjana tanpa adanya proses screening yang jelas dari awal. Dalam
artian, banyak perguruan tinggi yang bila meluluskan siapapun walau sebenarnya
tanpa ada kemampuan akademisi, hanya dengan membayar saja pasti lulus.
Hal ini ditambah lagi dengan pola pikir masyarakat
Indonesia yang cenderung menganggap bahwa gelar adalah segalanya. Sehingga,
banyak orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya setinggi mungkin tanpa
berpikir bahwasannya proses untuk menjalani pendidikan tersebut membutuhkan
pengalaman empiric dan praktik yang cukup.
Hal ini tentu berimbas pada banyaknya pengangguran
setingkat sarjana di Indonesia. Pengangguran ini dipicu lantaran mereka merasa
malu karena bekerja tidak sesuai pendidikan dan gelarnya.
Selanjutnya, hal ini juga dapat berimbas pada
lulusan magister (S2). Sebab, tidak sedikit lulusan sarjana yang menganggur
lebih memilih melanjutkan pendidikan ke tingkat magister dengan dalih akan
lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gelar S2-nya.
Padahal pada kenyataannya, setelah mereka lulus akan
lebih sulit lagi untuk mencari pekerjaan dengan gelar S2 yang memang
dikualifikasikan untuk S2. Alhasil, ketika lulusan S2 gengsi untuk mendapatkan
pekerjaan selevel SMA atau S1, maka mereka akan mengejar pekerjaan yang memang
dikualifikasikan untuk S2, sebut saja menjadi dosen.
Bagi lulusan S2 yang hanya mengejar pekerjaan atas
dasar gengsi tanpa memikirkan apakah mereka mampu atau tidaknya tentu akan
memilih bahwa menjadi dosen adalah yang terbaik. Padahal, mereka lupa
bahwasanya menjadi dosen berarti bersedia menanggung beban kerja dosen yang
teramat berat yaitu mendidik para mahasiswa.
Sekarang, silakan pembaca berpikir apa yang akan
terjadi ketika lulusan S2 yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi S2 menjadi
seorang tenaga pengajar di perguruan tinggi? Tentu pikiran akan mengarah ke
hal-hal yang negatif. ***