Gerakan "pembebasan dari
Tuhan" yang bercorak renaisans ini acapkali dijadikan asas keyakinan bahwa
akal dan agama adalah dua hal yang pasti kontradiktif, seolah-olah semua agama
tanpa pengecualian adalah musuh dari akal sehat, jikalau engkau mau berakal
sehat, tinggalkanlah agama! Jika engkau beragama, maka mesti tidak sehatlah
akal engkau. Akan tetapi apakah proposisi tersebut sah secara empiris? Atau
jangan-jangan proposisi tersebut hanyalah suatu manifestasi kesesatan berpikir
yang reduksionis dan buta historis? Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, mari kita periksa terlebih dahulu perspektif dua teolog paling
berpengaruh pada masanya (bahkan hingga sekarang) yakni Thomas Aquinas dan Al-Ghazali.
Filsafat dan
agama menurut Thomas Aquinas dan Al-Ghazali
Membicarakan topik ini, ada baiknya
jikalau kita terlebih dahulu meninjau pendapat dua teolog besar terkait relasi
filsafat yang menekankan pada rasionalitas dengan agama yang menekankan pada
keimanan. Thomas Aquinas adalah seorang teolog katolik dan imam gereja yang
memberikan pengaruh sangat besar dalam tradisi skolastisisme, Aquinas mencoba
menyintesiskan filsafat Aristoteles dengan teologi kristen. Aquinas meyakini
bahwa filsafat tidaklah perlu dipertentangkan dengan nilai-nilai teologis
kristen, dia meyakini bahwa disamping meyakini Tuhan dengan pendekatan
kewahyuan, akal pikiran juga mampu membawa kita pada kebenaran akan adanya
Tuhan, melalui akal, kita dapat memahami bahwa segala sesuatu yang
"mengalir" di dunia ini mestilah berasal dari suatu entitas yang
disebut sebagai sebab utama/kausa prima/Al-Muharrik. Akan tetapi, penjelasan
akal tiada mampu menjelaskan siapakah dan bagaimanakah sifat sebab utama itu.
Menurut Aquinas, disinilah peran wahyu untuk menjelaskan siapakah dan
bagaimanakah sifat sebab utama itu, maka kebenaran aqliyah yang didapatkan
melalui kontemplasi filosofis atas alam semesta bersifat saling memenuhi satu
sama lain dengan kebenaran yang ada di kitab suci, inilah yang dimaksudkan
sebagai "teologi alami" dan "teologi iman" yang saling
memenuhi.
Sedangkan menurut Al-Ghazali yang
dikutip dari Ulil Abshar Abdalla, "filsafat tidaklah bisa dihukumi secara
am' (umum), melainkan harus dipilah-pilih. Ada 6 bagian yang menjadi
cabang-cabang dari ilmu yakni Riyadhiyyat (matematika), Manthiqiyyat
(logika/penalaran), Thabi'iyyat (fisika, didalamnya ada biologi dan astronomi),
Akhlaqiyyat (etika/akhlak), Siyasiyyat (politik), dan yang terakhir adalah
Ilahiyyat (ketuhanan)." (Ulil Abshar Abdalla 2020:156). Pada
aspek matematika, logika/penalaran, dan fisika (termasuk biologi dan astronomi)
dapatlah diterima, sedangkan pada aspek etika dan politik secara umum tidaklah
bermasalah, akan tetapi yang menjadi masalah adalah cabang filsafat yang
spesifik mengarah kepada pembahasan akan Tuhan (Ilahiyyat). Menurut Al-Ghazali,
kita mesti jernih dalam memilah-milih mana pendapat filosof tentang ketuhanan
yang sesuai dengan syariat dan mana yang tidak, sebab menurut Al-Ghazali, kita
sebagai orang Islam memiliki teori ketuhanan kita sendiri yang sudah baku. Pada
intinya, yang mesti kita pahami adalah bahwa berpikir secara rasional tidaklah
menjadi suatu hal yang terpisah dari ranah iman, ini tercermin pada keterbukaan
Al-Ghazali terhadap filsafat yang mencakup didalamnya ilmu manthiq (logika).
Maka kesimpulan dari dua tokoh tersebut
adalah bahwa kebenaran yang kita dapat melalui proses akal dan indrawi mampu
membawa kita kepada kebenaran akan adanya Tuhan yang berlaku sebagai absolute
existence, bahkan sebetulnya, iman yang sempurna itu bukanlah iman yang
disandarkan hanya kepada kepercayaan yang buta (taqlid), tetapi iman yang
sempurna adalah iman yang kita yakini dengan meliputi aspek kesadaran manusia
(akal dan hati) secara menyeluruh. Iman tanpa akal bagaikan rumah tanpa pondasi
yang kuat, apabila badai menghantamnya, niscaya dia akan roboh
berkeping-keping, sebaliknya iman tidak bisa dipenuhi hanya dengan akal saja,
karena iman berkaitan pula secara sentral dengan hati yang percaya. Pada
akhirnya, iman itu adalah soal bagaimana kita mengenal Allah, memercayai
seyakin-yakinnya dengan kesadaran yang menyeluruh berdasarkan ilmu dan
dalil-dalil yang benar (Al-Idrok al-jazim, mutabbaq lil waqi' an dalilin).
Sebuah dikotomi
(palsu)
Dengan beberapa penjelasan diatas, maka
jelaslah bahwa pendapat yang memecah-duakan antara iman dan akal sehat adalah
sebuah kesesatan berpikir yang termasuk pada kesesatan berpikir "dilema
palsu" atau false dilemma (biasa juga disebut sebagai false dichotomy),
kita dipaksa seolah-olah memilih A atau B, padahal hakikatnya A dan B tersebut
adalah fungsi yang sifatnya komplementer (saling berhubungan), balik lagi
penulis tegaskan bahwa iman hanya akan berdiri secara kokoh ketika dia
ditopang dengan kesadaran yang komplit meliputi fakultas akal dan batinnya,
walaupun tidak mesti mengetahui secara detil perihal persoalan filsafat
ketuhanan/ilmu kalam yang pelik, yang terpenting untuk orang awam adalah
memiliki argumentasi aqliyah yang kuat untuk menopang keimanannya.
Melacak asas
argumentasi false dichotomy
Jikalau kita sudah memahami bahwa
hakikatnya dua hal tersebut tidak bertentangan, lantas timbul pertanyaaan,
dalil apa yang mendasari pemikiran dikotomis tersebut? Menurut penulis, ada
cukup banyak alasan yang mungkin mampu menjelaskannya, akan tetapi penulis
hanya akan menyebutkan 3 argumentasi saja, beberapa argumentasi berikut mungkin
bisa menjadi jawabannya:
Me-reduksi bahwa fundamentalisme agama yang beracun
adalah representasi tabiat agama secara keseluruhan (Fallacy of hasty
generalization & Fallacy of wrong sampling) Fundamentalisme
agama mesti diakui adalah sebuah tindakan yang tidak bisa diakui kebenarannya
dan mesti ditentang, para kalangan teolog sendiri bahkan mengecam tindakan yang
dilakukan oleh beberapa oknum penganut agama tersebut. Fundamentalisme agama
sendiri berakar dari literalisme keberagamaan yang akut, menafsirkan teks agama
tanpa panduan dari mereka yang memiliki kedalaman ilmu terkait penafsiran atas
kitab suci, tindakan "asal tafsir" ini akan menghasilkan
tindakan-tindakan yang sebetulnya menyimpang dari maksud kitab suci tersebut.
Fundamentalisme agama berkaitan erat pula dengan paham fideisme yang menyatakan
bahwa akal tidak bisa mencapai pemahaman akan Tuhan, sehingga pemikiran ini
menjadi keyakinan yang mematikan gairah menuntut ilmu dengan akal guna memahami
Tuhan, inilah nanti yang menyebabkan keyakinan yang buta (taklid buta) terhadap
agama, karena keberagamaannya tidak disertai kesadaran yang lengkap, bahkan
mematikan salah satu kesadaran yang lain yakni akal seh Sialnya, para
kaum "dikotomis" ini menganggap bahwa pola perilaku fundamentalisme
agama ini adalah sebagai representasi agama itu secara menyeluruh, mereka
terlalu terburu-buru menyimpulkan, kita ambil contoh, term "jihad"
sebagai term yang seringkali disebutkan dalam Islam menjadi disalahpahami
sebagai suatu act of terrorism, jikalau kita menekankan pandangan kita hanya
pada tindak-tanduk jihad "ala-ISIS", terang saja kita akan menyimpulkan
bahwa jihad adalah tindakan terorisme, jikalau saja kita ingin memahami lebih
dalam, term jihad tidaklah hanya soal perang senjata saja, menolong orang
kelaparan yang tidak memiliki makanan adalah jihad, berperang melawan kebodohan
dengan banyak membaca, menulis, dan mengajarkan adalah jihad, bahkan memerangi
hasrat dan nafsu-nafsi kita adalah jihad yang terbesar. Bahkan kalau mereka mau
lebih teliti lagi, para agamawan/teolog yang ilmunya dalam sendiri seringkali
mengecam tindakan semacam itu
Menganggap bahwa sejarah abad pencerahan yang
melepaskan diri dari kekangan agama adalah pola yang merepresentasikan secara
pasti bahwa agama dan akal sehat bertentangan (Bias konfirmasi) Ada pula
anggapan bahwa pola pemberontakan terhadap kekangan dogma pada abad pencerahan
adalah pola yang menggambarkan bahwa agama dan akal sehat adalah dua hal yang
pasti akan berkonflik satu sama lain, pendapat seperti ini adalah contoh bias
konfirmasi yang cukup fatal, karena apa yang terjadi pada abad kegelapan adalah
agama tidaklah berdiri sendiri/an sich, melainkan agama sudah berdiri sebagai
otoritas politik, sehingga yang sebetulnya terjadi adalah bukan "agama
di-counter oleh ilmu pengetahuan", melainkan "agama sebagai otoritas
politik di-counter oleh ilmu pengetahuan", otoritas gereja yang terusik
dengan kritik terhadap dogma melahirkan tindakan inkuisisi. Akan tetapi kita
lihat bersama bahwa gerakan keagamaan kristen yang dimotori oleh Martin Luther
melakukan denominasi terhadap otoritas gereja katolik, kala ideologi atau
denominasi Protestan mulai menguasai Eropa, ada banyak perubahan besar yang
terjadi. Eropa menjadi maju, cerdas, dan menjunjung tinggi humanisme meskipun
di saat yang bersamaan mereka juga tampil sebagai bangsa yang lebih liberal.
Ini adalah bukti bahwa agama itu sendiri bukanlah masalahnya. Pandangan
ini termasuk kedalam bias konfirmasi karena yang meyakininya sudah menaruh
terlebih dahulu postulat bahwa agama dan akal sehat pastilah bertentangan,
sehingga dia memasuk-masukkan fenomena sejarah pertentangan otoritas agama dengan
rasionalitas tersebut sebagai bukti pasti atas argumentasinya, padahal kalau
mau lebih teliti kembali, pertentangan-pertentangan kala itu terpengaruh oleh
banyak faktor penentu, dan apabila kita meneliti perkembangan ilmu pengetahuan
di kalangan filosof muslim, justru penemuan-penemuan ilmiah diawali dengan niat
untuk mengejawentahkan anugerah Tuhan berupa kemampuan berpikir dan menelisik
misteri alam semesta.
Meyakini bahwa semua realitas yang dianggap sah
adalah realitas yang mampu diverifikasi secara empiris (terpaku pada asumsi
materialisme-realis) Pandangan materialisme-realis ala Demokritus yang
menganggap bahwa yang ada hanyalah "atom-atom" dan "ruang
kosong" menjadi basis argumentasi bagi para materialis-realis hingga sekarang,
pandangan ini diadopsi oleh filosof masa Helenisme yakni Epikurus yang
menyatakan bahwa manusia harus melepaskan diri dari determinasi
"ketakutan-ketakutan teologis" seperti ancaman dewa-dewi dan lain
sebagainya. Pandangan tersebut sesungguhnya hanya sebuah pemikiran yang turut
hadir dalam mewarnai perdebatan metafisika dalam perjalanan sejarah filsafat
dan bukanlah suatu kebenaran mutlak, karena nyatanya, terdapat pula pandangan
filosof yang meskipun realis tapi mengakui bahwa ada suatu realitas awal yang
menjadi sebab utama segala sesuatu bisa ada dan segala sesuatu kembali padanya
(kausa prima), filosof tersebut adalah Aristoteles yang akhirnya memengaruhi
Thomas Aquinas dalam merumuskan filsafatnya. Ini adalah contoh bahwa ketika
kita meyakini adanya suatu realitas yang tak mampu di-indra, kita tidak
otomatis menjadi seperti Plato yang menyatakan kepalsuan substansi yang nyata
dan menganggap itu hanya sebagai "pantulan alam idea", kita mampu
menjadi realis dan disaat bersamaan meyakini adanya suatu entitas absolut yang
menjadi sebab awal dan akhir segalanya. Setelah perdebatan panjang nan pelik
tentang hakikat realitas terdalam, Immanuel Kant pun akhirnya membuat
suatu kesimpulan atas perdebatan metafisika yang pelik selama bertahun-tahun
lamanya. Kant menyatakan bahwa pada akhirnya akal kita terbatas dalam
mengetahui objek das ding an sich atau benda pada lubuknya, sehingga ia membagi
dua domain realitas, yang pertama adalah realitas fenomena, didalam realitas
ini manusia mampu menggunakan logika analitisnya untuk mengetahui dan membedah
konsep-konsep yang dicerap oleh indra, dan yang kedua adalah realitas noumena,
terhadap realitas ini, akal manusia tidak mampu menjelaskan secara analitis
tentang apa yang menjadi hakikat terdalamnya, sehingga pada akhirnya, mau tidak
mau, manusia harus mengakui bahwa ada batas-batas kemampuannya untuk mengetahui
realitas noumena tersebut, dan manusia harus memberi ruang kepada kepercayaan
akan suatu realitas yang tidak mampu dinalar secara analitis.