Inilah Pernyataan Lengkap Saldi Isra: Heran, Bingung, MK Berubah Sikap Dalam 2 Hari

Inilah Pernyataan Lengkap Saldi Isra: Heran, Bingung, MK Berubah Sikap Dalam 2 Hari

Ketua Persidangan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Pengujian UU Pemilu terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden (Presidential Threshold), Saldi Isra Foto: Fitra Andrianto/kumparan


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Hakim Konstitusi Saldi Isra merupakan satu dari 4 hakim konstitusi yang dissenting opinion terkait putusan kepala daerah belum 40 tahun bisa maju Pilpres. Dia menilai MK seharusnya menolak permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru itu.

Salah satu pendapat hukum Saldi menyasar soal perubahan sikap hakim MK dalam permohonan tersebut.

Sebab dalam tiga permohonan sebelumnya, yakni nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, mayoritas hakim MK menyatakan urusan usia dalam norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang, bukan mahkamah.

Ketiga putusan itu berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 19 September 2023. Dalam RPH yang tak dihadiri Anwar Usman itu, mayoritas hakim menolak gugatan.

Saldi mengatakan, putusan tiga gugatan itu sejatinya telah menutup ruangan adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

Namun, dua hari berselang, MK kembali menggelar RPH untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pada saat itu, Anwar Usman kemudian ikut dalam rapat. Hasilnya, MK mengabulkan gugatan tersebut secara sebagian.

"Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya," ucapnya.

Berikut pertimbangan lengkap Saldi Isra:

Menimbang bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menasbihkan makna baru atas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, saya Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki pendapat/pandangan berbeda (dissenting opinion). Sehingga, sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XXI/2023 (selanjutnya ditulis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023), saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya Mahkamah pun menolak permohonan a quo.

Menimbang bahwa terhadap norma yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017, amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, dimaknai menjadi, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Berkenaan dengan pemaknaan baru tersebut, terlebih dahulu saya akan mengemukakan beberapa hal berikut:

Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.

Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari.

Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadiamar mengabulkan dalam Putusan a quo?

Bahwa secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, di mana tiga perkara di atas (Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama. Dari belasan perkara tersebut, hanya perkara gelombang pertama ini yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 54 UU MK, yaitu Presiden dan DPR. Selain itu, didengar pula keterangan Pihak Terkait, ahli Pemohon, dan juga ahli Pihak Terkait. Ketika Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu: Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah. Tercatat, RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion).

Bahwa dalam RPH berikutnya, masih berkenaan dengan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, pembahasan dan pengambilan putusan permohonan gelombang kedua, in casu Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUUXXI/2023 (selanjut ditulis Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023), RPH dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi. Beberapa Hakim Konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menujukkan “ketertarikan” dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.

Tanda-tanda mulai bergeser dan berubahnya pandangan serta pendapat beberapa Hakim dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023 tersebut telah memicu pembahasan yang jauh lebih detail dan ulet. Karena itu, pembahasan terpaksa ditunda dan diulang beberapa kali. Terlebih lagi, dalam pembahasan ditemukan soal-soal yang berkaitan dengan formalitas permohonan yang memerlukan kejelasan dan kepastian. Tidak hanya itu, para Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan tersebut. Dengan adanya kejadian tersebut, tidak ada pilihan selain Mahkamah harus mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para Pemohon.

Bahwa terlepas dari “misteri” yang menyelimuti penarikan dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian “pindah haluan” dan mengambil posisi akhir dengan “mengabulkan sebagian” Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sepanjang yang bisa ditangkap dan disimpulkan selama pembahasan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut, dari lima Hakim Konstitusi yang “mengabulkan sebagian”, tiga Hakim Konstitusi memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” memadankan atau membuat alternatif dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi yang berada dalam rumpun “mengabulkan sebagian” tersebut memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” memadankan atau membuat alternatifnya dengan “pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur”. Sekalipun memadankan dengan jabatan gubernur, keduanya menyerahkan kriteria gubernur yang dapat dipadankan dengan berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun tersebut kepada pembentuk undang-undang.

Bahwa berkenaan dengan sebagian fakta yang diuraikan pada subParagraf [6.26.3] dan sub-Paragraf [6.26.4] di atas, pertanyaan “ringan” dan sekaligus menggelitik yang mungkin dapat dimunculkan: bilamana RPH untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, apakah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas Hakim sebagai kebijakan hukum terbuka sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023? Sebaliknya, jika RPH memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, yaitu tetap delapan Hakim tanpa dihadiri Hakim Konstitusi Anwar Usman, apakah Putusan Mahkamah untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 akan tetap sama atau sejalan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023? Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi Hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel “sebagian”, sehingga menjadi “mengabulkan sebagian”.

Bahwa berkenaan dengan fakta lain, khusus yang berkelindan dengan uraian dalam sub-Paragraf [6.26.4] di atas, saya akan membandingkan amar Putusan a quo dengan petitum yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 90/PUUXXI/2023. Sebagaimana termaktub dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, dimaknai menjadi, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sementara itu, petitum permohonan a quo hanya memohon: “Menyatakan Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan "…atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota." Secara tekstual, yang dimohonkan bersyarat adalah “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” untuk dibuat alternatif atau dipadankan dengan "…atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota." Lalu, mengapa amarnya bergeser menjadi “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”? Dalam hal ini, adalah benar “kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”, sebagaimana amar permohonan, adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected official), tetapi perlu diberi catatan tebal bahwa tidak semua jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum adalah kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota.

Berkenaan dengan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang tidak boleh tidak harus dimunculkan: bisakah lompatan nalar tersebut dibenarkan dengan bersandar pada hukum acara, yang secara prinsip hakim harus terikat dan mengikatkan dirinya dengan hukum acara? Sependek yang bisa dipahami, hakim dapat sedikit “bergeser” dari petitum untuk mengakomodasi permohonan “putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)”. Sepahaman saya, celah untuk sedikit bergeser hanya dapat dilakukan sepanjang masih memiliki ketersambungan dengan petitum (alasan-alasan) permohonan. Namun setelah membaca secara komprehensif dan saksama Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, alasan permohonan (petitum) jelas-jelas bertumpu pada “berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. Bahkan, secara kasat mata, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menggunakan “pengalaman” sekaligus “keberhasilan” Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai acuan. Artinya, permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak menyandarkan alasan-alasan permohonannya pada pejabat yang dipilih (elected official). Dengan adanya lompatan kesimpulan seperti termaktub dalam amar Putusan a quo, tidak salah dan tidak terlalu berlebihan munculnya pertanyaan lanjutan: haruskah Mahkamah bergerak sejauh itu?

Bahwa selanjutnya fakta lain yang tidak kalah mendasarnya berkenaan dengan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo. Pertanyaan lain: apakah amar yang menyatakan, “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” dapat diterima sebagai amar yang utuh dan konklusif? Pertanyaan ini muncul karena dari lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” ternyata terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu tiga Hakim Konstitusi sepakat memadankan atau membuat alternatif usia 40 tahun dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi yang lain memaknai petitum Pemohon hanya sebatas “pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai gubernur”. Tidak berhenti sampai di situ, dua Hakim Konstitusi dimaksud masih tetap mempertahankan prinsip “opened legal policy” dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang dapat disepadankan atau dialternatifkan tersebut.

Sederhananya, model petitum “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” didukung oleh tiga Hakim Konstitusi. Sementara, pilihan untuk jabatan gubernur dengan varian-varian yang juga dapat berbeda didukung oleh dua Hakim Konstitusi. Meskipun model petitum “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” didukung oleh lebih banyak jumlah Hakim Konstitusi yang tergabung dalam kelompok “mengabulkan sebagian”, pilihan petitum demikian masih dapat dipersoalkan dan potensial memiliki kelemahan yang mendasar. Karena lima Hakim Konstitusi tersebut bertemu pada posisi “mengabulkan sebagian” maka harus dirumuskan secara jelas dan terang terlebih dahulu dalam hal apa saja masing-masing mengabulkan sebagian permohonan tersebut. Dengan menggunakan pola penentuan arsiran di antara berbagai pilihan yang saling bersentuhan (diagram venn), terbuka kemungkinan hasil akhir dari penentuan amar yang berbeda. Misalnya: Hakim A, Hakim B, dan Hakim C memasukkan semua posisi elected official termasuk pemilihan kepala daerah, sedangkan Hakim D membatasi elected official hanya gubernur saja, sementara Hakim E memasukkan elected official dengan memberikan penekanan pada gubernur namun tetap membuka bagi semua jabatan kepala daerah. Berdasarkan uraian tersebut, titik temu (arsiran) kelima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” dapat digambarkan dengan diagram venn di bawah ini (lihat Diagram 1 dan Diagram 2).

Berdasarkan diagram di atas, sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1, tiga Hakim Konstitusi (Hakim A, Hakim B, dan Hakim C) menyepadankan semua jabatan yang dipilih (elected official) termasuk pemilihan kepala daerah dengan batas usia minimum 40 tahun. Artinya, ketiga Hakim tersebut memasukkan semua jabatan, yaitu presiden/wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagai padanan/alternatif usia minimal 40 (empat puluh) tahun. Selanjutnya, Hakim D memilih jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagai padanan/alternatif usia minimal 40 (empat puluh) tahun.

Sementara itu, Hakim E lebih terbatas lagi, hanya memilih jabatan gubernur sebagai padanan/alternatif batas usia minimal 40 (empat puluh) tahun. Dengan demikian, Hakim yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” tersebut, titik temu (arsiran) dalam “mengabulkan sebagian” di antara mereka berlima hanya berada pada jabatan gubernur. Selanjutnya, pada Diagram 2, tiga Hakim Konstitusi (Hakim A, Hakim B, dan Hakim C), sama dengan dalam Diagram 1, menyepadankan semua jabatan yang dipilih (elected official) termasuk pemilihan kepala daerah dengan batas usia minimum 40 tahun. Artinya, ketiga Hakim tersebut memasukkan semua jabatan, yaitu presiden/wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagai padanan/alternatif usia minimal 40 (empat puluh) tahun. Sementara itu, Hakim D dan Hakim E memilih jabatan yang sangat terbatas, yaitu hanya jabatan gubernur saja. Sama halnya seperti Diagram 1, Hakim yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” tersebut, titik temu (arsiran) dalam “mengabulkan sebagian” di antara mereka berlima juga hanya berada pada jabatan gubernur.

Merujuk penjelasan di atas, pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima Hakim Konstitusi yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” adalah jabatan gubernur. Dengan pilihan amar memaknai Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menjadi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” seharusnya tertolak atau tidak terterima oleh makna “mengabulkan sebagian” dari Hakim D dan Hakim E. Artinya, dengan menggunakan model diagram venn di atas, amar putusan a quo yang menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” sesungguhnya hanya didukung oleh 3 (tiga) Hakim Konstitusi saja. Oleh karenanya, amar Putusan a quo seharusnya hanya menjangkau jabatan gubernur saja sebagaimana menjadi titik temu di antara kelima Hakim Konstitusi tersebut.

Berkenaan dengan pilihan amar tersebut, perlu saya tambahkan, ketika pembahasan di RPH, titik temu (arsiran) termasuk masalah yang menyita waktu dan perdebatan. Karena perdebatan yang belum begitu terang terkait masalah amar tersebut, ada di antara Hakim Konstitusi mengusulkan agar pembahasan ditunda dan tidak perlu terburu-buru serta perlu dimatangkan kembali hingga Mahkamah, in casu lima Hakim yang berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian”, benar-benar yakin dengan pilihan amar putusannya. Sekalipun RPH ditunda dan berlangsung lebih lama, bagi Hakim yang mengusulkan ditunda, hal tersebut tidak akan menunda dan mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan, in casu tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Namun demikian, di antara sebagian Hakim yang tergabung dalam gerbong “mengabulkan sebagian” tersebut seperti tengah berpacu dengan tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, sehingga yang bersangkutan terus mendorong dan terkesan terlalu bernafsu untuk cepatcepat memutus perkara a quo.

Menimbang bahwa terlepas dari pertimbangan yang telah diuraikan di atas, secara substansial, saya merasa perlu menegaskan beberapa hal sebagai berikut:

Bahwa berkenaan dengan substansi undang-undang yang dibentuk karena mendapat perintah langsung dari UUD NRI 1945, dalam mempertimbangkan dan menilai materi undang-undang yang dibentuk terhadap konstitusi, seorang Hakim Konstitusi harus merujuk terlebih dahulu kepada teks konstitusi. Jikalau teks memiliki keterbatasan dalam menjelaskan substansi dimaksud, Hakim Konstitusi kemudian harus merujuk pada risalah perdebatan sekitar perumusan substansi konstitusi dimaksud. Sejauh ini, cara demikian telah menjadi metode penafsiran konstitusi yang lazim dilakukan oleh Hakim Konstitusi. Tanpa perlu merujuk terlalu jauh ke belakang, misalnya, ketika Mahkamah memutuskan perkara ihwal disainpemilihan umum serentak (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUUXVII/2019, tanggal 26 Februari 2020) dan sistem pemilihan umum (vide PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XX/2022, tanggal 15 Juni 2023), risalah pembahasan yang memuat original intent menjadi rujukan penting. Karena itu pula, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023 memakai risalah pembahasan perubahan UUD NRI 1945 juga sebagai rujukan yang penting. Karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023 membuat kesimpulan: Berdasarkan penelusuran dan pelacakan kembali secara saksama risalah perubahan UUD 1945 di atas, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR pada waktu itu berpendapat usia minimal Presiden adalah 40 (empat puluh) tahun. Namun demikian, dengan alasan antara lain persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan yang ideal, sehingga jangan sampai karena persoalan usia padahal telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam UUD, tidak dapat mendaftar diri sebagai Presiden maka pengubah UUD bersepakat untuk penentuan persoalan usia diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, penentuan usia minimal Presiden dan Wakil Presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XXI/2023, Mahkamah berpendirian:

… keinginan para Pemohon untuk adanya pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 akan menyebabkan contradiction in terminis sebagaimana telah diuraikan di atas karena akan melarang sekaligus membolehkan seseorang yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun untuk dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Artinya, seseorang yang belum berusia 40 (empat puluh) tahun tidak boleh diajukan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, sekaligus seseorang yang belum berusia 40 (empat puluh) tahun boleh diajukan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden sepanjang yang bersangkutan adalah penyelenggara negara atau pernah menjabat sebagai penyelenggara negara. Sifat kontradiktif demikian niscaya memunculkan kebingungan dan keraguan bagi adressaat yang dituju pasal a quo, yang pada akhirnya menghadirkan tidak lain suatu kondisi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.

… Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XXI/2023 telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut. “Dengan beragamnya jenis/karakteristik penyelenggara negara seperti diuraikan di atas, Mahkamah harus membatasi dirinya untuk tidak menentukan jabatan penyelenggara negara mana saja yang dapat menjadi konversi dari batasan usia minimal untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Terlebih lagi konversi dimaksud dapat dipandang sebagai upaya untuk mensiasati batasan usia minimal dimaksud yang telah sejak lama dinilai sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang. Dengan demikian, upaya konversi yang dimohonkan oleh Pemohon harus pula diserahkan kepada pembentuk undang-undang, sehingga Mahkamah konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya, termasuk Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 29/PUU-XXI/20023 yang diucapkan sebelumnya.”

Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut, persoalan usia dan upaya menyepadankannya atau mempersamakannya dengan jabatan lain atau proses lain sesungguhnya telah terkunci. Pertimbangan hukum tersebut merupakan pembuktian bagaimana Mahkamah konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya yang berkenaan dengan usia yang telah menjadi yurisprudensi sejak generasi pertama lembaga ini berdiri.

Bahwa posisi Mahkamah berkenaan dengan angka, in casu persyaratan usia, sejak dari generasi pertama (2003-2008), ihwal persyaratan usia telah diposisikan sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang (legal policy atau opened legal policy). Sikap demikian dapat dilacak, antara lain, dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012, tanggal 15 Januari 2013. Bahkan apabila dibaca kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, Putusan-putusan terdahulu yang berkenaan dengan “usia” tetap menjadi rujukan utama yang digunakan untuk menolak permohonan Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023. Artinya, kebijakan hukum terbuka merupakan “warisan” yang telah diikuti dari generasi demi generasi di Mahkamah dan telah ditempatkan sebagai yurisprudensi. Oleh karena itu, kebijakan hukum terbuka tidak bisa secara serampangan dikesampingkan karena telah menjadi yurisprudensi sekaligus doktrin ilmu hukum yang digunakan dalam memutus perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, secara doktriner, permasalahan yang berkaitan dengan persyaratan usia minimum pejabat negara, termasuk syarat usia minimum sebagai calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana diajukan dalam permohonan a quo dapat dikatakan menjadi bagian dalam doktrin political question, yaitu permasalahan yang seharusnya diselesaikan dengan keputusan yang diambil oleh cabang-cabang politik pemerintahan lain, in casu Presiden dan DPR selaku pembentuk undangundang, bukan oleh lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi (vide Louis Henkin, “Is There a ‘Political Question’ Doctrine”, 1976, hlm. 597). Doktrin political question yang dikenal dalam praktik lembaga peradilan ini merupakan konsep yang mengacu pada prinsip bahwa beberapa permasalahan atau pertanyaan yang melibatkan keputusan politik atau kebijakan pemerintah, seharusnya tidak menjadi domain lembaga peradilan untuk memutuskannya. Sebaliknya, permasalahan atau pertanyaan tersebut seyogianya ditangani oleh cabang kekuasaan yang berwenang, seperti eksekutif atau legislatif.

Bahkan menurut John Serry dalam bukunya “Too Young to Run?: A Proposal for an Age Amendment to the U.S. Constitution” (Penn State University Press, 2011), permasalahan untuk menurunkan persyaratan usia minimum bagi jabatan politik tidak bisa ditentukan melalui mekanisme pengujian undang-undang, melainkan harus melalui perubahan konstitusi. Sebagai contoh perbandingan lainnya, Mahkamah Konstitusi Albania dalam Decision ALB-2005-1-003, tanggal 19 Januari 2005, menolak permohonan yang berkenaan dengan batas usia karena dinilai bukan merupakan isu konstitusional, tetapi lebih pada isu politik. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Albania tersebut, antara lain karena umur yang diuji konstitusionalitasnya tidak diatur dalam konstitusi.

Berkenaan dengan hal di atas, Mahkamah seringkali memberikan pertimbangan opened legal policy terhadap permasalahan yang tidak diatur secara eksplisit di dalam konstitusi, sehingga sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukannya, dan bukan diputuskan sendiri oleh Mahkamah. Oleh karenanya, Mahkamah sudah seharusnya berpegang teguh pada pendekatan ini dan tidak seakan-akan memilah-milih mana yang dapat dijadikan opened legal policy dan memutuskannya tanpa argumentasi dan legal reasoning yang jelas serta berubah-ubah. Jika hal demikian terjadi maka penentuan opened legal policy oleh Mahkamah seperti menjadi cherry-picking jurisprudence, sebagaimana terlihat dari ketidakkonsistenan pendapat sebagian Hakim yang berubah seketika dalam menjawab pokok permasalahan dalam beberapa permohonan yang serupa seperti diuraikan di atas. Dalam permohonan a quo, Mahkamah juga sudah seharusnya menerapkan judicial restraint dengan menahan diri untuk tidak masuk dalam kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi calon presiden dan wakil presiden. Hal ini sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan penghormatan kepada pembentuk undang-undang dalam konteks pemisahan kekuasaan negara (separation of powers).

Lebih lanjut, pembentuk undang-undang secara eksplisit menyampaikan dan memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review dengan cara merevisi Undang-Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, bukan justru melempar “bola panas” ini kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dandijadikan “beban politik” Mahkamah untuk memutusnya. Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat sangat sangatcemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalampusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi? *** kumparan.com

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama