Ilustrasi Alat Peraga Kampanye (APK) di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan |
Ditambah lagi dengan respons partai Demokrat yang keluar
dari Koalisi Perubahan. Hal ini disebabkan kekecewaan partai Demokrat kepada
Anies Baswedan yang tidak memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai
cawapres pendampingnya.
Fenomena ini seakan memberikan semacam realita
politik yang cukup mengecewakan. Manuver politik yang dilakukan oleh elite dan
partai politik lebih menonjolkan nuansa kepentingan dan kekuasaan.
Elite dan partainya dengan mudah berpindah koalisi
hanya karena kepentingannya untuk mendapatkan kursi jabatan. Hal inilah yang
tercermin ketika Muhaimin Iskandar memutuskan menjadi cawapres pendamping Anies
Baswedan.
AHY dan partai Demokrat juga demikian. Kepentingan
dan ambisi politiknya untuk dapat menjadi cawapres Anies Baswedan tidak
terpenuhi, maka langsung memutuskan untuk berpindah koalisi.
Di satu sisi manuver politik sah-sah saja dalam
politik, karena hal tersebut yang membuat politik terasa cair dan dinamis. Akan
tetapi, di sisi lain manuver politik yang dilakukan oleh elite dan partai
politik lebih menonjolkan ketidakdewasaan dalam demokrasi.
Seharusnya elite dan partai politik menjaga komitmen
awalnya dan juga menjaga konstituen mereka. Namun, hal ini sangat jauh dari
yang seharusnya dilakukan.
Pemilu 2024 merupakan pesta demokrasi bagi seluruh
rakyat. Seluruh rakyat yang sudah memiliki hak pilih bebas mengekspresikan
dirinya untuk melakukan pemilihan atas hak pilihnya sendiri. Untuk itu pemilu
harus menjadi demokrasi yang diperuntukkan kepada rakyat.
Pemilu harus menjadi ajang refleksi atau perenungan
bersama atas semua pencapaian selama ini. Bagi elite dan penguasa, apakah
selama periode sebelumnya sudah berhasil memenuhi janji dan tugas atau
sebaliknya?
Begitu juga bagi rakyat sebagai pemilih, apakah
hasil dari pilihan kemaren sudah dapat memenuhi semua kepentingan dan aspirasi
selama ini? Jika tidak, apa hal selanjutnya yang bisa diharapkan dalam pemilu
2024 nanti.
Seperti itulah seharusnya dalam menyikapi setiap
pemilu yang akan diadakan. Perenungan yang dilakukan baik dari elite atau
penguasa dan juga rakyat sebagai pemilih harus sadar akan posisi, fungsi dan
hak. sehingga pemilu nanti jauh dari kesan demokrasi hanya untuk elite bukan
untuk rakyat.
Pemilu bukan hanya ajang berkontestasi dan bersaing
dalam memperebutkan hati pemilih saja. Pemilu harus lebih dari itu, karena
hasil dari pemilu nanti akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya.
Cara pandang kita terhadap pemilu bukan hanya
persoalan tingkat partisipasi atau secara garis besar demokrasi prosedural
saja. Melainkan, pemilu harus menjadi terselenggaranya nilai-nilai demokrasi
subtantif dengan baik: menjamin hak kebebasan individu, kebebasan menyuarakan
pendapat, terbebas dari intervensi politik dan lain sebagainya.
Sehingga pemilu nanti di samping tingkat partisipasi
yang meningkat, kualitas dari hasil pemilu juga harus meningkat. Jangan sampai
hasil dari pemilu nanti di luar ekspektasi seluruh rakyat Indonesia.
Maka dari itu, kerja sama seluruh pihak untuk
memastikan pemilu memang sesuai dengan semboyannya yakini langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil). Mulai dari KPU sebagai
penyelenggara, elite dan partai politik sebagai peserta pemilu dan rakyat sebagai
pemilih harus sadar akan fungsi, tugas dan haknya.
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah kepada
elite dan partai politik. Elite dan partai politik jangan hanya menjadikan
pemilu sebagai sarana untuk mempertahankan kekuasaan dan merebut kekuasaan
saja.
Elite
dan partai politik harus sadar akan tugas dan fungsinya. Mencatat semua janji
dan komitmen politik kepada pemilih jika terpilih nanti. Memastikan semua janji
dan komitmen tersebut harus direalisasikan dengan baik selama lima tahun ke
depan. sehingga dengan itu pemilu jauh dari anggapan demokrasi untuk elite
saja.
Sebagai solusi untuk memastikan pemilu 2024 nanti
sebagai demokrasi untuk rakyat, ada sebuah istilah yang dinamakan dengan
demokrasi deliberatif (Habermas dalam F Budi Hardiman, 2009).
Demokrasi deliberatif berbicara mengenai komunikasi
intersubjektif yang melibatkan seluruh pihak untuk mencapai sebuah konsensus.
Mengaktifkan ruang publik sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat dan
kepentingan guna mencapai sebuah kata sepakat (konsensus). Melakukan musyawarah
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan.
Komunikasi intersubjektif ini melibatkan seluruh
pihak, bukan hanya elite dan partai politik sebagai penguasa saja, tetapi
publik secara keseluruhan harus dilibatkan. Mengingat kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan sudah seharusnya kedaulatan rakyat harus
diutamakan.
Aspek deliberatif ini sangat baik jika dilakukan
oleh elite dan partai politik untuk melibatkan rakyat dalam membangun janji dan
komitmen politik saat masa kampanye mendatang.
Kolaborasi antara elite, partai politik, dan rakyat
sebagai pemilih dapat memberikan sebuah keputusan akhir yang sangat baik.
Apalagi kalau elite dan partai politik tersebut berhasil mendapatkan kursi kekuasaan
nantinya.
Maka rakyat sebagai pemilih (konstituennya) sudah
mendapatkan komitmen sebelumnya yang dirumuskan secara bersama-sama. Hanya
dengan itulah demokrasi akan bertumbuh dan kedaulatan rakyat memang betul-betul
ditegakkan.