Berbagai peristiwa politik yang mencuat belakangan
ini terutama menjelang Pemilu, mencerminkan kualitas kepemimpinan bangsa di
berbagai tingkatan, yang berbanding terbalik dengan kekayaan dan potensi alam
yang terkandung di Negara Indonesia. Kenapa demikian?
Berdasarkan data yang ada, Indonesia adalah negara
dengan luas lebih kurang 2.027.087 Km 2, yang dihuni oleh lebih dari 200 juta
penduduk, serta didukung sumber daya alam yang melimpah, Indonesia seharusnya
memiliki potensi besar menjadi negara yang besar.
Potensi besar Indonesia termanifestasi dalam tanah
subur yang mendukung pertumbuhan beragam tanaman, mulai dari ubi kayu hingga
mariuna. Keindahan alam yang tak tertandingi, ditambah dengan keanekaragaman
flora dan fauna, menjadi kekayaan alam yang tak ternilai.
Sumber daya bumi seperti gas, minyak, emas, bijih
besi, dan lainnya menambah nilai potensi yang dimiliki, yang seharusnya sejak
lama sudah mengantarkan negara ini menjadi negara maju. Namun demikian, keadaan
yang terjadi sungguh ironis, karena ternyata negara ini masih dihadapkan pada
tantangan serupa dengan berkembang lainnya.
Letak geografis Indonesia yang sering disebut
"strategis" sepertinya pengetahuan itu perlu “diedit”. Karena
faktanya, Indonesia tidak mampu membuktikan perannya di wilayah yang strategi
itu. Sebaliknya, negara ini justru rentan terhadap tekanan negara-negara asing,
pencurian kekayaan alam yang dilakukan oleh negara asing hampir tidak bisa
diatasi secara tegas, ditambah lagi campur tangan asing terhadap politik dalam
negeri menciptakan polemik dan perpecahan di masyarakat. Ketergantungan negara
terhadap utang luar negeri, membuat bangsa ini tidak bisa mandiri dalam
mengelola sumber dayanya.
Menurut pandangan yang sederhana, saya menduga ada
dua permasalahan utama yang akan menggagalkan bangsa ini menjadi negara besar,
adil dan makmur. Dua persoalan utama itu, antara lain, 1). Korupsi dan 2).
Tindakan represif yang anti demokrasi.
Pertama, korupsi. Dalam satu dekade ini, kasus-kasus
korupsi menjamur tidak tanggung-tanggung, kerugian negara akibat tindakan
koruptif ini, entah disadari atau tidak sudah mencapai triliunan rupiah.
Dulu, Mega proyek Hambalang adalah rekor tertinggi
sebuah kasus proyek mangkrak yang terindikasi korupsi, yakni sebesar 2,8 T,
sekarang mungkin saja angkanya lebih besar lagi, tapi KPK dan interpol masih
bekerja, kita tunggu saja.
Terkait dengan persoalan korupsi ini, Setiadi (2018:
252-253) menjelaskan bahwa ada 4 hal yang menghambat laju gerakan pemberantasan
korupsi di Indonesia ini, yakni:
1). Hambatan Struktural, merujuk pada
kendala-kendala yang berasal dari kebijakan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan, menghambat penanganan tindak pidana korupsi sesuai dengan standar
yang diharapkan.
Dalam kategori ini, terdapat beberapa faktor,
seperti sikap egois sektoral dan institusional yang cenderung mengusulkan alokasi
dana sebesar mungkin untuk sektor dan instansi masing-masing tanpa
mempertimbangkan kebutuhan nasional secara menyeluruh. Selain itu, upaya untuk
menyembunyikan penyimpangan-penyimpangan di sektor dan instansi terkait juga
menjadi bagian dari kendala ini.
Kendala lainnya mencakup kurang optimalnya fungsi
pengawasan, kurangnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak
hukum, serta kelemahan dalam sistem pengendalian intern. Semua hal ini memiliki
korelasi positif dengan berbagai bentuk penyimpangan dan ketidakefisienan dalam
pengelolaan kekayaan negara, serta rendahnya kualitas layanan publik.
2). Hambatan Kultural, merujuk pada kendala-kendala
yang berasal dari norma-norma negatif yang berkembang dalam masyarakat. Dalam
kategori ini, beberapa faktor meliputi masih adanya "sikap sungkan"
dan toleransi di kalangan aparat pemerintah yang dapat menghambat penanganan
tindak pidana korupsi. Kurangnya transparansi dari pimpinan instansi seringkali
menciptakan kesan toleransi dan perlindungan terhadap pelaku korupsi.
Campur tangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif
dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani
korupsi secara tegas dan menyeluruh, serta sikap permisif sebagian besar
masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi juga termasuk dalam hambatan
ini.
Semua elemen ini dapat membentuk kebiasaan negatif
dalam masyarakat, yang pada gilirannya menghambat upaya pencegahan dan
penanggulangan korupsi.
3). Hambatan Instrumental, merujuk pada
kendala-kendala yang berasal dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, yang mengakibatkan penanganan tindak pidana
korupsi tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Beberapa faktor yang termasuk dalam kategori ini
meliputi keberadaan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,
menyebabkan praktik koruptif seperti penggelembungan dana di lingkungan
instansi pemerintah.
Ketidakadanya "single identification number"
atau identifikasi tunggal yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat
(seperti SIM, pajak, bank, dan lain-lain.) dapat meningkatkan peluang
penyalahgunaan oleh anggota masyarakat.
Kelemahan dalam penegakan hukum terhadap kasus
korupsi, bersamaan dengan kesulitan dalam membuktikan tindak pidana korupsi,
juga termasuk dalam hambatan ini. Semua aspek ini memberikan landasan untuk
perbaikan instrumen pendukung guna memperkuat penanganan tindak pidana korupsi.
4). Hambatan Manajemen, merujuk pada kendala-kendala
yang timbul karena diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip
manajemen yang baik, seperti komitmen tinggi yang dilaksanakan secara adil,
transparan, dan akuntabel.
Hal ini menyebabkan penanganan tindak pidana korupsi
tidak berjalan sesuai dengan standar yang diharapkan. Beberapa faktor yang
termasuk dalam kategori ini antara lain:
1. Kurangnya komitmen dari manajemen, khususnya
Pemerintah, dalam menindaklanjuti hasil pengawasan.
2. Lemahnya koordinasi, baik di antara aparat
pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum.
3. Kurangnya dukungan teknologi informasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
4. Ketidakindependenan organisasi pengawasan.
5. Kurang profesionalnya sebagian besar aparat
pengawasan.
6. Kekurangan dukungan sistem dan prosedur
pengawasan dalam penanganan korupsi.
7. Ketidakmemadainya sistem kepegawaian, termasuk
dalam hal sistem rekrutmen, gaji formal yang rendah bagi PNS, penilaian
kinerja, dan kurangnya reward and punishment.
Semua aspek ini menyumbang kepada kurangnya
efektivitas dalam penanganan tindak pidana korupsi dan menunjukkan perlunya
penerapan prinsip-prinsip manajemen yang baik untuk meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas dalam pemerintahan.
Kedua, tindakan represif yang anti demokrasi. Ada
dua hal yang menjadi perhatian saya, yakni oknum yang alergi dengan kritik dan
kedua, oknum yang memanfaatkan celah hukum untuk melegitimasi kepentingannya.
Namun demikian, saya tidak akan menjelaskannya panjang lebar, mudah-mudahan
gambaran-gambaran peristiwa yang dihadirkan di bawah ini cukup untuk
menjelaskan keduanya.
Masih lekat dalam ingatan kita bersama, sebuah mural
yang bertuliskan “Tuhan Aku Lapar!!”, yang dibuat oleh sekelompok pemuda yang
tergabung dalam HSC Forum, sebuah komunitas yang berasal dari Tangerang, yang
viral dan menjadi perhatian warga dunia di tahun 2021.
Mural itu menjadi sorotan serius aparat kepolisian
hingga si pembuat dipanggil untuk dimintai keterangan, dan akhirnya mural
itupun dihapus oleh aparat. Sungguh disayangkan tindakan yang diambil,
kebebasan mengemukakan pendapat di depan umum sudah dianggap sebagai sebuah
kejahatan melawan hukum.
Lalu sempat juga viral, Bima Yudho Saputro, seorang
pemuda yang asal Lampung yang mengkritisi kondisi jalan di daerahnya, di akun
media sosialnya. Aksi Bima ini menjadi momok yang merisihkan pemerintah daerah
setempat, bahkan dari berbagai pemberitaan media, seperti liputan6.com dan
merdeka.com, Bima bahkan keluarganya mendapatkan kecaman dan intimidasi dari
oknum-oknum aparat dan pemerintah daerah. Kasus ini pun akhirnya mejadi
perhatian pemerintah pusat, sehingga Presiden Jokowi dengan sangat bijaksana langsung
turun tangan mengatasinya, sehingga ketegangan pun tidak berlarut-larut.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan penegakan
hukum kita, apakah penegakan hukum ini adalah salah satu persoalan utama
bangsa? Saya tidak melihat hal ini menjadi persoalan utama, karena persoalan
penegakan hukum ini merupakan bagian dari baik buruknya kualitas demokrasi
berjalan di suatu bangsa.
Semakin baik negara ini menjalankan prinsip-prinsip
demokrasi, yang menjamin kebebasan berpendapat rakyatnya, maka semakin baik
pula penegakan hukum negeri ini.
Namun demikian, di tengah kekhawatiran ini mengenai
kualitas demokrasi bangsa, kita patut bersyukur, karena kita masih diberi
kesempatan untuk memilih kembali pemimpin-pemimpin bangsa, melalui pesta
demokrasi yang diadakan setiap lima tahun sekali.
Sekarang, semua hampir jelas, siapa-siapa saja
calon-calon pemimpin yang harus kita pilih, oleh karena itu mari kita
pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin, karena pemilu ini sangat menentukan.
Menentukan karena pemilihan umum tahun depan,
bukanlah sekadar pesta demokrasi bangsa Indonesia, bukan juga sekadar memilih
presiden dan wakil presiden saja, atau sekadar memilih para wakil-wakil rakyat
saja, atau sekadar memilih pemimpin-pemimpin daerah. Pada Pemilu tahun depan,
adalah kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk memilih mau tetap melanjutkan
hidup seperti sekarang, atau berubah ke arah lebih baik.
Sebelum saya menyudahi artikel ini, saya harus
menegaskan bahwa tulisan ini tidak bermaksud mendukung salah satu paslon
peserta Pemilu, karena semua paslon yang ada saat ini memiliki kelebihan
masing-masing. Apabila artikel ini pada akhirnya dianggap menguntungkan salah
satunya, itu hanyalah suatu kebetulan. Semoga apa pun hasil Pemilu tahun depan,
akan berdampak baik bagi bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia.
***
Tanjakan gersang Foho Beitara Kateri, Kabupaten Malaka
Medio Senin, 13 November 2023