Demokrasi dan Korupsi: Mau Dibawa ke Mana Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Demokrasi dan Korupsi: Mau Dibawa ke Mana Negara Kesatuan Republik Indonesia?



Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Pekik kesedihan terdengar dari seorang musisi Indonesia, Iwan Fals, saat melepas kepergian seorang pemimpin berjiwa besar. Syair dalam lagu Bung Hatta menyiratkan bahwa kita telah kehilangan pemimpin dari generasi terakhir yang memiliki moralitas kemanusiaan, penuh semangat kerakyatan, dan demokratis.

Berbagai peristiwa politik yang mencuat belakangan ini terutama menjelang Pemilu, mencerminkan kualitas kepemimpinan bangsa di berbagai tingkatan, yang berbanding terbalik dengan kekayaan dan potensi alam yang terkandung di Negara Indonesia. Kenapa demikian?

Berdasarkan data yang ada, Indonesia adalah negara dengan luas lebih kurang 2.027.087 Km 2, yang dihuni oleh lebih dari 200 juta penduduk, serta didukung sumber daya alam yang melimpah, Indonesia seharusnya memiliki potensi besar menjadi negara yang besar.

Potensi besar Indonesia termanifestasi dalam tanah subur yang mendukung pertumbuhan beragam tanaman, mulai dari ubi kayu hingga mariuna. Keindahan alam yang tak tertandingi, ditambah dengan keanekaragaman flora dan fauna, menjadi kekayaan alam yang tak ternilai.

Sumber daya bumi seperti gas, minyak, emas, bijih besi, dan lainnya menambah nilai potensi yang dimiliki, yang seharusnya sejak lama sudah mengantarkan negara ini menjadi negara maju. Namun demikian, keadaan yang terjadi sungguh ironis, karena ternyata negara ini masih dihadapkan pada tantangan serupa dengan berkembang lainnya.

Letak geografis Indonesia yang sering disebut "strategis" sepertinya pengetahuan itu perlu “diedit”. Karena faktanya, Indonesia tidak mampu membuktikan perannya di wilayah yang strategi itu. Sebaliknya, negara ini justru rentan terhadap tekanan negara-negara asing, pencurian kekayaan alam yang dilakukan oleh negara asing hampir tidak bisa diatasi secara tegas, ditambah lagi campur tangan asing terhadap politik dalam negeri menciptakan polemik dan perpecahan di masyarakat. Ketergantungan negara terhadap utang luar negeri, membuat bangsa ini tidak bisa mandiri dalam mengelola sumber dayanya.

Menurut pandangan yang sederhana, saya menduga ada dua permasalahan utama yang akan menggagalkan bangsa ini menjadi negara besar, adil dan makmur. Dua persoalan utama itu, antara lain, 1). Korupsi dan 2). Tindakan represif yang anti demokrasi.

Pertama, korupsi. Dalam satu dekade ini, kasus-kasus korupsi menjamur tidak tanggung-tanggung, kerugian negara akibat tindakan koruptif ini, entah disadari atau tidak sudah mencapai triliunan rupiah.

Dulu, Mega proyek Hambalang adalah rekor tertinggi sebuah kasus proyek mangkrak yang terindikasi korupsi, yakni sebesar 2,8 T, sekarang mungkin saja angkanya lebih besar lagi, tapi KPK dan interpol masih bekerja, kita tunggu saja.

Terkait dengan persoalan korupsi ini, Setiadi (2018: 252-253) menjelaskan bahwa ada 4 hal yang menghambat laju gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia ini, yakni:

1). Hambatan Struktural, merujuk pada kendala-kendala yang berasal dari kebijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, menghambat penanganan tindak pidana korupsi sesuai dengan standar yang diharapkan.

Dalam kategori ini, terdapat beberapa faktor, seperti sikap egois sektoral dan institusional yang cenderung mengusulkan alokasi dana sebesar mungkin untuk sektor dan instansi masing-masing tanpa mempertimbangkan kebutuhan nasional secara menyeluruh. Selain itu, upaya untuk menyembunyikan penyimpangan-penyimpangan di sektor dan instansi terkait juga menjadi bagian dari kendala ini.

Kendala lainnya mencakup kurang optimalnya fungsi pengawasan, kurangnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum, serta kelemahan dalam sistem pengendalian intern. Semua hal ini memiliki korelasi positif dengan berbagai bentuk penyimpangan dan ketidakefisienan dalam pengelolaan kekayaan negara, serta rendahnya kualitas layanan publik.

2). Hambatan Kultural, merujuk pada kendala-kendala yang berasal dari norma-norma negatif yang berkembang dalam masyarakat. Dalam kategori ini, beberapa faktor meliputi masih adanya "sikap sungkan" dan toleransi di kalangan aparat pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi. Kurangnya transparansi dari pimpinan instansi seringkali menciptakan kesan toleransi dan perlindungan terhadap pelaku korupsi.

Campur tangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untuk menangani korupsi secara tegas dan menyeluruh, serta sikap permisif sebagian besar masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi juga termasuk dalam hambatan ini.

Semua elemen ini dapat membentuk kebiasaan negatif dalam masyarakat, yang pada gilirannya menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi.

3). Hambatan Instrumental, merujuk pada kendala-kendala yang berasal dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang mengakibatkan penanganan tindak pidana korupsi tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Beberapa faktor yang termasuk dalam kategori ini meliputi keberadaan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, menyebabkan praktik koruptif seperti penggelembungan dana di lingkungan instansi pemerintah.

Ketidakadanya "single identification number" atau identifikasi tunggal yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (seperti SIM, pajak, bank, dan lain-lain.) dapat meningkatkan peluang penyalahgunaan oleh anggota masyarakat.

Kelemahan dalam penegakan hukum terhadap kasus korupsi, bersamaan dengan kesulitan dalam membuktikan tindak pidana korupsi, juga termasuk dalam hambatan ini. Semua aspek ini memberikan landasan untuk perbaikan instrumen pendukung guna memperkuat penanganan tindak pidana korupsi.

4). Hambatan Manajemen, merujuk pada kendala-kendala yang timbul karena diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik, seperti komitmen tinggi yang dilaksanakan secara adil, transparan, dan akuntabel.

Hal ini menyebabkan penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sesuai dengan standar yang diharapkan. Beberapa faktor yang termasuk dalam kategori ini antara lain:

1. Kurangnya komitmen dari manajemen, khususnya Pemerintah, dalam menindaklanjuti hasil pengawasan.

2. Lemahnya koordinasi, baik di antara aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum.

3. Kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

4. Ketidakindependenan organisasi pengawasan.

5. Kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan.

6. Kekurangan dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi.

7. Ketidakmemadainya sistem kepegawaian, termasuk dalam hal sistem rekrutmen, gaji formal yang rendah bagi PNS, penilaian kinerja, dan kurangnya reward and punishment.

Semua aspek ini menyumbang kepada kurangnya efektivitas dalam penanganan tindak pidana korupsi dan menunjukkan perlunya penerapan prinsip-prinsip manajemen yang baik untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

Kedua, tindakan represif yang anti demokrasi. Ada dua hal yang menjadi perhatian saya, yakni oknum yang alergi dengan kritik dan kedua, oknum yang memanfaatkan celah hukum untuk melegitimasi kepentingannya. Namun demikian, saya tidak akan menjelaskannya panjang lebar, mudah-mudahan gambaran-gambaran peristiwa yang dihadirkan di bawah ini cukup untuk menjelaskan keduanya.

Masih lekat dalam ingatan kita bersama, sebuah mural yang bertuliskan “Tuhan Aku Lapar!!”, yang dibuat oleh sekelompok pemuda yang tergabung dalam HSC Forum, sebuah komunitas yang berasal dari Tangerang, yang viral dan menjadi perhatian warga dunia di tahun 2021.

Mural itu menjadi sorotan serius aparat kepolisian hingga si pembuat dipanggil untuk dimintai keterangan, dan akhirnya mural itupun dihapus oleh aparat. Sungguh disayangkan tindakan yang diambil, kebebasan mengemukakan pendapat di depan umum sudah dianggap sebagai sebuah kejahatan melawan hukum.

Lalu sempat juga viral, Bima Yudho Saputro, seorang pemuda yang asal Lampung yang mengkritisi kondisi jalan di daerahnya, di akun media sosialnya. Aksi Bima ini menjadi momok yang merisihkan pemerintah daerah setempat, bahkan dari berbagai pemberitaan media, seperti liputan6.com dan merdeka.com, Bima bahkan keluarganya mendapatkan kecaman dan intimidasi dari oknum-oknum aparat dan pemerintah daerah. Kasus ini pun akhirnya mejadi perhatian pemerintah pusat, sehingga Presiden Jokowi dengan sangat bijaksana langsung turun tangan mengatasinya, sehingga ketegangan pun tidak berlarut-larut.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan penegakan hukum kita, apakah penegakan hukum ini adalah salah satu persoalan utama bangsa? Saya tidak melihat hal ini menjadi persoalan utama, karena persoalan penegakan hukum ini merupakan bagian dari baik buruknya kualitas demokrasi berjalan di suatu bangsa.

Semakin baik negara ini menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, yang menjamin kebebasan berpendapat rakyatnya, maka semakin baik pula penegakan hukum negeri ini.

Namun demikian, di tengah kekhawatiran ini mengenai kualitas demokrasi bangsa, kita patut bersyukur, karena kita masih diberi kesempatan untuk memilih kembali pemimpin-pemimpin bangsa, melalui pesta demokrasi yang diadakan setiap lima tahun sekali.

Sekarang, semua hampir jelas, siapa-siapa saja calon-calon pemimpin yang harus kita pilih, oleh karena itu mari kita pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin, karena pemilu ini sangat menentukan.

Menentukan karena pemilihan umum tahun depan, bukanlah sekadar pesta demokrasi bangsa Indonesia, bukan juga sekadar memilih presiden dan wakil presiden saja, atau sekadar memilih para wakil-wakil rakyat saja, atau sekadar memilih pemimpin-pemimpin daerah. Pada Pemilu tahun depan, adalah kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk memilih mau tetap melanjutkan hidup seperti sekarang, atau berubah ke arah lebih baik.

Sebelum saya menyudahi artikel ini, saya harus menegaskan bahwa tulisan ini tidak bermaksud mendukung salah satu paslon peserta Pemilu, karena semua paslon yang ada saat ini memiliki kelebihan masing-masing. Apabila artikel ini pada akhirnya dianggap menguntungkan salah satunya, itu hanyalah suatu kebetulan. Semoga apa pun hasil Pemilu tahun depan, akan berdampak baik bagi bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia.

***

Tanjakan gersang Foho Beitara Kateri, Kabupaten Malaka

Medio Senin, 13 November 2023



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama