Gereja Katolik Relasinya dengan Lingkungan Hidup dan Kepeduliannya terhadap Kehidupan Bernegara dan Bangsanya

Gereja Katolik Relasinya dengan Lingkungan Hidup dan Kepeduliannya terhadap Kehidupan Bernegara dan Bangsanya



1. Gereja Katolik memiliki pemahaman dan pengakuan sangat mendalam tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Dari berbagai teori etika lingkungan hidup, ekoteologi memuat kesimpulan sangat mendasar tentang keharusan bagi manusia untuk menghargai dan melestarikan lingkungan hidup, bukan saja karena alam ini merupakan jantung kehidupan kita, tempat kita bergantung hidup, melainkan terutama karena nilai intrinsic, dimensi keilahian yang terkandung di dalamnya, yang bersumberkan dari keilahian Sang Pencipta sendiri.

a. Klasifikasi bentuk kepedulian Gereja Katolik terhadap Pembangunan dan Ekologi

1. Pembinaan tentang Kesadaran Ekologis

Pembinaan ini merupakan upaya gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Misalnya dalam PA atau pembinaan khusus dan tema-tema kebaktian.

2. Perayaan Lingkungan Hidup dalam Liturgi

Misalnya membuat ibadah khusus untuk merayakan Hari Lingkungan Hidup. Dalam ibadah, ada baiknya kita melakukan penyesalan dosa yang dilakukan terhadap alam semesta karena ulah manusia yang telah merusak alam. Penting juga untuk menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu rohani yang bertemakan alam.

3. Menyuarakan Suara Kenabian terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup

Gereja perlu menyuarakan kritik atau memberikan masukan-masukan bagi masyarakat atau pun pemerintah terkait dengan upaya melestarikan lingkungan hidup.

4. Menata Lingkungan Gereja dengan Memerhatikan Keseimbangan Ekologis.

Misalnya jangan habiskan tanah untuk mendirikan bangunan, tapi berikan ruang untuk tanam-tanaman. Kita bisa membangun lingkungan gereja yang hijau dan asri.

5. Gerakan Penanaman Pohon bagi Seluruh Warga Gereja

6. Mengajak Anggota Jemaat Membudayakan Gaya Hidup yang Ramah dan Dekat dengan Alam.

Misalnya dengan memisahkan sampah plastik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan tanam-tanaman.

7. Membangun Kerja Sama dengan Lembaga atau Kelompok Pencinta Alam.

Misalnya WALHI, untuk memperjuangkan pembangunan yang berwawasan ekologis.

 

b. Contoh  Sikap Gereja Katolik dalam menyikapi krisis ekologis seperti air berkualitas dan penggunaan plastik

 Salah satu masalah yang dihadapi dunia saat ini adalah berkaitan krisis lingkungan.

Lingkungan hidup semakin terancam keutuhannya. dokumen Laudato Si menjadi rujukan bagi orang muda katolik.

Dokumen Laudoto Si adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015.

Dokumen yang dikeluarkan oleh Sri Paus ini sebagai dorongan kepada masyarakat dunia untuk melihat masalah lingkungan hidup sebagai masalah bersama, masalah yang membutuhkan perhatian dan tindakan.

Sri Paus mengajak seluruh komponen masyarakat dunia untuk melihat krisis lingkungan sebagai krisis Iman akan kepedulian terhadap lingkungan hidup.

Salah satu penyebabnya adalah sampah yang tidak dapat diolah secara profesional. Masalah sampah memang menjadi masalah global, regional, dan lokal.

Masalah sampah tidak saja menjadi keprihatinan dunia tetapi juga menjadi keprihatinan Gereja dewasa ini. Keprihatianan Gereja ini tertuang dalam dokumen Laudato Si.

Dokumen ini dikeluarkan sebagai bentuk seruan keprihatinan Bapa Suci terhadap situasi dunia sekarang.

Seruan ini ditujukan kepada aktivitas manusia zaman sekarang yang melakukan berbagai kegiatan produksi tanpa melihat dampaknya terhadap penumpukan sampah.

Penumpukan sampah yang dihasilkan dari berbagai produksi ini akan mempengaruhi seluruh komponen di dalam lingkungan hidup.

Melalui dokumen ini, Paus menyerukan agar aktivitas manusia yang dapat menghasilkan sampah harus dikendalikan dan diperhatikan secara seksama.

Keprihatinan serupa sudah jauh sebelumnya diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II.

Di dalam dokumen Church of Asia yang ditulis tahun 1999, Paus Yohanes Paulus II menyerukan keprihatinan berkaitan dengan situasi kehidupan yang terjadi di wilayah Asia.

Dia menyerukan agar negara-negara di Benua Asia selalu memperhatikan kondisi keutuhan lingkungan hidup dalam proses pembangunan.

Dia mengharapkan agar pembangunan harus bersifat jangka panjang dan ramah lingkungan agar dapat dirasakan oleh para generasi selanjutnya.

Seruan ini didasarkan aktivitas negara-negara Benua Asia yang kurang memperhatikan keutuhanan lingkungan hidup dalam memproduksi barang guna menunjang kebutuhan dan kestabilan ekonomi negara.

Persoalan sampah membutuhkan tanggung jawab yang besar dari semua komponen.

Gereja sebagai salah satu komponen masyarakat dunia memiliki tanggungjawab tersendiri di dalam menangani masalah sampah.

Salah satu komponen penting dalam Gereja adalah Orang muda katolik. Kehadiran Orang muda katolik dalam menangani masalah sampah merupakan representasi Gereja ke tengah dunia dalam upaya menyelamatkan masyarakat dunia dari persoalan sampah.

Selain sebagai representasi Gereja, keterlibatan Orang muda katolik dalam menangani masalah sampah yang ada juga dilihat sebagai sebuah tindakan iman Kristiani yang berdimensi sosial.

Di dalam dokumen Laudato Si, artikel 22 sampah merupakan hasil limbah dari produksi manusia dalam dunia perindustrian.

Sampah menjadi bahan yang sudah tidak dipakai atau digunakan lagi sebagai kebutuhan hidup manusia.

Sampah adalah barang yang dibuang secara bebas di lingkungan hidup tanpa memperhatikan dampaknya.

Pembuangan sampah secara bebasa di lingkungan ini dikarenakan budaya membuang pada masyarakat yang semakin tinggi serta kepedulian masyarakat terhadap keutuhan lingkungan hidup sangat rendah.

Semenjak perubahan drastis dalam tata kelola perindutrian, sebagian besar penduduk dunia yang menghasilkan dan membuang sampah tanpa diolah untuk menjadi sesuatu yang berguna untuk kepentingan hidupnya.

Persoalan utama ekologi saat ini memiliki efek luas dan mendalam bagi manusia umumnya dan Gereja Katolik Flores khususnya. Efek tersebut berciri paradoksal. Artinya, disatu pihak terjadi akumulasi kekayaan pada manusia, yang berarti peningkatan kemakmuran ekonomi berkat kemampuan manusia mengolah alam; tetapi di lain pihak, pengolahan alam secara eksploitatif telah menyebabkan pemiskinan, pelanggaran HAM, kekerasan, dan kerusakan alam luar biasa dan tak terpulihkan. Kerusakan ekologi akibat eksploitasi demi memperoleh kekayaan merupakan wujud ketamakan manusia serta bukti kelekatan manusia pada semangat konsumerisme.

Di daerah Manggarai misalnya, telah terjadi eksploitasi alam secara masif dan sistemik yang disebabkan oleh masuknya industri pertambangan. Selain kerusakan alam yang terjadi, klaim politik juga amat kentara ditampilkan oleh segelintir penguasa tamak yang mengakibatkan keresahan publik. Dua hal ini perlu dikritisi oleh Gereja sebagai tumpuan iman serta harapan umat. Pelbagai fakta telah menunjukkan betapa lingkungan hidup itu membutuhkan perlindungan, sebab di kalangan horizontal masyarakat sekarang telah terjadi fenomena ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah. Titik tolak rasa tidak puas itu adalah karena kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil, tetapi justru memberi peluang kepada para investor pertambangan untuk mengeruk bumi yang secara langsung merugikan manusia.

Bagaimana Gereja berperan? Gereja pada dirinya sendiri mempunyai misi untuk membangun, memelihara dan menyempurnakan lingkungan yang dianugerahkan Allah. Dalam konteks misi, kita harus membuat suatu agenda baru untuk menggerakkan misi di dunia modern, karena berkhotbah dan menyuarakan seruan profetis saat ini perlu dikaitkan dengan isu sosial atau lingkungan hidup. Gereja yang tidak memberikan respon terhadap perkembangan zaman pada dasarnya adalah Gereja yang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Justru misi Gereja Katolik di dunia sekarang ini adalah berani melakukan tindakan nyata dengan menghadirkan Tuhan.

Kerajaan Allah yang tampak adalah kerajaan Allah yang berani bertindak, bukan hanya berkata-kata. Tindakan itu pun selalu berlandaskan kasih dan bukan atas dasar iming-iming kekuasaan demi akumulasi kekayaan sebagaimana yang terjadi di pelbagai tempat di Flores ini. Dari hasil pembacaan saya dari media informasi, baik cetak maupun elektronik, ada beberapa hal yang dilakukan sebagai implikasi praktis Gereja Katolik Flores dalam memperjuangkan keutuhan ekologi sebagai berikut.

Membangun Kerja Sama dengan Pemerintah

Upaya membangun kerja sama dapat terwujud dalam hal saling mendukung program. Program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah diupayakan agar diikuti oleh Gereja, sejauh itu masih berada dalam koridor yang benar. Artinya, program pemerintah itu tidak sama sekali kontradiktif dengan misi Gereja yang telah lama digerakkan. Contohnya adalah bahu-membahu menolak tindakan-tindakan ketidakadilan sebagaimana yang telah dilakukan selama ini di daerah Flores-Lembata terlebih khusus Manggarai serta di daerah Lembata dan daerah Larantuka yakni bersama-sama menolak pertambangan. Upaya ini berjalan dengan baik, tetapi belum dipraktikkan di semua daerah.

Bekerja Sama dengan Pemeluk Agama Lain

Upaya ini adalah konkretisasi dari semangat dialog antaragama. Dialog antaragama dalam hal ini dialog karya. Dialog karya ini adalah sarana yang barangkali mencakup semangat misi dari kepercayaan masing-masing, yang menjunjung tinggi keutuhan alam. Gerakan dibangun sebagai ungkapan solidaritas sekaligus sarana menyatukan perbedaan yang selama ini rawan mengakibatkan konflik.

Bekerja Sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat

Model pergerakan LSM adalah dinamis dan kreatif. Maka keterlibatan Gereja, selain memberi nuansa baru tetapi juga menimba semangat LSM yang mempunyai misi sendiri yang barangkali lebih praktis dan terbuka. Kerja sama ini memungkinkan kedua lembaga ini terbuka dan programnya lebih terorganisasi, sistematis dan tepat sasar. Contoh: hari, bulan atau tahun-tahun perayaan khusus yang berkaitan dengan lingkungan hidup dikemas dalam sebuah acara yang membangkitkan semangat “berekologi” bagi semua orang, khususnya umat Katolik. Misalnya tanggal 5 Juni adalah hari lingkungan hidup sedunia.

Pembinaan tentang Kesadaran Ekologis.

Pembinaan ini merupakan upaya Gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan katekese bersama yang khusus mendalami tema-tema yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Katekese itu harus diwujudnyatakan dalam keseharian hidup jemaat dengan mengajak anggota jemaat membudayakan gaya hidup yang ramah dan dekat dengan alam, misalnya dengan memisahkan sampah organik dan non organik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan menanam tanam-tanaman bunga dan pohon.

Upaya-upaya kerja sama yang dilakukan Gereja ini, tentu bukan jaminan utama untuk mewujudkan lingkungan hidup yang utuh. Pada dasarnya, upaya dari dalam diri Gereja sendiri sangat penting. Peran Gereja tidak terbatas pada tataran elit, tidak dimanipulasi oleh kajian-kajian teoretis berupa dogma, dan lain sebagainya, tetapi termanifestasi dalam tindakan konkret dan tepat sasar. Peran kesadaran dan kepekaan adalah sebuah nilai yang barangkali mengatasi semua upaya. Gereja yang sadar, peka dan responsif adalah dia yang mau secara ikhlas menghadirkan kerajaan Allah bagi umat manusia di dunia.

Dalam konteks Flores NTT, kerusakan alam yang terjadi pertama-tama dilakukan atas dasar ketamakan, keegoisan dan ketidakpekaan terhadap realitas lingkungan di sekitar. Autokritik mesti dilakukan oleh Gereja sendiri sebelum dia bersuara dan bertindak ke luar. Gereja berperan karena mempunyai misi yang jelas yakni menjadi tanda dan saksi kerajaan Allah. Nah, perjuangan sekarang adalah bagaimana misi itu dipadukan dengan mentalitas konsumerisme, egoisme, hedonisme dan apatis.

 

 

c. Pemaparan singkat Ensiklik Laudato Si dari Paus Paus Fransiskus, sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian sangat mendalam Gereja tentang perawatan bumi sebagai rumah kita bersama

Lahirnya ensiklik ini tentu berakar pada inspirasi hidup St.Fransiskus dari Asisi. Paus Fransiskus menulis, “saya percaya bahwa Santo Fransiskus adalah contoh unggul dalam melindungi yang rentan dan dalam suatu ekologi integral, yang dihayati dengan gembira dan autentik. Dia adalah santo pelindung semua orang yang mempelajari dan bekerja di bidang ekologi, juga dicintai orang non-Kristiani. Dia telah menunjukkan kepeduliaan khusus kepada ciptaan Allah, dan kaum miskin, serta mereka yang tersisihkan. Dia mengasihi dan sangat dikasihi oleh kegembiraan, pemberian dirinya yang murah hati, dan keterbukaan hatinya. Dia adalah seorang mistikus dan peziarah, yang hidup dalam kesederhanaan dan keselarasan yang indah dengan Allah, dengan orang lain, dengan alam, dan dengan dirinya sendiri. St. Fransiskus menunjukkan kepada kita, betapa tak terpisahkan ikatan antara kepeduliaan akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat dan kedamaian batin (Paus Fransiskus, 2015). Sesungguhnya, dengan hidup dan teladan St. Fransiskus Asisi sebagaimana diuraikan oleh Paus Fransiskus yang adalah seorang Paus Serikat Yesus (SJ) pertama yang memilih dan memakai nama pelindung “Fransiskus” hendak memperlihatkan kualitas hidup St. Fransiskus Asisi di satu sisi, namun di lain sisi menggarisbawahi kedosaan manusia yang merusak hubungan empat rangkap yakni dosa terhadap diri sendiri, dengan alam, dengan sesama dan dengan Allah.

Selain itu ensiklik Laudato Si adalah sebuah seruan dan ajakan kenabian bagi umat Katolik pada khususnya dan umat manusia pada umumya. Utamanya untuk mengupayakan dunia yang lebih bersahabat. Salah satu ajakan profetis Paus Fransiskus misalnya dia mengetengahkan kenyataan dunia saat ini. Menurutnya, “kini dihadapkan dengan kerusakan lingkungan global, saya ingin menyapa setiap orang yang hidup di planet ini. Dalam ensiklik ini, saya ingin berdialog dengan semua orang tentang Bumi rumah kita bersama (Paus Fransiskus, 2015). Indikator lain dari besarnya perubahan iklim adalah pemanasan global, juga menipisnya sumber daya alam. Ketersediaan air menjadi persoalan serius, permintaan melampaui pasokan. Selain itu kualitas air berkurang, namun praktek privatisasi sumber daya alam yang terbatas ini semakin besar. Akses ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan universal, karena sangat menentukan untuk kelangsungan hidup manusia dan dengan demikian merupakan syarat untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya (Paus Fransiskus, 2015). Namun, hal inipun tidak diindahkan para perusak alam, para kapitalis, para konglomerat, para borjuis

Merawat rumah bumi bersama merupakan ajakan gembala bagi keberlanjutan tata ciptaan dunia. Dalam ensikliknya, Paus menegaskan, “Untuk menghapus sebab-sebab struktural dari salah-langkah ekonomi dunia dan mengoreksi model pertumbuhan yang ternyata tidak mampu menjamin penghormatan terhadap lingkungan.” Ia mengingatkan kita bahwa dunia tidak dapat dianalisis dengan mengisolasi hanya satu aspek, karena “kitab alam adalah satu dan tak terpecahkan”, dan mencakup lingkungan, hidup, seksualitas, keluarga, hubungan sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, “kerusakan alam sangat terkait dengan budaya yang membentuk koeksistensi manusia (Paus Fransiskus, 2015). Semua mahkluk adalah saudari, demikian Paus Fransiskus menggambarkan keluhuran hati St. Fransiskus Asisi. Dia berkomunikasi dengan semua ciptaan, bahkan berkotbah kepada bunga-bunga, mengajak mereka untuk memuji Tuhan, seolah-olah mereka dikaruniai akal budi (Paus Fransiskus, 2015). Bentuk komunikasi yang tetap mengatasi adalah membangun dialog baru. Melibatkan banyak orang, masing-masing dengan budaya, kemampuannya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri.

 

2. Gereja Katolik, terutama oleh kaum awam Katolik, menyadari dan mengakui kewajibannya untuk terlibat dalam urusan dunia, peduli terhadap negara dan bangsanya, khususnya dalam hal ini secara praktis dalam bidang politik.

a. Bentuk-bentuk keterlibatan Gereja Katolik dalam bidang politik di Indonesia berkaitan dengan Pancasila, Pemilu dan politik

Sejak lama Gereja Katolik yakin bahwa imannya mempunyai relevansi sosial. Allah yang diimani, ditanggapi dalam situasi kultural dan situasi politik yang konret. Karena itu Gereja tidak lagi dilihat sebagai suatu institusi yang sosial yang terisolir, melainkan bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan masyarakat pada umumnya. Maka Gereja adalah pengalaman hidup manusia dalam kegembiraan, sukacita, harapan, serta duka dan kecemasan hidup manusia sehari-hari. Saat ini Gereja Katolik Indonesia menemukan keprihatinan sosial yang sedang melanda kehidupan Bangsa Indonesia. Keprihatinan itu berkaitan dengan krisis moral di ranah publik. Betapa tidak, para wakil rakyat  dan para politisi tidak lagi memperjuangkan kepentingan banyak orang tetapi sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.

Korupsi berlangsung secara sporadis di hampir seluruh level pemerintahan mulai dari pengurusan KTP di kelurahan, pengurusan Izin mengemudi, hingga pembayaran pajak. Penegak hukum tidak berjalan adil sehingga rakyat merasakan adanya jurang ketidakadilan antara penguasa dan orang kebanyakan. Prilaku korupsi dan ketidakadilan sosial seolah menjadi warna yang wajar dalam setiap alur birokrasi di Indonesia. Dalam situasi semacam ini banyak orang menghindari politik karena dianggap sebagai medan yang kotor, licik dan penuh intrik dan persaingan untuk memperebut kekuasaan. Politik dilihat sebagai sarana bagi penguasa untuk menindas rakyat. Dalam politik para penguasa mempunyai kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan dalih demi kepentingan rakyat.[1]

Berhadapan dengan masalah sosial ini Gereja Katolik Indonesia tidak pernah mundur dari komitmennya terhadap politik. Gereja katolik Indonesia tidak kehilangan sikap kritis-profetisnya terutama terhadap persoalan korupsi. Sidang KWI 2016 mengambil topik” Membedah, Mencegah Mentalitas Serta Prilaku koruptif”. Dalam sidang itu ditemukan bahwa prilaku koruptif telah begitu merusak dan menggerogoti kehidupan masyarakat dan terjadi di mana-mana baik di dunia bisnis, pemerintahan, lembaga  negara bahkan institusi agama termasuk Gereja.

Korupsi dalam segala bentuknya telah menjadi kejahatan yang sistemik, terstruktur, dinamis dari pusat sampai ke daerah.[2] Nota Pastoral KWI tahun 2004 sudah memandang masalah yang semakin serius itu sebagai hancurnya keadaban publik. Nota pastoral ini menjadi titik tolak perumusan SAGKI 2015, “Bangkitlah dan Bergeraklah Gereja Membangun Keadaban Publik Baru Bangsa”.[3] Artinya para uskup yang bergabung dengan KWI terus menerus berupaya melakukan penginjilan secara integral dan menyeluruh berdasarkan situasi, persoalan dan kebutuhan lokal Indonesia.[4] Penemuan pokok-pokok keprihatinan itu menuntut suatu tindakan profetis, etis dan praktis berdasarkan nilai-nilai injili seperti cinta kasih, kedamaian, keadilan, pelayanan dan kesejahteraan bersama. Hal ini sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art. 75, “Hendaknya segenap umat Katolik menyadari panggilan mereka yang khas dalam negara. Di situlah dipancarkan teladan mereka yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan bersama”[5]. Dalam konteks Indonesia, peran umat Katolik diperlukan untuk mengawal dihormatinya prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebab meskipun Indonesia merupakan negara yang percaya kepada Tuhan tetapi dalam pelaksanaannya tetap tidak selaras. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada momen tertentu direduksi pada paham-paham pembelaan agama.[6] Maka Gereja katolik Indonesia harus terus menerus berdialog dengan semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural dalam rangka merealisir konsep Indonesia sebagai satu rumah yang adil dan sejahtera.[7]

            Sejarah gerakan politik Gereja Katolik Indonesia pun mengalami bahwa sejak awal perjuangan Kemerdekaan Indonesia, orang katolik juga ikut terlibat secara aktif. Keterlibatan itu bukan hanya umat awam katolik tetapi juga religius bahkan pemimpin Gereja, seperti Mgr. Soegijapranata, Laksamana Muda Jos Sudarso, Kolonel Ignatius Slamet Riayadi yang terlibat secara langsung dalam dunia politik Indonesia. Salah satu dasar keterlibatan mereka adalah keyakinan bahwa politik adalah “panggilan suci”. Prinsip ini dihayati oleh I. J. Kasimus, seorang tokoh katolik yang meyakini politik sebagai panggilan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Maka arah politik katolik mengarah dan berpegang teguh pada kepentingan  umum dan keberpihakan pada orang kecil, terlantar dan tersingkir sebagai bentuk perwujudan iman kristiani dalam ranah politik.[8] Dengan demikian terbentuklah suatu pembentukan negara yang menghormati hak asasi manusia dalam semangat solidaritas sejati yang ditandai oleh suatu kehidupan masyarakat yang majemuk, yang bebas, dinamis dan berwawasan kebangsaan di mana tercipta rasa aman lahir dan batin dalam hidup bersama.[9] Inilah panggilan umat katolik untuk menjadi instrumen cinta, perdamaian dan persahabatan di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebab nasib dan hidup masyarakat Indonesia ditentukan dan diukur oleh apa yang dilakukan oleh umat katolik terhadap sesama, terutama yang kecil, lemah dan terpingirkan (bdk. Luk. 4: 18).

Untuk mewujudkan panggilan tersebut umat katolik perlu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial politik dengan memperluas dan memperdalam pemahaman tentang perkembangan kehidupan politik di tanah air dalam perpaduan dengan iman kristiani dan wawasan kebangsaan. Selain itu mendorong partisipasi yang lebih luas dan aktif dalam kehidupan sosial politik bersama dengan golongan agama lain demi persatuan bangsa Indonesia dan kesejahteraan umum (bonum commune).

Keterlibatan Gereja dalam dunia politik berakar dalam panggilan dan tugas suci Gereja untuk menjadi terang dan garam dunia, dengan mempromosikan moral politik yang benar yaitu politik yang mengupayakan keadilan, kebaikan dan kesejahteraan bersama serta perjuangan terhadap hak asasi manusia. Panggilan dasar ini menjadi tugas tak terbantahkan bagi setiap orang yang mengakui dirinya sebagai murid Kristus. Sebagai murid Kristus, semua umat katolik dipanggil untuk mewujudkan tata dunia baru, yang ditandai dengan keterlibatan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan dari politik. Karena itu orang katolik diharapkan sadar bahwa misi mereka bukan hanya untuk menciptakan tata pemerintahan yang sekedar manusiawi, tetapi juga membantu Allah mewujudkan tata dunia baru yang dipenuhi semangat dan keutamaan Injil.

 Saat ini Gereja Katolik Indonesia ditantang untuk menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaan kristiani seperti solidaritas, kerja keras, murah hati, kejujuran dll. Nilai-nilai ini penting karena iman bukan lagi urusan privat tetapi berdaya sapa dan berdaya ubah bagi orang lain. Berhadapan tuntutan ini, Gereja berpolitik meneladani Yesus yang datang ke dunia untuk membawa damai bagi semua umat manusia. Kedatangan-Nya tidak hanya mendamaikan manusia dengan Allah tetapi juga mendamaikan manusia dengan yang lain. Dalam konteks ini umat katolik dipanggil untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, dan persatuan bangsa dengan ikut serta menjauhkan ketegangan dan perpecahan.

Akhirnya keberhasilan Gereja Katolik Indonesia menjadi terang dan garam dunia diukur dari usaha dan perjuangan memberi jaminan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tetap dipertahankan sebagai dasar negara dan tetap menjadi acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi para aktivis politik katolik di negeri ini agar semakin sadar bahwa tugas mereka mulia yakni menjadi sarana penebusan Allah sehingga sikap dan prilaku mereka juga menampakkan sikap sebagai rekan sekerja Allah yang hadir dan bekerja dalam situasi masyarakat zaman ini.

 

b. Bentuk-bentuk keterlibatan kaum awam dalam bidang politik praktis di Indonesia, dan sejauhmana mereka memainkan peran menghadirkan wajah Gereja di tengahtengah masyarakat.

Politik merupakan medan perutusan kaum awam. 2 Maka mereka diajak untuk ikut berperan di dalam politik. Pada bidang itulah kaum awam memiliki peranan yang sangat khas. Mereka memiliki hak dan kewajiban seperti warga lainnya. Mereka juga memiliki hak-kewajiban di bidang politik guna memperjuangkan kesejahteraan di masyarakat. Keterlibatan sebagai pengurus dukuh dan desa adalah bagian dari keterlibatan awam di bidang ini. Merekalah yang secara langsung bersinggungan dengan masyarakat.

Kaum awam terkumpul dalam satu himpunan umat Allah berkat baptisan yang telah mereka terima. Lewat pembaptisan mereka dimasukkan ke dalam tubuh Gereja. lewat pembaptisan, mereka dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah. Berkat sakramen penguatan, mereka semakin diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela iman sebagai saksi Kristus yang sejati, dengan perkataan maupun perbuatan. Kemudian setelah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkret menampilkan kesatuan umat Allah (LG 11).

Kaum awam mengemban “tri tugas Kristus” berkat sakramen yang telah mereka terima untuk menguduskan (imamat), mewartakan (kenabian) dan memimpin (rajawi). Ketiga tugas tersebut mereka jalankan di tengah lingkungan umat, masyarakat (dunia).69 Kaum awam merupakan umat Allah dengan “satu Tuhan, satu iman, satu baptis” (Ef 4:5). Di situlah kaum awam mengerjakan tugas misi Gereja. Sebagai anggota umat Allah, kaum awam memiliki hak dan kewajiban untuk turut serta dalam menjalankan tugas dan misi Gereja, Umat Allah. Dijiwai oleh Roh Kudus, kaum awam menjalankan profesi mereka sehari-hari, entah sebagai pejabat di pemerintahan, guru, teknisi, wartawan, pedagang dan sebagainya dalam semangat kristiani. Dalam semangat yang sama pula, kaum awam yang menjalankan profesinya sehari-hari secara de facto juga sudah dikatakan menjalankan karya misioner Gereja.70 Dalam tugas keseharian yang dijiwai semangat kristiani, kaum awam menjalankan kerasulan awam yakni usaha kaum awam yang melaksanakan panggilan dan profesi mereka yang duniawi dalam semangat kristiani. Kaum awam dengan caranya yang khas menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia.

Konsili Vatikan II menegaskan bahwa tanggung jawab politik merupakan bagian dari perutusan para rasul dan para pengganti mereka “guna mewartakan Kristus penebus dunia kepada masyarakat”.71 Gereja juga mengajak kaum mudanya untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan politiknya bagi kepentingan manusia (GS 42).72 Keterlibatan di dalam dunia politik disadari Gereja sebagai panggilan yang khas kaum awam di dalam kehidupan bernegara.73 Menyadari hal ini sebagai panggilan yang khas, Gereja pun memberi seruan kepada kaum awam kepada umat beriman agar mampu memancarkan keteladanan untuk mengabdikan diri pada kesejahteraan bersama.74 Gereja menekankan bahwa kesejahteraan umum adalah tujuan utama dari pengabdian umat beriman di dalam kehidupan bernegara.

Refleksi Teologis Atas Keterlibatan Politis Kaum Awam Di Tengah Masyarakat

Keterlibatan politik orang Katolik didasarkan atas inti pewartaan iman Kristiani yakni pewartaan akan kabar pembebasan di dalam diri Yesus Kristus yang akan memperoleh pemenuhannya saat kedatangan-Nya kembali. Penghayatan Injil masuk dan menyatu di dalam situasi nyata tersebut.76 Melalui pembebasan tersebut, martabat manusia dipulihkan, manusia dipanggil dalam persekutuan dengan Allah dan sesama.

Cinta Allah kepada manusia membawa konsekuensi kepada manusia untuk menaruh cinta kepada sesamanya. Umat Katolik memiliki tanggung jawab terhadap kebebasan dan keselamatan sesamanya dan untuk memperhatikan kebutuhan sesamanya.77 Menjadi orang Katolik dengan demikian menjadi orang yang terlibat pula. Keterlibatan tersebut memiliki dimensi politik.78 Keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus harus diwartakan pula kepada sesama terutama dengan teladan hidup dan tindakan kita, supaya Kerajaan Allah semakin terwujud di tengah masyarakat. Iman memberi inspirasi kita untuk mengabdi kepada sesama dan masyarakat.

Kaum beriman menerima salib dengan bersikap peduli dengan orang-orang yang menderita.79 Di tengah masyarakat yang terbuang, tertindas dan dirampas hak-haknya, Kristus menantikan para murid-Nya untuk mewartakan pembebasan.80 Allah senantiasa menyampaikan rencana ilahi dalam peristiwa yang aktual di tengah masyarakat. Pewartaan Kerajaan yang menjadi tujuan utama kedatangan Yesus di tengah dunia merupakan jalan Yesus guna menyampaikan rencana ilahi dalam peristiwa aktual di tengah masyarakat.

Peristiwa salib memberikan makna politis. Kehadiran Allah tidak ditampakkan sebagai sosok penguasa kerajaan. Allah hadir justru di dalam ketidakberdayaan. Keterlibatan yang ditampakkan Allah melalui Kristus menjadi pendorong bagi manusia untuk bersikap terbuka terhadap sesamanya. Kristus tidak menderita bagi diri-Nya sendiri tetapi bagi segenap umat manusia. Dengan merasakan penderitaan, manusia dimampukan untuk terlibat dalam penderitaan sesamanya. Keterlibatan untuk orang lain inilah yang mampu membendung sikap apatis di tengah masyarakat dan penderitaan Kristus tetap menjadi sesuatu yang berarti bagi kita saat ini.

Kebenaran iman terlihat di dalam usah seseorang untuk mendorong inisiatif-inisiatif perubahan dalam masyarakat. Pemahaman J. B. Metz tentang politik di dalam teologi politik adalah sebagai “keseluruhan konstruksi pengetahuan, sistem nilai dan tatanan masyarakat yang menentukan hidup bersama manusia.” Teologi menurut pandangan Metz harus menjadi teologi yang berorientasi ke masa depan, sekaligus bersifat kritis terhadap masa sekarang. Dalam hal ini teologi menjadi berdimensi eskatologis. Warta eskatologis tersebut hendak menyingkapkan keharusan berubah dari masyarakat itu sendiri. Orang beriman merupakan orang yang menghidupi janji – janji Allah dan hidup menurut janji tersebut. Iman harus memiliki arti dalam hidup di tengah masyarakat. Iman juga harus operatifaktif bukan hanya kontemplatif teoritis. Orang beriman harus bersikap kristis – dialektis terhadap zaman sekarang.

Keterlibatan kaum awam di bidang pemerintahan desa, baik sebagai kepala desa maupun Kepala Dukuh, merupakan bagian dari keikutsertaan di bidang politik. Suatu tindakan politik tidak perlu diidentikkan dengan kegiatan di partai politik yang kemudian bermuara sebagai wakil rakyat di DPR atau DPRD. Keterlibatan politik tersebut merupakan bagian dari tindakan yang memunculkan pencerahan bagi usaha-usaha mewujudkan kepentingan bersama.

Setelah melakukan refleksi teologis penulis merasa perlu mengemukakan beberapa usulan pastoral. 1.Mendorong Kaum Muda Setempat Untuk Terlibat

 Kegiatan di desa diharap mendorong kaum muda untuk mau terlibat di dalam organisasi umum seperti Karang Taruna. Di situlah mereka dapat belajar berorganisasi, mengembangkan sikap kritis terhadap lingkungannya, dan mengaktualkan semangat nasionalisme serta kepekaan sosial.

2.Menghidupkan Kerjasama

Baik pemerintah desa maupun pemerintah di pedukuhan perlu mengembangkan kerjasama dan jejaring dengan Gereja ataupun pihak lainnya yang mampu meningkatkan kualitas kepemimpinan serta sumber daya manusia di wilayahnya. Program pemerintah dan program Gereja dapat disinergikan. Gereja pun akan semakin memiliki banyak rekan di dalam membangun kerja sama.

3.Forum Komunikasi dan Kunjungan

Perlu diadakan Forum komunikasi yang dapat menjadi jembatan antara warga masyarakat dan pemerintah setempat. Lewat forum tersebut pemerintah dapat mengetahui permasalahan nyata yang sedang dialami warganya.

4.Pelatihan Bagi Kepala Dukuh Dan Pejabat Lainnya

Para pemimpin, baik Kepala dukuh maupun desa, diharapkan terampil dalam menguasai perkembangan tersebut sehingga tidak semakin tertinggal dengan masyarakat yang dilayaninya, misalnya mengadakan pelatihan komputer.

5.Pastor Paroki lebih Menyapa Umat

Seorang pastor berperan besar dalam menunjukkan mana yang boleh dan tidak di dalam masyarakat. Seorang pastor juga berperan di dalam menunjukkan kaitan iman dan tanggung jawab di tengah masyarakat.

6.Pembinaan Rohani

Para imam diharap memberikan dukungan lewat pendampingan rohani kepada kaum awam yang terlibat di dalam pemerintahan, agar kaum awam memperoleh kesadaran bahwa tanggung jawab yang mereka jalani merupakan panggilan dan perutusan. Pendampingan rohani itu dapat dilakukan lewat retret atau rekoleksi khusus bagi para pejabat pemerintahan desa termasuk para Kepala Dukuh. Bantuan itu dapat juga berupa siraman rohani, acara natalan atau paskahan bersama.



[1] Ola Rongan Wihelmus, Op. Cit., hlm. 189.

[2] “Seruan Pastoral KWI 2016” dalam Pertemuan Tahunan Keuskupan Malang XLII, Malang 21-24 November 2016., hlm. 1.

[3] Philips Tansdilintin, Pembinaan Generasi Muda (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 42.

[4] Ola Rongan Wihelmus, Op. Cit., hlm. 187.

[5] “Konstitusi Pastoral Tentang Gereja dan Dunia dewasa Ini” (GS), Op. Cit., hlm. 626.

[6] Armada Riyanto, CM, Katoliksitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 194.

[7] Ola Rongan Wihelmus, Loc. Cit.

[8] Paulus Yan Olla, MSF, Op. Cit., hlm.  66.

[9] YR. Edy Poerwanto, Op. Cit, hlm. 35-36.



Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama