1.
Gereja Katolik memiliki pemahaman dan pengakuan sangat mendalam tentang
pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Dari berbagai teori etika lingkungan
hidup, ekoteologi memuat kesimpulan sangat mendasar tentang keharusan bagi
manusia untuk menghargai dan melestarikan lingkungan hidup, bukan saja karena
alam ini merupakan jantung kehidupan kita, tempat kita bergantung hidup,
melainkan terutama karena nilai intrinsic, dimensi keilahian yang terkandung di
dalamnya, yang bersumberkan dari keilahian Sang Pencipta sendiri.
a. Klasifikasi bentuk kepedulian
Gereja Katolik terhadap Pembangunan dan Ekologi
1. Pembinaan tentang
Kesadaran Ekologis
Pembinaan ini merupakan
upaya gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang
harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Misalnya dalam PA atau
pembinaan khusus dan tema-tema kebaktian.
2. Perayaan Lingkungan
Hidup dalam Liturgi
Misalnya membuat ibadah
khusus untuk merayakan Hari Lingkungan Hidup. Dalam ibadah, ada baiknya kita
melakukan penyesalan dosa yang dilakukan terhadap alam semesta karena ulah
manusia yang telah merusak alam. Penting juga untuk menciptakan dan menyanyikan
lagu-lagu rohani yang bertemakan alam.
3. Menyuarakan Suara
Kenabian terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup
Gereja perlu
menyuarakan kritik atau memberikan masukan-masukan bagi masyarakat atau pun
pemerintah terkait dengan upaya melestarikan lingkungan hidup.
4. Menata Lingkungan
Gereja dengan Memerhatikan Keseimbangan Ekologis.
Misalnya jangan
habiskan tanah untuk mendirikan bangunan, tapi berikan ruang untuk
tanam-tanaman. Kita bisa membangun lingkungan gereja yang hijau dan asri.
5. Gerakan Penanaman
Pohon bagi Seluruh Warga Gereja
6. Mengajak Anggota
Jemaat Membudayakan Gaya Hidup yang Ramah dan Dekat dengan Alam.
Misalnya dengan
memisahkan sampah plastik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau
dengan tanam-tanaman.
7. Membangun Kerja Sama
dengan Lembaga atau Kelompok Pencinta Alam.
Misalnya WALHI, untuk
memperjuangkan pembangunan yang berwawasan ekologis.
b. Contoh Sikap Gereja Katolik dalam menyikapi krisis
ekologis seperti air berkualitas dan penggunaan plastik
Salah satu
masalah yang dihadapi dunia saat ini adalah berkaitan krisis lingkungan.
Lingkungan hidup semakin
terancam keutuhannya. dokumen Laudato Si menjadi rujukan bagi orang
muda katolik.
Dokumen Laudoto Si
adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015.
Dokumen yang
dikeluarkan oleh Sri Paus ini sebagai dorongan kepada masyarakat dunia untuk
melihat masalah lingkungan hidup sebagai masalah bersama, masalah yang membutuhkan
perhatian dan tindakan.
Sri Paus mengajak seluruh
komponen masyarakat dunia untuk melihat krisis lingkungan sebagai krisis Iman
akan kepedulian terhadap lingkungan hidup.
Salah satu penyebabnya
adalah sampah yang tidak dapat diolah secara profesional. Masalah
sampah memang menjadi masalah global, regional, dan lokal.
Masalah sampah tidak
saja menjadi keprihatinan dunia tetapi juga menjadi keprihatinan Gereja dewasa
ini. Keprihatianan Gereja ini tertuang dalam dokumen Laudato Si.
Dokumen ini dikeluarkan
sebagai bentuk seruan keprihatinan Bapa Suci terhadap situasi dunia sekarang.
Seruan ini ditujukan
kepada aktivitas manusia zaman sekarang yang melakukan berbagai kegiatan
produksi tanpa melihat dampaknya terhadap penumpukan sampah.
Penumpukan sampah yang
dihasilkan dari berbagai produksi ini akan mempengaruhi seluruh komponen di
dalam lingkungan hidup.
Melalui dokumen ini,
Paus menyerukan agar aktivitas manusia yang dapat menghasilkan sampah harus
dikendalikan dan diperhatikan secara seksama.
Keprihatinan serupa
sudah jauh sebelumnya diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II.
Di dalam dokumen Church
of Asia yang ditulis tahun 1999, Paus Yohanes Paulus II menyerukan keprihatinan
berkaitan dengan situasi kehidupan yang terjadi di wilayah Asia.
Dia menyerukan agar
negara-negara di Benua Asia selalu memperhatikan kondisi keutuhan lingkungan
hidup dalam proses pembangunan.
Dia mengharapkan agar
pembangunan harus bersifat jangka panjang dan ramah lingkungan agar dapat
dirasakan oleh para generasi selanjutnya.
Seruan ini didasarkan
aktivitas negara-negara Benua Asia yang kurang memperhatikan keutuhanan
lingkungan hidup dalam memproduksi barang guna menunjang kebutuhan dan
kestabilan ekonomi negara.
Persoalan sampah membutuhkan
tanggung jawab yang besar dari semua komponen.
Gereja sebagai salah
satu komponen masyarakat dunia memiliki tanggungjawab tersendiri di dalam
menangani masalah sampah.
Salah satu komponen
penting dalam Gereja adalah Orang muda katolik. Kehadiran Orang muda katolik
dalam menangani masalah sampah merupakan representasi Gereja ke tengah dunia
dalam upaya menyelamatkan masyarakat dunia dari persoalan sampah.
Selain sebagai
representasi Gereja, keterlibatan Orang muda katolik dalam menangani masalah
sampah yang ada juga dilihat sebagai sebuah tindakan iman Kristiani yang
berdimensi sosial.
Di dalam dokumen Laudato
Si, artikel 22 sampah merupakan hasil limbah dari produksi manusia dalam dunia
perindustrian.
Sampah menjadi bahan
yang sudah tidak dipakai atau digunakan lagi sebagai kebutuhan hidup manusia.
Sampah adalah barang
yang dibuang secara bebas di lingkungan hidup tanpa memperhatikan dampaknya.
Pembuangan sampah
secara bebasa di lingkungan ini dikarenakan budaya membuang pada masyarakat
yang semakin tinggi serta kepedulian masyarakat terhadap keutuhan lingkungan
hidup sangat rendah.
Semenjak perubahan
drastis dalam tata kelola perindutrian, sebagian besar penduduk dunia yang
menghasilkan dan membuang sampah tanpa diolah untuk menjadi sesuatu yang
berguna untuk kepentingan hidupnya.
Persoalan utama ekologi
saat ini memiliki efek luas dan mendalam bagi manusia umumnya dan Gereja
Katolik Flores khususnya. Efek tersebut berciri paradoksal. Artinya, disatu
pihak terjadi akumulasi kekayaan pada manusia, yang berarti peningkatan
kemakmuran ekonomi berkat kemampuan manusia mengolah alam; tetapi di lain
pihak, pengolahan alam secara eksploitatif telah menyebabkan pemiskinan,
pelanggaran HAM, kekerasan, dan kerusakan alam luar biasa dan tak terpulihkan.
Kerusakan ekologi akibat eksploitasi demi memperoleh kekayaan merupakan wujud
ketamakan manusia serta bukti kelekatan manusia pada semangat konsumerisme.
Di daerah Manggarai
misalnya, telah terjadi eksploitasi alam secara masif dan sistemik yang
disebabkan oleh masuknya industri pertambangan. Selain kerusakan alam yang
terjadi, klaim politik juga amat kentara ditampilkan oleh segelintir penguasa
tamak yang mengakibatkan keresahan publik. Dua hal ini perlu dikritisi oleh
Gereja sebagai tumpuan iman serta harapan umat. Pelbagai fakta telah
menunjukkan betapa lingkungan hidup itu membutuhkan perlindungan, sebab di
kalangan horizontal masyarakat sekarang telah terjadi fenomena ketidakpuasan
terhadap kinerja pemerintah. Titik tolak rasa tidak puas itu adalah karena
kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat kecil, tetapi justru memberi peluang
kepada para investor pertambangan untuk mengeruk bumi yang secara langsung
merugikan manusia.
Bagaimana Gereja
berperan? Gereja pada dirinya sendiri mempunyai misi untuk membangun,
memelihara dan menyempurnakan lingkungan yang dianugerahkan Allah. Dalam
konteks misi, kita harus membuat suatu agenda baru untuk menggerakkan misi di
dunia modern, karena berkhotbah dan menyuarakan seruan profetis saat ini perlu
dikaitkan dengan isu sosial atau lingkungan hidup. Gereja yang tidak memberikan
respon terhadap perkembangan zaman pada dasarnya adalah Gereja yang hanya hidup
untuk dirinya sendiri. Justru misi Gereja Katolik di dunia sekarang ini adalah
berani melakukan tindakan nyata dengan menghadirkan Tuhan.
Kerajaan Allah yang
tampak adalah kerajaan Allah yang berani bertindak, bukan hanya berkata-kata.
Tindakan itu pun selalu berlandaskan kasih dan bukan atas dasar iming-iming
kekuasaan demi akumulasi kekayaan sebagaimana yang terjadi di pelbagai tempat
di Flores ini. Dari hasil pembacaan saya dari media informasi, baik cetak
maupun elektronik, ada beberapa hal yang dilakukan sebagai implikasi praktis
Gereja Katolik Flores dalam memperjuangkan keutuhan ekologi sebagai berikut.
Membangun
Kerja Sama dengan Pemerintah
Upaya membangun kerja
sama dapat terwujud dalam hal saling mendukung program. Program-program yang
telah dicanangkan oleh pemerintah diupayakan agar diikuti oleh Gereja, sejauh
itu masih berada dalam koridor yang benar. Artinya, program pemerintah itu
tidak sama sekali kontradiktif dengan misi Gereja yang telah lama digerakkan.
Contohnya adalah bahu-membahu menolak tindakan-tindakan ketidakadilan
sebagaimana yang telah dilakukan selama ini di daerah Flores-Lembata terlebih
khusus Manggarai serta di daerah Lembata dan daerah Larantuka yakni
bersama-sama menolak pertambangan. Upaya ini berjalan dengan baik, tetapi belum
dipraktikkan di semua daerah.
Bekerja
Sama dengan Pemeluk Agama Lain
Upaya ini adalah
konkretisasi dari semangat dialog antaragama. Dialog antaragama dalam hal ini
dialog karya. Dialog karya ini adalah sarana yang barangkali mencakup semangat
misi dari kepercayaan masing-masing, yang menjunjung tinggi keutuhan alam.
Gerakan dibangun sebagai ungkapan solidaritas sekaligus sarana menyatukan
perbedaan yang selama ini rawan mengakibatkan konflik.
Bekerja
Sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
Model pergerakan LSM
adalah dinamis dan kreatif. Maka keterlibatan Gereja, selain memberi nuansa
baru tetapi juga menimba semangat LSM yang mempunyai misi sendiri yang
barangkali lebih praktis dan terbuka. Kerja sama ini memungkinkan kedua lembaga
ini terbuka dan programnya lebih terorganisasi, sistematis dan tepat sasar.
Contoh: hari, bulan atau tahun-tahun perayaan khusus yang berkaitan dengan
lingkungan hidup dikemas dalam sebuah acara yang membangkitkan semangat
“berekologi” bagi semua orang, khususnya umat Katolik. Misalnya tanggal 5 Juni
adalah hari lingkungan hidup sedunia.
Pembinaan
tentang Kesadaran Ekologis.
Pembinaan ini merupakan
upaya Gereja untuk mengingatkan anggotanya bahwa alam adalah ciptaan Allah yang
harus dihargai dengan memelihara dan melestarikannya. Hal itu dapat dilakukan
dengan melakukan katekese bersama yang khusus mendalami tema-tema yang berkaitan
dengan lingkungan hidup. Katekese itu harus diwujudnyatakan dalam keseharian
hidup jemaat dengan mengajak anggota jemaat membudayakan gaya hidup yang ramah
dan dekat dengan alam, misalnya dengan memisahkan sampah organik dan non
organik, membuat lingkungan sekitar rumah menjadi hijau dengan menanam
tanam-tanaman bunga dan pohon.
Upaya-upaya kerja sama
yang dilakukan Gereja ini, tentu bukan jaminan utama untuk mewujudkan
lingkungan hidup yang utuh. Pada dasarnya, upaya dari dalam diri Gereja sendiri
sangat penting. Peran Gereja tidak terbatas pada tataran elit, tidak
dimanipulasi oleh kajian-kajian teoretis berupa dogma, dan lain sebagainya,
tetapi termanifestasi dalam tindakan konkret dan tepat sasar. Peran kesadaran
dan kepekaan adalah sebuah nilai yang barangkali mengatasi semua upaya. Gereja
yang sadar, peka dan responsif adalah dia yang mau secara ikhlas menghadirkan
kerajaan Allah bagi umat manusia di dunia.
Dalam konteks Flores NTT, kerusakan alam yang terjadi
pertama-tama dilakukan atas dasar ketamakan, keegoisan dan ketidakpekaan terhadap
realitas lingkungan di sekitar. Autokritik mesti dilakukan oleh Gereja sendiri
sebelum dia bersuara dan bertindak ke luar. Gereja berperan karena mempunyai
misi yang jelas yakni menjadi tanda dan saksi kerajaan Allah. Nah, perjuangan
sekarang adalah bagaimana misi itu dipadukan dengan mentalitas konsumerisme,
egoisme, hedonisme dan apatis.
c. Pemaparan singkat Ensiklik Laudato Si
dari Paus Paus Fransiskus, sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian sangat
mendalam Gereja tentang perawatan bumi sebagai rumah kita bersama
Lahirnya
ensiklik ini tentu berakar pada inspirasi hidup St.Fransiskus dari Asisi. Paus
Fransiskus menulis, “saya percaya bahwa Santo Fransiskus adalah contoh unggul
dalam melindungi yang rentan dan dalam suatu ekologi integral, yang dihayati
dengan gembira dan autentik. Dia adalah santo pelindung semua orang yang
mempelajari dan bekerja di bidang ekologi, juga dicintai orang non-Kristiani.
Dia telah menunjukkan kepeduliaan khusus kepada ciptaan Allah, dan kaum miskin,
serta mereka yang tersisihkan. Dia mengasihi dan sangat dikasihi oleh
kegembiraan, pemberian dirinya yang murah hati, dan keterbukaan hatinya. Dia
adalah seorang mistikus dan peziarah, yang hidup dalam kesederhanaan dan
keselarasan yang indah dengan Allah, dengan orang lain, dengan alam, dan dengan
dirinya sendiri. St. Fransiskus menunjukkan kepada kita, betapa tak terpisahkan
ikatan antara kepeduliaan akan alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada
masyarakat dan kedamaian batin (Paus Fransiskus, 2015). Sesungguhnya, dengan
hidup dan teladan St. Fransiskus Asisi sebagaimana diuraikan oleh Paus
Fransiskus yang adalah seorang Paus Serikat Yesus (SJ) pertama yang memilih dan
memakai nama pelindung “Fransiskus” hendak memperlihatkan kualitas hidup St.
Fransiskus Asisi di satu sisi, namun di lain sisi menggarisbawahi kedosaan
manusia yang merusak hubungan empat rangkap yakni dosa terhadap diri sendiri,
dengan alam, dengan sesama dan dengan Allah.
Selain
itu ensiklik Laudato Si adalah sebuah seruan dan ajakan kenabian bagi umat
Katolik pada khususnya dan umat manusia pada umumya. Utamanya untuk
mengupayakan dunia yang lebih bersahabat. Salah satu ajakan profetis Paus
Fransiskus misalnya dia mengetengahkan kenyataan dunia saat ini. Menurutnya,
“kini dihadapkan dengan kerusakan lingkungan global, saya ingin menyapa setiap
orang yang hidup di planet ini. Dalam ensiklik ini, saya ingin berdialog dengan
semua orang tentang Bumi rumah kita bersama (Paus Fransiskus, 2015). Indikator
lain dari besarnya perubahan iklim adalah pemanasan global, juga menipisnya
sumber daya alam. Ketersediaan air menjadi persoalan serius, permintaan
melampaui pasokan. Selain itu kualitas air berkurang, namun praktek privatisasi
sumber daya alam yang terbatas ini semakin besar. Akses ke air minum yang aman
merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan universal, karena sangat
menentukan untuk kelangsungan hidup manusia dan dengan demikian merupakan
syarat untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya (Paus Fransiskus, 2015).
Namun, hal inipun tidak diindahkan para perusak alam, para kapitalis, para
konglomerat, para borjuis
Merawat
rumah bumi bersama merupakan ajakan gembala bagi keberlanjutan tata ciptaan
dunia. Dalam ensikliknya, Paus menegaskan, “Untuk menghapus sebab-sebab
struktural dari salah-langkah ekonomi dunia dan mengoreksi model pertumbuhan
yang ternyata tidak mampu menjamin penghormatan terhadap lingkungan.” Ia
mengingatkan kita bahwa dunia tidak dapat dianalisis dengan mengisolasi hanya
satu aspek, karena “kitab alam adalah satu dan tak terpecahkan”, dan mencakup
lingkungan, hidup, seksualitas, keluarga, hubungan sosial, dan sebagainya. Oleh
karena itu, “kerusakan alam sangat terkait dengan budaya yang membentuk
koeksistensi manusia (Paus Fransiskus, 2015). Semua mahkluk adalah saudari,
demikian Paus Fransiskus menggambarkan keluhuran hati St. Fransiskus Asisi. Dia
berkomunikasi dengan semua ciptaan, bahkan berkotbah kepada bunga-bunga,
mengajak mereka untuk memuji Tuhan, seolah-olah mereka dikaruniai akal budi
(Paus Fransiskus, 2015). Bentuk komunikasi yang tetap mengatasi adalah
membangun dialog baru. Melibatkan banyak orang, masing-masing dengan budaya,
kemampuannya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri.
2. Gereja Katolik,
terutama oleh kaum awam Katolik, menyadari dan mengakui kewajibannya untuk
terlibat dalam urusan dunia, peduli terhadap negara dan bangsanya, khususnya
dalam hal ini secara praktis dalam bidang politik.
a. Bentuk-bentuk
keterlibatan Gereja Katolik dalam bidang politik di Indonesia berkaitan dengan
Pancasila, Pemilu dan politik
Sejak
lama Gereja Katolik yakin bahwa imannya mempunyai relevansi sosial. Allah yang
diimani, ditanggapi dalam situasi kultural dan situasi politik yang konret.
Karena itu Gereja tidak lagi dilihat sebagai suatu institusi yang sosial yang
terisolir, melainkan bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan
masyarakat pada umumnya. Maka Gereja adalah pengalaman hidup manusia dalam
kegembiraan, sukacita, harapan, serta duka dan kecemasan hidup manusia
sehari-hari. Saat ini Gereja Katolik Indonesia menemukan keprihatinan sosial
yang sedang melanda kehidupan Bangsa Indonesia. Keprihatinan itu berkaitan
dengan krisis moral di ranah publik. Betapa tidak, para wakil rakyat dan para politisi tidak lagi memperjuangkan
kepentingan banyak orang tetapi sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Korupsi berlangsung secara sporadis di hampir
seluruh level pemerintahan mulai dari pengurusan KTP di kelurahan, pengurusan
Izin mengemudi, hingga pembayaran pajak. Penegak hukum tidak berjalan adil
sehingga rakyat merasakan adanya jurang ketidakadilan antara penguasa dan orang
kebanyakan. Prilaku korupsi dan ketidakadilan sosial seolah menjadi warna yang
wajar dalam setiap alur birokrasi di Indonesia. Dalam situasi semacam ini
banyak orang menghindari politik karena dianggap sebagai medan yang kotor,
licik dan penuh intrik dan persaingan untuk memperebut kekuasaan. Politik
dilihat sebagai sarana bagi penguasa untuk menindas rakyat. Dalam politik para penguasa
mempunyai kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan
dalih demi kepentingan rakyat.[1]
Berhadapan dengan masalah sosial ini Gereja Katolik
Indonesia tidak pernah mundur dari komitmennya terhadap politik. Gereja katolik
Indonesia tidak kehilangan sikap kritis-profetisnya terutama terhadap persoalan
korupsi. Sidang KWI 2016 mengambil topik” Membedah, Mencegah Mentalitas Serta
Prilaku koruptif”. Dalam sidang itu ditemukan bahwa prilaku koruptif telah
begitu merusak dan menggerogoti kehidupan masyarakat dan terjadi di mana-mana
baik di dunia bisnis, pemerintahan, lembaga
negara bahkan institusi agama termasuk Gereja.
Korupsi dalam segala bentuknya telah menjadi
kejahatan yang sistemik, terstruktur, dinamis dari pusat sampai ke daerah.[2] Nota Pastoral KWI tahun 2004 sudah
memandang masalah yang semakin serius itu sebagai hancurnya keadaban publik.
Nota pastoral ini menjadi titik tolak perumusan SAGKI 2015, “Bangkitlah dan
Bergeraklah Gereja Membangun Keadaban Publik Baru Bangsa”.[3]
Artinya para uskup yang bergabung dengan KWI terus menerus berupaya melakukan
penginjilan secara integral dan menyeluruh berdasarkan situasi, persoalan dan
kebutuhan lokal Indonesia.[4] Penemuan pokok-pokok
keprihatinan itu menuntut suatu tindakan profetis, etis dan praktis berdasarkan
nilai-nilai injili seperti cinta kasih, kedamaian, keadilan, pelayanan dan
kesejahteraan bersama. Hal ini sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art. 75, “Hendaknya
segenap umat Katolik menyadari panggilan mereka yang khas dalam negara. Di situlah
dipancarkan teladan mereka yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka
mengabdikan diri kepada kesejahteraan bersama”[5]. Dalam
konteks Indonesia, peran umat Katolik diperlukan untuk mengawal dihormatinya
prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebab meskipun Indonesia merupakan negara yang
percaya kepada Tuhan tetapi dalam pelaksanaannya tetap tidak selaras.
Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada momen tertentu direduksi pada
paham-paham pembelaan agama.[6] Maka Gereja katolik Indonesia
harus terus menerus berdialog dengan semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia
yang begitu plural dalam rangka merealisir konsep Indonesia sebagai satu rumah
yang adil dan sejahtera.[7]
Sejarah
gerakan politik Gereja Katolik Indonesia pun mengalami bahwa sejak awal
perjuangan Kemerdekaan Indonesia, orang katolik juga ikut terlibat secara aktif.
Keterlibatan itu bukan hanya umat awam katolik tetapi juga religius bahkan
pemimpin Gereja, seperti Mgr. Soegijapranata, Laksamana Muda Jos Sudarso,
Kolonel Ignatius Slamet Riayadi yang terlibat secara langsung dalam dunia
politik Indonesia. Salah satu dasar keterlibatan mereka adalah keyakinan bahwa
politik adalah “panggilan suci”. Prinsip ini dihayati oleh I. J. Kasimus,
seorang tokoh katolik yang meyakini politik sebagai panggilan untuk mewujudkan
kebaikan bersama.
Maka arah politik katolik mengarah dan berpegang
teguh pada kepentingan umum dan
keberpihakan pada orang kecil, terlantar dan tersingkir sebagai bentuk
perwujudan iman kristiani dalam ranah politik.[8]
Dengan demikian terbentuklah suatu pembentukan negara yang menghormati hak
asasi manusia dalam semangat solidaritas sejati yang ditandai oleh suatu
kehidupan masyarakat yang majemuk, yang bebas, dinamis dan berwawasan
kebangsaan di mana tercipta rasa aman lahir dan batin dalam hidup bersama.[9] Inilah panggilan umat katolik
untuk menjadi instrumen cinta, perdamaian dan persahabatan di tengah masyarakat
Indonesia yang majemuk. Sebab nasib dan hidup masyarakat Indonesia ditentukan
dan diukur oleh apa yang dilakukan oleh umat katolik terhadap sesama, terutama
yang kecil, lemah dan terpingirkan (bdk.
Luk. 4: 18).
Untuk mewujudkan panggilan tersebut umat katolik
perlu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial politik dengan
memperluas dan memperdalam pemahaman tentang perkembangan kehidupan politik di
tanah air dalam perpaduan dengan iman kristiani dan wawasan kebangsaan. Selain
itu mendorong partisipasi yang lebih luas dan aktif dalam kehidupan sosial
politik bersama dengan golongan agama lain demi persatuan bangsa Indonesia dan
kesejahteraan umum (bonum commune).
Keterlibatan Gereja dalam dunia politik berakar dalam
panggilan dan tugas suci Gereja untuk menjadi terang dan garam dunia, dengan
mempromosikan moral politik yang benar yaitu politik yang mengupayakan
keadilan, kebaikan dan kesejahteraan bersama serta perjuangan terhadap hak
asasi manusia. Panggilan dasar ini menjadi tugas tak terbantahkan bagi setiap
orang yang mengakui dirinya sebagai murid Kristus. Sebagai murid Kristus, semua
umat katolik dipanggil untuk mewujudkan tata dunia baru, yang ditandai dengan
keterlibatan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan dari
politik. Karena itu orang katolik diharapkan sadar bahwa misi mereka bukan
hanya untuk menciptakan tata pemerintahan yang sekedar manusiawi, tetapi juga
membantu Allah mewujudkan tata dunia baru yang dipenuhi semangat dan keutamaan Injil.
Saat ini
Gereja Katolik Indonesia ditantang untuk menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaan
kristiani seperti solidaritas, kerja keras, murah hati, kejujuran dll.
Nilai-nilai ini penting karena iman bukan lagi urusan privat tetapi berdaya
sapa dan berdaya ubah bagi orang lain. Berhadapan tuntutan ini, Gereja berpolitik
meneladani Yesus yang datang ke dunia untuk membawa damai bagi semua umat
manusia. Kedatangan-Nya tidak hanya mendamaikan manusia dengan Allah tetapi
juga mendamaikan manusia dengan yang lain. Dalam konteks ini umat katolik
dipanggil untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, dan persatuan bangsa dengan
ikut serta menjauhkan ketegangan dan perpecahan.
Akhirnya keberhasilan Gereja Katolik Indonesia
menjadi terang dan garam dunia diukur dari usaha dan perjuangan memberi jaminan
bahwa Pancasila dan UUD 1945 tetap dipertahankan sebagai dasar negara dan tetap
menjadi acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi para aktivis politik
katolik di negeri ini agar semakin sadar bahwa tugas mereka mulia yakni menjadi
sarana penebusan Allah sehingga sikap dan prilaku mereka juga menampakkan sikap
sebagai rekan sekerja Allah yang hadir dan bekerja dalam situasi masyarakat
zaman ini.
b. Bentuk-bentuk keterlibatan kaum awam
dalam bidang politik praktis di Indonesia, dan sejauhmana mereka memainkan
peran menghadirkan wajah Gereja di tengahtengah masyarakat.
Politik
merupakan medan perutusan kaum awam. 2 Maka mereka diajak untuk ikut berperan
di dalam politik. Pada bidang itulah kaum awam memiliki peranan yang sangat
khas. Mereka memiliki hak dan kewajiban seperti warga lainnya. Mereka juga
memiliki hak-kewajiban di bidang politik guna memperjuangkan kesejahteraan di
masyarakat. Keterlibatan sebagai pengurus dukuh dan desa adalah bagian dari
keterlibatan awam di bidang ini. Merekalah yang secara langsung bersinggungan
dengan masyarakat.
Kaum
awam terkumpul dalam satu himpunan umat Allah berkat baptisan yang telah mereka
terima. Lewat pembaptisan mereka dimasukkan ke dalam tubuh Gereja. lewat
pembaptisan, mereka dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah. Berkat sakramen
penguatan, mereka semakin diwajibkan untuk menyebarluaskan dan membela iman
sebagai saksi Kristus yang sejati, dengan perkataan maupun perbuatan. Kemudian
setelah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka
secara konkret menampilkan kesatuan umat Allah (LG 11).
Kaum
awam mengemban “tri tugas Kristus” berkat sakramen yang telah mereka terima
untuk menguduskan (imamat), mewartakan (kenabian) dan memimpin (rajawi). Ketiga
tugas tersebut mereka jalankan di tengah lingkungan umat, masyarakat (dunia).69
Kaum awam merupakan umat Allah dengan “satu Tuhan, satu iman, satu baptis” (Ef
4:5). Di situlah kaum awam mengerjakan tugas misi Gereja. Sebagai anggota umat
Allah, kaum awam memiliki hak dan kewajiban untuk turut serta dalam menjalankan tugas dan misi Gereja, Umat Allah.
Dijiwai oleh Roh Kudus, kaum awam menjalankan profesi mereka sehari-hari, entah
sebagai pejabat di pemerintahan, guru, teknisi, wartawan, pedagang dan
sebagainya dalam semangat kristiani. Dalam semangat yang sama pula, kaum awam
yang menjalankan profesinya sehari-hari secara de facto juga sudah dikatakan
menjalankan karya misioner Gereja.70 Dalam tugas keseharian yang dijiwai
semangat kristiani, kaum awam menjalankan kerasulan awam yakni usaha kaum awam
yang melaksanakan panggilan dan profesi mereka yang duniawi dalam semangat
kristiani. Kaum awam dengan caranya yang khas menghadirkan Kerajaan Allah di
tengah dunia.
Konsili
Vatikan II menegaskan bahwa tanggung jawab politik merupakan bagian dari
perutusan para rasul dan para pengganti mereka “guna mewartakan Kristus penebus
dunia kepada masyarakat”.71 Gereja juga mengajak kaum mudanya untuk mempelajari
dan mengembangkan pengetahuan politiknya bagi kepentingan manusia (GS 42).72
Keterlibatan di dalam dunia politik disadari Gereja sebagai panggilan yang khas
kaum awam di dalam kehidupan bernegara.73 Menyadari hal ini sebagai panggilan
yang khas, Gereja pun memberi seruan kepada kaum awam kepada umat beriman agar
mampu memancarkan keteladanan untuk mengabdikan diri pada kesejahteraan
bersama.74 Gereja menekankan bahwa kesejahteraan umum adalah tujuan utama dari
pengabdian umat beriman di dalam kehidupan bernegara.
Refleksi
Teologis Atas Keterlibatan Politis Kaum Awam Di Tengah Masyarakat
Keterlibatan
politik orang Katolik didasarkan atas inti pewartaan iman Kristiani yakni
pewartaan akan kabar pembebasan di dalam diri Yesus Kristus yang akan
memperoleh pemenuhannya saat kedatangan-Nya kembali. Penghayatan Injil masuk
dan menyatu di dalam situasi nyata tersebut.76 Melalui pembebasan tersebut,
martabat manusia dipulihkan, manusia dipanggil dalam persekutuan dengan Allah
dan sesama.
Cinta
Allah kepada manusia membawa konsekuensi kepada manusia untuk menaruh cinta
kepada sesamanya. Umat Katolik memiliki tanggung jawab terhadap kebebasan dan
keselamatan sesamanya dan untuk memperhatikan kebutuhan sesamanya.77 Menjadi
orang Katolik dengan demikian menjadi orang yang terlibat pula. Keterlibatan
tersebut memiliki dimensi politik.78 Keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus harus diwartakan pula kepada sesama
terutama dengan teladan hidup dan tindakan kita, supaya Kerajaan Allah semakin
terwujud di tengah masyarakat. Iman memberi inspirasi kita untuk mengabdi
kepada sesama dan masyarakat.
Kaum
beriman menerima salib dengan bersikap peduli dengan orang-orang yang
menderita.79 Di tengah masyarakat yang terbuang, tertindas dan dirampas
hak-haknya, Kristus menantikan para murid-Nya untuk mewartakan pembebasan.80
Allah senantiasa menyampaikan rencana ilahi dalam peristiwa yang aktual di
tengah masyarakat. Pewartaan Kerajaan yang menjadi tujuan utama kedatangan
Yesus di tengah dunia merupakan jalan Yesus guna menyampaikan rencana ilahi
dalam peristiwa aktual di tengah masyarakat.
Peristiwa
salib memberikan makna politis. Kehadiran Allah tidak ditampakkan sebagai sosok
penguasa kerajaan. Allah hadir justru di dalam ketidakberdayaan. Keterlibatan
yang ditampakkan Allah melalui Kristus menjadi pendorong bagi manusia untuk
bersikap terbuka terhadap sesamanya. Kristus tidak menderita bagi diri-Nya
sendiri tetapi bagi segenap umat manusia. Dengan merasakan penderitaan, manusia
dimampukan untuk terlibat dalam penderitaan sesamanya. Keterlibatan untuk orang
lain inilah yang mampu membendung sikap apatis di tengah masyarakat dan
penderitaan Kristus tetap menjadi sesuatu yang berarti bagi kita saat ini.
Kebenaran
iman terlihat di dalam usah seseorang untuk mendorong inisiatif-inisiatif
perubahan dalam masyarakat. Pemahaman J. B. Metz tentang politik di dalam
teologi politik adalah sebagai “keseluruhan konstruksi pengetahuan, sistem
nilai dan tatanan masyarakat yang menentukan hidup bersama manusia.” Teologi
menurut pandangan Metz harus menjadi teologi yang berorientasi ke masa depan,
sekaligus bersifat kritis terhadap masa sekarang. Dalam hal ini teologi menjadi
berdimensi eskatologis. Warta eskatologis tersebut hendak menyingkapkan
keharusan berubah dari masyarakat itu sendiri. Orang beriman merupakan orang
yang menghidupi janji – janji Allah dan hidup menurut janji tersebut. Iman
harus memiliki arti dalam hidup di tengah masyarakat. Iman juga harus
operatifaktif bukan hanya kontemplatif teoritis. Orang beriman harus bersikap
kristis – dialektis terhadap zaman sekarang.
Keterlibatan
kaum awam di bidang pemerintahan desa, baik sebagai kepala desa maupun Kepala
Dukuh, merupakan bagian dari keikutsertaan di bidang politik. Suatu tindakan politik tidak perlu diidentikkan dengan
kegiatan di partai politik yang kemudian bermuara sebagai wakil rakyat di DPR
atau DPRD. Keterlibatan politik tersebut merupakan bagian dari tindakan yang
memunculkan pencerahan bagi usaha-usaha mewujudkan kepentingan bersama.
Setelah
melakukan refleksi teologis penulis merasa perlu mengemukakan beberapa usulan
pastoral. 1.Mendorong Kaum Muda Setempat Untuk Terlibat
Kegiatan di desa diharap mendorong kaum muda
untuk mau terlibat di dalam organisasi umum seperti Karang Taruna. Di situlah
mereka dapat belajar berorganisasi, mengembangkan sikap kritis terhadap
lingkungannya, dan mengaktualkan semangat nasionalisme serta kepekaan sosial.
2.Menghidupkan
Kerjasama
Baik
pemerintah desa maupun pemerintah di pedukuhan perlu mengembangkan kerjasama
dan jejaring dengan Gereja ataupun pihak lainnya yang mampu meningkatkan
kualitas kepemimpinan serta sumber daya manusia di wilayahnya. Program pemerintah
dan program Gereja dapat disinergikan. Gereja pun akan semakin memiliki banyak
rekan di dalam membangun kerja sama.
3.Forum
Komunikasi dan Kunjungan
Perlu
diadakan Forum komunikasi yang dapat menjadi jembatan antara warga masyarakat
dan pemerintah setempat. Lewat forum tersebut pemerintah dapat mengetahui
permasalahan nyata yang sedang dialami warganya.
4.Pelatihan
Bagi Kepala Dukuh Dan Pejabat Lainnya
Para
pemimpin, baik Kepala dukuh maupun desa, diharapkan terampil dalam menguasai
perkembangan tersebut sehingga tidak semakin tertinggal dengan masyarakat yang
dilayaninya, misalnya mengadakan pelatihan komputer.
5.Pastor
Paroki lebih Menyapa Umat
Seorang
pastor berperan besar dalam menunjukkan mana yang boleh dan tidak di dalam
masyarakat. Seorang pastor juga berperan di dalam menunjukkan kaitan iman dan
tanggung jawab di tengah masyarakat.
6.Pembinaan
Rohani
Para
imam diharap memberikan dukungan lewat pendampingan rohani kepada kaum awam
yang terlibat di dalam pemerintahan, agar kaum awam memperoleh kesadaran bahwa
tanggung jawab yang mereka jalani merupakan panggilan dan perutusan.
Pendampingan rohani itu dapat dilakukan lewat retret atau rekoleksi khusus bagi
para pejabat pemerintahan desa termasuk para Kepala Dukuh. Bantuan itu dapat
juga berupa siraman rohani, acara natalan atau paskahan bersama.
[1] Ola Rongan Wihelmus, Op.
Cit., hlm. 189.
[2] “Seruan Pastoral KWI
2016” dalam Pertemuan Tahunan Keuskupan Malang XLII, Malang 21-24 November
2016., hlm. 1.
[3] Philips Tansdilintin, Pembinaan Generasi Muda (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 42.
[4] Ola Rongan Wihelmus, Op.
Cit., hlm. 187.
[5] “Konstitusi Pastoral
Tentang Gereja dan Dunia dewasa Ini” (GS), Op. Cit., hlm. 626.
[6] Armada Riyanto, CM, Katoliksitas Dialogal: Ajaran Sosial
Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 194.
[7] Ola Rongan Wihelmus, Loc.
Cit.
[8] Paulus Yan Olla, MSF, Op.
Cit., hlm. 66.