Hakikat dasar Ajaran Sosial Gereja
(makna teologis, Eklesiologi dan Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja)
Iman
akan Allah serta hidup dan karya Yesus Kristus mengandung panggilan
berpatisipasi aktif atau menuntut keterlibatan nyata. Pengertian ajaran sosial
gereja dapat diartikan sebagai respond gereja terhadap fenomena atau
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dalam bentuk himbauan,
kritik, atau dukungan. Ajaran sosial di gereja bersifat lunak, apabila
dibandingkan dengan ajaran gereja dalam arti ketat, yaitu dogma. Dengan kata
lain, ajaran sosial di gereja merupakan bentuk keprihatinan gereja terhadap
dunia dan umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu sosialisasi.
Ajaran
sosial gereja didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa: ”Kegembiraan dan harapan,
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa
saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para
murid Kristus juga. Tiada sesuatupun yang sungguh manusiawi, yang tidak bergema
di hati mereka”. (G S, art.1 ). Sebab,”Dengan mengabaikan tugas kewajibannya di
dunia ini orang Kristiani melalikan tugas kewajibannya terhadap sesama, bahkan
mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan kekalnya”.( GS art. 43
).
Ajaran-ajaran
ini dirangkum dalam ajaran sosial Gereja. Ajaran sosial Gereja terumus dalam
ensiklik-ensiklik (surat edaran) para Paus. Melalui ensiklik-ensiklik yang
memuat ajaran sosial Gereja, Paus sebagai wakil Gereja mau mengungkapkan sikap
Gereja terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik sejak munculnya
masalah sosial pada awal abad 19.
Makna Teologis dan Eklesiologi
Ajaran Sosial Gereja
Dengan
frase “ajaran sosial Gereja”, dimaksudkan sebagai realitas eklesial yang
komplex dan rentan terhadap pelbagai macam interpretasi. Ada dua makna yang
dimaksudkan dengan apa yang disebut ”ajaran sosial Gereja”:
1. Ajaran Sosial Gereja adalah peristiwa Gerejani
“Ajaran
sosial Gereja” hanya dimaksudkan sebagai suatu pengertian formal atau dasar,
seperti suatu kekuatan yang muncul dari iman kristiani yang dapat menerangi dan
mengubah realitas sosial setiap masa dan di setiap situasi. Jadi “ajaran sosial
Gereja” lebih merupakan suatu dinamisme iman dari pada ajaran formal; lebih
sebagai suatu tuntutan ortodoxia dan ortopraksis daripada suatu ajaran
magisterium; lebih sebagai satu logika kehidupan dari pada suatu argumentum doktrinal.
Jelasnya, dinamika, tuntutan dan logika kehidupan seperti itu memang
membutuhkan suatu rumusan doktrinal, kalau tidak tetap kosong isinya. “Ajaran
sosial Gereja” lebih dimaksudkan seperti itu, karena itu bukanlah suatu
“corpus” ajaran, tetapi lebih sebagai suatu refleksi permanen; bukan ajaran
resmi atau dari hirarki, tetapi lebih sebagai wacana teologis dari jemaat
beriman.
2. Ajaran Sosial Gereja : Kebutuhan
Telogi-Moral
ASG
terfragmen dalam suatu “kebutuhan teologis Gereja”, maksudnya bahwa dalam menanggapi
persoalan sosial, Gereja menyampaikan pandangan serta ajarannya yang bersumber
pada wahyu dan tradisi suci. Meskipun, sebagai kegiatan magisterial, ASG adalah
bagian dari sikap pelayanan pastoral Gereja kepada dunia yang di dalamnya
terkandung pandangan teologis-moral. Artinya, dalam ASG kita menemukan suatu
refleksi teologis, yang merupakan paduan dari iman dan pengetahuan manusia;
ajaran moral yang mengacu kepada nilai universal; dan sehingga ASG termasuk ke
dalam teologi moral.
3. ASG merupakan aplikasi teologi moral dalam bidang
sosial
ASG
adalah bagian dari teologi moral yang tidak bisah dipisahkan dari dimensi
magisterial dari hirarki Gereja. ASG merupakan aplikasi kuasa mengajar Gereja;
yang mana dia menjalankan suatu fungsi memadukan, memberdayakan dan mengarahkan
kekuatan sosial dari Gereja Katolik. Dengan demikian, ASG merupakan aplikasi
dari teologi moral sosial.
Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja
Ada
dua (2) hal pokok yang menjadi landasan
pokok ASG sebagai pengejawantahan dari eksistensinya atau tanggapan terhadap
situasi sosial, yaitu: Pertama, menyatakan sikap Gereja terhadap dunia (Piet
Go, 1984: 8). Pasca Konsili Vatikan II, Gereja mulai membuka ruang dialog
dengan dunia. Dalam semangat aggiornamento, Gereja menatap dunia secara positif
dan optimis. Cara pandang yang baru ini, menjadi pintu masuk bagi Gereja untuk
terlibat dalam setiap pergumulan dunia, setelah bertahun-tahun memandang dunia
secara negatif dan pesimis (extra ecclesiam nulla salus). Dengan kesadaran baru
tersebut, Gereja pun mulai terlibat dan memberikan perhatian pada dunia, secara
khusus masalah-masalah sosial.
Perhatian
dan partisipasi aktif Gereja dalam hal ikhwal keduniaan, khususnya solidaritas
dengan umat manusia dimaklumatkan dalam kalimat pertama Gaudium et Spes:
"Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama yang miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga, tiada sesuatu pun yang
sungguh manusiawi, yang tidak bergema dalam hati mereka …" (GS. 1).
Konsili
Vatikan II sungguh menjadikan Gereja Katolik lebih rendah hati, megakui
ketidaksempurnaan dirinya dan mengakui serta menghargai otonomi dunia (GS 36).
Gereja tidak hanya merasa dan bersedia memberi sumbangan kepada dunia,
melainkan juga menerima sumbangan dunia yang dapat memperkayanya. Sikap inilah
yang disebut sebagai dialog Gereja dengan dunia. Dalam konteks ini, ASG menjadi
konkretisasi sikap Gereja terhadap dunia.
Dilain
sisi ASG menegaskan tugas sosial sebagai bagian integral pengutusan atau
panggilan Gereja untuk dunia. Sebagai sebuah
institusi ataulembaga iman, Gereja memiliki tugas perutusan dan panggilan untuk
melayani manusia secarab menyeluruh.
Tugas sosial dipandang sebagai hal yang sangat urgen dan relevan untuk mencapai
cita-cita manusia seutuhnya. Tugas sosial dalam konteks ini, berkaitan erat
dengan peran serta Gereja dalam menghadapi persoalan social di zaman
perkembangan peradaban hidup manusia.
Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul (penerapan
dalam tugas profesional sebagi guru PAK)
Salah
satu masalah sosial yang memprihatinkan saat ini adalah masalah buruh, secara
khusus serikat buruh yang menjadi naungan bagi kaum buruh atas kondisi kerja
yang begitu menindas mereka baik dari kalangan pengusaha atau memiliki modal
maupun dari pemerintah sendiri yang mengeluarkan kebijakan perburuhan yang
jelas-jelas tidak memihak mereka. Merupakan tantangan yang sangat berat bahwa
saat ini serikat buruh (konteks Indonesia) harus berhadapan dengan sistem
ketenagakerjaan yang fleksibel sebagai program dari neoliberalisme.
Negara
melepaskan tanggung jawab dari tugasnya untuk melindungi buruh. Buruh dilepas
dan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, menghadapi pasar bebas, bertarung
dengan lawan tak seimbang.
Ajaran
sosial Gereja berusaha menjawab atau memberikan pencerahan untuk masalah setiap
zaman. Salah satu dokumen ASG yang menyoroti masalah ini adalah Ensiklik
Laborem Exercens secara khusus artikel 20, yang membicarakan tentang
serikat-serikat pekerja. Kiranya ASG juga relevan dengan realitas masalah yang
sedang terjadi dalam bidang perburuhan. Masalah yang berkenaan dengan serikat
perburuhan dapat ditemukan pemecahannya atau paling tidak menjadi pedoman
berdasarkan ensiklik LE artikel 20. Ajaran Gereja menyatakan bahwa hak dan
kebutuhan kaum buruh harus dilindungi. Hal ini memunculkan hal baru lagi yakni
hak atas persekutuan. Persekutuan ini disebut sebagai serikat pekerja.
Serikatserikat kerja ini dibentuk menurut jenis pekerja, profesi sehingga
masingmasing mencerminkan kekhasannya. Tujuan pembentukannya sendiri untuk
membela kepentingan paling pokok mereka di pelbagai kejuruan.
Paus
Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem Exercens mengatakan pribadi manusia
pada hakikatnya adalah satu makhluk sosial, karena Allah yang menciptakan
manusia menghendakinya demikian. Kodrat manusia malah menyatakan dirinya
sebagai kodrat dari satu makhluk yang tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhannya
sendiri. Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial yang pertama, Rerum Novarum.
Ensiklik ini membedakan kondisi pekerja upahan, yang secara khusus menyusahkan
para pekerja industri yang merana dalam kesengsaraan yang tidak manusiawi.
Masalah kerja dikaji dalam semua bentuk ungkapan di bidang sosial dan politik
sehingga sebuah penilaian yang tepat bisa dibuat berdasarkan moralitas
seseorang.
Implikasi
makna kerja dewasa ini dipengaruhi oleh banyak faktor dan sesuai dengan
perkembangan zaman yang semakin pesat. Kurangnya kesempatan kerja, budaya
instan, pengaruh hedonisme, kemajuan teknologi, dan sebagainya merupakan
tantangan yang dihadapi oleh manusia dalam dunia kerja. Fenomena yang terjadi
ini, mengarahkan manusia untuk memaknai makna kerja seturut perkembangan yang
terjadi saat ini. Persoalan begitu menonjol yang dihadapi oleh serikat buruh
antara lain: adanya kebijakan dan perundang-undangan yang timpang dan merugikan
buruh, pemerintah tidak lagi memberikan perlindungan bagi kaum buruh ketika
berhadapan dengan para pemilik modal, sistem organisasi serikat buruh yang
masih perlu diperbaiki baik dari segi tujuan maupun keanggotaannya, ada elite
serikat buruh yang mengambil keuntungan dari ketertindasan buruh. Sehingga
tidak lagi menjadi keprihatinan dalam menangani persoalan kaum buruh yang
senantiasa memerlukan perjuangan dari berbagai pihak yang terkait.
Ajaran
Sosial Gereja (selanjutnya ASG) merupakan ajaran yang didasarkan pada hidup dan
karya Yesus Kristus yang memiliki perhatian dan komitmen kepada kaum lemah dan
miskin. ASG menjadi ajaran penting bagi Gereja karena menampilkan Gereja
sebagai Sakramen Kerajaan Allah yang membawa keselamatan bagi dunia (Lumen
Gentium, art. 5). Selama 126 tahun ASG telah menjadi ajaran dan tradisi Gereja
Katolik, dimulai dari penerbitan pesan apostolik Rerum Novarum (1891) oleh Paus
Leo XIII. Usia ASG sudah melampaui satu abad, namun isi ajaran yang menampilkan
identitas Gereja sebagai komunitas sosial di tengah kehidupan masyarakat
rupa-rupanya belum kuat bergaung di dalam kehidupan umat beriman Katolik
sendiri.
Dari hasil kajian modul ada beberapa manfaat yang saya
peroleh setelah mendalami materi Ajaran Sosial Gereja direlevankan dengan tugas
dan tanggung jawab sebagai guru agama Katolik yakni:
1.
Aspek Kognitif : saya mampu menguasai dan menjelaskan hakikat dasar Ajaran Sosial
Gereja
2.
Aspek Afektif: saya mendalami dan
menganalisis tema-tema penting dalam beberapa dokumen ASG
3.
Aspek Psikomotorik : saya dapat mengimplementasikan pokok materi tentang ASG dalam tugas keprofesian
sebagai guru PAK melalui keterlibatan sosial dalam hidup nyata.
Lebih lanjut dalam
proses pembelajaran kontekstual ASG memberikan
pengetahuan teoritis tentang dasar, sumber, dan isi ASG, serta pengalaman
belajar terkait persoalan-persoalan terkini yang terjadi di lingkungan
sekitarnya dengan mengajak para peserta didik menyoroti persoalan-persoalan
konkret social kemasyarakatan.
Efektivitas
metode pembelajaran ASG juga dapat dilihat di dalam perubahan cara pandang dan
pemikiran-pemikiran mereka yang terlibat di dalamnya. Hal ini sesuai dengan
gagasan/teori konstruktivisme di dalam pendidikan, seperti yang diungkapkan
oleh Fosnot (1989), yakni: “belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta tetapi
suatu proses yang berkembang dengan membuat kerangka pemikiran yang baru.”
Materi
ASG sebenarnya merupakan materi kurikulum untuk siswa SMA kelas XI yang dibahas
dalam pelajaran ke 16 sampai ke 18. Fakta di lapangan (sekolah) menunjukkan
bahwa proses penyampaian materi kurikulum di sekolah pada umumnya bersifat
penyampaian pengetahuan, sehingga proses pembelajaran ASG yang dilaksanakan
melalui lokakarya ASG dipandang mampu membuat nilai-nilai ASG lebih mudah
dipahami dan dirasakan dampaknya oleh siswa. Dengan demikian, apa yang
dicita-citakan oleh Pendidikan Agama Katolik (PAK) di sekolah, seperti yang
dimunculkan dalam kata pengantar buku PAK dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK
kurikulum 2013, dapat terwujud.
“Belajar bukan sekadar untuk tahu, melainkan dengan
belajar seseorang menjadi tumbuh dan berubah....tidak [sekadar] belajar lalu
berubah, tapi juga mengubah keadaan ... . Pembelajaran agama diharapkan dak
hanya menambah wawasan keagamaan, tapi juga mengasah keterampilan beragama dan
mewujudkan sikap beragama siswa. Sikap beragama yang utuh dan berimbang
mencakup hubungan manusia dan penciptanya, dan hubungan manusia dengan sesama
dan lingkungan sekitarnya.” (Boli Kotan & P.Leo Sugiyono, 2014: iii)
Pernyataan
tersebut menguatkan keyakinan saya bahwa proses pembelajaran ASG bagi saya dan
juga teman-teman Guru Agama Katolik dapat atau semestinya berfungsi sebagai
formator atau agen-agen perubahan, yakni perubahan di dalam diri sendiri,
keluarga, sekolah, Gereja, dan masyarakat. Fungsi formator dapat berdampak
apabila pembelajaran ASG bagi guru Pendidikan Agama Katolik dirancang dan
dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
Proses
pembelajaran ASG menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual yang
bertolak dari situasi dan kebutuhan konkret orang muda, berciri partisipatif
yang melibatkan pikiran, perasaan dan kehendak peserta didik, reflektif yang
terarah pada penemuan nilai-nilai dari pengalaman/keterlibatan, transformatif
yang mampu menggerakkan Guru Agama Katolik untuk membuat perubahan di dalam
diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, dan berkelanjutan sehingga menumbuhkan
keinginan untuk terus menerus belajar dan bertumbuh-kembang ;
1)
Isi atau
materi-materi yang disajikan di dalam proses pembelajaran ASG terkait dengan
isu-isu konkret-aktual yang terjadi di sekitar peserta didik; dalam hal ini,
pengalaman dari keterlibatan di dalam kegiatan dan dari perjumpaan dengan
masyarakat menjadi isi pembelajaran yang berharga, sama berharganya dengan
doktrin-doktrin Gereja yang dipelajari;
2)
Bentuk
pembelajaran ASG berkarakter peer group, melibatkan semua peserta didik di
dalam kerja sama dengan sesama yang sebaya, melakukan sejumlah aktivitas yang
memotivasi dan menantang mereka untuk mencari dan menemukan berbagai realitas
sosial, keprihatinan yang ada di dalamnya, serta upaya yang dapat dilakukan
untuk menanggapinya;
3)
Pelaksanaan
pembelajaran ASG melibatkan peserta didik bukan Katolik dan tokoh-tokoh
masyarakat yang dapat menjadi panutan bagi kaum muda; membuka peluang bagi Guru
Agama Katolik untuk membuat jejaring kerja sama lintas agama, lintas budaya,
dan lintas generasi, yang terarah pada perjuangan mewujudkan nilai-nilai
universal demi transformasi sosial masyarakat.
Para
guru sekarang ini adalah para anggota komunitas profesional. Mereka
berkontribusi untuk menyusun kurikulum; dan mereka mempunyai tanggung jawab
untuk berhubungan dengan beragam subjek lain, teristimewa keluarga-keluarga
para siswa. Sebuah sekolah yang baik adalah sekolah di mana para guru, sebagai
satu kelompok, tahu bagaimana menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar korps
yang diakui, di mana para anggotanya diikat bersama oleh ikatan birokrasi
belaka. Sebaliknya, mereka hendaklah menjadi sebuah komunitas, yang menghidupi
relasi profesional sekaligus personal, bukan sekadar di tingkat permukaan,
melainkan pada level yang lebih dalam, diikat bersama oleh kepedulian yang sama
untuk pendidikan.
Para
guru yang baik tahu bahwa tanggung jawab mereka tidak berakhir di luar kelas
atau sekolah. Mereka mengetahui bahwa tanggung jawab mereka juga terkait dengan
wilayah setempat mereka, dan ditunjukkan dengan pemahaman mereka terhadap aneka
masalah sosial saat ini. Persiapan profesional dan kemampuan teknis menjadi
prasyarat penting untuk mengajar, tetapi itu tidaklah cukup. Fungsi pendidikan
dinyatakan dengan mendampingi orangorang muda memahami zaman mereka sendiri dan
menyediakan pemikiran-pemikiran yang meyakinkan untuk rencana hidup mereka.
Multikulturalisme dan pluralisme merupakan ciri khas zaman kita; maka, para
guru harus dapat memberikan kepada para siswa mereka alat-alat budaya yang
perlu untuk mengarahkan hidup mereka. Selain itu, para guru harus memungkinkan
para siswa mereka mengalami latihan mendengarkan, menghormati, dan berdialog
secara nyata dan mengalami nilai keberagaman dalam kehidupan sehari-hari di
kelas.
Seorang
guru di sekolah Katolik memiliki peran penting dalam misi dan kehidupan Gereja.
Seorang guru Katolik diharapkan dapat berkontribusi evangelisasi dan pembinaan
anak-anak dalam iman Katolik dan harus memiliki kapasitas dan komitmen untuk:
a.
Memahami dan berkomitmen pada identitas Katolik.
b.
Mengembangkan pemahaman dan komitmen terhadap ajaran Gereja Katolik.
c.
Memahami hubungan integral antara sekolah, Paroki dan Keuskupan.
d.
Memahami pentingnya pendidikan agama bagi peserta didik, dan berusaha untuk
mengintegrasikan nilai-nilai Katolik dalam pengajaran disiplin ilmu lain.
e.
Menghargai peran guru dalam menerima dan mewartakan Kabar Baik melalui
perkataan dan perbuatan yang disertai contoh kehidupannya.
f.
Mendukung orang tua dan keluarga untuk menginjili dan mengatekisasi
anakanaknya.
Guru
yang punya profesi mengajar dan merupakan hasil lembaga pendidikan resmi
diyakini bahwa mereka mampu dan siap berperan dalam hidup masyarakat dan Gereja
setempatnya. Sebagai anggota masyarakat tentu mereka dapat melakukan gerakan
membangun semangat kebersamaan tanpa harus membatasi ruang geraknya hanya
dengan teman seimannya.
Sebagai
anggota gereja, tentu mereka diharapkan hadir dalam semangat kebersamaan yang
saling berbagi pengalaman dan pergumulan umat. Dalam semangat kemuridan dan
sebagai guru bina iman harus bersedia berhadapan dengan umat setempat.
Partisipasi aktif guru agama dalam persekutuan setempat harus masuk agenda.
Keterlibatan dalam lingkup komunitas setempat merupakan dimensi yang tidak bisa
diabaikan bahkan masuk hakekat penghayatan iman pastoral guru agama.
Keterlibatan yang pertama hadir sebagai teman seiman, ikut berbagi pengalaman
iman.
Tugas
guru agama itu sarat dengan pesan misi dan pengutusan gereja. Peran guru agama
melampaui fungsi profesi guru biasa. Guru agama katolik itu menjadi teladan dihadapan anak didiknya bukan
saja sebatas guru sebagaimana yang lain tetapi dia menjadi teladan dalam hidup
iman dan juga penghayatan dan pelaksanaan iman itu secara nyata dan langsung.
Di luar institusi sekolah guru agama tetap diminta partispasinya sebagai
pembina iman (katekis). Guru agama itu punya
peran pewarta sekaligus hidupnya sendiri harus memberi peneguhan terhadap isi
pewartaannya.