Hakikat Dasar Ajaran Sosial Gereja: makna teologis, Eklesiologi dan Pokok-pokok ASG (Refleksi atas Kajian Modul Ajaran Sosial Gereja 4)

Hakikat Dasar Ajaran Sosial Gereja: makna teologis, Eklesiologi dan Pokok-pokok ASG (Refleksi atas Kajian Modul Ajaran Sosial Gereja 4)



Hakikat dasar Ajaran Sosial Gereja (makna teologis, Eklesiologi dan Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja)

Iman akan Allah serta hidup dan karya Yesus Kristus mengandung panggilan berpatisipasi aktif atau menuntut keterlibatan nyata. Pengertian ajaran sosial gereja dapat diartikan sebagai respond gereja terhadap fenomena atau persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia dalam bentuk himbauan, kritik, atau dukungan. Ajaran sosial di gereja bersifat lunak, apabila dibandingkan dengan ajaran gereja dalam arti ketat, yaitu dogma. Dengan kata lain, ajaran sosial di gereja merupakan bentuk keprihatinan gereja terhadap dunia dan umat manusia dalam wujud dokumen yang perlu sosialisasi.

Ajaran sosial gereja didasarkan pada sebuah pemikiran bahwa: ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatupun yang sungguh manusiawi, yang tidak bergema di hati mereka”. (G S, art.1 ). Sebab,”Dengan mengabaikan tugas kewajibannya di dunia ini orang Kristiani melalikan tugas kewajibannya terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan kekalnya”.( GS art. 43 ).

Ajaran-ajaran ini dirangkum dalam ajaran sosial Gereja. Ajaran sosial Gereja terumus dalam ensiklik-ensiklik (surat edaran) para Paus. Melalui ensiklik-ensiklik yang memuat ajaran sosial Gereja, Paus sebagai wakil Gereja mau mengungkapkan sikap Gereja terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik sejak munculnya masalah sosial pada awal abad 19.

Makna Teologis dan Eklesiologi Ajaran Sosial Gereja

Dengan frase “ajaran sosial Gereja”, dimaksudkan sebagai realitas eklesial yang komplex dan rentan terhadap pelbagai macam interpretasi. Ada dua makna yang dimaksudkan dengan apa yang disebut ”ajaran sosial Gereja”:

1.      Ajaran Sosial Gereja adalah peristiwa Gerejani

“Ajaran sosial Gereja” hanya dimaksudkan sebagai suatu pengertian formal atau dasar, seperti suatu kekuatan yang muncul dari iman kristiani yang dapat menerangi dan mengubah realitas sosial setiap masa dan di setiap situasi. Jadi “ajaran sosial Gereja” lebih merupakan suatu dinamisme iman dari pada ajaran formal; lebih sebagai suatu tuntutan ortodoxia dan ortopraksis daripada suatu ajaran magisterium; lebih sebagai satu logika kehidupan dari pada suatu argumentum doktrinal. Jelasnya, dinamika, tuntutan dan logika kehidupan seperti itu memang membutuhkan suatu rumusan doktrinal, kalau tidak tetap kosong isinya. “Ajaran sosial Gereja” lebih dimaksudkan seperti itu, karena itu bukanlah suatu “corpus” ajaran, tetapi lebih sebagai suatu refleksi permanen; bukan ajaran resmi atau dari hirarki, tetapi lebih sebagai wacana teologis dari jemaat beriman.

2.      Ajaran Sosial Gereja : Kebutuhan Telogi-Moral

ASG terfragmen dalam suatu “kebutuhan teologis Gereja”, maksudnya bahwa dalam menanggapi persoalan sosial, Gereja menyampaikan pandangan serta ajarannya yang bersumber pada wahyu dan tradisi suci. Meskipun, sebagai kegiatan magisterial, ASG adalah bagian dari sikap pelayanan pastoral Gereja kepada dunia yang di dalamnya terkandung pandangan teologis-moral. Artinya, dalam ASG kita menemukan suatu refleksi teologis, yang merupakan paduan dari iman dan pengetahuan manusia; ajaran moral yang mengacu kepada nilai universal; dan sehingga ASG termasuk ke dalam teologi moral.

3.      ASG merupakan aplikasi teologi moral dalam bidang sosial

ASG adalah bagian dari teologi moral yang tidak bisah dipisahkan dari dimensi magisterial dari hirarki Gereja. ASG merupakan aplikasi kuasa mengajar Gereja; yang mana dia menjalankan suatu fungsi memadukan, memberdayakan dan mengarahkan kekuatan sosial dari Gereja Katolik. Dengan demikian, ASG merupakan aplikasi dari teologi moral sosial.

 

Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja

Ada dua (2) hal pokok yang menjadi landasan pokok ASG sebagai pengejawantahan dari eksistensinya atau tanggapan terhadap situasi sosial, yaitu: Pertama, menyatakan sikap Gereja terhadap dunia (Piet Go, 1984: 8). Pasca Konsili Vatikan II, Gereja mulai membuka ruang dialog dengan dunia. Dalam semangat aggiornamento, Gereja menatap dunia secara positif dan optimis. Cara pandang yang baru ini, menjadi pintu masuk bagi Gereja untuk terlibat dalam setiap pergumulan dunia, setelah bertahun-tahun memandang dunia secara negatif dan pesimis (extra ecclesiam nulla salus). Dengan kesadaran baru tersebut, Gereja pun mulai terlibat dan memberikan perhatian pada dunia, secara khusus masalah-masalah sosial.

Perhatian dan partisipasi aktif Gereja dalam hal ikhwal keduniaan, khususnya solidaritas dengan umat manusia dimaklumatkan dalam kalimat pertama Gaudium et Spes: "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama yang miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga, tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tidak bergema dalam hati mereka …" (GS. 1).

Konsili Vatikan II sungguh menjadikan Gereja Katolik lebih rendah hati, megakui ketidaksempurnaan dirinya dan mengakui serta menghargai otonomi dunia (GS 36). Gereja tidak hanya merasa dan bersedia memberi sumbangan kepada dunia, melainkan juga menerima sumbangan dunia yang dapat memperkayanya. Sikap inilah yang disebut sebagai dialog Gereja dengan dunia. Dalam konteks ini, ASG menjadi konkretisasi sikap Gereja terhadap dunia.

Dilain sisi ASG menegaskan tugas sosial sebagai bagian integral pengutusan atau panggilan Gereja untuk dunia. Sebagai sebuah institusi ataulembaga iman, Gereja memiliki tugas perutusan dan panggilan untuk melayani manusia secarab  menyeluruh. Tugas sosial dipandang sebagai hal yang sangat urgen dan relevan untuk mencapai cita-cita manusia seutuhnya. Tugas sosial dalam konteks ini, berkaitan erat dengan peran serta Gereja dalam menghadapi persoalan social di zaman perkembangan peradaban hidup manusia.

 

Refleksi/ Pemaknaan atas Hasil Kajian Modul (penerapan dalam tugas profesional sebagi guru PAK)

Salah satu masalah sosial yang memprihatinkan saat ini adalah masalah buruh, secara khusus serikat buruh yang menjadi naungan bagi kaum buruh atas kondisi kerja yang begitu menindas mereka baik dari kalangan pengusaha atau memiliki modal maupun dari pemerintah sendiri yang mengeluarkan kebijakan perburuhan yang jelas-jelas tidak memihak mereka. Merupakan tantangan yang sangat berat bahwa saat ini serikat buruh (konteks Indonesia) harus berhadapan dengan sistem ketenagakerjaan yang fleksibel sebagai program dari neoliberalisme.

Negara melepaskan tanggung jawab dari tugasnya untuk melindungi buruh. Buruh dilepas dan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, menghadapi pasar bebas, bertarung dengan lawan tak seimbang.

Ajaran sosial Gereja berusaha menjawab atau memberikan pencerahan untuk masalah setiap zaman. Salah satu dokumen ASG yang menyoroti masalah ini adalah Ensiklik Laborem Exercens secara khusus artikel 20, yang membicarakan tentang serikat-serikat pekerja. Kiranya ASG juga relevan dengan realitas masalah yang sedang terjadi dalam bidang perburuhan. Masalah yang berkenaan dengan serikat perburuhan dapat ditemukan pemecahannya atau paling tidak menjadi pedoman berdasarkan ensiklik LE artikel 20. Ajaran Gereja menyatakan bahwa hak dan kebutuhan kaum buruh harus dilindungi. Hal ini memunculkan hal baru lagi yakni hak atas persekutuan. Persekutuan ini disebut sebagai serikat pekerja. Serikatserikat kerja ini dibentuk menurut jenis pekerja, profesi sehingga masingmasing mencerminkan kekhasannya. Tujuan pembentukannya sendiri untuk membela kepentingan paling pokok mereka di pelbagai kejuruan.

Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem Exercens mengatakan pribadi manusia pada hakikatnya adalah satu makhluk sosial, karena Allah yang menciptakan manusia menghendakinya demikian. Kodrat manusia malah menyatakan dirinya sebagai kodrat dari satu makhluk yang tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Paus Leo XIII memaklumkan ensiklik sosial yang pertama, Rerum Novarum. Ensiklik ini membedakan kondisi pekerja upahan, yang secara khusus menyusahkan para pekerja industri yang merana dalam kesengsaraan yang tidak manusiawi. Masalah kerja dikaji dalam semua bentuk ungkapan di bidang sosial dan politik sehingga sebuah penilaian yang tepat bisa dibuat berdasarkan moralitas seseorang.

Implikasi makna kerja dewasa ini dipengaruhi oleh banyak faktor dan sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin pesat. Kurangnya kesempatan kerja, budaya instan, pengaruh hedonisme, kemajuan teknologi, dan sebagainya merupakan tantangan yang dihadapi oleh manusia dalam dunia kerja. Fenomena yang terjadi ini, mengarahkan manusia untuk memaknai makna kerja seturut perkembangan yang terjadi saat ini. Persoalan begitu menonjol yang dihadapi oleh serikat buruh antara lain: adanya kebijakan dan perundang-undangan yang timpang dan merugikan buruh, pemerintah tidak lagi memberikan perlindungan bagi kaum buruh ketika berhadapan dengan para pemilik modal, sistem organisasi serikat buruh yang masih perlu diperbaiki baik dari segi tujuan maupun keanggotaannya, ada elite serikat buruh yang mengambil keuntungan dari ketertindasan buruh. Sehingga tidak lagi menjadi keprihatinan dalam menangani persoalan kaum buruh yang senantiasa memerlukan perjuangan dari berbagai pihak yang terkait.

Ajaran Sosial Gereja (selanjutnya ASG) merupakan ajaran yang didasarkan pada hidup dan karya Yesus Kristus yang memiliki perhatian dan komitmen kepada kaum lemah dan miskin. ASG menjadi ajaran penting bagi Gereja karena menampilkan Gereja sebagai Sakramen Kerajaan Allah yang membawa keselamatan bagi dunia (Lumen Gentium, art. 5). Selama 126 tahun ASG telah menjadi ajaran dan tradisi Gereja Katolik, dimulai dari penerbitan pesan apostolik Rerum Novarum (1891) oleh Paus Leo XIII. Usia ASG sudah melampaui satu abad, namun isi ajaran yang menampilkan identitas Gereja sebagai komunitas sosial di tengah kehidupan masyarakat rupa-rupanya belum kuat bergaung di dalam kehidupan umat beriman Katolik sendiri.

Dari hasil kajian modul ada beberapa manfaat yang saya peroleh setelah mendalami materi Ajaran Sosial Gereja direlevankan dengan tugas dan tanggung jawab sebagai guru agama Katolik yakni:

1.      Aspek Kognitif : saya mampu menguasai dan menjelaskan hakikat dasar Ajaran Sosial Gereja

2.      Aspek Afektif:  saya mendalami dan menganalisis tema-tema penting dalam beberapa dokumen ASG

3.      Aspek Psikomotorik : saya dapat mengimplementasikan pokok materi tentang ASG dalam tugas keprofesian sebagai guru PAK melalui keterlibatan sosial dalam hidup nyata.

 Lebih lanjut dalam proses pembelajaran kontekstual ASG memberikan pengetahuan teoritis tentang dasar, sumber, dan isi ASG, serta pengalaman belajar terkait persoalan-persoalan terkini yang terjadi di lingkungan sekitarnya dengan mengajak para peserta didik menyoroti persoalan-persoalan konkret social kemasyarakatan.

Efektivitas metode pembelajaran ASG juga dapat dilihat di dalam perubahan cara pandang dan pemikiran-pemikiran mereka yang terlibat di dalamnya. Hal ini sesuai dengan gagasan/teori konstruktivisme di dalam pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh Fosnot (1989), yakni: “belajar bukan sekadar mengumpulkan fakta tetapi suatu proses yang berkembang dengan membuat kerangka pemikiran yang baru.”

Materi ASG sebenarnya merupakan materi kurikulum untuk siswa SMA kelas XI yang dibahas dalam pelajaran ke 16 sampai ke 18. Fakta di lapangan (sekolah) menunjukkan bahwa proses penyampaian materi kurikulum di sekolah pada umumnya bersifat penyampaian pengetahuan, sehingga proses pembelajaran ASG yang dilaksanakan melalui lokakarya ASG dipandang mampu membuat nilai-nilai ASG lebih mudah dipahami dan dirasakan dampaknya oleh siswa. Dengan demikian, apa yang dicita-citakan oleh Pendidikan Agama Katolik (PAK) di sekolah, seperti yang dimunculkan dalam kata pengantar buku PAK dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK kurikulum 2013, dapat terwujud.

“Belajar bukan sekadar untuk tahu, melainkan dengan belajar seseorang menjadi tumbuh dan berubah....tidak [sekadar] belajar lalu berubah, tapi juga mengubah keadaan ... . Pembelajaran agama diharapkan dak hanya menambah wawasan keagamaan, tapi juga mengasah keterampilan beragama dan mewujudkan sikap beragama siswa. Sikap beragama yang utuh dan berimbang mencakup hubungan manusia dan penciptanya, dan hubungan manusia dengan sesama dan lingkungan sekitarnya.” (Boli Kotan & P.Leo Sugiyono, 2014: iii)

Pernyataan tersebut menguatkan keyakinan saya bahwa proses pembelajaran ASG bagi saya dan juga teman-teman Guru Agama Katolik dapat atau semestinya berfungsi sebagai formator atau agen-agen perubahan, yakni perubahan di dalam diri sendiri, keluarga, sekolah, Gereja, dan masyarakat. Fungsi formator dapat berdampak apabila pembelajaran ASG bagi guru Pendidikan Agama Katolik dirancang dan dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal berikut:

Proses pembelajaran ASG menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual yang bertolak dari situasi dan kebutuhan konkret orang muda, berciri partisipatif yang melibatkan pikiran, perasaan dan kehendak peserta didik, reflektif yang terarah pada penemuan nilai-nilai dari pengalaman/keterlibatan, transformatif yang mampu menggerakkan Guru Agama Katolik untuk membuat perubahan di dalam diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, dan berkelanjutan sehingga menumbuhkan keinginan untuk terus menerus belajar dan bertumbuh-kembang ;

1)     Isi atau materi-materi yang disajikan di dalam proses pembelajaran ASG terkait dengan isu-isu konkret-aktual yang terjadi di sekitar peserta didik; dalam hal ini, pengalaman dari keterlibatan di dalam kegiatan dan dari perjumpaan dengan masyarakat menjadi isi pembelajaran yang berharga, sama berharganya dengan doktrin-doktrin Gereja yang dipelajari;

2)     Bentuk pembelajaran ASG berkarakter peer group, melibatkan semua peserta didik di dalam kerja sama dengan sesama yang sebaya, melakukan sejumlah aktivitas yang memotivasi dan menantang mereka untuk mencari dan menemukan berbagai realitas sosial, keprihatinan yang ada di dalamnya, serta upaya yang dapat dilakukan untuk menanggapinya;

3)     Pelaksanaan pembelajaran ASG melibatkan peserta didik bukan Katolik dan tokoh-tokoh masyarakat yang dapat menjadi panutan bagi kaum muda; membuka peluang bagi Guru Agama Katolik untuk membuat jejaring kerja sama lintas agama, lintas budaya, dan lintas generasi, yang terarah pada perjuangan mewujudkan nilai-nilai universal demi transformasi sosial masyarakat.

Para guru sekarang ini adalah para anggota komunitas profesional. Mereka berkontribusi untuk menyusun kurikulum; dan mereka mempunyai tanggung jawab untuk berhubungan dengan beragam subjek lain, teristimewa keluarga-keluarga para siswa. Sebuah sekolah yang baik adalah sekolah di mana para guru, sebagai satu kelompok, tahu bagaimana menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar korps yang diakui, di mana para anggotanya diikat bersama oleh ikatan birokrasi belaka. Sebaliknya, mereka hendaklah menjadi sebuah komunitas, yang menghidupi relasi profesional sekaligus personal, bukan sekadar di tingkat permukaan, melainkan pada level yang lebih dalam, diikat bersama oleh kepedulian yang sama untuk pendidikan.

Para guru yang baik tahu bahwa tanggung jawab mereka tidak berakhir di luar kelas atau sekolah. Mereka mengetahui bahwa tanggung jawab mereka juga terkait dengan wilayah setempat mereka, dan ditunjukkan dengan pemahaman mereka terhadap aneka masalah sosial saat ini. Persiapan profesional dan kemampuan teknis menjadi prasyarat penting untuk mengajar, tetapi itu tidaklah cukup. Fungsi pendidikan dinyatakan dengan mendampingi orangorang muda memahami zaman mereka sendiri dan menyediakan pemikiran-pemikiran yang meyakinkan untuk rencana hidup mereka. Multikulturalisme dan pluralisme merupakan ciri khas zaman kita; maka, para guru harus dapat memberikan kepada para siswa mereka alat-alat budaya yang perlu untuk mengarahkan hidup mereka. Selain itu, para guru harus memungkinkan para siswa mereka mengalami latihan mendengarkan, menghormati, dan berdialog secara nyata dan mengalami nilai keberagaman dalam kehidupan sehari-hari di kelas.

Seorang guru di sekolah Katolik memiliki peran penting dalam misi dan kehidupan Gereja. Seorang guru Katolik diharapkan dapat berkontribusi evangelisasi dan pembinaan anak-anak dalam iman Katolik dan harus memiliki kapasitas dan komitmen untuk:

a. Memahami dan berkomitmen pada identitas Katolik.

b. Mengembangkan pemahaman dan komitmen terhadap ajaran Gereja Katolik.

c. Memahami hubungan integral antara sekolah, Paroki dan Keuskupan.

d. Memahami pentingnya pendidikan agama bagi peserta didik, dan berusaha untuk mengintegrasikan nilai-nilai Katolik dalam pengajaran disiplin ilmu lain.

e. Menghargai peran guru dalam menerima dan mewartakan Kabar Baik melalui perkataan dan perbuatan yang disertai contoh kehidupannya.

f. Mendukung orang tua dan keluarga untuk menginjili dan mengatekisasi anakanaknya.

 

Guru yang punya profesi mengajar dan merupakan hasil lembaga pendidikan resmi diyakini bahwa mereka mampu dan siap berperan dalam hidup masyarakat dan Gereja setempatnya. Sebagai anggota masyarakat tentu mereka dapat melakukan gerakan membangun semangat kebersamaan tanpa harus membatasi ruang geraknya hanya dengan teman seimannya.

Sebagai anggota gereja, tentu mereka diharapkan hadir dalam semangat kebersamaan yang saling berbagi pengalaman dan pergumulan umat. Dalam semangat kemuridan dan sebagai guru bina iman harus bersedia berhadapan dengan umat setempat. Partisipasi aktif guru agama dalam persekutuan setempat harus masuk agenda. Keterlibatan dalam lingkup komunitas setempat merupakan dimensi yang tidak bisa diabaikan bahkan masuk hakekat penghayatan iman pastoral guru agama. Keterlibatan yang pertama hadir sebagai teman seiman, ikut berbagi pengalaman iman.

Tugas guru agama itu sarat dengan pesan misi dan pengutusan gereja. Peran guru agama melampaui fungsi profesi guru biasa. Guru agama katolik itu menjadi teladan dihadapan anak didiknya bukan saja sebatas guru sebagaimana yang lain tetapi dia menjadi teladan dalam hidup iman dan juga penghayatan dan pelaksanaan iman itu secara nyata dan langsung. Di luar institusi sekolah guru agama tetap diminta partispasinya sebagai pembina iman (katekis). Guru agama itu punya peran pewarta sekaligus hidupnya sendiri harus memberi peneguhan terhadap isi pewartaannya.



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama