|
Rusgu Nitnoni (54), petani lahan kering di pinggiran Kelurahan Naimata, Kota Kupang, Selasa (28/11/2023) |
Rusgu Nitnoni (54), petani lahan kering di pinggiran
Kelurahan Naimata, Kota Kupang, Selasa (28/11/2023), mengatakan, lahannya sudah
siap ditanam, tetapi saat ini cuaca masih panas dan hujan belum turun merata.
Nitnoni mengatakan, ia kini harus mencangkul kebun
pukul 06.00 Wita. Pukul 07.00 Wita cuaca sudah mulai panas dan tidak lagi
nyaman untuk bekerja di lapangan. Padahal, sebelumnya pukul 07.00 cuaca masih
sejuk dan matahari belum menyengat. ”Akhir-akhir ini, siang lebih panjang
daripada malam. Pada pukul 05.00 Wita saja suasana di luar rumah sudah terang
benderang,” katanya.
Petani juga sedang menunggu hujan karena air
dibutuhkan pada masa awal tanam. Biasanya pada akhir November hujan sudah mulai
turun, tetapi kini hujan hanya turun sebentar dan tak merata.
”Banyak petani sedang resah. Hujan tak merata. Saat
tanam tak pasti. Hujan sebentar, lalu berhenti, selama beberapa hari.Itu pun
hanya basah di permukaan,” kata Nitnoni.
Persoalan perubahan iklim ini sudah beberapa tahun
menjadi masalah. Petani lahan kering bahkan telah gagal menanam jagung hingga
tiga kali.
Musim tanam 2022-2023, misalnya, curah hujan terlalu
banyak. Tanaman terendam air hujan. Adapun musim tanam 2021-2022 juga gagal
panen karena kekeringan. Petani selalu dirundung ketidakpastian setiap musim
tanam tiba. Kini, mereka mencoba tanaman lain, seperti singkong dan
kacang-kacangan.
Ketua Yayasan Timor Membangun Nusantara Martin Duan
mengatakan, saat ini lahan petani di Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan,
Belu, Malaka, Ngada, Lembata, dan Nagekeo sudah siap tanam. Jika hujan sudah
turun menyeluruh, petani langsung bisa bercocok tanam.
”Persiapan lahan lebih awal karena jauh sebelumnya
ada informasi BMKG bahwa hujan dimulai awal November di beberapa wilayah NTT.
Tapi, ternyata perkiraan meleset,” katanya.
Agus Sina (45), petani lahan kering di Kelurahan
Fatukoa, mengatakan, sebagai petani, apa pun kondisi di lapangan tetap
menyiapkan lahan. Petani sudah menyatu dengan tanah dan tanaman yang tumbuh di
atas lahan itu. Kebahagiaan petani saat menyaksikan tanaman itu tumbuh,
berkembang, berbuah, dan dinikmati sebagaihasil keringat sendiri.
”Pertanian lahan kering, itu warisan nenek moyang.
Kami melanjutkan. Jadi, bertani tidak sekadar demi kebutuhan perut, tetapi
menjaga tradisi dan adat istiadat leluhur,” kata Agus.
Petani empat anak ini mengaku, musim tanam 2022/2023
mendapat sekitar 300 kg jagung pipil di areal sekitar 5.000 meter persegi.
Jagung itu untuk kebutuhan lima bulan. Ia juga melanjutkan menanam lahannya
dengan tanaman lain, yakni singkong, keladi, terung, tomat, pepaya, kelor,labu
kuning,pisang, dan beberapa jenis bumbu dapur.
Ketika masuk musim kemarau, lahannya tak bisa
ditanami. Ia pun memilih bekerja serabutan mulai dari menjadi buruh bangunan,
proyek jalan, memperbaiki rumah warga, menjual kayu bakar, hingga pekerjaan
lain yang bisa menghasilkan uang. ”Untuk belanja beras dan biaya transportasi
anak-anak, istri menenun selain mengurus rumah tangga,” katanya. *** kompas.id