Saya justru sebaliknya. Saya bangga jadi anak desa.
Dengan segala kesederhanaan, keramahan, ketulusan dan juga panorama alam yang
jarang dialami oleh orang kota. Lebih lagi, tinggal di desa itu, surganya dunia
ini. Segala yang kita cari dan rindukan ada di desa. Mau makan jagung, ubi,
nasi, buah-buahan, semua ada di sana. Lebih lagi, kedamaian dan ketentraman
hidup sangat terasa di desa.
Terkesan akan pengalaman masa kecilnya di desa,
Andrea del Verocchio seniman kebangsaan Italia pernah menulis begini, “Aku
bangga tempatku dilahirkan. Di desa nan sunyi, yang mengalirkan beribu
inspirasi. Dan ketika, aku melangkah, berjuta harapan lahir dalam kesahajaan
dan kesederhanaan.” Ini sebuah ungkapan hati. Juga sebuah rasa syukur yang
tidak berhingga. Bahwa tempat kita lahir dan dibesarkan, adalah rumah hati kita
yang akan selalu dikenang dan dirindukan.
Desa
itu Sejarah dan Budaya
Desa itu adalah rumah dan ia mewakili sejarah hidup.
Melalang buana di negeri orang tidak berarti melupakan, “apa yang di belakang.”
Ungkapan founding father kita, Sukarno kiranya penting untuk selalu dikenang.
“Jasmerah,” Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebab, sejarah bisa
terulang (history is repetead). Atau kata-kata indah yang pernah ditulis oleh
filosof eksistensialis asal Denmark, Soren Kierkegaard, “Hidup hanya akan
dimengerti ke belakang, tetapi harus dijalankan ke depan.”
Goresan singkat ini lahir berkat perjumpaan dengan
seorang teman lama, beberapa waktu lalu. Kami berasal dari daerah yang sama.
Berteman cukup lama. Saat bertemu di kota, ia berpura-pura baru mengenalku. Di
hadapan teman-temannya, ia bersikap cuek. Denganku ia menggunakan bahasa Jawa dan
menyembunyikan logatnya sebagai orang desa.
Aku hanya tersenyum dengan hati kesal. Bagiku ia
tidak hanya melupakan sejarahnya, tetapi melupakan budaya. “Manusia adalah
budayanya,” kata antropolog Australi Colin Groves. Bagi Groves di dalam budaya,
manusia itu menjadi manusia. Melupakan budaya, berarti melupakan asal usul,
demikian katanya.
Saya tidak sedang, menyebut teman itu kebablasan.
Sebab antropolog Australi itu menyebut juga bahwa, perasaan gengsi, malu, dan
merasa paling adalah sikap yang sering ditunjukkan oleh orang yang tidak
mengenal diri dan budaya dengan baik dan benar. Hal itu dapat diterima,
mengingat manusia itu mahkluk bermuka dua. Di satu sisi menampilkan wajah
kasih, tetapi di sisi lain menampakkan wajah yang kurang ramah.
Merawat
Hati
Perkara hidup manusia ialah tentang merawat hati.
Sering terdengar ungkapan demikian, manusia adalah hatinya. Pernyataan ini
benar adanya. Hati adalah keseluruhan diri manusia. Segala perkara manusia
selalu dikaitkan dengan hati. Ketika terjadi kesalahan atau kekeliruan
misalnya, orang tidak menyebut di mana kakimu, tetapi di mana hatimu. Maka,
kalau hati jadi membatu, ia perlu lunakkan.
Perkara merawat hati hemat saya ialah tentang proses
untuk menerima diri dan menjadi diri sendiri. Sepanjang hidup, kita selalu
bergulat dengan proses perkara menerima diri. Kadang muncul pertanyaan, apa
pentingnya menerima diri, saya lebih nyaman menjadi seperti orang lain. Saya
teringat, seorang kudus yang mengatakan, “Menjadi bahagia itu ialah menjadi
diri sendiri. Tidak ada yang lebih membuat orang merasa puas, bersyukur, dan
nyaman dengan segala perkara hidup ini kalau belum sungguh-sungguh menerima
diri apa adanya.” Menerima diri membuat orang mampu menerima orang lain. Tak
hanya itu, penerimaan diri memungkinkan orang bangga dengan asal usul, budaya,
sejarah hidupnya.
Di sudut sebuah kota di pulau Timor, seorang guru
muda, selalu ke ladang sehabis mengajar. Gaji bulanan yang diterimanya
belum cukup menghidupkan keluarga kecilnya. Tetapi saat ditanya,
mengapa masih terus ke ladang, ia menjawab, “Aku adalah petani. Ladangku adalah
hidupku. Dari penghasilan ladang ini, aku bisa sekolah hingga sarjana. Aku
tidak akan melupakannya.” Demikian katanya sambil tersenyum.
Ia bangga dengan statusnya sebagai anak petani dan
orang desa. Sebab di sanalah ia lahir dan dibesarkan. Baginya melupakan desa,
sama dengan tidak dilahirkan di dunia ini.
***
Saya sendiri
berasal dari kampung Numbei,
bagian perkampungan yang sangat terisolasi di
desa Kateri wilyah kota Betun Ibu Kota Kabupaten Malaka Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Apakah saya yang dari kampung, lantas dengan sendirinya harus
mendapat julukan kampungan?
Apa beda antara
kampung dan kampungan? yang pertama adalah lebih menunjuk kepada geografis atau
lokasi dimana seseorang tinggal. sementara yang yang kedua lebih menunjukkan
suatu sikap yang “uncivilized” atau “uneducated” . bagaimana seseorang itu
menyikapi sesuatu terlepas orang itu dari kota maupun desa.
Dari pemikiran
diatas, orang kampung tidak tepat kalau dibilang kampungan hanya berdasarkan
geografis. artinya orang kampung bisa saja lebih “ngota” ketimbang orang-orang
yang hidup dikota ketika orang-orang kampung begitu respek dan simpati terhadap
sesama.
Orang-orang yang
tinggal dikota sebaliknya bisa saja lebih kampungan dari orang-orang kampung,
jika orang-orang kota cenderung egois dan tidak punya respek baik terhadap
sesama maupun terhadap alam.
Saya pun
bertanya apakah korupsi yang terjadi di pusat-pusat kekuasaan itu bagian dari
sikap kampungan? rasa-rasanya, praktek korupsi itu bukanlah praktek yang
beradab, tapi justru jiji dan menjijikan. kalau korupsi itu praktek yang
uncivilized, berarti pelaku-pelaku korupsi itu baik dikota maupun di desa,
adalah orang-orang yang kampungan banget. Bisa jadi mobil mereka mewah, rumah
mereka megah, tapi sayang dihasilkan dari mentalitas kampungan mereka.
Orang kampung
jangan bersedih hati hanya karena tinggal di kampung. sebaiknya kampung kalian
harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Buanglah sampah pada tempatnya. Bangunlah
jiwa-jiwa entrepreneur untuk para remaja desa agar menjadi generasi dengan
karaktek yang tegas dan kuat, bukan generasi yang pintar mengeluh. kampung
kalian harus bersih sebersih pikiran dan hati kalian. Bangun pula jiwa-jiwa
kritis yang tidak mau dibodohi oleh orang-orang yang ngakunya pintar tapi
justru membodohi.
Orang kampung
dengan karakter yang metropolitan dan well-civilized, kenapa tidak?