1.
Pengantar
Selama
beberapa waktu terakhir ini, ada banyak berita tentang tingkah laku para pemimpin politik, para
penguasa ekonomi dan bahkan kaum agamawan serta warga masyarakat yang beragama
sering tidak menampilkan ciri-ciri
manusia yang beriman kepada Allah. Padahal hampir seluruh warga Negara Republik
Indonesia mengaku beriman kepada Tuhan Allah. Sangat menyakitkan bahwa kegiatan
ibadah dan telaah atas isi dan makna Kitab suci berlangsung semarak, namun di
sisi lain serentak pula praktek korupsi, kekerasan dan eksploitasi alam di
seluruh nusantara. Sungguh mengagetkan di seluruh lembaga bahkan lembaga
pendidikan dan keagamaan yang mengajarkan nilai-nilai luhur, praktek ketidakjujuran
bertumbuh subur.
Berhadapan dengan persoalan ini para uskup
Waligereja Katolik yang bergabung dengan SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik
Indonesia) dalam refleksi bersamanya menemukan pokok-pokok keprihatinan yang saat ini sedang melanda Bangsa Indonesia.
Keprihatinan itu menuntut suatu keterlibatan nyata dari warga negara Indonesia
sendiri, secara khusus umat katolik. Menanggapi tuntutan itu para uskup dalam Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia (NP KWI) tahun 2004 menekankan habitus
(watak) baru bangsa untuk memperbaiki rusaknya keadaban publik.[1] Dalam
rangka itu umat katolik diajak untuk mengenali panggilan dan tanggung jawabnya
di dunia yakni mengusahakan kesejahteraan umum. Konstitusi Pastoral Gaudium Et Spes, Art. 1 menyatakan, “Kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama orang
miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka
dan kecemasan murid Kristus juga”.[2]
Dokumen Konsili ini mengingatkan Gereja akan
pentingnya keterlibatan umat katolik dalam kehidupan sosial politik untuk
menciptakan, mempertahankan dan memperbaiki tata aturan dalam suatu masyarakat
demi kebaikan dan kemajuan bersama. Karena itu umat Katolik mesti melihat
politik sebagai bagian dari dimensi terdalam hidupnya demi perwujudan kasih
Allah. Di mana ia secara aktif dan bebas
berpartisipasi dalam mewujudkan secara konkret usahanya untuk memajukan
kesejahteraan umum.
2.
Keterlibatan Umat Katolik dalam
Kehidupan Sosial Politik
Sejak
dibaptis seorang katolik menjadi warga
dua komunitas yakni komunitas insani dan serentak komunitas gerejawi. Sebab
seseorang lahir dalam dan sebagai warga masyarakat tertentu dulu sebelum
dibaptis menjadi warga Gereja. Hal ini berarti, setiap warga Gereja adalah juga
bahkan lebih dahulu menjadi warga masyarakat. Dengan demikian setiap sakramen
baptis dan krisma yang diterima setiap umat katolik mengandung tugas untuk
menyumbangkan segenap tenaga yang mereka terima sebagai berkat Sang Pencipta
dan Rahmat Sang Penebus bagi perkembangan Gereja setempat di mana mereka
berada. Nabi Yeremia menulis, “Usahakanlah Kesejahteraan kota ke mana kamu dibuang, dan berdoalah untuk
kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:
7).
Tugas ini mengambil bentuknya yang paling konkret
dalam keterlibatan orang katolik dalam kehidupan sosial politik. Keterlibatan
orang katolik dalam kehidupan sosial politik adalah kontribusi sekaligus tugas
utama yang dapat dilaksanakan umat
katolik dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa di tengah kecemasan dan harapan
dunia. Dengan semangat dasar ini tidak
ada alasan bagi umat katolik untuk menyebut politik itu sebagai sesuatu yang
kotor, penuh dengan tantangan dan akal yang busuk tetapi sebagai usaha untuk
mewujudkan kesejahteraan umum (bonum
commune). Di arena inilah tugas dan panggilan Gereja, khususnya awam untuk
menjadi garam dan terang dunia.
Panggilan untuk terlibat dalam bidang politik
melekat pada sakramen inisiasi kristiani yakni Baptis, Krisma dan Ekaristi.
Berdasarkan baptisan semua orang katolik dipanggil untuk membangun dunia yang
baru. Salah satu caranya adalah dengan masuk dan terlibat dalam politik sebagai
sarana kendati bukan satu-satunya sarana pengembangan dunia baru. Dunia politik
menjadi wahana yang efektif karena bersinggungan langsung dengan keprihatinan
dan pergulatan hidup masyarakat[3].
Berkat sakramen krisma orang yang sudah dibaptis mendapat kekuatan baru dari
Roh Kudus untuk bertekun dalam tugas perutusan. Mereka dibimbing oleh cahaya
kasih kristiani untuk bertindak langsung agar tata dunia ini diperbaharui
terus-menerus. Kerasulan sosial ini merupakan usaha umat katolik untuk
mewujudkan kebaikan bersama dalam semangat kristiani. Di bidang sosial inilah
kaum awam paling cakap untuk membantu sesama saudara di bidang pekerjaan,
kejujuran, studi, perumahan dan lain-lain (bdk. AA artikel 13).[4]
Keterlibatan sosial seperti ini merupakan ekspresi atas pernyataan orang yang
sudah diperbaharui dan disemangati oleh Roh Kudus, serta mendapatkan perutusan
kembali setelah dikenyangkan berkat santapan surgawi dalam Ekaristi.
Dengan dikuatkan oleh tubuh dan darah Kristus orang
katolik diutus untuk masuk dalam kehidupan nyata di dunia dan mewarnai
kehidupan dunia itu sendiri dengan semangat Yesus Kristus sendiri.[5] Suatu
semangat kasih yang berjalan bersama orang-orang kecil, lemah dan tertindas.
Dengan semangat Kristus ini politik dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan hidup bersama semua orang, di mana orang kristiani dapat berkarya
bagi sesama. Karena itu, sakramen inisiasi sungguh menjadi landasan spiritual
yang kuat bagi orang kristiani untuk membangun dan mewujudkan keterlibatan
nyata dalam masyarakat[6].
Alasan mendasar yang membuat umat katolik terus
terlibat aktif dalam urusan politik terletak pada panggilan ilahi untuk
mempertegas moral politik yang benar, yaitu politik demi keadilan, perdamaian,
kesejahteraan, dan kebaikan bersama serta hormat terhadap hak asasi dan
martabat manusia.[7] Hal
ini sesuai dengan dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci untuk ajaran
iman pada hari raya Kristus Raja pada tanggal 24 November 2002, yang diberi
judul Peran Serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Politik. Bagian awal dokumen
ini mendorong komitmen umat katolik untuk terlibat dan memainkan peran yang penuh
dalam tata kelola politik yang merupakan tanggung jawabnya sebagai warga
negara.[8] Dokumen
ini menunjuk St. Thomas More sebagai pelindung para negarawan dan politisi
karena telah memberikan kesaksian dan kemartirannya yang tidak pernah
meninggalkan kesetiaannya yang konsisten pada otoritas dan lembaga-lembaga yang
sah, yang dengan kematiannya telah mengajarkan bahwa manusia tidak dapat
dipisahkan dari Tuhan, atau para politisi tidak dapat dipisahkan dari
moralitas.[9]
Moralitas politik yang mengajak semua umat beriman agar bersikap kritis
terhadap setiap ideologi dan etika yang berpotensi menghancurkan prinsip
kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan politik.
Kesadaran akan politik sebagai pelayan serta
perwujudan kasih Allah menuntut keterlibatan aktif semua umat katolik untuk
terus menata kehidupan sosial politik dengan ajaran dan semangat Injil. Sebab
semua keputusan yang menyangkut nasib rakyat (termasuk umat katolik) dalam
semua bidang kehidupan diambil melalui proses-proses politik. Keputusan di
bidang hukum, pertanian, ekonomi, budaya dll adalah keputusan politik.[10] Maka
politik bukan masalah pengaturan administrasi negara, juga tidak direduksi dalam kegiatan partai politik tetapi
kepedulian dalam perkara yang menyangkut hidup bersama. Politik adalah tindakan
manusia seperti manusia itu bekerja untuk keluarganya, berkarya untuk
menghasilkan patung atau lukisan, pada saat itu ia juga berpolitik.
Berpolitik
berarti bertindak dalam polis
(negara). Dalam arti ini kaum religius atau kaum berjubah juga di sebut “aktor
politik”. Maksudnya bukan untuk mencari kekuasaan dan atau jabatan, tetapi
bersama-sama dengan orang yang berkehendak baik berjuang demi penghormatan
hak-hak dasar manusiawi. Keterlibatan religius dalam politik yang demikian
tidak dipahami sebagai tindakan politik praktis. Lewat pendidikan para religius
menemani kaum muda untuk membuka matanya terhadap dunia, lewat karya-karya
sosial seperti Justice, Peace and Integrity
of Creation dan dalam keterlibatan dialog antar agama kaum religius
menemukan jawaban atas masalah keterpecahan yang menantang masyarakat plural.[11]
Di sini kaum religius dapat belajar dari pengalaman
dan pengosongan diri Yesus ketika harus menjalani jalan salib. Keteladanan
nyata ini sungguh merupakan sebuah bentuk keikutsertaan Allah dalam dalam memberikan
contoh bahwa untuk menggapai keadilan dan kebenaran bukan sebuah hal yang
mudah.[12]
Sebagai kaum beriman kesadaran akan keterlibatan Allah dalam perjuangan untuk
mewujudkan keadilan dan perdamaian adalah hal yang penting. Kesadaran ini harus
dipegang teguh dalam situasi dan kondisi sulit apa pun, sebab dalam melakukan
gerak keadilan dan perdamaian hambatan akan selalu ada.[13]
Dengan demikian keterlibatan kaum berjubah dalam urusan sosial politik lebih
dimengerti dalam arti memfasilitasi dialog bersama awam dan masyarakat tentang
realitas politik, ekonomi dan budaya dalam rangka membangun suatu budaya dan
struktur sosial politik yang adil dan manusiawi.[14]
Tanggung jawab itu terungkap lewat usaha untuk menghimpun dan memberi
pendampingan iman dan ilmu, ilmu dan pembentukan karakter kristiani kepada awam
supaya menjadi terang dan garam dalam kegiatan sosial politik.
Sejak lama Gereja tidak mencampuri urusan politik
praktis untuk merebut kekuasaan. Tetapi memberi pendampingan kepada masyarakat
terutama kepada mereka yang kecil, lemah tersisih dan tak berdaya agar mampu memberi
keputusan berkaitan dengan persoalan ekonomi, politik, pendidikan dll. Dalam
keterlibatannya dengan masalah sosial politik, Gereja dalam spritualitasnya
menyumbang bagi dihormatinya martabat manusia dan pembangunan kesejahteraan
umum.[15] Hukum
Kanonik No. 287, tidak memperbolehkan gereja sebagai institusi dan pemimpin
hierarkis maupun kaum religiusnya untuk terlibat secara langsung dalam dunia
politik demi menjaga objektivitas dan netralitas
pelayan gerejawi.
Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa para
uskup, imam dan religius merupakan simbol dan kekuatan yang menyatukan umat
beriman.[16]
Tugas untuk terlibat dalam dunia politik praktis diserahkan kepada kaum awam,
sebagaimana dikatakan dalam Apostolicam
Actusitatum, dekrit Konsili Vatikan II tentang kerasulan awam dikatakan
bahwa ”Gereja menghendaki agar orang-orang Katolik yang mahir dalam bidang politik dan sebagaimana
wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran
kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum” (AA. Art. 14)[17].
Karena itu jikalau umat katolik tidak ikut terlibat dalam kehidupan politik
atau ikut terlibat tetapi tidak menyuarakan dan menegaskan moralitas dan spiritualitas
katolik, maka Gereja harus merasa diri gagal menjalankan misinya.
3.
Peran Gereja Katolik dalam Kehidupan
Sosial Politik
di Indonesia.
Sejak
lama Gereja Katolik yakin bahwa imannya mempunyai relevansi sosial. Allah yang
diimani, ditanggapi dalam situasi kultural dan situasi politik yang konret.
Karena itu Gereja tidak lagi dilihat sebagai suatu institusi yang sosial yang
terisolir, melainkan bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan
masyarakat pada umumnya. Maka Gereja adalah pengalaman hidup manusia dalam
kegembiraan, sukacita, harapan, serta duka dan kecemasan hidup manusia
sehari-hari. Saat ini Gereja Katolik Indonesia menemukan keprihatinan sosial
yang sedang melanda kehidupan Bangsa Indonesia. Keprihatinan itu berkaitan
dengan krisis moral di ranah publik. Betapa tidak, para wakil rakyat dan para politisi tidak lagi memperjuangkan
kepentingan banyak orang tetapi sibuk memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Korupsi berlangsung secara sporadis di hampir
seluruh level pemerintahan mulai dari pengurusan KTP di kelurahan, pengurusan
Izin mengemudi, hingga pembayaran pajak. Penegak hukum tidak berjalan adil
sehingga rakyat merasakan adanya jurang ketidakadilan antara penguasa dan orang
kebanyakan. Prilaku korupsi dan ketidakadilan sosial seolah menjadi warna yang
wajar dalam setiap alur birokrasi di Indonesia. Dalam situasi semacam ini
banyak orang menghindari politik karena dianggap sebagai medan yang kotor,
licik dan penuh intrik dan persaingan untuk memperebut kekuasaan. Politik
dilihat sebagai sarana bagi penguasa untuk menindas rakyat. Dalam politik para penguasa
mempunyai kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dengan
dalih demi kepentingan rakyat.[18]
Berhadapan dengan masalah sosial ini Gereja Katolik
Indonesia tidak pernah mundur dari komitmennya terhadap politik. Gereja katolik
Indonesia tidak kehilangan sikap kritis-profetisnya terutama terhadap persoalan
korupsi. Sidang KWI 2016 mengambil topik” Membedah, Mencegah Mentalitas Serta
Prilaku koruptif”. Dalam sidang itu ditemukan bahwa prilaku koruptif telah
begitu merusak dan menggerogoti kehidupan masyarakat dan terjadi di mana-mana
baik di dunia bisnis, pemerintahan, lembaga
negara bahkan institusi agama termasuk Gereja.
Korupsi dalam segala bentuknya telah menjadi
kejahatan yang sistemik, terstruktur, dinamis dari pusat sampai ke daerah.[19] Nota
Pastoral KWI tahun 2004 sudah memandang masalah yang semakin serius itu sebagai
hancurnya keadaban publik. Nota pastoral ini menjadi titik tolak perumusan
SAGKI 2015, “Bangkitlah dan Bergeraklah Gereja Membangun Keadaban Publik Baru
Bangsa”.[20]
Artinya para uskup yang bergabung dengan KWI terus menerus berupaya melakukan
penginjilan secara integral dan menyeluruh berdasarkan situasi, persoalan dan
kebutuhan lokal Indonesia.[21]
Penemuan pokok-pokok keprihatinan itu menuntut suatu tindakan profetis, etis
dan praktis berdasarkan nilai-nilai injili seperti cinta kasih, kedamaian,
keadilan, pelayanan dan kesejahteraan bersama. Hal ini sesuai dengan semangat
Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art.
75, “Hendaknya segenap umat Katolik menyadari panggilan mereka yang khas dalam
negara. Di situlah dipancarkan teladan mereka yang terikat oleh kesadaran akan
kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan bersama”[22]. Dalam
konteks Indonesia, peran umat Katolik diperlukan untuk mengawal dihormatinya
prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebab meskipun Indonesia merupakan negara yang
percaya kepada Tuhan tetapi dalam pelaksanaannya tetap tidak selaras.
Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada momen tertentu direduksi pada
paham-paham pembelaan agama.[23]
Maka Gereja katolik Indonesia harus terus menerus berdialog dengan semua
golongan dan lapisan masyarakat Indonesia yang begitu plural dalam rangka merealisir
konsep Indonesia sebagai satu rumah yang adil dan sejahtera.[24]
Sejarah
gerakan politik Gereja Katolik Indonesia pun mengalami bahwa sejak awal
perjuangan Kemerdekaan Indonesia, orang katolik juga ikut terlibat secara aktif. Keterlibatan itu bukan hanya umat awam katolik
tetapi juga religius bahkan pemimpin Gereja, seperti Mgr. Soegijapranata,
Laksamana Muda Jos Sudarso, Kolonel Ignatius Slamet Riayadi yang terlibat
secara langsung dalam dunia politik Indonesia. Salah satu dasar keterlibatan
mereka adalah keyakinan bahwa politik adalah “panggilan suci”. Prinsip ini
dihayati oleh I. J. Kasimus, seorang tokoh katolik yang meyakini politik
sebagai panggilan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Maka arah politik katolik mengarah dan berpegang
teguh pada kepentingan umum dan
keberpihakan pada orang kecil, terlantar dan tersingkir sebagai bentuk
perwujudan iman kristiani dalam ranah politik.[25]
Dengan demikian terbentuklah suatu pembentukan negara yang menghormati hak
asasi manusia dalam semangat solidaritas sejati yang ditandai oleh suatu
kehidupan masyarakat yang majemuk, yang bebas, dinamis dan berwawasan
kebangsaan di mana tercipta rasa aman lahir dan batin dalam hidup bersama.[26] Inilah
panggilan umat katolik untuk menjadi instrumen cinta, perdamaian dan persahabatan
di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebab nasib dan hidup masyarakat
Indonesia ditentukan dan diukur oleh apa yang dilakukan oleh umat katolik
terhadap sesama, terutama yang kecil, lemah dan terpingirkan (bdk. Luk. 4: 18).
Untuk mewujudkan panggilan tersebut umat katolik
perlu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial politik dengan
memperluas dan memperdalam pemahaman tentang perkembangan kehidupan politik di
tanah air dalam perpaduan dengan iman kristiani dan wawasan kebangsaan. Selain
itu mendorong partisipasi yang lebih luas dan aktif dalam kehidupan sosial
politik bersama dengan golongan agama lain demi persatuan bangsa Indonesia dan
kesejahteraan umum (bonum commune).
4.
Yesus: Pola Bagi Umat Katolik dalam
Berpolitik
Keterlibatan umat katolik dalam bidang sosial politik secara mendasar lahir dari kenyataan bahwa iman kiristiani pada
hakikatnya menyejarah. Allah yang diimani masuk dalam sejarah konkret
umat manusia yang mewujud dalam diri Yesus Kristus dan tubuh-Nya yakni Gereja.
Maka spritualitas politik umat Katolik bukan dijalankan berdasarkan pada suatu
teori tentang politik atau masyarakat, tetapi lahir dari kesadaran
akan perjumpaan dengan Allah yang
menyejarah.[27] Historisitas Allah itu
diwujudkan dalam kehadiran Yesus yang benar-benar terlibat dan masuk dalam
kehidupan politik bangsa Yahudi.
Yesus menghayati tanggung jawab-Nya sebagai warga negara dengan baik. Ketika
Ia ditanya oleh orang Farisi, “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada
Kaisar atau tidak?”(Luk. 20: 22); Yesus memberikan jawaban yang
jelas, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah
apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Luk. 20. 25). Yesus membedakan
antara urusan kemanusiaan yang harus dijalankan
dengan kewajiban kepada Allah yang mesti ditaati, sehingga umat katolik dapat memberikan kewajibannya
dengan tepat.[28] Keteladan ini oleh Mgr. Al.
Soegijopranata dengan tajam dirumuskan bahwa setiap
anggota Gereja harus menjadi 100% Indonesia dan 100% Katolik. Jadi, bukan 200%
melainkan tetap 100%. ‘Matematika iman’ (100% + 1000% =100%) ini mengandung arti bahwa identitas orang katolik
harus menjadi Indonesia seutuhnya dan serentak menjadi katolik seutuhnya, bukan
menjadi manusia fifty-fyfty.[29] Tetapi sungguh-sungguh Indonesia dan sungguh-sungguh
katolik.
Kehidupan publik termasuk sosial politik tidak mengingkari kehadiran
Allah sebab Allah menyapa manusia di dalam sejarah dan situasi yang dihadapinya.[30] Keselamatan yang diajarkan
dalam iman kristiani tidak hanya bersifat individual tetapi memilki dimensi sosial
karena keselamatan tidak melulu perkara dunia nanti,
tetapi terhadap carut-marutnya dunia ini, maka tanggung jawab politik menjadi suatu yang niscaya. Inilah yang menjadi
dasar bagi keterlibatan umat katolik dalam perkara-perkara publik.
Keterlibatan Yesus pada zamannya sungguh
diabadikan kepada terwujudnya kesejahteraan bersama seluruh warga masyarakat,
khususnya yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir sebagaimana dirumuskan dalam
misi yang diemban-Nya, “Aku diutus oleh Bapa untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin, membebaskan orang tawanan, penglihatan bagi orang
buta dan memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19). Dengan demikian keterlibatan orang katolik
dalam kehidupan sosial politik mau meneladani Yesus yang selalu mefokuskan diri
pada cinta kasih khususnya kepada yang lemah, kecil dan menderita. Karena itu, politik katolik bukanlah politik yang berdasarkan
kesempatan untuk berkuasa, melainkan berdasarkan hati
nurani, dialog dan pelayanan demi kebaikan banyak orang.
Keselamatan yang diajarkan
dalam iman kristiani tidak hanya bersifat individu tetapi memiliki dimensi sosial. Identifikasi Yesus dengan mereka
yang miskin, terlantar, lapar, haus, di penjara dan yang sakit perlu mendapat
tindakan konkrit dari umat Katolik. Umat katolik yang terlibat dalam politik
dan yang berusaha melayani kepentingan umum perlu melihat secara baru kategori
mereka yang terpinggirkan di zamannya. Perlu adanya keterbukaan dan perwujdan
kasih untuk mengenal realitas marginalisasi dan kemiskinan dalam wujudnya yang
baru. Sebab perwujudan kasih dalam bidang politik menjadi tolak ukur keaslian
keterlibatan umat katolik di ranah publik.[31]
Ketika umat katolik berpolitik mengejar”kebaikan tertinggi” (kebaikan umum bagi
semua warganya) maka pada saat yang sama umat katolik menghadirkan “kebaikan tertinggi” yakni
Kristus dalam
persekutuan dengan umat-Nya yakni Gereja.[32] Dalam semangat perjuangan
ini menjadi jelas bahwa perjuangan politik para politikus katolik Indonesia
pertama-tama diarahkan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan demi tetap
beradanya Indonesia.[33] Artinya arah dan perjuangannya
jelas bukan untuk kepentingan eksekutif umat katolik dikancah publik atau
wilayah negara di mana umat katolik berada tetapi untuk satu bangsa.
Ketika seluruh bangsa
sejahterah dan hak asasi manusia ditegakkan dan dihormati maka dengan
sendirinya umat katolik selaku warga negara akan terlayani dan menikmati
kesejahteraan yang sama dengan warga negara lainnya. Hal
ini sesuai dengan identitas dan panggilan misi
Gereja, bahwa Gereja tidak hadir
dalam dunia untuk melayani dirinya sendiri tetapi mengemban tujuan dasar kasih
yang terarah kepada manusia dan dunia di luar dirinya. Maka keterlibatan Gereja dalam kehidupan sosial politik bukan untuk memperomosikan dirinya,
merebut kekuasaan bagi kelompoknya tetapi tertuju pada
pelayanan kasih.
5. Penutup
Keterlibatan Gereja dalam dunia politik berakar dalam
panggilan dan tugas suci Gereja untuk menjadi terang dan garam dunia, dengan
mempromosikan moral politik yang benar yaitu politik yang mengupayakan
keadilan, kebaikan dan kesejahteraan bersama serta perjuangan terhadap hak
asasi manusia. Panggilan dasar ini menjadi tugas tak terbantahkan bagi setiap
orang yang mengakui dirinya sebagai murid Kristus. Sebagai murid Kristus, semua
umat katolik dipanggil untuk mewujudkan tata dunia baru, yang ditandai dengan
keterlibatan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan dari
politik. Karena itu orang katolik diharapkan sadar bahwa misi mereka bukan
hanya untuk menciptakan tata pemerintahan yang sekedar manusiawi, tetapi juga
membantu Allah mewujudkan tata dunia baru yang dipenuhi semangat dan keutamaan Injil.
Saat ini
Gereja Katolik Indonesia ditantang untuk menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaan
kristiani seperti solidaritas, kerja keras, murah hati, kejujuran dll.
Nilai-nilai ini penting karena iman bukan lagi urusan privat tetapi berdaya
sapa dan berdaya ubah bagi orang lain. Berhadapan tuntutan ini, Gereja berpolitik
meneladani Yesus yang datang ke dunia untuk membawa damai bagi semua umat
manusia. Kedatangan-Nya tidak hanya mendamaikan manusia dengan Allah tetapi
juga mendamaikan manusia dengan yang lain. Dalam konteks ini umat katolik
dipanggil untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, dan persatuan bangsa dengan
ikut serta menjauhkan ketegangan dan perpecahan.
Akhirnya keberhasilan Gereja Katolik Indonesia
menjadi terang dan garam dunia diukur dari usaha dan perjuangan memberi jaminan
bahwa Pancasila dan UUD 1945 tetap dipertahankan sebagai dasar negara dan tetap
menjadi acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi para aktivis politik
katolik di negeri ini agar semakin sadar bahwa tugas mereka mulia yakni menjadi
sarana penebusan Allah sehingga sikap dan prilaku mereka juga menampakkan sikap
sebagai rekan sekerja Allah yang hadir dan bekerja dalam situasi masyarakat
zaman ini.
Daftar Pustaka
Budiarto, Cassianus
Teguh, et. al, 2003. Formasi Dasar Orang
Muda: Untuk Para Mahasiwa. Yogyakarta: Kanisius.
“Dekrit tentang Kerasulan Awam” (AA), no. 12,
dalam Dokumen Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan
Penerangan KWI- Obor, 2006.
Dokumen Konsili Vatikan
II. “Konstitusi Pastoral Tentang Gereja dan Dunia dewasa Ini” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan
Penerangan KWI- Obor, 2012.
Kongregasi untuk Ajaran
Iman, Catatan Ajaran : Pada Beberapa
Peran Serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Sosial Politik diterjemahkan
oleh R. P. Ignatius Sumaryo. Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan
KWI, Obor, 2003.
Paulus Bambang Irawan,
SJ, “Kaum Religius Anti Politik?”, Rohani,
No. 04, Tahun ke-56 April, 2009
Poerwanto, YR. Edy,
2009. OMK Alergi Politik? No Way?!.
Yogyakarta: Kanisius.
Riyanto, Armada, CM,
2014. Katoliksitas Dialogal: Ajaran
Sosial Katolik.Yogyakarta: Kanisius.
“Seruan Pastoral KWI
2016” dalam Pertemuan Tahunan Keuskupan Malang XLII. Malang 21-24 November 2016.
Tansdilintin,
Philips, 2008. Pembinaan Generasi Muda.
Yogyakarta: Kanisius.
Wihelmus, Ola Rongan, 2010. “Keterlibatan
Gereja Katolik Dalam Kehidupan Sosial Politik”, dalam 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam Di Atas Pelangi, Hipolitus. K.
Kewuel dan Gabriel Sunyonto, (eds). Yogyakarta: Kanisius.
Yan Olla, Paulus, MSF,
2014. Spritualitas Politik: Kesucian
Politik Dalam Perspektif Kristiani. Jakarta: Gramedia.
[1] Cassianus Teguh Budiarto,
et. al, Formasi dasar Orang Muda: Untuk
Para Mahasiwa (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 18.
[2] “Konstitusi Pastoral Tentang
Gereja dan Dunia dewasa Ini” (GS), dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, (Jakarta:
Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI- Obor, 2012), hlm. 521-522.
[3] Paulus Bambang Irawan,
SJ, “Kaum Religius Anti Politik?”, Rohani, No. 04, Tahun ke-56 (April,
2009), hlm.6.
[4] “Dekrit tentang
Kerasulan Awam” (AA), no. 12, dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, (Jakarta:
Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI- Obor, 2006), hlm. 21.
[5] YR. Edy Poerwanto, OMK Alergi Politik? No Way?!
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 29.
[6] Ibid., hlm. 30.
[7] Ola Rongan Wihelmus,
“Keterlibatan Gereja Katolik Dalam Kehidupan Sosial Politik”, dalam 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam Di Atas
Pelangi, Hipolitus. K. Kewuel dan Gabriel Sunyonto, (eds) (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), hlm.181-182.
[8] Kongregasi untuk Ajaran
Iman, Catatan Ajaran : Pada Beberapa
Peran serta Umat Katolik Di Dalam Kehidupan Sosial Politik diterjemahkan
oleh R. P. Ignatius Sumaryo (Jakarta: Depertemen Dokumentasi Dan Penerangan
KWI, Obor, 2003), hlm. 6.
[9] Ibid.
[10] Philips Tansdilintin, Pembinaan Generasi Muda (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 19.
[11] Pulus Bambang Irawan,
SJ, Loc. Cit.
[12] Cassianus Teguh
Budiarto, et. al, Formasi dasar Orang
Muda: Untuk Para Mahasiwa. (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 97.
[13] Ibid., hlm. 99.
[14] Ola Rongan Wihelmus, Op.
Cit., hlm. 186.
[15] Paulus Yan Olla, MSF, Spritualitas Politik: Kesucian Politik
Dalam Perspektif Kristiani (Jakarta: Gramedia, 2014), hlm. 21.
[16] Ola Rongan Wihelmus, Op.
Cit., hlm. 185.
[17] “Dekrit tentang
Kerasulan Awam” (AA), Op. Cit., hlm. 21.
[18] Ola Rongan Wihelmus, Op.
Cit., hlm. 189.
[19] “Seruan Pastoral KWI
2016” dalam Pertemuan Tahunan Keuskupan Malang XLII, Malang 21-24 November
2016., hlm. 1.
[20] Philips Tansdilintin, Pembinaan Generasi Muda (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hlm. 42.
[21] Ola Rongan Wihelmus, Op.
Cit., hlm. 187.
[22] “Konstitusi Pastoral
Tentang Gereja dan Dunia dewasa Ini” (GS), Op. Cit., hlm. 626.
[23] Armada Riyanto, CM, Katoliksitas Dialogal: Ajaran Sosial
Katolik (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 194.
[24] Ola Rongan Wihelmus, Loc.
Cit.
[25] Paulus Yan Olla, MSF, Op.
Cit., hlm. 66.
[26] YR. Edy Poerwanto, Op.
Cit, hlm. 35-36.
[27] Paulus Yan Olla, MSF, Op. Cit, hlm. 58.
[28] YR. Edy Poerwanto, Op.
Cit, hlm. 37.
[29] Philips Tansdilintin, Op. Cit., hlm. 40.
[30] Bdk. Paulus Yan Olla, MSF, Op.
Cit., hlm. 58.
[31] Ibid., hlm. 82.
[32] Armada Riyanto, CM, Op.
Cit.,
hlm. 192.