Dua agenda tahapan tersebut menandai bahwa Pemilu
2024 akan segera memasuki fase kontestasi dan kompetisi yang sesungguhnya,
yakni : masa kampanye, saat dimana para kontestan akan bekerja ekstra keras
menawarkan visi dan misi programatik untuk meraih simpati pemilih.
Di sisi lain, di ruang publik elektoral yang sama,
suasana konflik antar kubu dan elemen-elemen pendukungnya terus memanas.
Khususnya antara kubu Ganjar-DPIP dan partai-partai koalisinya vis-Ã -vis kubu
Prabowo-KIM, yang masing-masing memiliki pendukungnya sendiri-sendiri baik di
akar rumput maupun di media sosial.
Konflik jelang penetapan Paslon dan masa Kampanye
ini disertai pula oleh kekecewaan publik, terutama dari kalangan civil society
(akademisi, pegiat Pemilu, elemen Ormas, tokoh masyarakat, bahkan juga warganet
yang kritis di berbagai platform media digital). Sumber konflik, semua orang
nampaknya sudah tahu persis, yakni putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
90/PUU-XXI/2023 mengenai usia Capres-Cawapres.
Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya di era
reformasi, konflik yang terjadi saat ini memang unik, baru pertama kali
terjadi. Konflik dipicu oleh salah satu norma dalam UU Pemilu yang digugat,
yang putusannya kemudian dipersolkan dan dikritisi habis-habisan oleh
kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. Namun sebaliknya didukung
habis-habisan pula oleh kelompok-kelompok yang secara elektoral diuntungkan.
Sikap bijak
Lantas apa yang harus dilakukan masyarakat pemilih
di tengah situasi konflik antar kubu kontestan dan protes keras kalangan civil
society tadi ? Karena, ada atau tidak konflik serupa ini, Pemilu tetap akan dan
harus berlangsung.
Masyarakat penting diedukasi atau mengedukasi diri
dengan berbagai wawasan kenegaraan, demokrasi dan kepemiluan. Dalam konteks ini
masyarakat harus melihat konflik yang sedang berlangsung sebagai bagian dari
dinamika kehidupan politik dalam tradisi masyarakat demokrasi. Terlebih lagi
konflik ini terjadi dalam kerangka perhelatan elektoral.
Masyarakat juga penting menyadari, bahwa Pemilu itu
sendiri sejatinya merupakan arena konflik. Konflik yang dilegalkan oleh
peraturan perundang-undangan karena dalam tradisi demokrasi tidak ada cara dan
mekanisme lain untuk memilih pemimpin dan merotasinya secara berkala kecuali
melalui ajang kontestasi. Dalam kontestasi (pertunjukan) pasti ada kompetisi,
dan dalam kompetisi (persaingan) inilah konflik (pertentangan) menemukan ruang ekspresi
dan ruang artikulasinya.
Tetapi kita tahu, konflik dalam Pemilu bukanlah
konflik barbar, konflik yang membiarkan setiap orang sesuka hati melakukan
apapun yang diinginkannya. Atau konflik yang dalam status naturalis menurut
Thomas Hobbes menjadikan manusia sebagia homo homini lopus (predator kejam bagi
sesama manusia lainnya).
Konflik dalam Pemilu adalah konflik berkeadaban.
Konflik yang lahir dari kesadaran kolektif bahwa kita membutuhkan “primus inter
pares” untuk menjadi pemimpin yang dipilih secara tertib dan fair. Konflik yang
diatur sedemikian rupa; dikendalikan, dibatasi, bahkan diawasi oleh perangkat
peraturan perundang-undangan dan institusi-institusi yang kompeten.
Oleh karenanya biarkan para kontestan berdinamika
secara sehat. Keadaban (kepatuhan pada hukum dan perundang-undangan),
rasionalitas serta kesadaran dan komitmen kolektif menjadikan kepentingan
negara-bangsa di atas segalanya dan melampaui segala bentuk syahwat kelompok
dan jangka pendek dari masing-masing kubu pada akhirnya akan menjadi jalan
untuk menyelesaikan konflik.
Masyarakat sendiri cukuplah menjadi warga negara
yang bijak tanpa harus menegasikan daya kritisnya. Mengambil sikap dari
pilihan-pilihan politik yang tersedia beralaskan kesebangunan antara keadaban, rasionalitas
dan komitmen kebangsaan itu juga.
Sikap rasional
Konflik elektoral sebagaimana diuraikan di atas
mungkin masih akan terus berlangsung dan kian panas. Terlebih saat memasuki
masa kampanye mulai akhir November hingga 3 hari menjelang masa tenang. 75 hari
bilangan waktunya, bukan masa yang pendek.
Di tengah suasana konflik sekarang dan nanti itu,
selain sikap bijak tadi, Pemilu juga membutuhkan para pemilih yang rasional.
Pemilih rasional adalah pemilih yang menggunakan akal sehat dan nalar jernih
dalam memutuskan siapa saja yang akan mereka berikan mandat pada hari
pemungutan suara nanti.
Akal sehat dan nalar jernih sebagai basis penentuan
pilihan itu tentu didasarkan secara kritis pada aspek-aspek yang dibutuhkan
untuk proyeksi kemajuan dan kemaslahatan negara-bangsa ke depan yang dimiliki
oleh para kandidat. Pemilih rasional tidak akan dengan mudah “ikut sana,
merapat sini” hanya karena aspek viralitas di media, kemeriahan kampanye di
lapangan, relasi kekeluargaan atau kekerabatan para kandidat, besar atau
kecilnya gerbong koalisi, warna-warni bendera partai, atau bahkan janji-janji
kampanye yang sensasional tanpa uji kritis dan uji nalar.
Pemilih rasional adalah pemilih otonom. Dan otonomi
itu disandarkan pada akal sehat dan nalar jernih masing-masing. Tentu dengan
modalitas informasi kredibel dan memadai, wawasan elektoral yang cukup, dan
akhirnya suara hati nurani yang tak mungkin dimanipulasi.
Pemilih rasional dengan antara lain karakteristik
yang demikian itu penting untuk memastikan sedikitnya dua tujuan strategis
elektoral berikut ini.
Pertama, Pemilu berlangsung dengan tertib, aman,
damai dan tetap dalam suasana harmoni kebangsaan. Karena para pemilih yang
menggunakan akal sehat dan nalar yang jernih tidak mungkin melakukan
tindakan-tindakan irrasional yang bisa mencederai proses dan hasil Pemilu
sendiri. Pemilih rasional tidak akan terlibat dalam berbagai perilaku
destruktif seperti ikut menyebar hoax, fitnah, kampanye hitam, ujaran kebencian
apalagi saling menyakiti sesama warga.
Kedua, Pemilu dapat menghasilkan para
pemimpin-pemimpin yang terbaik, baik di legislatif maupun di eksekutif. Karena
para pemilih dengan akal sehat dan nalar jernih tidak mungkin memberikan mandat
yang sangat berharga untuk memimpin bangsa hanya dengan
pertimbangan-pertimbangan emosional dan alasan-alasan yang sama sekali tidak
relevan.