Suku Tetun merupakan salah satu suku tertua dan
terbesar yang mendiami pulau Timor baik di bagian barat yaitu Kabupaten Belu
dan Kabupaten Malaka, maupun bagian Timur yaitu Timor Leste. Suku Tetun sendiri
masuk dalam kelompok Austronesia dengan sub etnis Melayu-polinesia.
Suku Tetun mendiami laut utara hingga laut selatan.
Persebaran penduduk yang tinggi sejak zaman kerajaan membuat wilayah kekuasaan
suku Tetun sangat luas. Hal ini menyebabkan suku Tetun menjadi suku paling
dominan di Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka hingga Timor Leste.
Berdasarkan para pemangku adat di Kabupaten Belu,
cerita legenda dan sejarah orang Belu atau orang Tetun, terutama penduduk pulau
Timor sangat beragam. Salah satu kisah menceritakan bagaimana Pulau Timor masih
digenangi air sehingga hanya menyisakan puncak gunung Lakaan yang ada di
Kabupaten Belu saat ini. Konon gunung Lakaan adalah puncak tertinggi di Pulau
Timor saat itu sehingga disebut Sang Putra Tunggal (Sa Mane Kmesak), Sang Bintang satu-satunya (Baudinik Kmesak), Bercahaya sendiri (Laka-an) dan Bersinar sendiri (Naksinak-an).
Dipercaya sebagai yang memulai (Mak Nahu), yang awal (Mak
Namata), tanah asal (Rai Husar)
dan tanah saudara-saudari (Rai Binan),
para keturunan Lakaan disebut dengan julukan Manuaman
Lakaan (Ayam Jantan Lakaan) no
Nian Funan Klaut (dan segala keturunannya). Suatu ketika, terdapat
sebuah gempa dan patahan lempeng yang menyebabkan puncak gunung Lakaan bergeser
ke arah Timur. Patahan ini yang akhirnya menjadi gunung Sa-Monu di Timor
Leste.
Peradaban awal menurut Legenda adalah seorang putri
dewata yang oleh beberapa tua adat tidak boleh disebut namanya, namun diketahui
nama putri ini adalah Laka Loro Kmesak yang dalam bahasa Tetun berarti Putri
Tunggal tanpa asal-usul. Kelahiran anak-anak Laka Loro Kmesak tidak diketahui
siapa suaminya. Putri Laka Loro Kmesak melahirkan dua orang Putra dan dua orang
Putri yakni Atok Lakaan, Taek Lakaan, Elok Lua Lorok dan Balok Lua Lorok.
Karena tidak terdapat orang lain, saat dewasa mereka dikawinkan oleh ibunya.
Atok Lakaan kawin dengan Elok Lua Lorok yang
melahirkan Deu Mauk, Timu Mauk, Lida Mauk dan Dilu Mauk. Taek Lakaan kawin
dengan Balok Lua Lorok melahirkan Dasi Bau Mauk Lorok, Daba Lorok, Laka Lorok
dan Aluk Lorok. Kemudian hari Dasi Bau Mauk Lorok mengawini saudarinya Daba
Lorok sedangkan Laka Lorok mengawini saudarinya Aluk Lorok.
Dari keluarga Dasi Bau Mauk Lorok dan Daba Lorok
inilah lahir kerajaan besar di Belu yakni Fialaran. Pasangan ini melahirkan
tiga orang anak yakni Teti Bauk yang kemudian pindah ke Likusaen dengan
gelar Mali Bere Likusaen, Bere Bauk yang pindah ke Wehali dengan
gelar Bereliku Wehali dan Lulun Bauk yang dikenal sebagai Lulun
Samara yang meneruskan tahta kerajaan Fialaran.
Berdasarkan penelitian, manusia pertama yang
mendiami daerah Belu disebut orang Melus yang dalam bahasa Tetun disebut
Manusia “Penghuni Batu dan Kayu” (Ema
Fatuk Oan Ema Ai Oan). Kemudian hari para pendatang dari Malaka yang
disebut Sina Mutin Malaka hidup dan bercampur bersama orang Melus.
Kedatangan pendatang dari Malaka ini awalnya hanya untuk menjalin hubungan
dagang seperti cendana dan rempah-rempah.
Etimologi
Secara etimologis, kata Tetun berasal dari banyak
sekali penafsiran yang berbeda-beda seperti Tetun yang berarti
orang-orang yang arif dan bijaksana dan Tei tun yang berarti
menendang turun ke bawah.
Dalam arti kebijaksanaan Tetun membawa
arti dalam yakni Suku Tetun adalah orang-orang yang memiliki tingkatan (ktaek) tutur peradaban yakni Tutur
peradaban biasa (Liafuan Kneter-ktaek
waiwain), tutur peradaban adat (Liafuan
kneter-ktaek adat) dan tutur peradaban Istana (Manfatik kneter-ktaek uma
metan). Dalam arti menendang turun ke bawah Tei tun mengartikan
kekuasaan mutlak para penguasa adat dan kerjaan di dalam masyarakat. Bilamana
ada kekuasaan lain yang berusaha menyabotase seorang Tuan (na’i) maka dia akan ditendang turun dari singgasana.
Bahasa
Bahasa Tetun sendiri adalah salah satu dari ratusan
bahasa yang ada baik di Timor Barat, Indonesia maupun Timor Leste. Tidak hanya
menjadi bahasa daerah di Kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka, bahasa Tetun
sudah menjadi bahasa Nasional di Timor Leste. Sebagai bagian dari rumpun bahasa
Austronesia yakni Malayo-polynesian, bahasa Tetun memiliki level penuturan atau
tutur peradaban Tetun yang dalam bahasa Tetun disebut liafuan kneter-ktaek
Tetun.
Tutur peradaban Tetun ini terbagi tiga yaitu Tutur
peradaban biasa (Liafuan Kneter-ktaek
waiwain) yang digunakan antar sesama masyarakat awam (ema waiwain), Tutur peradaban adat (Liafuan Kneter-ktaek adat) yang digunakan oleh pemangku adat (ema adat na’in) dan tutur peradaban
Istana (Manfatik Kneter-ktaek Uma Metan)
yang digunakan oleh darah biru atau keluarga kerajaan.
Pada dasarnya, Bahasa Tetun memiliki dua dialek
utama yaitu Tetun Fehan atau Tetun Terik dan Tetun Foho.
Dalam perkembangan, muncul pula dialek lain seperti Tetun-Dili yang
mencampurkan bahasa Tetun dengan bahasa Portugis.
Kehidupan
Sebelum datangnya pengaruh Kekristenan di Tanah
Belu, orang-orang sudah mengenal sosok tertinggi atau wujud tertinggi yaitu Na’i Maromak; na’i berarti Tuan dan Maromak berasal
dari tiga kata yaitu Mak Nalo
Naroman atau yang menciptakan terang. Banyaknya cerita mengenai sosok
Putri atau Wanita sakti seperti Laka Loro
Kmesak dan kepercayaan akan sosok Tuhan menyebabkan agama Katolik diterima
dengan baik di kemudian hari oleh Suku Tetun. Beberapa sub suku Tetun bahkan
sudah mempercayai konsep Tuhan sebagai pencipta jauh sebelum agama Samawi masuk
ke dalam masyarakat. Beberapa sub suku Tetun seperti Umametan Lawalu di gunung
Lidak mempercayai bahwa menyebut nama Tuhan adalah sebuah hal yang tidak layak
disebut oleh manusia biasa. Maka dari itu kiasan untuk Tuhan digunakan
seperti iha letenba iha as ba; iha
fitun fohon, iha fulan fohon; lolo liman lato’o, bi’i ain lato’o yang
artinya Ia yang di atas langit, yang di atas bintang, yang di atas bulan; tidak
terjangkau oleh tangan dan kaki manusia.
Sebelum adanya pemerintahan modern, sistem
pemerintahan masyarakat di tanah Belu terbagi menjadi beberapa golongan
yaitu Na’i (Raja), Dato (seperti Pati atau pemimpin
suatu wilayah kecil) dan golongan Ema
Reinu (rakyat awam). Ketiga golongan ini dapat ditemukan di semua
sistem pemerintahan kerajaan yang ada pada masyarakat Tetun. Beberapa jabatan
lain yang mungkin ditemukan atau tidak adalah Mako’an yakni para tetua yang paham masalah adat, Matan
dok yakni para dukun dan Ema Ata yakni para budak yang biasanya
didapat dari hasil jual beli dan peperangan.
Dalam kehidupan sosial, terdapat pula konsep Tara Badu yang menjadi pengingat akan relasi dengan Tuhan,
alam dan sesama manusia. Hal ini dapat dilihat pada diterimanya agama Katolik
karena menganut konsep yang sama dalam hal ketuhanan, banyaknya hutan adat yang
tidak boleh dimasuki sembarang orang serta perdamaian antar kerajaan yang pada
akhirnya menghasilkan kata Rai Belu atau tanah para Sahabat.
Kesenian
Kerajinan tangan, tari dan musik menjadi kekayaan
tersendiri suku Tetun. Pada budaya suku Tetun terdapat alat musik seperti
gendang kecil yang digunakan pada tarian Likurai sebagai simbol penyambutan dan
penghormatan tamu. Terdapat pula suling bambu berukuran kecil hingga berukuran
besar pada masyarakat Fialaran.
Kain tenun menjadi salah satu kerajinan yang mahal
pada masyarakat Tetun. Setiap acara keagamaan, adat dan penyambutan tamu selalu
identik dengan penggunaan Tais atau kain tenun. Masyarakat membuat
benang menggunakan tanaman kapas yang dipintal. Pewarnaan menggunakan bahan
alam seperti batang mahoni, kunyit, jati, mengkudu serta tanah.
Selain kain tenun hasil kerajinan tangan suku Tetun
adalah anyaman. Anyaman adalah produk hasil tangan yang menggunakan material
daun Lontar (Borassus flabellifer Linn),
daun Gebang (Corypha Utan) dan
daun Pandan Hutan (Pandanus
Tectorius).Beberapa produk anyaman adalah Hanek Matan berupa dulang kecil yang digunakan sebagai tempat
seserahan atau sesajen, Tanasak
sebagai tempat menyimpan sirih pinang, cinderamata dan makanan, Ko’e keranjang
yang digunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian dan Koba sebagai tempat
mengisi sirih pinang.
Dalam acara adat, suku Tetun di berbagai tempat
memiliki keunikan tersendiri. Namun tarian yang umum dilakukan disebut dengan
tarian Likurai yaitu tarian kemenangan atau tarian kebahagiaan. Tarian Likurai
ini akan sangat meriah dengan menggunakan alat musik gong, gendang kecil (tihar) serta gemerincingan. Di daerah
Selatan, suku Tetun juga menggunakan suling bambu berukuran besar. Selain itu terdapat
pula tarian persaudaraan yaitu tari Tebe. Tarian ini menunjukkan persaudaraan
antar sesama suku Tetun maupun dengan pendatang. Bergandengan tangan hingga
saling merangkul dilakukan.