Merangsang Selera Pangan Lokal di Wilayah NTT

Merangsang Selera Pangan Lokal di Wilayah NTT

NTT kaya akan keberagaman pangan lokal. Berbagai cara dilakukan untuk memperkenalkannya, terutama kepada generasi muda.
Warga mengolah kue putak di Pasar Motamasin, Betun, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (9/12/2023).


Setapak Rai Numbei (Dalan Inuk)Martha Seran (50) menuangkan tepung putak secara merata ke atas tembikar seukuran telapak tangan yang sedang dipanggang di atas tungku berbahan kayu api. Kurang dari tiga menit, kue putak sudah bisa disantap.

Membuat kue putak hampir sama seperti membuat kue dadar gulung. Di bagian tengah putak bisa ditaburi gula pasir atau kacang hijau, tergantung selera pembeli. Harganya tidak mahal, 4 potong Rp 5.000.

Di sudut Pasar Motamasin, Betun, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (9/12/2023) itu, sekitar sepuluh perempuan paruh baya mengolah kue putak. Mereka dikerubuti pembeli yang sebagian makan di tempat.

Rupanya kue putak disukai banyak orang, termasuk kalangan milenial, generasi Z, hingga anak sekolah dasar. ”Apalagi makan masih panas-panas. Enak sekali,” ujar Stefan Bere (16), siswa salah satu SMA di Betun.

Banyak dari mereka bahkan tak tahu dari mana asal tepung putak yang dimakan. Tepung putak diambil dari batang pohon gewang, sejenis pohon sagu yang banyak tumbuh di Kepulauan Maluku dan Papua.

Di NTT, putak merupakan salah satu makanan lokal yang perlahan mulai ditinggalkan. Sangat jarang putak ditemukan di meja makan. Di banyak tempat, putak dijadikan makanan untuk babi ternak atau sapi ternak.

Pengolahan kue putak di sudut Pasar Motamasin yang digelar sehari dalam seminggu itu mengingatkan kembali akan keberagaman pangan lokal di daerah itu. ”Putak ini yang ada lebih dulu, baru datang beras,” ucap Martha.

Serbuan beras secara besar-besaran ke NTT terjadi di era Orde Baru. Pemerintah kala itu mendorong masyarakat di seluruh Indonesia untuk menanam padi. Kehadiran program penanaman padi dengan berbagai varietas menggusur pangan lokal yang sudah ada sebelumnya.

Padi dihadirkan tanpa mempertimbangkan kondisi alam dan iklim setempat. Padi membutuhkan banyak air, sedangkan wilayah NTT minim ketersediaan sumber air. Setiap tahun NTT selalu mengalami kekeringan ekstrem. Dampak perubahan iklim yang terjadi belakangan kian memperburuk kondisi tersebut.

Generasi muda

Anak-anak antre mengambil makanan olahan pangan lokal di komunitas Lakoat Kujawas di Desa Taiftob, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada Agustus 2023.


Sekitar 141 kilometer di selatan Betun, tepatnya Desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, generasi muda diperkenalkan pada keberagaman pangan lokal setempat. Gerakan konsumsi pangan lokal itu terpusat di komunitas Lakoat Kujawas yang dipimpin Decky Senda (36), anak muda dari desa itu.

Saat didatangi Kompas pada Agustus 2023, sedang berlangsung pemberian makanan tambahan bagi anak-anak. Menunya adalah bubur dengan formula bahannya meliputi sorgum, labu, ubi jalar, dan ayam kampung. Semua bahan diambil dari lingkungan sekitar.

Puluhan anak menikmati makanan itu, bahkan ada yang minta tambah. ”Ketika mereka pulang ke rumah, mereka minta orangtua untuk masak makanan lokal,” ujar Decky yang memulai program itu sejak tahun 2019.

Putak ini yang ada lebih dulu, baru datang beras.

Jauh dari kota, Taiftob dan wilayah lain di pedalaman Timor tidak luput dari serbuan beras dan berbagai makanan instan. Beras dianggap sebagai makanan kelas satu. Banyak masyarakat setempat menjual makanan lokal bergizi tinggi demi membeli beras. ”Mindset itu yang coba kota ubah melalui generasi muda,” ucapnya.

Gerakan dari Lakoat Kujawas mendapat perhatian dari banyak orang. Decky bersama teman-teman sering diundang untuk berbagi dengan masyarakat di daerah lain bahkan hingga ke luar negeri. Mereka memperkenalkan cara kerja serta makanan lokal mereka.

Lakoat Kujawas kini menjadi literasi hidup yang konsisten dengan berbagai aktivitas secara berkala. Selain literasi dengan pangan, Dicky bersama tim juga mengembangkan kemampuan menulis anak-anak, mendongeng, hingga belajar bahasa Inggris.

Kuliner pengolahan pangan

Kondisi kebun sorgum di Desa Likotuden, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Agustus 2023.


Jauh di seberang Pulau Timor, tepatnya di Desa Pajinian, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Maria Loreta mengembangkan tanaman sorgum selama lebih kurang 10 tahun terakhir. Ia mengoleksi banyak benih lokal tak sebatas sorgum. Dalam usahanya menghidupkan kembali pangan lokal, perempuan asal suku Dayak itu bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk gereja Katolik setempat.

Saat didatangi Kompas pada Agustus 2023, di kebun milik Loreta sedang digelar pelatihan bagi anak muda untuk berwirausaha. Mereka diarahkan membuka usaha kuliner berbasis pangan lokal yang ada di daerah asal peserta, yakni Kabupaten Flores Timur dan Lembata.

Salah satu sesi yang dilewati adalah setiap perwakilan dari desa-desa mengolah pangan lokal, kemudian mempresentasikan kepada peserta lain. Total 38 anak muda yang berasal dari enam desa. Mereka lalu santap bersama.

Menurut Loreta, ajakan terhadap generasi muda agar mengonsumsi pangan lokal dilakukan dengan menyodorkan formula yang dapat merangsang selera mereka. ”Seperti ubi rebus, tidak semua anak tertarik, tetapi kalau dibikin keripik atau diolah ke bentuk lain serta tambahan rasa, mungkin banyak yang suka,” paparnya.

Loreta berpandangan, dengan mengajak orang mengonsumsi pangan lokal, hal itu dapat mengurangi ketergantungan pada beras yang bakal semakin tinggi di masa mendatang. Pasalnya, NTT pada umumnya bukan produsen beras. Beras yang dikonsumsi dipasok dari luar daerah.

Tingginya ketergantungan pada beras diakui Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Lecky F Koli. Ia menyatakan, konsumsi beras di NTT mencapai 117.189 kilogram per kapita per tahun. Sementara itu, produksi beras pada tahun 2022, misalnya, hanya 430.948,5 ton, jauh di bawah total konsumsi yang mencapai 642.367,53 ton.

Upaya penguatan terhadap pangan lokal oleh masyarakat dan komunitas yang peduli rupanya tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Terbukti, dalam kebijakan nasional hingga daerah, pemerintah lebih mengutamakan komoditas padi, jagung, dan kedelai.

Di Provinsi NTT yang kini menginjak usia 65 tahun, pemerintah daerah sering kali mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal. Namun, di banyak acara pemerintah, hidangan pangan lokal sangat minim, bahkan tidak ada. Hal ini menunjukkan upaya untuk menjaga napas pangan lokal belum menjadi gerakan bersama. *** kompas.id



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama