Membuat kue putak hampir sama seperti membuat kue
dadar gulung. Di bagian tengah putak bisa ditaburi gula pasir atau kacang
hijau, tergantung selera pembeli. Harganya tidak mahal, 4 potong Rp 5.000.
Di sudut Pasar Motamasin, Betun, Kabupaten Malaka,
Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (9/12/2023) itu, sekitar sepuluh perempuan
paruh baya mengolah kue putak. Mereka dikerubuti pembeli yang sebagian makan di
tempat.
Rupanya kue putak disukai banyak orang, termasuk
kalangan milenial, generasi Z, hingga anak sekolah dasar. ”Apalagi makan masih
panas-panas. Enak sekali,” ujar Stefan Bere (16), siswa salah satu SMA di
Betun.
Banyak dari mereka bahkan tak tahu dari mana asal
tepung putak yang dimakan. Tepung putak diambil dari batang pohon gewang,
sejenis pohon sagu yang banyak tumbuh di Kepulauan Maluku dan Papua.
Di NTT, putak merupakan salah satu makanan lokal
yang perlahan mulai ditinggalkan. Sangat jarang putak ditemukan di meja makan.
Di banyak tempat, putak dijadikan makanan untuk babi ternak atau sapi ternak.
Pengolahan kue putak di sudut Pasar Motamasin yang
digelar sehari dalam seminggu itu mengingatkan kembali akan keberagaman pangan
lokal di daerah itu. ”Putak ini yang ada lebih dulu, baru datang beras,” ucap
Martha.
Serbuan beras secara besar-besaran ke NTT terjadi di
era Orde Baru. Pemerintah kala itu mendorong masyarakat di seluruh Indonesia
untuk menanam padi. Kehadiran program penanaman padi dengan berbagai varietas
menggusur pangan lokal yang sudah ada sebelumnya.
Padi dihadirkan tanpa mempertimbangkan kondisi alam
dan iklim setempat. Padi membutuhkan banyak air, sedangkan wilayah NTT minim
ketersediaan sumber air. Setiap tahun NTT selalu mengalami kekeringan ekstrem.
Dampak perubahan iklim yang terjadi belakangan kian memperburuk kondisi
tersebut.
Generasi muda
Anak-anak antre mengambil makanan olahan pangan lokal di komunitas Lakoat Kujawas di Desa Taiftob, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada Agustus 2023.
Sekitar 141 kilometer di selatan Betun, tepatnya
Desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, generasi
muda diperkenalkan pada keberagaman pangan lokal setempat. Gerakan konsumsi
pangan lokal itu terpusat di komunitas Lakoat Kujawas yang dipimpin Decky Senda
(36), anak muda dari desa itu.
Saat didatangi Kompas pada Agustus 2023,
sedang berlangsung pemberian makanan tambahan bagi anak-anak. Menunya adalah
bubur dengan formula bahannya meliputi sorgum, labu, ubi jalar, dan ayam
kampung. Semua bahan diambil dari lingkungan sekitar.
Puluhan anak menikmati makanan itu, bahkan ada yang
minta tambah. ”Ketika mereka pulang ke rumah, mereka minta orangtua untuk masak
makanan lokal,” ujar Decky yang memulai program itu sejak tahun 2019.
Putak ini yang ada lebih dulu, baru datang beras.
Jauh dari kota, Taiftob dan wilayah lain di
pedalaman Timor tidak luput dari serbuan beras dan berbagai makanan instan.
Beras dianggap sebagai makanan kelas satu. Banyak masyarakat setempat menjual
makanan lokal bergizi tinggi demi membeli beras. ”Mindset itu yang coba
kota ubah melalui generasi muda,” ucapnya.
Gerakan dari Lakoat Kujawas mendapat perhatian dari
banyak orang. Decky bersama teman-teman sering diundang untuk berbagi dengan
masyarakat di daerah lain bahkan hingga ke luar negeri. Mereka memperkenalkan
cara kerja serta makanan lokal mereka.
Lakoat Kujawas kini menjadi literasi hidup yang
konsisten dengan berbagai aktivitas secara berkala. Selain literasi dengan
pangan, Dicky bersama tim juga mengembangkan kemampuan menulis anak-anak,
mendongeng, hingga belajar bahasa Inggris.
Kuliner pengolahan
pangan
Kondisi kebun sorgum di Desa Likotuden, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Agustus 2023.
Jauh di seberang Pulau Timor, tepatnya di Desa
Pajinian, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Maria Loreta mengembangkan
tanaman sorgum selama lebih kurang 10 tahun terakhir. Ia mengoleksi banyak
benih lokal tak sebatas sorgum. Dalam usahanya menghidupkan kembali pangan
lokal, perempuan asal suku Dayak itu bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk
gereja Katolik setempat.
Saat didatangi Kompas pada Agustus 2023,
di kebun milik Loreta sedang digelar pelatihan bagi anak muda untuk
berwirausaha. Mereka diarahkan membuka usaha kuliner berbasis pangan lokal yang
ada di daerah asal peserta, yakni Kabupaten Flores Timur dan Lembata.
Salah satu sesi yang dilewati adalah setiap
perwakilan dari desa-desa mengolah pangan lokal, kemudian mempresentasikan
kepada peserta lain. Total 38 anak muda yang berasal dari enam desa. Mereka
lalu santap bersama.
Menurut Loreta, ajakan terhadap generasi muda agar
mengonsumsi pangan lokal dilakukan dengan menyodorkan formula yang dapat
merangsang selera mereka. ”Seperti ubi rebus, tidak semua anak tertarik, tetapi
kalau dibikin keripik atau diolah ke bentuk lain serta tambahan rasa, mungkin
banyak yang suka,” paparnya.
Loreta berpandangan, dengan mengajak orang
mengonsumsi pangan lokal, hal itu dapat mengurangi ketergantungan pada beras
yang bakal semakin tinggi di masa mendatang. Pasalnya, NTT pada umumnya bukan
produsen beras. Beras yang dikonsumsi dipasok dari luar daerah.
Tingginya ketergantungan pada beras diakui Kepala
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT Lecky F Koli. Ia menyatakan, konsumsi
beras di NTT mencapai 117.189 kilogram per kapita per tahun. Sementara itu,
produksi beras pada tahun 2022, misalnya, hanya 430.948,5 ton, jauh di bawah
total konsumsi yang mencapai 642.367,53 ton.
Upaya penguatan terhadap pangan lokal oleh
masyarakat dan komunitas yang peduli rupanya tidak mendapat dukungan penuh dari
pemerintah. Terbukti, dalam kebijakan nasional hingga daerah, pemerintah lebih
mengutamakan komoditas padi, jagung, dan kedelai.
Di Provinsi NTT yang kini menginjak usia 65 tahun,
pemerintah daerah sering kali mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal.
Namun, di banyak acara pemerintah, hidangan pangan lokal sangat minim, bahkan
tidak ada. Hal ini menunjukkan upaya untuk menjaga napas pangan lokal belum
menjadi gerakan bersama. *** kompas.id