Pertanyaan macam ini
barangkali menjadi hal yang paling marak muncul dalam benak setiap orang: suatu
pertanyaan yang tak kunjung usai dibahas sejak titik nol peradaban manusia
hingga hari ini.
Lebih-lebih dalam tongkrongan
tengah malam, saat kopi mulai habis dan rokok tersisa beberapa batang,
anak-anak muda yang sedang bimbang dan resah menerka masa depan biasanya suka
mempertanyakan hal semacam ini.
Tak heran kenapa
kemudian Puthut EA, kepala suku Mojok sekaligus penikmat kretek itu, menulis
sebuah buku bertajuk Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya. Semacam
diktum, bahwa hidup manusia dipenuhi oleh banyak hal ganjil, absurd, dan boleh
jadi brengsek. Manusia kelihatannya terjebak dalam lingkaran setan yang terus
berputar. Banting tulang dan peras pikiran guna mencapai cita-cita untuk
kemudian berakhir pada ketiadaan.
Akan tetapi, apakah
kehidupan yang seperti itu tidak layak untuk dijalani? Jika memang demikian,
layakkah bagi kita untuk lalu mengakhiri hidup yang nirmakna ini dengan bunuh
diri misalnya?
Saya tertarik untuk
mengulas problem filosofis kuno ini melalui pandangan salah seorang filsuf asal
Prancis paling otentik di abad 20, yakni Albert Camus.
Camus dan Amsal Sisifus
Alkisah, dalam dongeng
Yunani kuno, seorang raja Ephyra bernama Sisifus memiliki kecerdikan dan
kemampuan menipu yang luar biasa. Karena kemampuannya itu, ia dapat menipu
kematian. Sisifus pernah mengelabui Asopus, Dewa Sungai untuk memberikannya
mata air keabadian agar ia terhindar dari kematian. Tak hanya itu, ia bahkan
menjebak Hades sang dewa kematian saat hendak menjemput ajalnya.
Atas perbuatannya itu,
Zeus sang raja tertinggi dalam hierarki dewa-dewa Yunani, turun tangan dan
memberikan hukuman yang aneh kepada Sisifus. Ia diperintahkan untuk mendorong
sebuah bongkahan batu besar dari lereng gunung hingga ke puncaknya. Namun,
setiap kali Sisifus hampir mencapai puncak, ia terjatuh dan menggelinding
bersama bongkahan batu itu ke lereng gunung dan harus mengulangnya dari awal
lagi. Hal itu terus-menerus ia lakukan berulang kali tanpa akhir.
Kisah ini diulas oleh
Albert Camus dalam esai fenomenalnya berjudul Le Mhyte de Sysiphe dan menjadi
pengantar bagi Camus untuk menerangkan absurditas hidup. Dalam pandangan Camus,
kehidupan manusia tak lain sama dengan kisah Sisifus yang terus-menerus
menggotong bongkahan batu itu untuk mengulang lagi kegagalan yang sama. Hidup
yang absurd, ganjil ,dan bahkan tak bermakna.
Kita misalnya dari kecil
dipaksa untuk bersekolah, mengenyam pendidikan, hingga akhirnya
menyelesaikannya sampai pada taraf perguruan tinggi. Kita kemudian bekerja,
memperjuangkan tujuan masing-masing, menggapai cita-cita yang diangankan, lalu
pada akhirnya menua, sakit-sakitan dan ujungnya mati. Orang-orang yang
mencintai kita pada awalnya bersedih dan lalu perlahan lupa: nama pun hilang
dari sejarah dan dari ingatan orang-orang. Seperti menjaring angin, terasa ada
tertangkap tidak.
Bunuh Diri Bukanlah Jalan, Memberontaklah!
Saat ini, tindakan
bunuh diri menjadi pilihan bagi anak muda, khususnya Gen-Z, yang tidak tahan
menghadapi gempuran permasalahan hidup. Isu kesehatan mental jadi bahasan yang
populer di kalangan banyak orang. Mereka yang merasa hidupnya tak bermakna dan penuh
kekosongan, memilih untuk mengakhirinya dengan bunuh diri.
Dalam pandangan Camus,
ada dua macam bunuh diri yang dilakukan untuk mengakhiri absurditas hidup:
bunuh diri fisik dan bunuh diri filosofis. Bunuh diri fisik ditempuh dengan
cara menyakiti diri sendiri. Sedangkan, bunuh diri filosofis dilakukan dengan
cara menenggelamkan diri dalam kepasrahan. Dalam arti ini, seseorang yang
membunuh diri sudah menyadari absurditas hidup, tetapi lebih memilih lebur
dalam amaran hidup yang monoton ketimbang merenungkan dan menciptakan makna
hidupnya sendiri.
Kendati mengatakan
hidup adalah absurd dan tak bermakna, Camus tidak mengajukan bunuh diri sebagai
jalan keluar, baik jika dilakukan secara fisik maupun filosofis. Bunuh diri
secara fisik adalah sikap pengecut, sedangkan bunuh diri secara filosofis
adalah ciri pecundang.
Camus dalam hal ini
menganjurkan sikap memberontak untuk menghadapi absurditas tersebut. Jika bagi
Descartes “I think: therefor I exist” (aku berpikir, maka aku ada) maka menurut
Camus “I rebel: therefor I exist” (aku memberontak, maka aku ada).
Memberontak dilakukan
dengan cara menemukan dan menciptakan makna kehidupan sendiri. Yakni tidak
pasrah dalam ketidakjelasan hidup. Sekalipun hidup penuh dengan keganjilan dan
seabrek hal-hal brengsek, itu tidak lantas mengharuskan kita untuk hanyut di
dalamnya. Dalam pengertian Camus, memberontak adalah keberanian untuk
mengatakan tidak. “Apa itu manusia pemberontak? Seorang pria yang mengatakan
tidak,” katanya dalam L’homme Révolté.
Di samping itu,
menggantungkan nilai dan makna kehidupan kepada hal-hal tertentu di luar diri
sendiri, merupakan suatu bunuh diri. Kita misalnya seringkali mencemaskan
omongan dan penilaian orang lain atas diri kita dan lalu menjadikannya sebagai
standar. Kita pada akhirnya menggantungkan makna hidup kepada sesuatu yang lain
di luar diri kita. Dengan kata lain, memberontak artinya tidak takluk pada
nilai-nilai di luar diri sendiri, yakni berani berdiri di atas nilai dan makna
kita yang diciptakan sendiri.
Seruputlah Kopi dengan Bahagia!
Satu hal yang perlu
kita tahu dalam kisah Sisifus, adalah bahwa ia nyatanya berbahagia. Sisifus
sadar bahwa hukuman yang diberikan oleh Zeus padanya adalah hukuman yang tidak
berujung. Karenanya, ketimbang menjalani hukuman dengan sedih dan berat hati,
Sisifus lebih memilih melaksanakan hukuman abadi itu dengan rasa bahagia. Esai
fenomenal Camus tentang Sisifus tersebut ia tutup dengan kalimat “Kita harus
membayangkan Sisifus berbahagia!”
Dalam hidup yang
dipenuhi oleh hal-hal brengsek dan tak bermakna ini, cara yang paling layak
untuk kita lakukan adalah menciptakan makna dan berbahagia dengan cara kita
sendiri. Rasa stres dan cemas yang berkepanjangan pada dasarnya muncul ketika
seseorang tidak mengenali dirinya sendiri atau barangkali terjebak dalam
standar dan nilai di luar dirinya.
Mulailah menciptakan
makna pada hal-hal kecil di sekitar kita dan berbahagialah dengannya. Membaca
buku, menatap langit, mendengar kicauan burung, berbincang santai dengan teman,
atau bahkan sesederhana menyeruput kopi di pelataran rumah. Hidup dan
berbahagialah dengan cara yang kau ciptakan sendiri. “Haruskah aku bunuh diri,
atau minum secangkir kopi?” celoteh Camus.
Kemudian, berhentilah
berambisi untuk menjadi normal layaknya orang-orang pada umumnya. Tiap-tiap
orang tentunya memiliki kekhususan masing-masing yang lantas menjadikannya
otentik. Kita perlu bersikap bagak untuk berdiri di atas makna dan nilai kita
sendiri. Kata Camus "Tidak ada yang menyadari bahwa beberapa orang
mengeluarkan energi yang sangat besar hanya untuk menjadi normal."
Jalan Setapak We Alas Harekain, Sasitamean Kabupaten Malaka, NTT
Medio Sabtu, 13 Januari 2024