Bangunan gedung Sekolah
Menengah Kejuruan [SMK] Negeri Restorasi Pulau Komodo itu dibuat dari bahan
dasar bambu dengan lantai semen, hasil pengumpulan dana sukarela warga dan
bantuan dari pihak lain.
Selama ini, sekolah itu
yang didirikan pada 23 Maret 2022 berdasarkan SK Nomor
421.5/23/DPMPTSP.4.3/03/2022 dan SK Izin Operasional Nomor
421.5/23/DPMPTSP.4.3/03/2022 beraktivitas dengan meminjam gedung milik SMP
Negeri 4 Satap Pulau Komodo.
“[Karena] gedung belum
ada, kami sementara masih numpang di SMP Komodo,” kata Mu’ammar Qadri, pimpinan
sekolah tersebut kepada Floresa pada 11 Januari.
Qadri adalah kepala
sekolah yang hingga kini masih berstatus pelaksana tugas.
Ia mengatakan keputusan
membangun gedung sendiri muncul karena selama ini mereka selalu melaksanakan
aktivitas sekolah pada siang hari, usai kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri
4 Satap Komodo.
“Tidak enak mau pakai
[mereka] terus, apalagi sekarang kami berada di bawah naungan Pemerintah
Provinsi NTT, sedangkan SMP di bawah naungan pemerintah Kabupaten Manggarai
Barat,” katanya.
Warga Bahu Membahu
Qadri mengatakan untuk
membangun gedung itu warga mengumpulkan uang secara sukarela, dengan besaran
yang tidak ditentukan.
Lokasi gedung berada di
atas lahan milik sekolah seluas tiga hektare, di sebuah tanah lapang sebelah
utara Kampung Komodo, tepat di sisi timur gedung Puskesmas.
Selain itu, kata dia,
komite sekolah juga mencari sumbangan kepada pihak lainnya, yang saat ini telah
mendonasikan 20 sak semen.
“Sebagian bahan yang kami gunakan sisa dari
pembangunan masjid,” lanjutnya.
Ia mengatakan
sebenarnya sekolah merencanakan pembangunan tiga ruang kelas, satu ruangan guru
dan ruangan kepala sekolah, laboratorium praktik, serta toilet untuk guru dan
siswa.
Namun karena kekurangan
dana, pembangunan tersebut hanya untuk tiga ruang kelas dan satu ruang guru dan
kepala sekolah.
Semuanya, kata Qadri,
dibangun “dari bahan bambu.”
‘Kemerdekaan’
yang Tidak Berpihak Pada Warga Komodo
Saat meresmikan sekolah
itu pada Maret 2022, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi mengatakan tujuannya adalah untuk menekan angka putus sekolah.
“Pulau Komodo sebagai
habitat utama Komodo yang mendunia setiap hari ramai dikunjungi wisatawan dari
mancanegara maupun wisatawan domestik,” katanya ketika itu.
Karena itu, jelasnya,
“sekolah mutlak, harus segera didirikan.”
Lewat unggahan di
cerita Instagram, akun @lingkarbelajaratamodo menyatakan kekecewaan karena
minimnya perhatian pemerintah terhadap sekolah itu.
“1 tahun telah berlalu,
kemajuan pendidikan di desaku hanyalah halu, adapun tiangnya hanya dari bambu,” tulis
akun itu yang dikelola komunitas Lingkar Belajar Ata Modo. Komunitas ini
diinisiasi kaum muda Desa Komodo sebagai wadah belajar non-formal anak-anak dan
remaja.
Kinan, salah seorang
pemuda Desa Komodo mengatakan menyayangkan sikap pemerintah yang “hanya
mengambil keuntungan dari Pulau Komodo tetapi membiarkan sekolah tersebut ada
dalam kondisi yang memprihatinkan.”
“Kenapa di desa lain
sekolahnya megah-megah? Padahal, tanah Pulau Komodo memiliki kontribusi yang
cukup besar dengan ikon satwa Komodonya,” katanya kepada Floresa.
Ia mengatakan
pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah, seharusnya tidak mengabaikan sektor
pendidikan di pulau tersebut.
“Kemerdekaan sepertinya
tidak berpihak kepada masyarakat Komodo, walaupun banyak uang masuk ke kas
negara. Sektor pendidikannya sangat miris. Kami butuh keadilan,” katanya.
Ia juga mengingatkan
pembangunan yang berkeadilan bagi warga asli pulau tersebut, salah satunya
dalam bentuk perhatian untuk SMK itu.
Terkait keterlibatan
pemerintah Provinsi NTT dalam pembangunan gedung sekolah, kata Qadri, “belum
ada informasi”.
“Untuk sementara masih
inisiatif dari masyarakat Pulau Komodo beserta teman-teman guru,” ungkapnya.
Ia berharap, pemerintah
segera memberikan perhatian agar sekolah itu memiliki gedung yang layak.
SMK itu memiliki 101
siswa, terdiri atas 55 orang perempuan dan 46 orang laki-laki.
Jumlah guru dan tenaga
kependidikan 22 orang, yakni 20 orang guru dan 2 orang pegawai tata usaha.
Guru yang berstatus
Aparatur Sipil Negeri, kata Qadri, hanya ia sendiri, “yang lainnya semua guru
komite.”
Sekolah tersebut
memiliki tiga jurusan studi, yakni Usaha Perjalanan Wisata, Perhotelan, dan
Tata Boga.
Desa Komodo, dihuni
1.846 jiwa atau 3,2 persen dari total penduduk di Kecamatan Komodo.
Desa itu masuk dalam
kawasan Taman Nasional Komodo, yang menjadi Kawasan Strategis Pariwisata
Nasional.
Sebelum SMK Negeri
Restorasi berdiri, sebagian anak-anak Desa Komodo memilih melanjutkan
pendidikan tingkat SMA atau SMK di Labuan Bajo.
Ditempuh dengan
berlayar selama sekitar dua sampai tiga jam dari pulau itu, warga kerap
mengeluh tentang biaya sekolah, sewa tempat tinggal dan biaya hidup di Labuan
Bajo yang mahal.
Sejumlah anak juga
memilih melanjutkan sekolah di Bima, Nusa Tenggara Barat, sedangkan yang
lainnya memilih tidak lanjut atau berhenti setelah menyelesaikan SMP di desa
itu. *** floresa.co